Baru saja aku hendak melangkah, suara Abizar menghentikanku. Jantungku seperti ingin copot. Gugup bercampur malu, apalgi yang mau dia bicarakan denganku? Aku menghela napas sebelum berbalik menghadapnya.
Mata Abizar tajam menatapku, seolah sedang menimbang sesuatu. Dahinya sedikit berkerut, membuatku semakin tak nyaman. Aku tersenyum canggung, berusaha menyembunyikan kegugupanku.
“Ada yang bisa kubantu?” tanyaku, mencoba terdengar santai.
Aku berharap wajah sembabku tak terlalu mencolok. Tatapan Abizar begitu menusuk, membuatku ingin berbalik saja. Namun, dia tetap diam. Ketenangannya justru semakin mengintimidasiku.
‘Apa sih? Kenapa malah diam? Bicara sesuatu, dong!’ batinku mulai frustrasi.
Kakiku mulai kesemutan, sementara Abizar masih terpaku menatapku tanpa sepatah kata pun. Aku menggigit bibir, lalu akhirnya memberanikan diri bersuara.
“Maaf, ada apa ya? Ka-kalau tidak ada, aku mau ke kamar dulu.”
Abizar seperti tersadar dari lamunannya. Sekilas aku melihat dia menelan ludah sebelum buru-buru mengalihkan pandangannya.
“Tidak! Tidak jadi!” ujarnya cepat, lalu pergi begitu saja.
Aku melongo. Nah, lihat, kan? Betapa tidak jelasnya pemuda satu ini. Rasanya ingin melempar sandal ke punggungnya yang mulai menjauh.
“Apa-apaan sih? Tiba-tiba manggil, terus pergi gitu aja? Nggak ada penjelasan sedikit pun? Dasar nggak jelas!” aku menggerutu sepanjang jalan menuju kamar.
Padahal, ini bisa masuk rekor MURI, pertama kalinya Abizar memanggilku sejak insiden di sekolah beberapa hari lalu. Sayangnya, aku tak tahu apa yang ada di kepalanya.
‘Kenapa dia malah diam? Apa dia melihatku menangis di taman tadi?’
Astaga. Kalau benar, aku ingin menggali lubang dan mengubur diri sekarang juga!
“Semoga nggak... semoga nggak...” gumamku, mengubur wajah di bantal.
Sudahlah. Aku harus tidur. Besok ada Pelajaran Penjaskes di jam pertama, dan aku harus fit untuk mata pelajaran favoritku. Ku pejamkan mataku sampai tidak sadar terlelap dengan sendirinya.
.
.
.
Pagi-pagi sekali aku sudah siap berangkat sekolah. Setelah memastikan membawa baju Olahraga di tas, aku segera turun ke lantai bawah dengan langkah ringan. Hari ini, aku ingin berangkat lebih awal. Selain karena ada pelajaran Penjaskes di jam pertama, aku juga tak mau berlama-lama satu meja makan dengan Abizar.
Namun, rencanaku sepertinya harus kandas.
Saat aku tiba di ruang makan, Tante Sandra sudah duduk di sana, menyeruput teh hangatnya dengan anggun. Tatapannya langsung tertuju padaku.
“Kamu mau berangkat?” tanyanya tenang.
Aku sedikit tersentak, tetapi segera mengangguk. “Iya, Ma. Aku mau berangkat lebih awal.”
Tante Sandra menaruh cangkirnya, lalu menatapku lebih dalam. “Untuk sementara, kamu berangkat dengan Abizar saja.”
Aku mengerutkan kening. “Tapi, kenapa, Ma?”
“Mama butuh mobil untuk acara penting hari ini,” jawabnya singkat namun tegas.
Aku menghela napas pelan. Jadi, aku tetap harus satu mobil dengan Abizar?
Melihat ekspresiku yang kurang senang, Tante Sandra menambahkan, “Jangan khawatir, ini hanya sementara. Lagipula, kalian harus tetap berhati-hati di sekolah. Jangan sampai ada yang curiga dengan hubungan kalian.”
Peringatan itu membuatku sedikit tegang. Aku paham maksudnya, tapi rasanya tetap berat menjalani situasi ini. Tolonglah, aku masih tidak ingin bersitatap dengan Abizar karena rasa mau yang luar biasa karena kejadian semalam.
