Setelah kejadian tak mengenakan beberapa hari yang lalu, hubungan ku dan Abizar semakin senyap. Meski pemuda itu sudah mau bergabung bersama di meja makan, namun sikapnya masih acuh tak acuh padaku.
Yah..., terserahlah! Aku juga sudah muak kepadanya. Aku ingin menjalani kehidupan sekolah ku dengan nyaman. Setelah lulus SMA, aku akan membicarakan masalah perceraian kami ke kedua orangtua Abizar. Ku hembuskan napas berat mengingat semua beban yang harus aku tanggung sekarang. Aku hanya menatap kosong pada kumpulan bunga pada taman di depan rumah Abizar. Meski di tengah gelapnya malam, bunga-bunga mawar yang berjejer itu terlihat indah dengan sedikit memantulkan cahaya lampu penerangan di taman. Tanpa sadar aku tersenyum melihat keindahan yang begitu memukau mataku. Setidaknya jejeran bunga di sana selalu bisa menjadi penghibur ku usai makan malam. Dengan melihat mereka, sedikit bebanku dapat terangkat juga. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara ponsel ku yang berdering. Saat ku cek, ternyata ada panggilan video dari Ibu. Aku langsung sumringah. Sejak kedatanganku ke kota, baru kali ini Ibu menelpon ku. “Hallo, Assalamu alaikum!” sapa ku tanpa menutupi rasa bahagia yang sudah membuncah. “Wa’alaikum salam! Apa kabar sayang? Maaf ya, Ibu baru ada data untuk menghubungi mu,” balas Ibu. Aku langsung menggeleng sambil mengatakan tidak apa-apa. Asalkan masih bisa menghubungi Ibu, kendatipun harus menunggu waktu lama karena tidak setiap hari Ibu punya data, aku pun tak masalah. Karena terbawa suasana, percakapan kami mengalir begitu saja. Aku menceritakan kepada Ibu tentang teman-teman sekelasku yang menerimaku dengan baik sebagai murid baru. Lalu juga pengalaman menyenangkan lainnya dengan menutupi beberapa kejadian tak mengenakan tentu saja. Aku juga menutupi fakta bahwa diriku di bawa Ayah ke kota hanya untuk menggantikan Keyla menikah. Aku takut Ibu malah kepikiran di sana. Lebih baik ku rahasiakan saja sampai aku lulus nanti. “Keyla mana? Bisakah kamu panggil dia? Ibu merindukannya,” kata Ibu yang seketika membuat senyum ku luntur. Rasa bahagia yang baru saja memenuhi dadaku berubah menjadi perasaan was-was. Aku berkeringat dingin karena baru sadar saat ini aku tidak lagi satu atap dengan Keyla. “Ma-maaf Ibu, sepertinya Keyla ada sudah tidur. Soalnya jadwal Keyla sangat padat. Sepertinya dia kecapean!” kataku dengan sedikit terbata karena harus merangkai sebuah kebohongan untuk membuat Ibu percaya. Untungnya posisi ku saat ini berada di luar rumah, sehingga Ibu tidak akan menyadari bahwa aku bukan di rumah Ayah. Sebisa mungkin ku mengatur kameraku agar tidak menyorot rumah Abizar. “Ahhh..., begitu ya?” Dadaku rasanya seperti diremas saat melihat Ibu menunduk kecewa karena tidak bisa berbicara dengan Keyla. Ibu pasti sudah sangat merindukan Keyla karena sudah 10 tahun kami berpisah. ‘Maaf Ibu. Lain kali aku akan ke rumah ayah agar Ibu bisa saling bicara dengan Keyla,’ janji ku dalam hati. Ibu juga tidak ingin terdiam lama sehingga buru-buru mengubah ekspresi sedihnya dengan senyum seolah mengatakan tidak apa-apa. Namun hal itu malah membuatku semakin merasa bersalah. “Kamu baik-baik di sana ya, Sayang. Ingat, jangan bertengkar dengan Kakakmu! Jangan buat marah Ayahmu juga! Karena Ibu tidak bisa membela mu jika Pria itu murka,” nasehat Ibu. “Siap Bu! Aku dan Keyla tidak bertengkar, kok. Hanya saja sesekali kami saling pukul, Hehehe. Aku juga akan berhati-hati supaya Ayah tidak marah. Ibu tenang saja!” Aku mengangkat ibu jariku dengan tersenyum lebar ke arah Ibu. Aku lega saat melihat senyum Ibu sebelum panggilan video kami berakhir. Sesaat kemudian aku merasa hampa. Kini aku kembali diselimuti dengan kesunyian malam. Tidak tahu kenapa dadaku tiba-tiba