Bel istirahat berbunyi melalui spiker yang dipasang pada langit-langit kelas. Guru langsung pamit dari kelas meski pembelajaran belum tuntas. Yoshh! Aku bisa keliling sekolah!
Sejak tadi pagi aku selalu penasaran dengan berbagai sudut dari sekolah ini. Akan tetapi, sepertinya rencanaku tak akan bisa mulus. Teman-teman sekelas ku tiba-tiba bergerombol mengelilingiku. ‘Apa? Kenapa mereka menatapku begitu?’ Mereka menatapku dari dekat seolah aku ini barang pameran. Astaga! Sebenarnya apa yang salah dengan mereka? “Keyra, bisakah kamu tersenyum seperti tadi?” Seorang gadis yang berdiri tepat di depan meja ku membuka suara. Dahi ku berkerut bingung. Tatapan mereka seolah penuh harap. Hanya untuk sebuah senyuman. Dengan kikuk aku menuruti kemauan mereka. “Be-beginikah?” tanya ku dengan gugup setelah menaikan kedua ujung bibirku membentuk lengkungan bulan sabit. Mereka langsung bersorak saat aku memberikan sebuah senyuman. Adapula pemuda yang tersipu dan langsung melarikan diri dengan wajah memerah. Aku semakin keheranan. “Ada apa dengan kalian? Apakah ada yang aneh dengan wajahku?” tanyaku pada mereka. “TIDAK KOK!” Mereka buru-buru menggeleng. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Lantas, apa masalahnya dengan tatapan mereka yang aneh itu? Mungkin karena menyadari bahwa aku tak nyaman dikelilingi begitu, seorang gadis dengan galak mengusir yang lain untuk pergi. Lalu aku ditarik keluar oleh dua gadis. Mereka dengan senang hati mengajakku berkeliling sekolah. Ternyata setelah beberapa percakapan bersama mereka, aku tahu alasan mereka memberikan ku tatapan aneh seperti tadi. “Di sekolah ini, Keyla dijuluki sebagai ‘Ice Princess’ karena dia terlalu minim ekspresi. Apalagi kalo ketemu kita anak IPS. Beuhh..., mukanya bukan cuma datar tapi juga berubah judes. Untung ada kamu, jadi rasa penasaran kami dengan ekspresi Si Ice Princess sudah terpenuhi!” ungkap gadis dengan name tag ‘Giselle’. Aku terkekeh mendengar alasan mereka. Wajah yang serupa ini memang cukup merepotkan. Dari tadi banyak siswa yang terus menatapku. Aku penasaran seberapa besar pengaruh Keyla di sekolah ini. Baru saja membicarakan mengenai Keyla, orangnya muncul bersama dua temannya. Mereka mengenakan jas merah yang sama seperti Abizar tadi pagi. Aku tak bisa menyembunyikan wajah terkejut ku karena kemungkinan besar Abizar juga di sekolah ini. Keyla menarik kedua temannya untuk pergi. Dia bertingkah seperti tidak mengenalku. Aku semakin melongo karena merasa tidak ada masalah dengannya beberapa hari terakhir. "Mereka tuh OSIS. Emang kek gitu kalo ketemu kita. Nggak tahu kenapa anak IPA suka sensi sama anak IPS. Apalagi kita ini IPS terakhir. Hahaha, peringkat terendah dalam peradaban!" jelas Giselle dengan tertawa seolah itu sudah biasa menjadi lelucon mereka. Aku ikut mendengus geli. Ku pikir hanya di sekolah lama ku yang ada kejadian bersitegang nya dua jurusan ini. Mungkin memang sudah ditakdirkan begitu di sekolah mana saja. Kami menuju kantin yang saat ini sedang ramai. Aku kembali terpana dengan kantin yang serupa dengan Cafe sangking bagus dan bersihnya. Saat itu mataku tak sengaja menangkap sosok Abizar yang duduk bersama beberapa orang pemuda dengan jas merah yang sama. Sontak saja aku menutup mulutku karena hampir kelepasan memanggil namanya. ‘Dia di sini?!’ Aku tak bisa mengalihkan pandanganku lantaran masih belum percaya jika itu adlaah Abizar. Mungkin Abizar merasa ada yang memperhatikan sehingga dia mendongak. Tatapan kami bertemu. Sepersekian detik matanya melebar, terkejut melihat keberadaan ku di sana. Namun Abizar pandai mengontrol ekspresinya. Setelah itu, dia bertingkah dengan ekspresi datar seperti biasa. Aku juga buru-buru pergi mengikuti arah teman-teman ku ke salah satu kursi kantin yang kosong. Kursi kami cukup jauh dari tempat duduk Abizar. Namun dari sana masih bisa dengan jelas aku melihatnya. Aku penasaran, apa arti Jas merah yang dia gunakan itu? Lantaran Keyla tadi memakai Jas yang sama. “Keyra! Hey!” Aku tersentak saat Giselle memanggil serasa mengguncangkan bahuku. “A-ah, ya? Ada apa?” tanyaku dengan sedikit gelagapan. “Kamu?” Giselle mengikuti arah pandangan ku sebelumnya. Lantas gadis itu menatapku dengan mata melotot. “Kamu terpana sama cowok-cowok itu, ya?” goda Giselle. Aku langsung menggeleng, “Enggak kok! Aku cuma penasaran aja karena mereka pake jas merah kayak Keyla tadi,” jelas ku. Namun Giselle tak mau berhenti menggodaku. Dia terus menoel-noel pipiku meminta agar aku jujur jika memang tertarik. Padahal jelas-jelas ku katakan tidak, tapi yang lain juga tidak percaya padaku. Aku berusaha mengalihkan topik dengan mengajak mereka untuk makan saja. Namun tidak lama, karena Giselle kembali mengoceh. “Tenang aja, Keyra. Normal kok kalo terpana sama mereka. Soalnya mereka semua memang tampan paripurna. Siapa dulu dong? OSIS Nusa Bangsa!” kata Giselle dengan bangga. Mataku langsung melebar, “Osis?” beo ku. Hampir saja aku tersedak kuah bakso yang sedang ku makan, buru-buru aku mengambil segelas es teh ku untuk melegakan tenggorokan. “Iya, Osis. Dan, itu yang duduknya menghadap kemari adalah ketua OSIS nya, Abizar Bimantara!” jelas Giselle. Tubuhku langsung kaku saat mengetahui fakta itu. Berarti Keyla juga seorang Osis karena Jas Merah yang tadi dia kenakan sama persis dengan mereka. Apakah Keyla dan Abizar juga dekat? Ataukah hanya sekedar dalam satu naungan Organisasi yang sama? Lantaran terlalu sibuk dengan pikiran ku sendiri, aku tak sadar Abizar dan teman-temannya sudah pergi. Aku mencari ke berbagai sudut kantin, namun tetap tak mendapati gerombolan jas merah tadi. "Ah, teman-teman. Maaf ya, aku balik ke kelas dulu. Kalian lanjut makan saja!" kataku seraya berdiri meninggalkan mereka. Pasti mereka menatap ku aneh karena buru-buru pergi. Namun jika aku tetap di sana juga, aku sudah tak nafsu melahap sisa makanan ku. Saat perjalanan kembali ke kelas, tak sengaja di koridor aku melihat ada Abizar yang sedang berbincang dengan Keyla. Refleks aku langsung bersembunyi agar tak berpas-pasan dengan mereka. Aku semakin merapatkan tubuhku di tembok saat keduanya berjalan semakin dekat. Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu yang serius. “Semua Agenda sudah ku siapkan. Jadi, Ketua, sisa menunggu perintah mu saja,” ujar Keyla. “Oke! Tunggu keputusan bersama, lalu agendakan untuk rapat OSIS segera!” balas Abizar. Keduanya berlalu di satu arah yang sama. Merasa sudah aman, barulah aku keluar dari tempat persembunyianku. Aku tidak bermaksud untuk menguping pembicaraan mereka. Namun memang suara terdengar jelas ketika lewat di dekat ku tadi. ‘Berarti memang benar Abizar itu Ketua Osis. Lalu, posisi Keyla apa? Mereka terlihat cukup dekat!’ batin ku sembari menggosok dagu. Jika memang Abizar dan Keyla satu sekolah. Masalah apa yang membuat Keyla sampai membenci Abizar? Dari sudut pandangku saat ini, mereka tak terlihat seperti musuh atau orang yang saling membenci. "Kenapa kau menolak dan mengejek Abizar jelek waktu itu jika kalian sedekat itu, Keyla?"Aku berusaha mengejar Keyla yang memasuki mobilnya. "Keyla, tunggu!" Ku panggil dia dengan suara lantang. Lantaran padatnya parkiran, mungkin Keyla tak mendengar suaraku. Sehingga aku tak bisa menghentikan mobilnya yang meninggalkan parkiran sekolah. "Aih, astaga! Keyla, tunggu aku!" Aku masih berteriak sekencang mungkin berharap Keyla akan berhenti. Tetapi karena kebodohan ku itu, aku menjadi pusat perhatian. Lantaran terlanjur malu, aku buru-buru pergi. Mungkin aku harus menelpon Papa untuk menjemput ku karena aku juga tidak ingat di mana alamat Rumah Abizar. Ketika melewati koridor yang mulai sepi, Abizar yang entah muncul dari mana menarik lenganku. Dia menggeretku masuk ke dalam sebuah ruangan yang letaknya di pojok sekolah. "Apaan, sih?!" sentak ku pada Abizar. "Jangan dekati Keyla! Jangan sampai dia tahu mengenai hubungan kita!" hardik Abizar. Dahiku langsung berkerut. "Maksud mu apa? Bukankah kalian sudah saling kenal? Apa salahnya aku ingin tahu?" balas ku tajam.
Setelah kejadian tak mengenakan beberapa hari yang lalu, hubungan ku dan Abizar semakin senyap. Meski pemuda itu sudah mau bergabung bersama di meja makan, namun sikapnya masih acuh tak acuh padaku. Yah..., terserahlah! Aku juga sudah muak kepadanya. Dapat ku rasakan beberapa kali pemuda itu menatapku saat kami bertemu di meja makan. Namun aku berusaha mengabaikannya lantaran jika balik ku tatap, Abizar akan mengalihkan pandangannya. Menyebalkan bukan?! Untuk selanjutnya, aku ingin menjalani kehidupan sekolah ku dengan nyaman. Setelah lulus SMA, aku akan membicarakan masalah perceraian kami ke kedua orangtua Abizar. Ku hembuskan napas berat mengingat semua beban yang harus aku tanggung sekarang. Aku hanya menatap kosong pada kumpulan bunga pada taman di depan rumah Abizar. Meski di tengah gelapnya malam, bunga-bunga mawar yang berjejer itu terlihat indah dengan sedikit memantulkan cahaya lampu penerangan di taman. Tanpa sadar aku tersenyum melihat keindahan yang begitu memuka
Baru ingin melangkah, Abizar tiba-tiba memanggilku. Seketika jantungku rasanya ingin copot. Gugup bercampur malu lantaran aku curiga Abizar sempat melihat kejadian barusan. Terpaksa aku berbalik menghadap Abizar. Pemuda itu sudah tidak bersandar. Dia juga melepas salah satu earphonenya sembari mendekatiku. Aku tersenyum canggung untuk menutupi rasa gugupku. Tatapan Abizar kepadaku seperti tengah memikirkan sesuatu karena dahinya terlihat sedikit berkerut. “Ada yang bisa ku bantu?” Aku bertanya dengan senyum masih terpatri di wajahku. Ku harap wajah sembabku tak begitu nampak. Aku juga menghindari tatapan Abizar karena rasanya seperti ter-intimidasi. Apalagi dengan kediaman Abizar yang mengundang keresahan. ‘Apa? Kenapa? Bicaralah sesuatu!’ batinku mulai tak sabar. Kaki ku rasanya mulai kesemutan menunggunya bicara. Namun Abizar masih diam dengan mata yang tak beralih dariku. Aku semakin tak nyaman. Ekspresi datar Abizar saat ini membuatku sulit menerka isi pikirannya. “Maaf,