Belum sempat aku menjawab, suara langkah terdengar dari tangga. Abizar turun dengan gaya khasnya yang santai, tanpa ekspresi, dengan tas yang disampirkan di bahunya.
Dia melirikku sekilas sebelum duduk dan mulai sarapan. Aku menggigit bibir. Apakah Abizar sudi jika aku numpang di mobilnya?
“Abizar, kamu berangkat dengan Keyra, ya. Mama mau pakai mobil hari ini,” ujar Tante Sandra membuatku semakin gugup.
“Oke Ma!” balas Abizar terdengar santai.
Aku langsung menoleh dengan tak percaya. Wah, dia beneran mau berangkat denganku?
“Jadi, Keyra mau kan berangkat bersama Abizar?” tanya Tante Sandra padaku.
Aku sedikit gelagapan. Namun sepertinya aku tak punya alasan untuk menolak “Iya, Ma,” ujarku akhirnya.
Tante Sandra tersenyum puas. “Bagus. Sekarang, makan dulu sebelum berangkat.”
Kami melanjutkan sarapan dalam keheningan. Hingga tak terasa makanan di piringku sudah habis. Bersamaan dengan itu, Abizar juga berdiri dari kursi, bersiap untuk berangkat.
Aku ikut beranjak dan mengikutinya menuju mobilnya yang sudah dikeluarkan di halaman. Abizar masuk terlebih dahulu ke kursi kemudi.
Aku juga membuka pintu mobil dan tanpa pikir panjang langsung duduk di kursi belakang. Duduk di sini jauh lebih aman. Aku tidak perlu berbicara atau sekadar melirik ke arah Abizar.
Namun, baru saja aku hendak menarik napas lega, suara Abizar terdengar tajam.“Aku ini bukan sopirmu.”
Aku menegang. Dalam kaca spion, aku bisa melihat dia menatapku dengan tatapan tajam penuh protes.
“Apa?” tanyaku pura-pura tidak mengerti.
“Duduk depan!” sentak Abizar.
Aku ingin membantah, tapi melihat ekspresinya yang sudah jelas tidak mau kompromi, aku memilih untuk menyerah. Menghela napas, aku membuka pintu dan berpindah ke kursi depan dengan enggan.
Begitu aku duduk, Abizar langsung menyalakan mesin tanpa berkata apa-apa. Mobil melaju dengan tenang, tapi suasana di dalamnya sama sekali tidak nyaman.
Aku menatap lurus ke depan, berusaha tidak memikirkan betapa canggungnya ini. Abizar tetap diam, fokus ke jalan dengan ekspresi datar.
Jantungku semakin berdebar saat kami semakin dekat dengan sekolah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika ada teman-teman yang melihat kami datang bersama.
Saat gerbang sekolah mulai terlihat di kejauhan, aku segera bersuara. “Berhenti di sini,” pintaku.
Abizar tidak langsung merespons, tetapi aku bisa melihat alisnya berkerut. Jadi, aku meminta sekali lagi, “Hentikan mobilmu sekarang, Please!”
“Kenapa?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.
“Aku nggak mau ada yang lihat kita datang bareng,” jelasku jujur.
Abizar menghela napas panjang. “Serius? Nggak bisa langsung turun di sekolah aja?”
Aku menggeleng cepat. “Nggak. Aku turun di sini aja,” jawabku. Soalnya mumpung jalanan menuju sekolah sedang tidak banyak kendaraan lalu lalang juga. Aku rasa itu tempat yang tepat untukku berhenti agar tak dilihat siswa lain.
Abizar tampak malas, tetapi setelah beberapa detik berpikir, dia akhirnya menginjak rem dan menghentikan mobil di pinggir jalan pertigaan.
“Terserah,” gumamnya, terdengar sedikit kesal.
Aku segera membuka pintu dan turun dengan cepat. Begitu pintu tertutup, Abizar langsung melajukan mobil tanpa basa-basi. Aku mengembuskan napas lega. Setidaknya, aku berhasil menghindari risiko ketahuan.
Namun, di balik kelegaan itu, aku tidak bisa mengabaikan satu hal, kenapa jantungku masih berdetak tidak karuan setelah berada di mobil bersamanya? Apa karena ini pertama kalinya kami bisa semobil hanya berdua saja?