sesak membayangkan betapa banyak aku membohongi ibu malam ini. Tanpa sadar aku mulai terisak. Rasa bersalah membuat hatiku tak nyaman. Namun aku juga tidak ingin Ibu tahu kondisi ku di sini yang seperti sudah di ‘buang’ begitu saja oleh Ayah. Aku menenggelamkan wajahku ke lutut agar bisa meredam suara isakan yang belum mau berhenti. Biarlah aku menangis malam ini dengan sesekali merapal kata maaf untuk ibu ku. Aku ingin menumpahkan semuanya agar besok aku sudah tidak memikirkan beban yang berat ini. Detik demi detik berlalu hingga tanpa sadar sudah 30 menit ku habiskan hanya untuk menangis karena rasa bersalah itu. Setelah memastikan tak ada lagi isakan, aku segera memeriksa wajahku dengan kamera ponsel. Takutnya nanti saat aku akan masuk ke kamar aku bertemu dengan orang rumah dan mereka melihat penampilanku yang baru saja menangis ini. “Ck, kayaknya aku terlalu lebay malam ini!” gerutu ku saat melihat kedua mataku terlihat begitu sembab. Aku melihat lagi ke sekitar untuk memastikan tak ada yang melihat tangisanku. Kemudian aku segera beranjak dari kursi taman. Lebih baik aku segera masuk ke kamar sebelum Tante Sandra datang menegur apabila aku terlalu lama berada di luar saat malam. Saat melewati pintu samping, aku terjingkat saat melihat ada sosok pemuda yang berdiri bersandar sambil memejamkan mata. Aku hampir kelepasan berteriak sangking kagetnya ada penampakan Abizar di sana. ‘Astaga! Sejak kapan dia di sana? Apa mungkin sudah dari tadi? Apa dia mendengar percakapanku dengan Ibu?’Aku hampir jantungan saat bertemu Abizar di pintu masuk. Apakah dia sudah dari di sana? Jantung ku berdegup kencang. Badanku mendadak beku seolah seperti maling yang ketahuan basah oleh tuan rumah.Namun kemudian, aku mendesah lega saat ku sadari ada earphone yang terpasang di telinga Abizar. Itu berarti dia tidak mendengar apapun yang aku lakukan di luar karena telinganya sudah di sumpal. Akan tetapi, posisi Abizar yang hanya berdiri di sebelah pintu masuk seperti sedang bersembunyi membuat ku curiga. Ahh, entahlah!Aku mengendikan bahu memilih tak baku pusing dengan pemuda itu. Lebih baik aku segera masuk kamar daripada mematik masalah dengannya. "Hey, tunggu!" Baru ingin melangkah, Abizar tiba-tiba memanggil ku. Sepertinya dia tahu mengenai kejadian tadi. Aduh, malu sekali aku! Lantaran tak ingin terang-terangan ketahuan, aku terpaksa berbalik menghadap Abizar. Pemuda itu sudah tidak bersandar. Dia juga melepas salah satu earphonenya. Aku tersenyum canggung untuk menutupi rasa
Aku menggerutu di dalam kamar dengan kaki yang mondar mandir memberesi barang-barangku ke dalam ransel untuk kabur. Sejak awal aku merasa ada yang tidak beres ketika Ayah dan Kembaran ku datang ke desa untuk menjemputku dengan alasan ingin menyekolahkanku di sekolah Elit di kota. Mereka bahkan membujuk Ibu agar mau melepaskan aku ke kota. Padahal sebelumnya, setelah perceraian mereka saat aku berumur 7 tahun, Ayah yang bilang, “Aku akan mengambil Keyla. Kamu bisa bersama Keyra. Jangan pernah berpikir untuk mengganggu kami lagi!” Sejak waktu itu, aku tidak pernah mendengar kabar Ayah dan Keyla. Lalu, kedatangan mereka yang tiba-tiba ketika aku memasuki kelas 2 SMA. Ayah mengingkari ucapannya dulu karena Ayah lah yang datang mengganggu lebih dulu. “Sialan! Aku harus cepat pergi dari sini!” putusku bulat. Lebih baik aku kembali ke desa. Meski harus sekolah sambil bekerja untuk membantu ibu, itu lebih baik ketimbang aku ditipu oleh mereka. Bodohnya aku sempat berpikir bahwa inilah