Abizar sangat tak masuk akal. Dia menuduh ku sembarang. Kapan aku pernah bertemu dengan pemuda asing itu? Apalagi menghina. Aku sama sekali tak ingat pernah bertemu dengannya. “Aduh..., kamu nggak salah Abizar? Coba ingat-ingat dulu. Sepertinya itu Keyla bukan aku. Soalnya-” “Kamu nuduh Keyla?!” berang Abizar. “Lah, kamu nuduh aku!” Ku balik pernyataannya karena kekesalan ku sudah mencapai puncak. Wajah Abizar meradang. Namun aku juga tak takut balik menantangnya. Siapa di dunia ini yang mau dituduh akan kesalahan yang tak pernah diperbuatnya? Kami beradu tatap beberapa saat. Tunggu! Buat apa aku buang-buang waktu untuk meladeninya? Aihhh..., mending aku berangkat sesuai agendaku hari ini. Daripada aku terlambat untuk persiapan jam olahraga. “Sudahlah. Aku malas berdebat denganmu. Aku harus berangkat sekarang. Bye!” Aku berbalik untuk pergi ke mobil yang sudah siap mengantarku ke sekolah. Grep! Lagi! Abizar menahan lenganku. Kedua pelipisku berkedut kesal. Ku hembuskan napas de
Seperti kata Keyla sebelumnya, aku harus pulang ke rumah Ayah. Saat menunggu Keyla di parkiran, aku malah bertemu dengan Abizar yang kebetulan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Keyla. Mata Abizar memicing tajam karena kehadiranku di sana. Pasti dia bersiap mengomeliku karena dipikirnya ingin mengganggu Keyla. Aku mengisyaratkan kepada Abizar dengan gelengan saat pemuda itu ingin menghampiriku. Namun yang namanya Abizar, dia tak mengindahkan kode dariku. “Mau apa kamu di sebelah mobil Keyla?” tanya Abizar. Aku berdecak pelan sambil mendelik kesal padanya. Ku lihat sekeliling takut ada yang memergoki kami lagi. Terutama dua gadis yang sudah masuk dalam daftar hitam milikku. “Pergi sana! Aku di sini cuma mau menunggu Keyla. Dia bilang, Ayah memintaku untuk pulang!” beberku dengan sedikit berbisik. Akan tetapi wajah Abizar semakin tak enak dipandang. Dengan wajah yang tertekuk seolah tak percaya dengan kata-kataku. “Aku serius, Abizar! Keyla yang memintaku untuk menunggu agar ka
Aku ingin segera meninggalkan rumah ini. Udara di sini rasanya semakin sedikit. Membuat dadaku sesak saja. Apalagi setelah mendengar permintaan Ayah tadi. Duh, ku gelengkan kepalaku karena tak pernah terpikir olehku bahwa Ayah akan memanfaatkan statusku untuk membujuk Ayah Mertua. Sudah ku duga, sejak awal pernikahan ini memang hanya berlandaskan bisnis saja. Selain hubungan persahabatan antar Kakek, keluarga Bimantara dan Sanjaya adalah kolega bisnis. Bisa jadi malah rival nama perusahaan mereka sama-sama besar. “Lebih baik aku segera pulang!” putusku karena tidak mau memusingkan masalah kedua keluarga ini. Saat ini aku menyesali keputusanku untuk ikut Ayah ke Kota. Tidak hanya paksaan pernikahan yang tak masuk akal, Ayah juga masih ingin memanfaatkan aku untuk kepentingan bisnisnya. Tak bisa! Aku harusnya kabur dari sini. “Keyra, berhenti di situ!” Ayah berteriak sewaktu aku akan menuruni tangga. Aku berhenti sebentar dengan menoleh ke Ayah. “Apalagi, Yah? Sudah ku bilang, aku
Kesadaranku perlahan kembali saat ku rasakan mobil sudah berhenti. Aku ingin membuka mata namun rasanya sangat berat. Seolah-olah aku kehilangan seluruh tenagaku. Jadi, ku putuskan untuk tetap diam untuk menghemat tenagaku yang tersisa. Sayup-sayup ku dengar ada percakapan di luar mobil. Ku dengar ada suara Paman Sopir sedang menjelaskan situasi mengenai kondisiku saat ini. Ah, apa Paman akan dimarahi? “Kenapa lama sekali?” Ini suara Abizar. Aku bisa membayangkan dia mengatakan itu dengan bersedekap dada. Heh, sikapnya sombong seperti biasa. “Maaf Tuan Muda. Nona mendapat sedikit masalah di sana. Nona-” “Apa yang terjadi padanya?” Ku tajamkan pendengaran ku karena merasa suara ini masih cukup asing untuk ku. “Saya tidak tahu apa yang terjadi di dalam karena saya tidak di izinkan masuk. Tetapi Nona keluar dengan mengeluh sakit kepala. Nona juga sempat pingsan saat perjalanan pulang,” jelas Paman Sopir. Aku harus segera bangun untuk menjelaskan pada mereka bahwa aku sudah t
