Aku menggerutu di dalam kamar dengan kaki yang mondar mandir memberesi barang-barangku ke dalam ransel untuk kabur. Sejak awal aku merasa ada yang tidak beres ketika Ayah dan Kembaran ku datang ke desa untuk menjemputku dengan alasan ingin menyekolahkanku di sekolah Elit di kota.
Mereka bahkan membujuk Ibu agar mau melepaskan aku ke kota. Padahal sebelumnya, setelah perceraian mereka saat aku berumur 7 tahun, Ayah yang bilang, “Aku akan mengambil Keyla. Kamu bisa bersama Keyra. Jangan pernah berpikir untuk mengganggu kami lagi!” Sejak waktu itu, aku tidak pernah mendengar kabar Ayah dan Keyla. Lalu, kedatangan mereka yang tiba-tiba ketika aku memasuki kelas 2 SMA. Ayah mengingkari ucapannya dulu karena Ayah lah yang datang mengganggu lebih dulu. “Sialan! Aku harus cepat pergi dari sini!” putusku bulat. Lebih baik aku kembali ke desa. Meski harus sekolah sambil bekerja untuk membantu ibu, itu lebih baik ketimbang aku ditipu oleh mereka. Bodohnya aku sempat berpikir bahwa inilah kesempatan agar aku bisa meringankan beban Ibu yang selama ini banting tulang demi menyekolahkanku. Berbanding terbalik dengan kondisi Keyla yang berkecukupan bersama ayah. Namun aku lebih bersyukur karena ikut Ibu. Keluarga ayah itu terlalu rumit. “Keyra! Buka pintunya!” Aku tersentak ketika ada suara seorang Pria yang sedang menggedor kasar pintu kamarku. Tidak ada waktu lagi. Aku segera menyambar tas ranselku dan berlari ke jendela. Kamarku berada di lantai 2. Aku mengikat 2 Seprei untuk membantuku turun dengan selamat. “KEYRA! Cepat buka pintunya!” Ayah kembali berteriak. Kini suaranya terdengar sangat marah. Aku melompat ke pembatas balkon sambil berpegangan ke Seprei yang ku ikat tadi. Semoga saja tali yang ku buat ini cukup kuat untuk menahan beban tubuhku. “Papa, Keyra mau kabur!” Seorang gadis yang sangat mirip denganku berteriak dari balkon kamar sebelah. Aku berdecak pelan. Aku lupa kamar Keyla ada di sebelah. Karena sudah ketahuan, aku mempercepat gerakanku untuk meluncur ke bawah. “Keyra, kembali!” Keyla kembali berteriak sambil menunjuk ke arahku yang sudah menapak di tanah. Aku menjulurkan lidah kepadanya sebelum lari sekencang mungkin. Rumah ini terbilang besar dengan halamannya yang luas. Tentu mereka juga memiliki penjaga seperti 3 orang pria besar yang sedang mengejarku di belakang. SIALAN! Aku mempercepat langkah kakiku. Di gerbang sana ada 2 satpam yang buru-buru menutup pintu gerbangnya. Ceh, dipikirnya aku akan lewat sana? Ohhh..., tentu saja tidak. Kakiku berbelok menuju tembok yang menjulang tinggi. Untung saja selama seminggu di sini aku sudah menjelajah di sekitar rumah Ayah. Jadi, aku tahu di salah satu sisi tembok ada pohon mangga yang bisa membantuku melompat keluar. “Keyra, mau ke mana kamu?” teriak Ayah yang berlari mengejarku. Aku melompat ke atas pohon. Lalu dengan cekatan melompat ke tembok. Lalu aku melompat keluar dan..., . . Tertangkap! Ya, aku berhasil tertangkap karena ternyata sebagian penjaga ada di luar juga. Argghhh! Aku memberontak untuk membebaskan diri dari tali yang mengikat ku. Namun sekuat apa pun aku memberontak, aku tidak berhasil membuat tali itu terlepas. Kedua tanganku diikat ke depan dan kedua kaki juga diikat sampai lutut agar aku tidak bisa melarikan diri. Plak! “Aww, sakit!” Aku meringis mengusap nyeri di kepala saat Keyla datang-datang menggeplak ku dengan keras. Jika saja kedua tanganku tidak diikat, aku akan membalasnya. “Rasain! Siapa suruh kamu berani kabur. Seharusnya kamu tuh, bersyukur. Papa bawa kamu ke sini untuk di sekolahkan. Mending kamu nurut sama Papa biar dibiayain. Bukan malah