Aku diseret dari kampung untuk dipaksa menikah, sosok ayah yang selalu aku rindukan berubah menjadi iblis yang mengancam akan menyekap Ibuku. Lalu, lelaki yang kini berstatus suamiku menyalahkan diriku atas segalanya. Sial sekali nasib ini! Emosi hampir saja meledak jika tidak ingat nyawa ibuku yang jadi taruhan.Aku terkekeh menertawakan kemalangan diriku sendiri. Lebih sakit lagi, lelaki yang tidak tahu apa-apa itu melampiaskan kemarahan padaku. Ku tarik dagunya menghadapku.“Abizar Bimantara, itu kan namamu? Dengar ini baik-baik ya Abizar! Kamu pikir aku mau dengan pernikahan konyol ini? Aku juga sama sekali tertarik untuk merusak pertunangan mu dengan Keyla. Dia lah yang memaksa ku untuk menggantikan dirinya. Jika mau menyalahkan, jangan salahkan aku. Karena kita sama-sama korban di sini!” tegasku padanya.Lantas aku mendorong Abizar. Ku tinggalkan begitu saja ‘Suamiku’ yang masih terbengong di sana. Sialan! Siapa juga yang mau dengan pernikahan ini, Bajingan?!Aku melangkahkan ka
Aku terus memikirkan alasan paling masuk akal mengenai Pernikahan yang menimpaku karena menggantikan Keyla. Jika hanya sebatas janji yang dibuat Kakek dan sahabatnya, tidak mungkin keluarga pihak laki-laki akan menerima begitu saja. Ternyata, setelah aku tak sengaja mendengar ucapan Abizar hari ini aku tahu alasan utama mereka menerima perjodohan itu untuk menyelamatkan Keyla. Yang membuatku bingung, mereka menyelamatkan Keyla dari apa? Aku tidak merasa ada sedikit pun kekurangan dari kembaranku itu. Entahlah, mungkin bisa jadi terjadi sesuatu setelah kami berpisah selama 10 tahun. Hal ini membuat rasa penasaranku memuncak sehingga aku masih bersembunyi untuk lanjut menguping pembicaraan Abizar dan Tante Sandra. “Abizar, Mama sudah bilang jangan bahas ini lagi!” sentak Tante Sandra. “Bagaimana mungkin, Ma?! Haruskah kita tetap diam dan melihat dia semakin hancur di sana?” balas Abizar. Aku semakin bersemangat mendengar percakapan itu. Saat aku berniat untuk menguping lebih dekat,
Bel istirahat berbunyi melalui spiker yang dipasang pada langit-langit kelas. Guru langsung pamit dari kelas meski pembelajaran belum tuntas. Yoshh! Aku bisa keliling sekolah! Sejak tadi pagi aku selalu penasaran dengan berbagai sudut dari sekolah ini. Akan tetapi, sepertinya rencanaku tak akan bisa mulus. Teman-teman sekelas ku tiba-tiba bergerombol mengelilingiku. ‘Apa? Kenapa mereka menatapku begitu?’ Mereka menatapku dari dekat seolah aku ini barang pameran. Astaga! Sebenarnya apa yang salah dengan mereka? “Keyra, bisakah kamu tersenyum seperti tadi?” Seorang gadis yang berdiri tepat di depan meja ku membuka suara. Dahi ku berkerut bingung. Tatapan mereka seolah penuh harap. Hanya untuk sebuah senyuman. Dengan kikuk aku menuruti kemauan mereka. “Be-beginikah?” tanya ku dengan gugup setelah menaikan kedua ujung bibirku membentuk lengkungan bulan sabit. Mereka langsung bersorak saat aku memberikan sebuah senyuman. Adapula pemuda yang tersipu dan langsung melarikan diri deng
Aku berusaha mengejar Keyla yang memasuki mobilnya. "Keyla, tunggu!" Ku panggil dia dengan suara lantang. Lantaran padatnya parkiran, mungkin Keyla tak mendengar suaraku. Sehingga aku tak bisa menghentikan mobilnya yang meninggalkan parkiran sekolah. "Aih, astaga! Keyla, tunggu aku!" Aku masih berteriak sekencang mungkin berharap Keyla akan berhenti. Tetapi karena kebodohan ku itu, aku menjadi pusat perhatian. Lantaran terlanjur malu, aku buru-buru pergi. Mungkin aku harus menelpon Papa untuk menjemput ku karena aku juga tidak ingat di mana alamat Rumah Abizar. Ketika melewati koridor yang mulai sepi, Abizar yang entah muncul dari mana menarik lenganku. Dia menggeretku masuk ke dalam sebuah ruangan yang letaknya di pojok sekolah. "Apaan, sih?!" sentak ku pada Abizar. "Jangan dekati Keyla! Jangan sampai dia tahu mengenai hubungan kita!" hardik Abizar. Dahiku langsung berkerut. "Maksud mu apa? Bukankah kalian sudah saling kenal? Apa salahnya aku ingin tahu?" balas ku tajam.