“Astaga Keyra! Stop memikirkan dia. Sekarang yang lebih penting cepat ke kelas saja!” monologku dengan menepuk pipiku sendiri cukup keras. Setelah itu, Aku melanjutkan langkahku menuju gerbang sekolah yang masih berjarak
Aku berjalan menuju gerbang sekolah dengan langkah cepat, berharap bisa segera masuk tanpa gangguan. Namun, takdir sepertinya masih suka bermain-main denganku.Sebuah mobil mewah berhenti tidak jauh dari gerbang, dan aku langsung mengenali pengemudinya yang baru keluar dari sana, Keyla.Gadis itu turun dengan anggun dari dalam mobil, lalu tatapannya langsung menangkap sosokku yang berjalan kaki. Senyum penuh ejekan segera terukir di wajahnya.“Eh? Kok jalan kaki?” serunya dengan nada mengejek. Langkahnya ringan saat mendekatiku, sementara aku berusaha menahan napas agar tidak langsung kehilangan kesabaran.Aku hanya diam, berharap dia cepat bosan dan pergi. Namun, tentu saja Keyla tidak akan melewatkan kesempatan untuk menyindirku.“Ke mana sopir keluarga Bimantara? Kok nggak ada yang nganterin kamu? Jangan bilang mereka udah nggak peduli sama kamu, ya?” Keyla tertawa.Aku menghembuskan napas pelan. Wajah Keyla nampak sekali tengah mengejekku. Aku menatapnya datar.“Tante Sandra sedang
Senja mulai merayap di langit ketika aku menunggu dengan bosan di dalam mobil Abizar. Lantaran si pemilik mobil masih ada rapat OSIS. Tadi dia bilang tidak akan lama. Ternyata semua itu hanya kebohongan belaka karena sampai sekarang, sudah jam 5 lewat dia belum juga nampak.Sebenarnya aku ingin naik taksi untuk pulang duluan. Tetapi Abizar melarang dengan mengancam akan mengadu ke Tante Sandra. Terpaksa aku masih menetap untuk menunggu Abizar agar bisa pulang bersama.Aku memasuki mobilnya secara diam-diam setelah dia memberiku kunci mobilnya. Sekarang aku yang menyesal masuk terlalu cepat karena perutku mulai keroncongan. Jika ingin keluar lagi, aku harus memastikan kondisi di luar aman dan tidak ada yang akan melihatku.Lantaran tidak ingin mengambil resiko. Aku memilih berdiam saja di dalam sana. Beberapa aku ingin terlelap, sampai akhirnya ku dengar suara berisik dari luar.“Abizar, tunggu sebentar!” Terdengar suara Keyra mendekati tempatku.Dan, benar saja! Ketika aku mencoba untu
Mobil melaju melewati gerbang kediaman Bimantara dan berhenti di depan halaman utama. Begitu mesin mobil dimatikan, aku langsung membuka pintu dan turun tanpa menunggu Abizar.Aku berjalan cepat menuju pintu masuk, tetapi langkahku terhenti ketika suara pintu mobil Abizar dibanting dengan keras. Aku menghela napas panjang. Jelas sekali dia masih kesal.Saat aku hampir mencapai pintu, suara langkah kaki Abizar yang berat terdengar semakin dekat. Dan sebelum aku sempat masuk ke dalam, dia sudah lebih dulu menahanku dengan meraih pergelangan tanganku."Apa?" tanyaku datar, berusaha menahan diri.Abizar tidak langsung menjawab. Sorot matanya tajam, penuh tekanan. Aku tahu dia masih belum puas dengan sikapku di sekolah tadi."Kamu nggak bisa sedikit lebih peka, ya?" suaranya dalam, terdengar seperti sedang menahan diri agar tidak meledak.Aku mendengus. "Aku yang harus lebih peka? Bukannya justru kamu yang bertindak sembrono di sekolah tadi?" Aku menarik tanganku dari genggamannya, menatapn
Aku bersiul pelan saat keluar dari kamarku. Sekarang masih di pukul 06.30 tetapi aku harus segera berangkat karena ada jadwal piket kelas. Akan tetapi, saat aku turun ke lantai bawah, aku melihat sosok asing duduk di samping Abizar. Aku terdiam di anak tangga terakhir. Siapa lagi pemuda ini? Dia terlihat akrab dengan Abizar lantaran beberapa kali mengusak rambut Abizar yang biasanya selalu tertata rapi. Tante Sandra juga terlihat sesekali mengomelinya. Lalu mereka semua menyambutnya dengan tawa. Vibesnya sangat berbeda dengan keluarga Bimantara biasanya. “Ah, kemari sayang!” panggil Tante Sandra saat sadar akan keberadaanku. Aku sedikit gelagapan saat semua mata menatap ke arah ku. Karena sudah dipanggil, aku ikut bergabung dengan mereka di meja makan. Aku duduk di samping Tante Sandra yang mana itu tepat di depan pemuda asing tadi. Ketika melihatnya dari dekat, aku baru sadar ada bekas luka di bagian dahi pemuda asing itu. Luka yang terlihat cukup parah karena hampir seperempat w