memberontak kek gini.” Keyla mengomel sambil berkacak pinggang di depanku. Secara teknis, dia memang Kakakku karena dia keluar lebih dulu. Namun jika dicurangi begini aku juga tidak akan mau. “Kenapa aku harus menggantikanmu menikah?” tanyaku pada Keyla. “Karena jijik! Si Babi Hutan itu kesenangan karena bertunangan denganku. Apalagi jika harus menikah. Duh, membayangkannya saja membuatku mual.” Dahiku langsung berkerut. Babi hutan katanya? Seburuk apa penampilan calon suami Keyla sampai membuat dia jijik begitu. Ayah datang mendekati kami. Pria itu menatapku dengan garang. “Jangan mengacau lagi!” tekannya seraya memasangkan cincin di jari manisku. Tiba-tiba Ayah menarik wajahku dengan kasar. “Dengar Keyra, Ayah tidak akan bersikap kasar jika kamu bisa nurut. Lagipula ini demi kebaikanmu. Keyla itu siswa berbakat dan genius. Masa depannya akan hancur jika dia harus menikah di usia muda,” ujar Ayah. “Lantas bagaimana denganku? Apa Ayah pernah memikirkan masa depanku?” pekik ku dengan rasa kecewa yang menyesakkan dada. “Justru ini demi masa depanmu! Kamu yang lama tinggal di desa mempunyai kesempatan hidup lebih baik dengan pernikahan ini. Calon suamimu juga bukan orang sembarangan.” Aku tertawa mendengar ucapan Ayah. Masa depanku katanya? Astaga, lelucon macam apa ini? Tidak terasa air mataku tumpah. Rasa kecewa dan benci bercampur jadi satu. “Jangan memberontak lagi! Jika tidak, Ayah tidak akan segan menyekap Ibumu jika kamu membuat masalah lagi,” ancamnya. ***** Pada akhirnya, aku tetap berakhir di sini. Ijab Qobul baru saja diselesaikan dengan lancar pemuda di sebelah ku menyebut namaku di depan penghulu. Pernikahan ini dilaksanakan secara privat karena kami hanya Nikah Siri karena sama-sama masih SMA. Ku lihat Ayah sudah bergabung dengan Kakek dan keluarga mempelai Pria. Mereka terlihat senang karena kedua keluarga akhirnya bisa disatukan. Setelah ku dengar-dengar, ternyata pernikahan ini ada karena janji antara Kakek dan sahabatnya yang baru meninggal 2 Minggu yang lalu. Kakek khawatir umurnya tidak akan sampai sebelum menyatukan kedua keluarga. Makanya Kakek meminta pernikahan tersebut dilaksanakan lebih cepat. Sampai kami yang masih belum cukup umur ini harus terjebak dalam pernikahan atas permintaan mereka. Aku melirik ke samping. Pemuda yang sudah berstatus SAH sebagai suamiku hanya diam. Meski wajahnya terlihat datar, aku tahu dia juga menahan kesal. Entah kenapa aku malah teringat kata-kata Keyla yang menyebutnya sebagai ‘Babi Hutan’. Tanpa sadar aku terkikik geli karena panggilan nyeleneh itu terus terngiang-ngiang di kepalaku. “Hey, kamu. Ikuti aku!” Pemuda di sebelahku tiba-tiba bersuara memintaku untuk mengikutinya. Aku menurut saja karena sesak juga berada di sana karena wajah-wajah bahagia mereka membuatku semakin kesal. BRAKK! Aku terkesiap saat terdorong ke dinding oleh pemuda yang saat ini berstatus sebagai Suamiku. Kedua tangannya mencengkram bahuku. “Di mana Keyla?” tanya pemuda itu terlihat marah. “Mana ku tahu! Dia tidak ingin ikut ke sini. Carilah dia ke rumahnya,” balasku malas. “Kenapa kamu menggantikan posisi Keyla? Seharusnya dialah pengantinku. Bahkan aku sudah bersiap untuk mengejutkannya. Tapi..., semua berantakan gara-gara kamu!”Aku diseret dari kampung untuk dipaksa menikah, sosok ayah yang selalu aku rindukan berubah menjadi iblis yang mengancam akan menyekap Ibuku. Lalu, lelaki yang kini berstatus suamiku menyalahkan diriku atas segalanya. Sial sekali nasib ini! Emosi hampir saja meledak jika tidak ingat nyawa ibuku yang jadi taruhan.Aku terkekeh menertawakan kemalangan diriku sendiri. Lebih sakit lagi, lelaki yang tidak tahu apa-apa itu melampiaskan kemarahan padaku. Ku tarik dagunya menghadapku.