Aku menggerutu di dalam kamar dengan kaki yang mondar mandir memberesi barang-barangku ke dalam ransel untuk kabur. Sejak awal aku merasa ada yang tidak beres ketika Ayah dan Kembaran ku datang ke desa untuk menjemputku dengan alasan ingin menyekolahkanku di sekolah Elit di kota.
Mereka bahkan membujuk Ibu agar mau melepaskan aku ke kota. Padahal sebelumnya, setelah perceraian mereka saat aku berumur 7 tahun, Ayah yang bilang, “Aku akan mengambil Keyla. Kamu bisa bersama Keyra. Jangan pernah berpikir untuk mengganggu kami lagi!” Sejak waktu itu, aku tidak pernah mendengar kabar Ayah dan Keyla. Lalu, kedatangan mereka yang tiba-tiba ketika aku memasuki kelas 2 SMA. Ayah mengingkari ucapannya dulu karena Ayah lah yang datang mengganggu lebih dulu. “Sialan! Aku harus cepat pergi dari sini!” putusku bulat. Lebih baik aku kembali ke desa. Meski harus sekolah sambil bekerja untuk membantu ibu, itu lebih baik ketimbang aku ditipu oleh mereka. Bodohnya aku sempat berpikir bahwa inilah kesempatan agar aku bisa meringankan beban Ibu yang selama ini banting tulang demi menyekolahkanku. Berbanding terbalik dengan kondisi Keyla yang berkecukupan bersama ayah. Namun aku lebih bersyukur karena ikut Ibu. Keluarga ayah itu terlalu rumit. “Keyra! Buka pintunya!” Aku tersentak ketika ada suara seorang Pria yang sedang menggedor kasar pintu kamarku. Tidak ada waktu lagi. Aku segera menyambar tas ranselku dan berlari ke jendela. Kamarku berada di lantai 2. Aku mengikat 2 Seprei untuk membantuku turun dengan selamat. “KEYRA! Cepat buka pintunya!” Ayah kembali berteriak. Kini suaranya terdengar sangat marah. Aku melompat ke pembatas balkon sambil berpegangan ke Seprei yang ku ikat tadi. Semoga saja tali yang ku buat ini cukup kuat untuk menahan beban tubuhku. “Papa, Keyra mau kabur!” Seorang gadis yang sangat mirip denganku berteriak dari balkon kamar sebelah. Aku berdecak pelan. Aku lupa kamar Keyla ada di sebelah. Karena sudah ketahuan, aku mempercepat gerakanku untuk meluncur ke bawah. “Keyra, kembali!” Keyla kembali berteriak sambil menunjuk ke arahku yang sudah menapak di tanah. Aku menjulurkan lidah kepadanya sebelum lari sekencang mungkin. Rumah ini terbilang besar dengan halamannya yang luas. Tentu mereka juga memiliki penjaga seperti 3 orang pria besar yang sedang mengejarku di belakang. SIALAN! Aku mempercepat langkah kakiku. Di gerbang sana ada 2 satpam yang buru-buru menutup pintu gerbangnya. Ceh, dipikirnya aku akan lewat sana? Ohhh..., tentu saja tidak. Kakiku berbelok menuju tembok yang menjulang tinggi. Untung saja selama seminggu di sini aku sudah menjelajah di sekitar rumah Ayah. Jadi, aku tahu di salah satu sisi tembok ada pohon mangga yang bisa membantuku melompat keluar. “Keyra, mau ke mana kamu?” teriak Ayah yang berlari mengejarku. Aku melompat ke atas pohon. Lalu dengan cekatan melompat ke tembok. Lalu aku melompat keluar dan..., . . Tertangkap! Ya, aku berhasil tertangkap karena ternyata sebagian penjaga ada di luar juga. Argghhh! Aku memberontak untuk membebaskan diri dari tali yang mengikat ku. Namun sekuat apa pun aku memberontak, aku tidak berhasil membuat tali itu terlepas. Kedua tanganku diikat ke depan dan kedua kaki juga diikat sampai lutut agar aku tidak bisa melarikan diri. Plak! “Aww, sakit!” Aku meringis mengusap nyeri di kepala saat Keyla datang-datang menggeplak ku dengan keras. Jika saja kedua tanganku tidak diikat, aku akan membalasnya. “Rasain! Siapa suruh kamu berani kabur. Seharusnya kamu tuh, bersyukur. Papa bawa kamu ke sini untuk di sekolahkan. Mending kamu nurut sama Papa biar dibiayain. Bukan malah memberontak kek gini.” Keyla mengomel sambil berkacak pinggang di depanku. Secara teknis, dia memang Kakakku karena dia keluar lebih dulu. Namun jika dicurangi begini aku juga tidak akan mau. “Kenapa aku harus menggantikanmu menikah?” tanyaku pada Keyla. “Karena jijik! Si Babi Hutan itu kesenangan karena bertunangan denganku. Apalagi jika harus menikah. Duh, membayangkannya saja membuatku mual.” Dahiku langsung berkerut. Babi hutan katanya? Seburuk apa penampilan calon suami Keyla sampai membuat dia jijik begitu. Ayah datang mendekati kami. Pria itu menatapku dengan garang. “Jangan mengacau lagi!” tekannya seraya memasangkan cincin di jari manisku. Tiba-tiba Ayah menarik wajahku dengan kasar. “Dengar Keyra, Ayah tidak akan bersikap kasar jika kamu bisa nurut. Lagipula ini demi kebaikanmu. Keyla itu siswa berbakat dan genius. Masa depannya akan hancur jika dia harus menikah di usia muda,” ujar Ayah. “Lantas bagaimana denganku? Apa Ayah pernah memikirkan masa depanku?” pekik ku dengan rasa kecewa yang menyesakkan dada. “Justru ini demi masa depanmu! Kamu yang lama tinggal di desa mempunyai kesempatan hidup lebih baik dengan pernikahan ini. Calon suamimu juga bukan orang sembarangan.” Aku tertawa mendengar ucapan Ayah. Masa depanku katanya? Astaga, lelucon macam apa ini? Tidak terasa air mataku tumpah. Rasa kecewa dan benci bercampur jadi satu. “Jangan memberontak lagi! Jika tidak, Ayah tidak akan segan menyekap Ibumu jika kamu membuat masalah lagi,” ancamnya. ***** Pada akhirnya, aku tetap berakhir di sini. Ijab Qobul baru saja diselesaikan dengan lancar pemuda di sebelah ku menyebut namaku di depan penghulu. Pernikahan ini dilaksanakan secara privat karena kami hanya Nikah Siri karena sama-sama masih SMA. Ku lihat Ayah sudah bergabung dengan Kakek dan keluarga mempelai Pria. Mereka terlihat senang karena kedua keluarga akhirnya bisa disatukan. Setelah ku dengar-dengar, ternyata pernikahan ini ada karena janji antara Kakek dan sahabatnya yang baru meninggal 2 Minggu yang lalu. Kakek khawatir umurnya tidak akan sampai sebelum menyatukan kedua keluarga. Makanya Kakek meminta pernikahan tersebut dilaksanakan lebih cepat. Sampai kami yang masih belum cukup umur ini harus terjebak dalam pernikahan atas permintaan mereka. Aku melirik ke samping. Pemuda yang sudah berstatus SAH sebagai suamiku hanya diam. Meski wajahnya terlihat datar, aku tahu dia juga menahan kesal. Entah kenapa aku malah teringat kata-kata Keyla yang menyebutnya sebagai ‘Babi Hutan’. Tanpa sadar aku terkikik geli karena panggilan nyeleneh itu terus terngiang-ngiang di kepalaku. “Hey, kamu. Ikuti aku!” Pemuda di sebelahku tiba-tiba bersuara memintaku untuk mengikutinya. Aku menurut saja karena sesak juga berada di sana karena wajah-wajah bahagia mereka membuatku semakin kesal. BRAKK! Aku terkesiap saat terdorong ke dinding oleh pemuda yang saat ini berstatus sebagai Suamiku. Kedua tangannya mencengkram bahuku. “Di mana Keyla?” tanya pemuda itu terlihat marah. “Mana ku tahu! Dia tidak ingin ikut ke sini. Carilah dia ke rumahnya,” balasku malas. “Kenapa kamu menggantikan posisi Keyla? Seharusnya dialah pengantinku. Bahkan aku sudah bersiap untuk mengejutkannya. Tapi..., semua berantakan gara-gara kamu!”Aku diseret dari kampung untuk dipaksa menikah, sosok ayah yang selalu aku rindukan berubah menjadi iblis yang mengancam akan menyekap Ibuku. Lalu, lelaki yang kini berstatus suamiku menyalahkan diriku atas segalanya. Sial sekali nasib ini! Emosi hampir saja meledak jika tidak ingat nyawa ibuku yang jadi taruhan.Aku terkekeh menertawakan kemalangan diriku sendiri. Lebih sakit lagi, lelaki yang tidak tahu apa-apa itu melampiaskan kemarahan padaku. Ku tarik dagunya menghadapku.“Abizar Bimantara, itu kan namamu? Dengar ini baik-baik ya Abizar! Kamu pikir aku mau dengan pernikahan konyol ini? Aku juga sama sekali tertarik untuk merusak pertunangan mu dengan Keyla. Dia lah yang memaksa ku untuk menggantikan dirinya. Jika mau menyalahkan, jangan salahkan aku. Karena kita sama-sama korban di sini!” tegasku padanya.Lantas aku mendorong Abizar. Ku tinggalkan begitu saja ‘Suamiku’ yang masih terbengong di sana. Sialan! Siapa juga yang mau dengan pernikahan ini, Bajingan?!Aku melangkahkan ka
Aku terus memikirkan alasan paling masuk akal mengenai Pernikahan yang menimpaku karena menggantikan Keyla. Jika hanya sebatas janji yang dibuat Kakek dan sahabatnya, tidak mungkin keluarga pihak laki-laki akan menerima begitu saja. Ternyata, setelah aku tak sengaja mendengar ucapan Abizar hari ini aku tahu alasan utama mereka menerima perjodohan itu untuk menyelamatkan Keyla. Yang membuatku bingung, mereka menyelamatkan Keyla dari apa? Aku tidak merasa ada sedikit pun kekurangan dari kembaranku itu. Entahlah, mungkin bisa jadi terjadi sesuatu setelah kami berpisah selama 10 tahun. Hal ini membuat rasa penasaranku memuncak sehingga aku masih bersembunyi untuk lanjut menguping pembicaraan Abizar dan Tante Sandra. “Abizar, Mama sudah bilang jangan bahas ini lagi!” sentak Tante Sandra. “Bagaimana mungkin, Ma?! Haruskah kita tetap diam dan melihat dia semakin hancur di sana?” balas Abizar. Aku semakin bersemangat mendengar percakapan itu. Saat aku berniat untuk menguping lebih dekat,
Bel istirahat berbunyi melalui spiker yang dipasang pada langit-langit kelas. Guru langsung pamit dari kelas meski pembelajaran belum tuntas. Yoshh! Aku bisa keliling sekolah! Sejak tadi pagi aku selalu penasaran dengan berbagai sudut dari sekolah ini. Akan tetapi, sepertinya rencanaku tak akan bisa mulus. Teman-teman sekelas ku tiba-tiba bergerombol mengelilingiku. ‘Apa? Kenapa mereka menatapku begitu?’ Mereka menatapku dari dekat seolah aku ini barang pameran. Astaga! Sebenarnya apa yang salah dengan mereka? “Keyra, bisakah kamu tersenyum seperti tadi?” Seorang gadis yang berdiri tepat di depan meja ku membuka suara. Dahi ku berkerut bingung. Tatapan mereka seolah penuh harap. Hanya untuk sebuah senyuman. Dengan kikuk aku menuruti kemauan mereka. “Be-beginikah?” tanya ku dengan gugup setelah menaikan kedua ujung bibirku membentuk lengkungan bulan sabit. Mereka langsung bersorak saat aku memberikan sebuah senyuman. Adapula pemuda yang tersipu dan langsung melarikan diri deng
Aku berusaha mengejar Keyla yang memasuki mobilnya. "Keyla, tunggu!" Ku panggil dia dengan suara lantang. Lantaran padatnya parkiran, mungkin Keyla tak mendengar suaraku. Sehingga aku tak bisa menghentikan mobilnya yang meninggalkan parkiran sekolah. "Aih, astaga! Keyla, tunggu aku!" Aku masih berteriak sekencang mungkin berharap Keyla akan berhenti. Tetapi karena kebodohan ku itu, aku menjadi pusat perhatian. Lantaran terlanjur malu, aku buru-buru pergi. Mungkin aku harus menelpon Papa untuk menjemput ku karena aku juga tidak ingat di mana alamat Rumah Abizar. Ketika melewati koridor yang mulai sepi, Abizar yang entah muncul dari mana menarik lenganku. Dia menggeretku masuk ke dalam sebuah ruangan yang letaknya di pojok sekolah. "Apaan, sih?!" sentak ku pada Abizar. "Jangan dekati Keyla! Jangan sampai dia tahu mengenai hubungan kita!" hardik Abizar. Dahiku langsung berkerut. "Maksud mu apa? Bukankah kalian sudah saling kenal? Apa salahnya aku ingin tahu?" balas ku tajam.
Setelah kejadian tak mengenakan beberapa hari yang lalu, hubungan ku dan Abizar semakin senyap. Meski pemuda itu sudah mau bergabung bersama di meja makan, namun sikapnya masih acuh tak acuh padaku. Yah..., terserahlah! Aku juga sudah muak kepadanya. Aku ingin menjalani kehidupan sekolah ku dengan nyaman. Setelah lulus SMA, aku akan membicarakan masalah perceraian kami ke kedua orangtua Abizar. Ku hembuskan napas berat mengingat semua beban yang harus aku tanggung sekarang. Aku hanya menatap kosong pada kumpulan bunga pada taman di depan rumah Abizar. Meski di tengah gelapnya malam, bunga-bunga mawar yang berjejer itu terlihat indah dengan sedikit memantulkan cahaya lampu penerangan di taman.Tanpa sadar aku tersenyum melihat keindahan yang begitu memukau mataku. Setidaknya jejeran bunga di sana selalu bisa menjadi penghibur ku usai makan malam. Dengan melihat mereka, sedikit bebanku dapat terangkat juga.Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara ponsel ku yang berdering. Saat ku cek, t
Aku hampir jantungan saat bertemu Abizar di pintu masuk. Apakah dia sudah dari di sana? Jantung ku berdegup kencang. Badanku mendadak beku seolah seperti maling yang ketahuan basah oleh tuan rumah.Namun kemudian, aku mendesah lega saat ku sadari ada earphone yang terpasang di telinga Abizar. Itu berarti dia tidak mendengar apapun yang aku lakukan di luar karena telinganya sudah di sumpal. Akan tetapi, posisi Abizar yang hanya berdiri di sebelah pintu masuk seperti sedang bersembunyi membuat ku curiga. Ahh, entahlah!Aku mengendikan bahu memilih tak baku pusing dengan pemuda itu. Lebih baik aku segera masuk kamar daripada mematik masalah dengannya. "Hey, tunggu!" Baru ingin melangkah, Abizar tiba-tiba memanggil ku. Sepertinya dia tahu mengenai kejadian tadi. Aduh, malu sekali aku! Lantaran tak ingin terang-terangan ketahuan, aku terpaksa berbalik menghadap Abizar. Pemuda itu sudah tidak bersandar. Dia juga melepas salah satu earphonenya. Aku tersenyum canggung untuk menutupi rasa