Sepanjang pelajaran berlangsung, aku tak bisa fokus. Aku kepikiran masalah tadi pagi. Aku masih penasaran dengan tuduhan Abizar padaku. Belum lagi sikap Kak Rangga yang berubah 180 derajat saat tahu namaku.Sebenarnya apa yang terjadi antara Keyla, Abizar dan Kak Rangga? Lalu, mengapa pula Abizar menuduhku sembarangan seolah kami pernah bertemu di masa lalu. Sekuat apapun aku mencoba mengulik ingatanku, aku tak bisa menemukan memori kebersamaan kami.Aku terkekeh pelan. Abizar pasti salah mengira Keyla adalah aku di masa lalu. Padahal aku sudah pindah dari kota sejak umur 7 tahun. Ya! Pasti dia salah paham."Keyra, maju ke depan!"Aku tersentak saat guru yang menjelaskan di depan memanggil namaku dengan raut wajah marah. Semua mata teman-teman sekelasku juga tengah menatapku. Astaga!Dengan terpaksa aku maju ke depan sesuai instruksi guru. Tatapan tajam Guru itu membuatku kikuk."Sebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dalam ilmu ekonomi!" tanya guru dengan suara tegas.Aku
Tak butuh waktu lama untuk kami tiba di rumah Ayah. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu mobil. Entah kenapa perasaanku masih tidak enak sejak Keyla memintaku untuk pulang bersama.“Silahkan, Non!” Aku tersentak karena keduluan Paman Sopir membukakan pintu untukku.“Ah, iya Paman. Terima kasih!” ujarku bercampur malu. Aku buru-buru turun untuk menyusul Keyla yang sudah sampai di depan pintu utama.“Eh, Sopir nggak usah ikut masuk!” kata Keyla dengan bersedekap dada.“Loh, kenapa? Paman juga pengawal yang ditugaskan Tante Sandra, kok. Tenang aja!” jelasku agar Paman bisa masuk juga.“Pokoknya nggak boleh! Papa bilang cuma kamu yang bisa masuk!” tekan Keyla.Aku menatap Paman dengan rasa bersalah. Aku memohon ke paman agar menunggu di luar saja. Meski dengan berat hati, Paman mengiyakan asal aku tidak lama-lama di dalam.Setelah itu, aku ikut Keyla masuk. Kami terus berjalan menuju lantai dua. Sampai ke ruang kerja Ayah, Keyla mengetuk pintunya.“Pa, dia udah di sini!” uja
“Sakit! Sakit, Yah! Tolong!” pintaku, suaraku bergetar di antara rasa sakit yang tak kunjung reda.Namun, Ayah hanya menatapku dengan ekspresi jengah. Tak ada belas kasih di matanya, seolah rintihanku hanyalah kebisingan yang mengganggunya.“Ck, dasar merepotkan! Makanya jangan memberontak!” hardiknya, sebelum menarikku berdiri dengan kasar.Aku terseret beberapa kali saat tak mampu mengimbangi langkahnya, tubuhku terantuk lantai dingin, tetapi Ayah tetap menyeretku tanpa peduli. Aku menggigit bibir menahan erangan, bukan hanya karena sakit kepala yang menyiksa, tetapi juga ketakutan yang menyesakkan dadaku.Saat mencapai teras depan, Ayah mendorongku begitu saja. Aku nyaris terhempas ke tanah jika bukan karena Paman Sopir yang sigap menangkap tubuhku.“Non, apa yang terjadi?” Suaranya penuh kepanikan.“Bawa dia kembali!” perintah Ayah, seakan aku hanyalah barang yang merepotkan.Paman Sopir menatapnya dengan ragu. “Tuan, Nona Keyra terlihat sangat kesakitan. Apa yang sebenarnya terjad