“Abizar Bimantara, itu kan namamu? Dengar ini baik-baik ya Abizar! Kamu pikir aku mau dengan pernikahan konyol ini? Aku juga sama sekali tertarik untuk merusak pertunangan mu dengan Keyla. Dia lah yang memaksa ku untuk menggantikan dirinya. Jika mau menyalahkan, jangan salahkan aku. Karena kita sama-sama korban di sini!” tegasku padanya.Lantas aku mendorong Abizar. Ku tinggalkan begitu saja ‘Suamiku’ yang masih terbengong di sana. Sialan! Siapa juga yang mau dengan pernikahan ini, Bajingan?!Aku melangkahkan ka
Aku terus memikirkan alasan paling masuk akal mengenai Pernikahan yang menimpaku karena menggantikan Keyla. Jika hanya sebatas janji yang dibuat Kakek dan sahabatnya, tidak mungkin keluarga pihak laki-laki akan menerima begitu saja. Ternyata, setelah aku tak sengaja mendengar ucapan Abizar hari ini aku tahu alasan utama mereka menerima perjodohan itu untuk menyelamatkan Keyla. Yang membuatku bingung, mereka menyelamatkan Keyla dari apa? Aku tidak merasa ada sedikit pun kekurangan dari kembaranku itu. Entahlah, mungkin bisa jadi terjadi sesuatu setelah kami berpisah selama 10 tahun. Hal ini membuat rasa penasaranku memuncak sehingga aku masih bersembunyi untuk lanjut menguping pembicaraan Abizar dan Tante Sandra. “Abizar, Mama sudah bilang jangan bahas ini lagi!” sentak Tante Sandra. “Bagaimana mungkin, Ma?! Haruskah kita tetap diam dan melihat dia semakin hancur di sana?” balas Abizar. Aku semakin bersemangat mendengar percakapan itu. Saat aku berniat untuk menguping lebih dekat,
Bel istirahat berbunyi melalui spiker yang dipasang pada langit-langit kelas. Guru langsung pamit dari kelas meski pembelajaran belum tuntas. Yoshh! Aku bisa keliling sekolah! Sejak tadi pagi aku selalu penasaran dengan berbagai sudut dari sekolah ini. Akan tetapi, sepertinya rencanaku tak akan bisa mulus. Teman-teman sekelas ku tiba-tiba bergerombol mengelilingiku. ‘Apa? Kenapa mereka menatapku begitu?’ Mereka menatapku dari dekat seolah aku ini barang pameran. Astaga! Sebenarnya apa yang salah dengan mereka? “Keyra, bisakah kamu tersenyum seperti tadi?” Seorang gadis yang berdiri tepat di depan meja ku membuka suara. Dahi ku berkerut bingung. Tatapan mereka seolah penuh harap. Hanya untuk sebuah senyuman. Dengan kikuk aku menuruti kemauan mereka. “Be-beginikah?” tanya ku dengan gugup setelah menaikan kedua ujung bibirku membentuk lengkungan bulan sabit. Mereka langsung bersorak saat aku memberikan sebuah senyuman. Adapula pemuda yang tersipu dan langsung melarikan diri deng
Aku berusaha mengejar Keyla yang memasuki mobilnya. "Keyla, tunggu!" Ku panggil dia dengan suara lantang. Lantaran padatnya parkiran, mungkin Keyla tak mendengar suaraku. Sehingga aku tak bisa menghentikan mobilnya yang meninggalkan parkiran sekolah. "Aih, astaga! Keyla, tunggu aku!" Aku masih berteriak sekencang mungkin berharap Keyla akan berhenti. Tetapi karena kebodohan ku itu, aku menjadi pusat perhatian. Lantaran terlanjur malu, aku buru-buru pergi. Mungkin aku harus menelpon Papa untuk menjemput ku karena aku juga tidak ingat di mana alamat Rumah Abizar. Ketika melewati koridor yang mulai sepi, Abizar yang entah muncul dari mana menarik lenganku. Dia menggeretku masuk ke dalam sebuah ruangan yang letaknya di pojok sekolah. "Apaan, sih?!" sentak ku pada Abizar. "Jangan dekati Keyla! Jangan sampai dia tahu mengenai hubungan kita!" hardik Abizar. Dahiku langsung berkerut. "Maksud mu apa? Bukankah kalian sudah saling kenal? Apa salahnya aku ingin tahu?" balas ku tajam.