"Apa yang kau lakukan di sana tadi? Apa kau mengganggu Keyla, lagi? Katakan! Apa kau merundungnya?!" hardik Abizar. Aku mengerjap tak percaya saat Abizar kembali menuduhku tentang Keyla. Aku terkekeh miris. Dari mana datangnya pikiran negatif pemuda itu? “Kamu gila? Tolong sesekali konsultasi ke dokter untuk memeriksa hatimu! Ku rasa benda itu sudah lama rusak makanya kamu tidak bisa melihat hal-hal baik dariku,” seru ku sekalian mengeluarkan uneg-uneg yang sudah ku tahan selama ini. “Kau! Tutup mulutmu!” Abizar meradang. Dia mencengkram bajuku. Aku sampai harus berjinjit karena jika tidak aku bisa tercekik oleh kerah bajuku sendiri. “Le-pash!” sentakku berusaha melepaskan cengkeraman Abizar. “Yang seharusnya konsultasi ke dokter itu kamu! Tidakkah kau sadar betapa jahatnya tindakan mu pada Keyla sebelumnya? Kau selalu mencari kesempatan untuk menyakitinya. Mentang-mentang dapat dukungan dari Paman Wira.” Aku melongo dengan ucapan Abizar. Sejak kapan aku jahat ke Keyla? Kami saj
Keyla sangat menikmati momen di mana Keyra tak bisa membalas ejekan darinya dan teman-temannya. Wajah kesal adiknya itu membuatnya terhibur karena menurut Keyla itu sangat lucu.Namun, kesenangannya itu tak berlangsung lama. Senyumnya perlahan memudar saat berbalik dari meja kasir. Tatapan tajam Abizar langsung tertuju padanya. Dia tahu tatapan itu adalah tatapan tak suka Abizar yang jarang dia tunjukan padanya. Pasti Abizar sempatmelihat sikap buruknya terhadap Keyra.“Oh? Abizar, kamu juga di sini?” Keyla buru-buru memasang senyum manisnya. Dia berpura-pura terkejut, lalu berdiri menghampiri Abizar dengan langkah anggun.“Kamu baru tiba? Mau pesan sesuatu? Aku yang traktir!” tawar Keyla.Abizar tetap diam, matanya masih mengunci ke arah Keyla dengan tajam. Keyla menggigit bibir bawahnya, mencari cara agar Abizar tidak semakin marah. “Kamu sengaja ke sini untuk menyusahkan dia?” Tiba-tiba Abizar berkata demikian. Keyla buru-buru menggeleng.“Tadi aku cuma bercanda sama Keyra. Yah..
Abizar hanya diam sambil memperhatikan perempuan yang masih bergelar sebagai ‘Istrinya’ bekerja. Matanya terhunus tajam, mencoba mencari celah dari Keyra.‘Kak Rangga bilang, kejadian di rumah Nenek waktu itu ada hubungannya dengan Om Wira. Tidak mungkin Keyra tidak tahu sesuatu. Dia beralasan ingin kerja paruh waktu pasti hanya untuk menghindari pengawasan kami saja.’Abizar sudah mencoba berpikiran positif sebelumnya. Namun tindakan Keyra semakin membuatnya curiga. Apalagi saat gadis itu mulai sering pulang telat dengan alasan pekerjaan. Abizar tak bisa mengabaikan insting kewaspadaaanya.‘Pasti dia menyembunyikan sesuatu. Mungkin saja dia diam-diam bertemu Om Wira untuk menjebak Keluarga Bimantara!’ batin Abizar. Matanya memicing tajam, semua benang itu sangat masuk akal jika terarah ke rencana jahat dari Ayah Keyra. Apalagi Keyra juga mendengar percakapan saat keluarganya mencurigai Om Wira. Dia pasti mencari kesempatan untuk memberitahu ayahnya agar lebih hati-hati.“Nih, makan
Abizar benar-benar serius dengan ucapannya semalam. Mereka akan pergi ke kafe tempat Keyra bekerja, meskipun dengan motor masing-masing. Keyra memikirkan berbagai alasan untuk menghindari situasi canggung itu, tetapi tak satu pun yang tampak akan berhasil.Di depan gerbang sekolah, Abizar sudah menunggunya dengan helm di tangan. Dia terlihat santai, berbeda dengan Keyra yang berusaha keras menyembunyikan kegugupannya. Dia takut Keyla melihat dan akan membuatnya susah lagi.“Ayo cepat, atau kamu mau telat?” tegur Abizar sambil menaiki motornya.Keyra mendengus pelan. Padahal dia sudah pura-pura tidak kenal. Namun tampaknya Abizar tak peduli. Keyra mengodenya aagr duluan saja karena beberapa siswa mulai memperhatikan mereka.Kening Abizar tertekuk sebentar, lantas dia mulai menyalakan mesin motornya meninggalkan sekolah. Keyra menghela napas lega karena kahirnya Abizar peka. Gadis itu segera menaiki motornya sendiri dan mengejar motor Abizar yang melaju perlahan. Keyra melambung Abizar
Pagi harinya, Keyra menuruni tangga dengan perasaan yang campur aduk. Kepalanya dipenuhi bayangan percakapan semalam dengan Abizar. Ketika sampai di ruang makan, dia melihat Tante Sandra sudah duduk di sana, menikmati sarapan pagi sendirian.Sudah 2 Minggu Om Rudi dan Kak Rangga belum pulang. Sedang disibukan mengurus proyek dengan perusahaan Ayah Keyra. Abizar juga belum kelihatan keluar kamar. Terpaksa Keyra harus menghadapi Tante Sandra sendiri.Dengan ragu-ragu, Keyra mendekat ke hadapan wanita itu. “Pagi, Ma!” sapa Keyra pelan.Tante Sandra menghentikan aktivitas makannya, lalu menatap Keyra sambil tersenyum lembut. "Pagi Keyra. Duduklah! Kita sarapan bersama,” ujar Tante Sandra dengan nada lembut seperti biasa.Keyra menelan ludah, merasakan jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Dia tahu Tante Sandra tengah menyimpan sesuatu di balik senyum itu. Dengan hati-hati, Keyra mengambil kursinya dan duduk. Pelayan menghidangkan sarapan di depannya, tetapi gadis itu tidak memiliki nafsu
Hai, Blue Ice di sini..., Untuk alur agar terlihat lebih terbuka, Mimin ganti menjadi normal POV ya. Karena setelah plot ini, akan banyak rahasia yang terbuka di mana itu sangat penting untuk kematangan cerita ini. Jadi, Happy Reading!...Keyra tiba baru pulang dari kerja part time di jam 8 malam. Gadis itu melangkah dengan hati-hati lantaran takut akan bertemu Tante Sandra. Dia sudah berulangkali ditanyai karena selalu pulang malam. Apalagi akhir-akhir ini, Tante Sandra mulai curiga.Setidaknya sampai Nenek mengabarinya untuk pindah ke tempat baru, Keyra akan menjelaskan semuanya ke Tante Sandra sekaligus meminta maaf karena telah berbohong. Maka dari itu, sebelum ada kejelasan dari Nenek, Keyra harus sebisa mungkin menghindar.‘Kayaknya aman, deh!’ batin Keyra.Saat ini dia sudah mencapai tangga menuju lantai dua. Sepanjang jalan, dia tak bertemu dengan Tante Sandra. Keyra menghela napas lega. Dia segera ke atas agar bisa mandi dan istirahat. Meski beberapa pelayan menatap ane
Hari pertama aku bekerja di kafe ternyata lebih lancar dari yang ku bayangkan. Awalnya, aku sempat gugup saat menerima pesanan pertama, takut melakukan kesalahan, tetapi para pelanggan cukup ramah, dan teman-teman kerjaku juga membantu. Aku mulai terbiasa mencatat pesanan, mengantar makanan, dan memastikan meja tetap bersih. Rasa gugupku juga sedikit berkurang karena Kevin menemani sejak kami pulang sekolah. Kevin duduk di ruang Karyawan, sesekali keluar untuk menanyakan keadaanku.“Aman, Ra?” tanya Kevin saat keluar dari ruang Karyawan, kalo tidak salah yang keempat kali dia bertanya hal yang sama.“Aman, Vin!” balasku dengan mancungkan jempol padanya.“Atau kamu makan dulu, Ra. Isi tenaga gitu, mumpung agak senggang,” ujar Kevin.Aku menarik napas perlahan. Lalu menatap Kevin dengan tersenyum. “Vin, aku baru 15 menit yang lalu menghabiskan roti yang kamu kasih. Jadi, aku masih kenyang sekarang. Terima kasih, ya!” ujarku menahan agar tak berkata kasar pada anak pemilik Cafe itu.“O-
Sepulang sekolah, aku berencana tidak langsung pulang ke rumah. Aku mengabari Tante Sandra bahwa kau harus kerja kelompok di rumah teman.Itu alasan yang ku susun agar aku punya waktu untuk mencari pekerjaan paruh waktu. Aku butuh langkah nyata untuk melepaskan diriku dari semua keterikatan di kediaman Bimantara.Aku sudah cerita ke teman-temanku bahwa akan mencari pekerjaan paruh waktu untuk mengisi hari usai pulang sekolah. Mereka nampak terkejut dan mulai melayangkan berbagai pertanyaan.“Kamu mau nyari kerja apa, Ra? Emang kamu kekurangan apa ya, Ra? Apa Bokapmu kurang uang?” tanya Giselle penasaran.“Enggak gitu. Aku cuma mau nyari uang sendiri, Kan, enak gitu, kalo kita punya simpenan sendiri,” jelasku agar tak dipandang aneh oleh mereka.“Loh, katanya kamu nggak serumah sama Keyla. Apa mungkin kamu beneran lagi butuh uang, Ra. Please bilang sama kita, biar kita bisa bantu,” kata Ririn.Aku tersenyum mendengar mereka khawatir. Setidaknya mereka menjadi alasanku bersyukur bisa di
Pagi itu, aku terbangun lebih awal dari biasanya. Matahari bahkan belum sepenuhnya muncul di ufuk timur, tapi aku sudah siap dengan seragam sekolahku. Aku melirik jam dinding dan menghela napas lega. Ada cukup waktu untuk pergi sebelum sarapan dimulai.Aku menarik laci meja belajarku. Ada sebuah benda yang harus ku bawa ke sekolah. Hari ini, aku akan menyelesaikan masalah yang membuatku terjebak dalam situasi tidak jelas ini.Tas ranselku sudah kugantungkan di bahu saat aku melangkah keluar kamar dengan hati-hati, berusaha tidak menimbulkan suara. Namun, baru saja aku sampai di ruang tengah, suara Tante Sandra menghentikanku.“Keyra, kenapa sudah mau berangkat sepagi ini? Sarapan dulu, Nak,” katanya dengan senyum hangat.Aku berbalik dengan senyum kaku, berusaha terlihat tenang. “Maaf, Ma. Kelasku hari ini bertugas untuk Upacara. Sedangkan, beberapa hari minggu kemarin kami sibuk dengan kegiatan. Makanya kami harus latihan pagi ini. Maaf ya, Ma. Aku nggak bisa ikut sarapan,” jelasku a
Aku merasa seluruh tubuhku begitu lelah. Seharian berada di pesta Nenek Bimantara sungguh menguras energi. Apalagi ada kejadian menegangkan saat penyusup membobol ruang penyimpanan. Aku hanya berharap Keluarga Suamiku tidak lagi membahas kejadian malam ini. Dengan langkah letih aku memasuki mobil. Ternyata Kak Rangga ikut bergabung di mobil kami. Dia duduk di sebelah Abizar, sehingga posisi kami menjadi Abizar-Kak Rangga-Aku. Kami masih harus menunggu Om Rudi dan Tante Sanda yang masih sedikit berbincang dengan Ayah.Aku menahan agar tak menguap lebar saat kantuk mulai menyerang. Kakak Adik di sebelahku juga hanya saling diam, membuat suasana semakin membosankan. Lantaran tidak ingin tenggelam dalam kebosanan, aku mulai bersuara.“Kak Rangga nggak bawa mobil?” tanyaku penasaran, karena Kak Rangga datang ke pesta ini setelah pulang dari kota lain. Mana mungkin tidak bawa mobil sendiri, pikirku.“Ada!” balas Kak Rangga sesuai dengan tebakanku. “Tapi Kakak malas bawa mobil sendiri. Ma