Abizar berdiri di hadapanku dengan mendengus sinis seolah jengah melihatku yang masih pucat itu. “Kalau memang tidak apa-apa tidak usah terlalu caper seperti tadi. Norak!” cibir Abizar. “Abizar!” tegur Tante Sandra. Pemuda yang ditegur hanya memutarkan bola mata. Mungkin dia pikir aku hanya pura-pura makanya dia jutek begitu. "Sepertinya dia sengaja merengek sakit begitu. Pasti ini yang disuruh sama Paman Wira, kan?" Abizar melempar dokumen ke atas meja. Aku mendelik saat menyadari dokumen itu adalah dokumen dari Ayah. Buru-buru aku menariknya dan menyembunyikannya. "Tidak, kok! Ayah tidak menyuruhku! Tidak ada hubungannya dengan dokumen ini," kilahku. Namun Abizar mendengus sinis. Apa mungkin dia sudah membaca isi dokumen? Makanya dia bisa menebak tujuan dari Ayah mengirim ku pulang. "Sudah! Sudah! Kalian jangan bertengkar lagi. Kasihan Keyra. Nanti dia bisa sakit kepala lagi kalau diteruskan." Tante Sandra segera menengahi. Abizar mencebik pelan sebelum pergi meninggalkan
"Kak, sebenarnya ada apa sih? Mama tiba-tiba berubah pikiran... Aku merasa ada yang disembunyikan dariku,” tanya Keyra.Saat ini mereka dalam perjalanan menuju sekolah. Kak Rangga hanya tersenyum kecil, pandangannya tetap fokus ke jalan."Sudah kubilang, ini demi kebaikanmu, Keyra. Fokus saja dengan sekolahmu,” jawab Kak Rangga.“Tapi Kak-”“ Jangan mikir yang aneh-aneh Keyra! Mama tidak mungkin melakukan ini untuk menyakitimu. Jadi, percaya pada kami ya!” potong Kak Rangga cepat.Bahu Keyra perlahan luruh dengan tak semangat. Begitulah akhir obrolan singkat itu tanpa Keyra tahu jawaban yang dia inginkan. Beriktunya, hanyalah keheningan yang mengisi perjalanan itu. Keyra melenguh bosan menatap jalan tanpa minat.Sesuai dengan permintaan keluarga Bimantara, Keyra sekarang diantar jemput oleh Kak Rangga. Gadis itu menatap jendela mobil dengan menopang dagunya. Helaan napas beberapa kali sudah keluar dari bibirnya.Dia sangat ingin memberontak agar bisa bebas dari keluarga Bimantara. Aka
Pagi harinya, Keyra menatap tampilan wajahnya di cermin. Matanya masih sayu dengan lingkaran hitam samar membuatnya seperti Panda. Gadis masih penasaran dengan sikap Ibu mertuanya semalam. Kesalahan apa yang sudah dia perbuat?Semalaman Keyra terus memikirkan alasan paling masuk akal yang bisa memancing amarah Tante Sandra. Namun semakin keras dia mencoba, kepalanya seperti akan meledak. Sampai-sampai Keyra tak bisa tidur karena belum bisa tenang.Gadis itu mengecek jam di arloji yang melingkar di pergelangan kirinya. Desahan lelah keluar dari bibirnya melihat sudah pukul 7 pagi. Dia harus berangkat sekolah. Jujur saja, Keyra ingin membolos.“Aih, apa sih, Keyra?! Semangat dong!” Keyra menepuk pipinya cukup keras. Tak seharusnya dia bermalas-malasan dalam menuntut ilmu.Dengan memaksakan diri, Keyra meraih tas ranselnya. Semoga saja dia tak salah memasukan buku ke dalam tas itu karena untuk saat ini, Keyra sangat malas untuk mengecek kembali bawaannya.Entah sejak kapan barang-barangn
Mobil putih perlahan melambat saat memasuki kediaman Bimantara. Mobil itu berhenti di depan teras utama. Sopir berlari keluar duluan untuk membuka pintu. Tante Sandra keluar terlebih dahulu, lalu seharusnya Keyra yang berikutnya keluar baru Abizar. Namun Keyra masih sibuk berperang dengan pikirannya sehingga tak menyadari mobil sudah berhenti. Abizar yang duduk di sebelahnya sampai harus menepuk pundaknya. Keyra langsung tersentak, tertarik kembali ke kenyataan. “Kita udah sampai. Ayo turun dulu!” kata Abizar. “O-oh... Emm, Mama mana?” tanya Keyra yang baru sadar Ibu Mertuanya tidak ada di sebelah. “Mama udah masuk duluan. Makanya jangan melamun terus sampai nggak sadar,” cibir Abizar. Keyra tertawa canggung sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Gadis itu segera melangkah keluar mobil dengan ragu. Abizar menghela napas saat Keyra masih berdiri di tempat. “Ayo masuk!” ajak Abizar. “Tunggu, Zar! Kamu tahu alasan Mama memanggil kita ke sini?” tanya Keyra. Abizar menggeleng.
Keyra sibuk melayani para pelanggan, bekerja dengan cekatan sambil mengantar pesanan dengan senyum ramah. Untungnya, hari ini terasa lebih tenang. Tidak ada Abizar yang mengawasinya di tempat kerja, membuatnya merasa sedikit lebih bebas.Sudah seminggu ini Abizar tak lagi menganggu Keyra di tempat kerja. Terkadang dia hanya menjemput Keyra saat pulang. Itu pun dengan berhenti jauh dari Kafe supaya tidak menarik kecurigaan.‘Dia jadi lebih lucu jika menurut begini. Seperti Puppy!’ Tanpa sadar Keyra tersenyum geli saat pikiran itu melintas di otaknya. Kak Devina yang memperhatikan Keyra dari tadi mulai merinding. Dengan sedikit ragu, Kak Devina menepuk bahu Keyra.“Kamu oke, Ra?” tanya Kak Devina.Keyra sempat tersentak karena tepukan itu. Dia menoleh ke Kak Devina wajah polos yang kebingungan.“Oke... Memangnya kenapa Kak?” balas Keyra.Kak Devina hanya bisa mencebik pelan. Rupanya gadis itu tak sadar jika sudah bertingkah aneh akhir-akhir ini. Sudahlah, lebih baik sekarang dia fokus k
Abizar semakin gencar mendekati Keyra. Dia tak pernah melewatkan kesempatan untuk berada di dekat gadis itu, baik di rumah maupun di sekolah. Dengan berbagai cara, Abizar selalu menemukan alasan untuk berbicara dengan Keyra, meskipun gadis itu seringkali berusaha menghindarinya. Namun, sekeras apa pun Keyra menolak, pesona dan ketulusan Abizar perlahan mulai meluruhkan pertahanannya.Bagaimana tidak? Abizar mulai nurut jika diberitahu. Dia juga sudah mengganti kendaraannya ke sekolah dengan mobil yang membuat sebagian besar nyinyiran untuk Keyra perlahan tenggelam. Pemuda itu benar-benar menunjukan niat untuk berubah seperti yang dia katakan sebelumnya.Akan tetapi, ada satu prilaku Abizar yang membuat Keyra jengkel. Di sekolah, Abizar semakin terang-terangan menunjukkan perhatiannya pada Keyra. Seperti sekarang ini, Keyra mengeram pelan saat melihat ada Abizar yang berjalan mendekatinya dari ujung koridor.“Teman-teman, kalian duluan aja ke kantinnya, ya! Aku hari ini mau mampir ke p
Abizar duduk sambil bersedekap dada. Bibirnya maju beberapa senti dengan mata menyipit yang tak lepas dari dua orang di depan sana. Keyra mengambil mangkok dan sendok dibantu oleh Kak Rangga. Dengan hati-hati mereka memindahkan bubur ayam ke mangkok.Lantas, bagaimana dengan Abizar? Pemuda itu sudah menawarkan diri untuk membantu. Akan tetapi, Keyra langsung menegaskan padanya untuk duduk saja.Yang membuat Abizar tidak terima, Keyra tak menolak bantuan dari Kak Rangga juga. Sungguh, pemandangan di depannya itu sangat tidak menyenangkan. Entah kenapa Abizar merasa panas tanpa sebab.Selang beberapa menit, Keyra meletakkan dua mangkuk bubur di atas meja, satu untuk Kak Rangga dan satu lagi untuk dirinya sendiri. Dia tersenyum lega, berpikir bisa makan dengan tenang sebelum berangkat sekolah. Namun, senyum itu langsung luntur saat dia mendengar suara gumaman protes di sebelahnya."Jadi... aku nggak dapet?" suara Abizar terdengar merajuk.Keyra melirik ke arah suaminya yang menatap dua m
Keyra tercekat di ambang pintu yang separuh terbuka. Seorang pria dengan jas rapi dan berdasi tersenyum ke arahnya. Di belakang pemuda itu ada sebuah mobil berwarna putih yang terparkir tepat di tengah halaman."Kak Rangga?!" lirih Keyra nyaris tak terdengar karena tenggorokannya mendadak kering.Dia tak menyangka akan kedatangan tamu tak terduga seperti Kak Rangga. Apalagi sebelum dirinya pindah beberap hari yang lalu, Kak Rangga masih di luar kota karena urusan pekerjaan. Kapan pria itu pulang?"Pagi, Keyra. Boleh aku masuk?" pinta Kak Rangga dengan tersenyum tipis.“Kakak, kapan pulang?” tanya Keyra.“Baru subuh tadi. Tapi Kakak masih mampir ke beberapa tempat sebelum ke sini. Kenapa?” tanya Kak Rangga.Keyra tak langsung menjawab. Dia menatap Kak Rangga dengan seksama. Dari raut wajah Kak Rangga, sepertinya Pria itu belum tahu jika Abizar juga pindah bersamanya.Lalu mata Keyra beralih ke kantong plastik yang tidak tahu berisi apa. Kak Rangga mengikuti arah pandang Keyra. Lalu dia
Pagi Harinya...Kepala Keyra menyembul dari pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Gadis itu menajamkan telinganya untuk mendeteksi keberadaan Abizar. Tidak ada yang menandakan kehadiran pemuda itu.‘Dia udah pergi sekolah, kan?’ harap Keyra sepenuh hati.PRANGGG!Baru saja akan menghela napas lega, Keyra mendengar suara gaduh dari dapur. Teringat kejadian kemarin saat Abizar hampir membakar dapur. Keyra tergegas ke dapur untuk memeriksa keadaan.Keyra bersiap akan berteriak dengan frekuensi tinggi namun tak jadi karena melihat pemandangan Abizar seperti ini. Mulutnya menganga tak percaya.Pemuda itu berdiri di depan kompor dengan celemek Doraemon yang entah dari mana dia dapatkan, sementara wajahnya terlihat serius saat membolak-balikkan sesuatu di wajan.Keyra bergidik. Ada sesuatu yang sangat salah dengan pagi ini. Pemandangan Abizar dengan celemek bermotif lucu itu membuatnya merinding sekujur badan."Kamu kena santet, Zar?" tanya Keyra dengan tatapan penuh curiga.Abizar menoleh sek
Abizar melangkah mendekati Keyra. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum sinis, tetapi matanya menatap tajam.“Romantis sekali, ya? Diantar pulang dengan penuh perhatian oleh Kevin. Aku jadi iri,” cibir Abizar.Keyra yang awalnya hanya ingin segera masuk kamar, kini menegang. Keningnya mengernyit saat menangkap nada sarkas dalam suara Abizar.“Jangan mulai deh, Abizar!” Keyra memutar tubuhnya, menatap pemuda itu dengan tatapan tajam. “Kevin cuma nganterin aku pulang karena udah malam. Lagian, kamu ngapain di sini?”Alih-alih menjawab, Abizar justru melipat tangan di depan dada, ekspresinya santai namun tajam. “Harusnya aku yang nanya. Kamu betah banget ya, jalan-jalan sama Kevin? Sampai-sampai lupa kalau punya suami yang nunggu di rumah.”Seketika, Keyra merasakan darahnya mendidih. “Suami?” Ia tertawa pendek, penuh sarkas. “Sejak kapan kamu benar-benar bersikap seperti suami?”Tatapan Abizar berubah sekilas, tapi dengan cepat dia menyembunyikannya di balik seringai kecil.“Pokokny