Setelah kejadian tak mengenakan beberapa hari yang lalu, hubungan ku dan Abizar semakin senyap. Meski pemuda itu sudah mau bergabung bersama di meja makan, namun sikapnya masih acuh tak acuh padaku. Yah..., terserahlah! Aku juga sudah muak kepadanya. Dapat ku rasakan beberapa kali pemuda itu menatapku saat kami bertemu di meja makan. Namun aku berusaha mengabaikannya lantaran jika balik ku tatap, Abizar akan mengalihkan pandangannya. Menyebalkan bukan?! Untuk selanjutnya, aku ingin menjalani kehidupan sekolah ku dengan nyaman. Setelah lulus SMA, aku akan membicarakan masalah perceraian kami ke kedua orangtua Abizar. Ku hembuskan napas berat mengingat semua beban yang harus aku tanggung sekarang. Aku hanya menatap kosong pada kumpulan bunga pada taman di depan rumah Abizar. Meski di tengah gelapnya malam, bunga-bunga mawar yang berjejer itu terlihat indah dengan sedikit memantulkan cahaya lampu penerangan di taman. Tanpa sadar aku tersenyum melihat keindahan yang begitu memuka
Baru ingin melangkah, Abizar tiba-tiba memanggilku. Seketika jantungku rasanya ingin copot. Gugup bercampur malu lantaran aku curiga Abizar sempat melihat kejadian barusan. Terpaksa aku berbalik menghadap Abizar. Pemuda itu sudah tidak bersandar. Dia juga melepas salah satu earphonenya sembari mendekatiku. Aku tersenyum canggung untuk menutupi rasa gugupku. Tatapan Abizar kepadaku seperti tengah memikirkan sesuatu karena dahinya terlihat sedikit berkerut. “Ada yang bisa ku bantu?” Aku bertanya dengan senyum masih terpatri di wajahku. Ku harap wajah sembabku tak begitu nampak. Aku juga menghindari tatapan Abizar karena rasanya seperti ter-intimidasi. Apalagi dengan kediaman Abizar yang mengundang keresahan. ‘Apa? Kenapa? Bicaralah sesuatu!’ batinku mulai tak sabar. Kaki ku rasanya mulai kesemutan menunggunya bicara. Namun Abizar masih diam dengan mata yang tak beralih dariku. Aku semakin tak nyaman. Ekspresi datar Abizar saat ini membuatku sulit menerka isi pikirannya. “Maaf,
Abizar sangat tak masuk akal. Dia menuduh ku sembarang. Kapan aku pernah bertemu dengan pemuda asing itu? Apalagi menghina. Aku sama sekali tak ingat pernah bertemu dengannya. “Aduh..., kamu nggak salah Abizar? Coba ingat-ingat dulu. Sepertinya itu Keyla bukan aku. Soalnya-” “Kamu nuduh Keyla?!” berang Abizar. “Lah, kamu nuduh aku!” Ku balik pernyataannya karena kekesalan ku sudah mencapai puncak. Wajah Abizar meradang. Namun aku juga tak takut balik menantangnya. Siapa di dunia ini yang mau dituduh akan kesalahan yang tak pernah diperbuatnya? Kami beradu tatap beberapa saat. Tunggu! Buat apa aku buang-buang waktu untuk meladeninya? Aihhh..., mending aku berangkat sesuai agendaku hari ini. Daripada aku terlambat untuk persiapan jam olahraga. “Sudahlah. Aku malas berdebat denganmu. Aku harus berangkat sekarang. Bye!” Aku berbalik untuk pergi ke mobil yang sudah siap mengantarku ke sekolah. Grep! Lagi! Abizar menahan lenganku. Kedua pelipisku berkedut kesal. Ku hembuskan napas de
Seperti kata Keyla sebelumnya, aku harus pulang ke rumah Ayah. Saat menunggu Keyla di parkiran, aku malah bertemu dengan Abizar yang kebetulan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Keyla. Mata Abizar memicing tajam karena kehadiranku di sana. Pasti dia bersiap mengomeliku karena dipikirnya ingin mengganggu Keyla. Aku mengisyaratkan kepada Abizar dengan gelengan saat pemuda itu ingin menghampiriku. Namun yang namanya Abizar, dia tak mengindahkan kode dariku. “Mau apa kamu di sebelah mobil Keyla?” tanya Abizar. Aku berdecak pelan sambil mendelik kesal padanya. Ku lihat sekeliling takut ada yang memergoki kami lagi. Terutama dua gadis yang sudah masuk dalam daftar hitam milikku. “Pergi sana! Aku di sini cuma mau menunggu Keyla. Dia bilang, Ayah memintaku untuk pulang!” beberku dengan sedikit berbisik. Akan tetapi wajah Abizar semakin tak enak dipandang. Dengan wajah yang tertekuk seolah tak percaya dengan kata-kataku. “Aku serius, Abizar! Keyla yang memintaku untuk menunggu agar ka
Pagi harinya, Keyra menuruni tangga dengan perasaan yang campur aduk. Kepalanya dipenuhi bayangan percakapan semalam dengan Abizar. Ketika sampai di ruang makan, dia melihat Tante Sandra sudah duduk di sana, menikmati sarapan pagi sendirian.Sudah 2 Minggu Om Rudi dan Kak Rangga belum pulang. Sedang disibukan mengurus proyek dengan perusahaan Ayah Keyra. Abizar juga belum kelihatan keluar kamar. Terpaksa Keyra harus menghadapi Tante Sandra sendiri.Dengan ragu-ragu, Keyra mendekat ke hadapan wanita itu. “Pagi, Ma!” sapa Keyra pelan.Tante Sandra menghentikan aktivitas makannya, lalu menatap Keyra sambil tersenyum lembut. "Pagi Keyra. Duduklah! Kita sarapan bersama,” ujar Tante Sandra dengan nada lembut seperti biasa.Keyra menelan ludah, merasakan jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Dia tahu Tante Sandra tengah menyimpan sesuatu di balik senyum itu. Dengan hati-hati, Keyra mengambil kursinya dan duduk. Pelayan menghidangkan sarapan di depannya, tetapi gadis itu tidak memiliki nafsu
Hai, Blue Ice di sini..., Untuk alur agar terlihat lebih terbuka, Mimin ganti menjadi normal POV ya. Karena setelah plot ini, akan banyak rahasia yang terbuka di mana itu sangat penting untuk kematangan cerita ini. Jadi, Happy Reading!...Keyra tiba baru pulang dari kerja part time di jam 8 malam. Gadis itu melangkah dengan hati-hati lantaran takut akan bertemu Tante Sandra. Dia sudah berulangkali ditanyai karena selalu pulang malam. Apalagi akhir-akhir ini, Tante Sandra mulai curiga.Setidaknya sampai Nenek mengabarinya untuk pindah ke tempat baru, Keyra akan menjelaskan semuanya ke Tante Sandra sekaligus meminta maaf karena telah berbohong. Maka dari itu, sebelum ada kejelasan dari Nenek, Keyra harus sebisa mungkin menghindar.‘Kayaknya aman, deh!’ batin Keyra.Saat ini dia sudah mencapai tangga menuju lantai dua. Sepanjang jalan, dia tak bertemu dengan Tante Sandra. Keyra menghela napas lega. Dia segera ke atas agar bisa mandi dan istirahat. Meski beberapa pelayan menatap ane
Hari pertama aku bekerja di kafe ternyata lebih lancar dari yang ku bayangkan. Awalnya, aku sempat gugup saat menerima pesanan pertama, takut melakukan kesalahan, tetapi para pelanggan cukup ramah, dan teman-teman kerjaku juga membantu. Aku mulai terbiasa mencatat pesanan, mengantar makanan, dan memastikan meja tetap bersih. Rasa gugupku juga sedikit berkurang karena Kevin menemani sejak kami pulang sekolah. Kevin duduk di ruang Karyawan, sesekali keluar untuk menanyakan keadaanku.“Aman, Ra?” tanya Kevin saat keluar dari ruang Karyawan, kalo tidak salah yang keempat kali dia bertanya hal yang sama.“Aman, Vin!” balasku dengan mancungkan jempol padanya.“Atau kamu makan dulu, Ra. Isi tenaga gitu, mumpung agak senggang,” ujar Kevin.Aku menarik napas perlahan. Lalu menatap Kevin dengan tersenyum. “Vin, aku baru 15 menit yang lalu menghabiskan roti yang kamu kasih. Jadi, aku masih kenyang sekarang. Terima kasih, ya!” ujarku menahan agar tak berkata kasar pada anak pemilik Cafe itu.“O-
Sepulang sekolah, aku berencana tidak langsung pulang ke rumah. Aku mengabari Tante Sandra bahwa kau harus kerja kelompok di rumah teman.Itu alasan yang ku susun agar aku punya waktu untuk mencari pekerjaan paruh waktu. Aku butuh langkah nyata untuk melepaskan diriku dari semua keterikatan di kediaman Bimantara.Aku sudah cerita ke teman-temanku bahwa akan mencari pekerjaan paruh waktu untuk mengisi hari usai pulang sekolah. Mereka nampak terkejut dan mulai melayangkan berbagai pertanyaan.“Kamu mau nyari kerja apa, Ra? Emang kamu kekurangan apa ya, Ra? Apa Bokapmu kurang uang?” tanya Giselle penasaran.“Enggak gitu. Aku cuma mau nyari uang sendiri, Kan, enak gitu, kalo kita punya simpenan sendiri,” jelasku agar tak dipandang aneh oleh mereka.“Loh, katanya kamu nggak serumah sama Keyla. Apa mungkin kamu beneran lagi butuh uang, Ra. Please bilang sama kita, biar kita bisa bantu,” kata Ririn.Aku tersenyum mendengar mereka khawatir. Setidaknya mereka menjadi alasanku bersyukur bisa di
Pagi itu, aku terbangun lebih awal dari biasanya. Matahari bahkan belum sepenuhnya muncul di ufuk timur, tapi aku sudah siap dengan seragam sekolahku. Aku melirik jam dinding dan menghela napas lega. Ada cukup waktu untuk pergi sebelum sarapan dimulai.Aku menarik laci meja belajarku. Ada sebuah benda yang harus ku bawa ke sekolah. Hari ini, aku akan menyelesaikan masalah yang membuatku terjebak dalam situasi tidak jelas ini.Tas ranselku sudah kugantungkan di bahu saat aku melangkah keluar kamar dengan hati-hati, berusaha tidak menimbulkan suara. Namun, baru saja aku sampai di ruang tengah, suara Tante Sandra menghentikanku.“Keyra, kenapa sudah mau berangkat sepagi ini? Sarapan dulu, Nak,” katanya dengan senyum hangat.Aku berbalik dengan senyum kaku, berusaha terlihat tenang. “Maaf, Ma. Kelasku hari ini bertugas untuk Upacara. Sedangkan, beberapa hari minggu kemarin kami sibuk dengan kegiatan. Makanya kami harus latihan pagi ini. Maaf ya, Ma. Aku nggak bisa ikut sarapan,” jelasku a
Aku merasa seluruh tubuhku begitu lelah. Seharian berada di pesta Nenek Bimantara sungguh menguras energi. Apalagi ada kejadian menegangkan saat penyusup membobol ruang penyimpanan. Aku hanya berharap Keluarga Suamiku tidak lagi membahas kejadian malam ini. Dengan langkah letih aku memasuki mobil. Ternyata Kak Rangga ikut bergabung di mobil kami. Dia duduk di sebelah Abizar, sehingga posisi kami menjadi Abizar-Kak Rangga-Aku. Kami masih harus menunggu Om Rudi dan Tante Sanda yang masih sedikit berbincang dengan Ayah.Aku menahan agar tak menguap lebar saat kantuk mulai menyerang. Kakak Adik di sebelahku juga hanya saling diam, membuat suasana semakin membosankan. Lantaran tidak ingin tenggelam dalam kebosanan, aku mulai bersuara.“Kak Rangga nggak bawa mobil?” tanyaku penasaran, karena Kak Rangga datang ke pesta ini setelah pulang dari kota lain. Mana mungkin tidak bawa mobil sendiri, pikirku.“Ada!” balas Kak Rangga sesuai dengan tebakanku. “Tapi Kakak malas bawa mobil sendiri. Ma
