Hujan yang baru saja reda masih menyisakan butiran air di sepanjang kaca depan mobil. Udara malam terasa dingin menusuk, bercampur dengan aroma tanah basah yang khas setelah hujan. Namun, bagi Camila, semua itu tak berarti apa-apa.
Tangannya mencengkeram setir dengan erat, buku-buku jarinya memutih karena tekanan yang ia berikan. Nafasnya memburu, dadanya naik turun seiring dengan gelombang emosi yang terus menghantamnya tanpa ampun. Matanya yang penuh amarah menatap tajam ke depan, namun pikirannya berkecamuk, tenggelam dalam pusaran perasaan yang semakin tak terkendali. "Damian di bar. Dengan dua wanita." Kata-kata itu berputar di kepalanya seperti jarum-jarum kecil yang terus menusuk hatinya, membuatnya semakin sulit bernapas. Ada kemarahan yang membara di dadanya, tetapi ada juga rasa sakit yang lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan. Kenapa? Tanpa sadar, kakinya semakin dalam menekan pedal gas. Mobil yang dikemudikannya melesat di atas aspal yang masih sedikit licin akibat hujan, namun ia tak peduli. Kilatan lampu jalan yang berpendar di kaca mobil terasa seperti bayangan-bayangan yang berkelebat dalam pikirannya, menciptakan rasa sesak yang semakin tak tertahankan. Malam ini, ia hanya punya satu tujuan: Menjemput Damian dan membawanya pulang. Begitu ia melangkah masuk, udara di dalam bar terasa lebih berat, dipenuhi aroma alkohol dan parfum yang bercampur dalam udara pengap. Lampu-lampu redup berkedip, menciptakan bayangan yang bergerak dalam irama yang tidak beraturan. Musik berdentum keras, membuat jantungnya berdebar lebih kencang, bukan karena ritmenya, melainkan karena kemarahan yang membakar dadanya. Matanya menelusuri ruangan dengan cepat, melewati kerumunan orang yang tertawa, berdansa, dan menikmati malam mereka. Dan saat akhirnya ia menemukan sosok yang dicarinya, dunia di sekitarnya seakan berhenti bergerak. Di sana. Di sofa VIP, duduk dengan tubuh sedikit bersandar dan kepala menunduk, Damian terlihat mabuk, begitupun dengan teman-temannya. Kemeja hitamnya sedikit kusut, dan wajahnya sayu. Gelas whiskey di tangannya masih berisi setengah, es batu di dalamnya hampir mencair sepenuhnya. Namun, yang lebih menghancurkan Camila adalah dua wanita yang duduk di sampingnya. Wanita bergaun merah yang ketat, dengan rambut panjang yang tergerai indah, berhasil bersandar mesra di bahu Damian. Jemari lentiknya menyusuri dada pria itu, seolah sedang mengukir tanda kepemilikan di sana. