Aku hampir jantungan saat bertemu Abizar di pintu masuk. Apakah dia sudah dari di sana? Jantung ku berdegup kencang. Badanku mendadak beku seolah seperti maling yang ketahuan basah oleh tuan rumah.
Namun kemudian, aku mendesah lega saat ku sadari ada earphone yang terpasang di telinga Abizar. Itu berarti dia tidak mendengar apapun yang aku lakukan di luar karena telinganya sudah di sumpal. Akan tetapi, posisi Abizar yang hanya berdiri di sebelah pintu masuk seperti sedang bersembunyi membuat ku curiga. Ahh, entahlah! Aku mengendikan bahu memilih tak baku pusing dengan pemuda itu. Lebih baik aku segera masuk kamar daripada mematik masalah dengannya. "Hey, tunggu!" Baru ingin melangkah, Abizar tiba-tiba memanggil ku. Sepertinya dia tahu mengenai kejadian tadi. Aduh, malu sekali aku! Lantaran tak ingin terang-terangan ketahuan, aku terpaksa berbalik menghadap Abizar. Pemuda itu sudah tidak bersandar. Dia juga melepas salah satu earphonenya. Aku tersenyum canggung untuk menutupi rasa gugup ku. Tatapan Abizar kepadaku seperti tengah memikirkan sesuatu karena dahinya terlihat berkerut sedikit. ‘Apa? Kenapa? Bicaralah sesuatu!’ batinku mulai tak sabar. Namun Abizar masih diam dengan mata yang tak beralih dariku. Aku semakin tak nyaman. Ekspresi Abizar saat ini membuatku sulit menerka isi pikirannya. “Maaf, ada apa ya? Ka-kalau tidak ada, aku mau ke kamar dulu.” Akhirnya ku beranikan diri bersuara. Abizar terlihat tersentak lalu buru-buru mengalihkan pandangannya. “Tidak! Tidak jadi!” ujar pemuda itu lantas pergi begitu saja. Nah, lihat, kan? Betapa tidak jelasnya pemuda satu ini. Bibirku sudah berkedut ingin melontarkan sumpah serapah ke punggung yang mulai menjauh itu. “Ada apa dengannya? Tiba-tiba memanggil orang lalu tiba-tiba pergi gitu aja. Nggak ada penjelasan tambahan, gitu? Dasar! Emang nggak jelas banget sih, itu anak!” Aku mendumel sepanjang perjalanan menuju kamar. Padahal hari ini seharusnya masuk rekor baru bahwa Abizar mengajakku bicara duluan setelah aku dibawa ke rumah ini. Apalagi setelah kejadian di sekolah waktu itu. Aku dan Abizar seperti membangun tembok masing-masing untuk saling menutup diri. Barulah malam ini dia tiba-tiba bersuara memanggilku, Namun sayang, entah memang hanya sekedar iseng atau dia enggan, dia tidak jadi melontarkan pertanyaan. Yang jadi masalahnya sekarang, aku malah penasaran! Duh, kira-kira Abizar lihat aku di taman tidak ya? Semoga saja dia tidak lihat. Karena aku akan malu sekali jika pemuda itu sempat melihat kondisiku saat menangis. “Semoga tidak! Semoga tidak!” rapalku berulang kali dengan menenggelamkan wajahku ke bantal. Mending aku tidur sekarang. Besok aku harus berangkat pagi karena ada Jam olahraga. Saat pagi hari, aku sudah siap berangkat di jam 6.30 am. Akan tetapi, saat aku ke meja makan untuk pamit, aku melihat sosok asing duduk di samping Abizar. Aku terdiam di anak tangga terakhir. Siapa lagi pemuda ini? Dia terlihat akrab dengan Abizar lantaran beberapa kali mengusak rambut Abizar yang biasanya selalu tertata rapi. Tante Sandra juga terlihat sesekali mengomelinya. “Ah, Keyra. Kemari sayang!” panggil Tante Sandra saat sadar akan keberadaanku. Aku mengangguk kaku. Lalu ikut bergabung dengan mereka di meja makan. Aku duduk di samping Tante Sandra yang mana itu tepat di depan pemuda asing. Sepertinya kedatanganku adalah sebuah kesalahan. Suasana di meja makan yang tadi sempat ceria mendadak sunyi. Aku merasakan hawanya semakin tak nyaman. Untuk bernapas saja rasanya sudah sesak seolah udara tiba-tiba menipis begitu saja. ‘Apa yang salah?’ Aku melihat satu persatu wajah mereka. Kenapa kami mendadak terjebak dalam suasana canggung begini? Tante Sandra juga diam saat pemuda asing tadi berhenti tertawa. Aku mengusak leherku yang terasa meremang. Mungkin lebih baik aku langsung pamit saja karena aku merasa kehadiranku lah yang membuat suasana di sana berubah. “Emn..., Aku pa-” Srek! Pemuda di depanku berdiri. Semua mata langsung tertuju padanya. Sepersekian detik dia menatapku dengan tatapan tak suka. “Aku sudah selesai sarapan. Kalian lanjutkan saja!” kata pemuda itu lalu pergi meninggalkan ruang makan. Aku mengerjap bingung. Apa aku punya salah padanya? Dia meninggalkan meja makan dengan kondisi piring yang hampir penuh. Itu artinya dia sengaja pergi karena kehadiran ku, kan?Aku menggerutu di dalam kamar dengan kaki yang mondar mandir memberesi barang-barangku ke dalam ransel untuk kabur. Sejak awal aku merasa ada yang tidak beres ketika Ayah dan Kembaran ku datang ke desa untuk menjemputku dengan alasan ingin menyekolahkanku di sekolah Elit di kota. Mereka bahkan membujuk Ibu agar mau melepaskan aku ke kota. Padahal sebelumnya, setelah perceraian mereka saat aku berumur 7 tahun, Ayah yang bilang, “Aku akan mengambil Keyla. Kamu bisa bersama Keyra. Jangan pernah berpikir untuk mengganggu kami lagi!” Sejak waktu itu, aku tidak pernah mendengar kabar Ayah dan Keyla. Lalu, kedatangan mereka yang tiba-tiba ketika aku memasuki kelas 2 SMA. Ayah mengingkari ucapannya dulu karena Ayah lah yang datang mengganggu lebih dulu. “Sialan! Aku harus cepat pergi dari sini!” putusku bulat. Lebih baik aku kembali ke desa. Meski harus sekolah sambil bekerja untuk membantu ibu, itu lebih baik ketimbang aku ditipu oleh mereka. Bodohnya aku sempat berpikir bahwa inilah
Aku diseret dari kampung untuk dipaksa menikah, sosok ayah yang selalu aku rindukan berubah menjadi iblis yang mengancam akan menyekap Ibuku. Lalu, lelaki yang kini berstatus suamiku menyalahkan diriku atas segalanya. Sial sekali nasib ini! Emosi hampir saja meledak jika tidak ingat nyawa ibuku yang jadi taruhan.Aku terkekeh menertawakan kemalangan diriku sendiri. Lebih sakit lagi, lelaki yang tidak tahu apa-apa itu melampiaskan kemarahan padaku. Ku tarik dagunya menghadapku.“Abizar Bimantara, itu kan namamu? Dengar ini baik-baik ya Abizar! Kamu pikir aku mau dengan pernikahan konyol ini? Aku juga sama sekali tertarik untuk merusak pertunangan mu dengan Keyla. Dia lah yang memaksa ku untuk menggantikan dirinya. Jika mau menyalahkan, jangan salahkan aku. Karena kita sama-sama korban di sini!” tegasku padanya.Lantas aku mendorong Abizar. Ku tinggalkan begitu saja ‘Suamiku’ yang masih terbengong di sana. Sialan! Siapa juga yang mau dengan pernikahan ini, Bajingan?!Aku melangkahkan ka
Aku terus memikirkan alasan paling masuk akal mengenai Pernikahan yang menimpaku karena menggantikan Keyla. Jika hanya sebatas janji yang dibuat Kakek dan sahabatnya, tidak mungkin keluarga pihak laki-laki akan menerima begitu saja. Ternyata, setelah aku tak sengaja mendengar ucapan Abizar hari ini aku tahu alasan utama mereka menerima perjodohan itu untuk menyelamatkan Keyla. Yang membuatku bingung, mereka menyelamatkan Keyla dari apa? Aku tidak merasa ada sedikit pun kekurangan dari kembaranku itu. Entahlah, mungkin bisa jadi terjadi sesuatu setelah kami berpisah selama 10 tahun. Hal ini membuat rasa penasaranku memuncak sehingga aku masih bersembunyi untuk lanjut menguping pembicaraan Abizar dan Tante Sandra. “Abizar, Mama sudah bilang jangan bahas ini lagi!” sentak Tante Sandra. “Bagaimana mungkin, Ma?! Haruskah kita tetap diam dan melihat dia semakin hancur di sana?” balas Abizar. Aku semakin bersemangat mendengar percakapan itu. Saat aku berniat untuk menguping lebih dekat,