Ada suara pecahan dari lantai dua yang membuat kami bergegas untuk memeriksa ke sana. Kami mengikuti Kak Rangga dan pelayan menuju ruang penyimpanan, yang terletak di beberapa ruangan di lantai dua. Aku tidak tahu apa gunanya ruang penyimpanan sebanyak itu. Apa mereka tidak pusing saat ingin mencari sesuatu.“Ruangan ini yang terkunci, Tuan! Tadi saya sementara membereskan pajangan koleksi Nyonya Besar di ruang sebelah. Tetapi saya mendengar suara dari dalam ruangan ini, saat saya ingin memeriksa, ternyata pintunya terkunci dari dalam,” ujar pelayan itu.Wajah Kak Rangga mengeras. Dia langsung menggedor pintu itu tanpa perasaan."Apa ada orang di dalam?" tanya Kak Rangga, suaranya dingin dan tajam. Tidak ada jawaban.Kami juga tidak mendengar suara apa pun dari dalam sana. Apa mungkin kami hanya salah mengira saja?“Za, ruang itu tempat apa?” tanyaku penasaran."Ini tempat penyimpanan dokumen berharga keluarga," bisik Abizar di telingaku. "Tidak sembarang orang bisa masuk ke sini. Pin
_"Tadi aku mendengar sedikit percakapan di meja makan. Tentang proyek keluargamu dan revisi proposal itu,” ujar Nenek.Tubuhku menegang. Pikiranku mulai bergerak liar memikirkan jawaban untuk pertanyaan Nenek nanti._Aku menggigit bibir bawahku karena masih was-was menunggu Nenek melanjutkan ucapannya. Raut wajah Nenek melunak saat menatapku. Dia menangkup pipiku dan mengusapnya perlahan."Menurutku, kau sudah melakukan yang terbaik. Dan keputusan Rangga sudah final. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku," katanya sambil melirik sekilas ke arah Kak Rangga. "Kenapa aku merasa proyek ini membawa lebih banyak ketegangan daripada manfaat?" lanjut Nenek.Aku bingung dengan arah pembicaraan ini, tetapi Kak Rangga akhirnya angkat bicara. "Proyek ini, Nek, memang besar. Tapi masalahnya bukan pada proposal atau kesepakatannya. Masalahnya adalah ego yang terlalu besar dari beberapa pihak yang terlibat,” kata Kak Rangga.Aku menunduk sedikit, merasa tidak nyaman. Kak Rangga yang di se
Acara di kediaman utama Bimantara telah selesai 2 jam yang lalu. Namun aku dan anggota Bimantara lainnya masih menetap di sana. Bahkan Ayah dan Keyla juga belum pergi. Mereka masih berkumpul sambil berbincang-bincang di meja bundar besar.Hanya Nenek dan Kak Rangga yang tidak ada, entah mereka pergi kemana. Aku yang juga belum bisa pulang mengikuti Tante Sandra yang duduk di dekat Keyla.“Bagaimana dengan proyek kita, Wira?” tanya Om Rudi.“Sudah mulai berjalan, Rud. Tetapi aku masih berat dalam biaya karena banyak bahan-bahan baru yang ditambahkan,” balas Ayah sembari melirik sinis ke arahku.Tubuhku langsung meremang saat teringat proposal bisnis dari Ayah yang sudah ku perbaiki bersama Abizar. Sepertinya Ayah masih tidak senang dengan perjanjian yang disetujui Kak Rangga. “Bukankah kamu sudah priksa bersama Rangga? Mengapa kamu sampai sekarang masih keberatan dengan persetujuan finalnya?” tanya Om Rudi yang bingung dengan keluhan Ayah.Tubuhku semakin tegang mendengar percakapan i