Bel istirahat berbunyi melalui spiker yang dipasang pada langit-langit kelas. Guru langsung pamit dari kelas meski pembelajaran belum tuntas. Yoshh! Aku bisa keliling sekolah! Sejak tadi pagi aku selalu penasaran dengan berbagai sudut dari sekolah ini. Akan tetapi, sepertinya rencanaku tak akan bisa mulus. Teman-teman sekelas ku tiba-tiba bergerombol mengelilingiku. ‘Apa? Kenapa mereka menatapku begitu?’ Mereka menatapku dari dekat seolah aku ini barang pameran. Astaga! Sebenarnya apa yang salah dengan mereka? “Keyra, bisakah kamu tersenyum seperti tadi?” Seorang gadis yang berdiri tepat di depan meja ku membuka suara. Dahi ku berkerut bingung. Tatapan mereka seolah penuh harap. Hanya untuk sebuah senyuman. Dengan kikuk aku menuruti kemauan mereka. “Be-beginikah?” tanya ku dengan gugup setelah menaikan kedua ujung bibirku membentuk lengkungan bulan sabit. Mereka langsung bersorak saat aku memberikan sebuah senyuman. Adapula pemuda yang tersipu dan langsung melarikan diri deng
Aku berusaha mengejar Keyla yang memasuki mobilnya. "Keyla, tunggu!" Ku panggil dia dengan suara lantang. Lantaran padatnya parkiran, mungkin Keyla tak mendengar suaraku. Sehingga aku tak bisa menghentikan mobilnya yang meninggalkan parkiran sekolah. "Aih, astaga! Keyla, tunggu aku!" Aku masih berteriak sekencang mungkin berharap Keyla akan berhenti. Tetapi karena kebodohan ku itu, aku menjadi pusat perhatian. Lantaran terlanjur malu, aku buru-buru pergi. Mungkin aku harus menelpon Papa untuk menjemput ku karena aku juga tidak ingat di mana alamat Rumah Abizar. Ketika melewati koridor yang mulai sepi, Abizar yang entah muncul dari mana menarik lenganku. Dia menggeretku masuk ke dalam sebuah ruangan yang letaknya di pojok sekolah. "Apaan, sih?!" sentak ku pada Abizar. "Jangan dekati Keyla! Jangan sampai dia tahu mengenai hubungan kita!" hardik Abizar. Dahiku langsung berkerut. "Maksud mu apa? Bukankah kalian sudah saling kenal? Apa salahnya aku ingin tahu?" balas ku tajam.
Setelah kejadian tak mengenakan beberapa hari yang lalu, hubungan ku dan Abizar semakin senyap. Meski pemuda itu sudah mau bergabung bersama di meja makan, namun sikapnya masih acuh tak acuh padaku. Yah..., terserahlah! Aku juga sudah muak kepadanya. Aku ingin menjalani kehidupan sekolah ku dengan nyaman. Setelah lulus SMA, aku akan membicarakan masalah perceraian kami ke kedua orangtua Abizar. Ku hembuskan napas berat mengingat semua beban yang harus aku tanggung sekarang. Aku hanya menatap kosong pada kumpulan bunga pada taman di depan rumah Abizar. Meski di tengah gelapnya malam, bunga-bunga mawar yang berjejer itu terlihat indah dengan sedikit memantulkan cahaya lampu penerangan di taman.Tanpa sadar aku tersenyum melihat keindahan yang begitu memukau mataku. Setidaknya jejeran bunga di sana selalu bisa menjadi penghibur ku usai makan malam. Dengan melihat mereka, sedikit bebanku dapat terangkat juga.Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara ponsel ku yang berdering. Saat ku cek, t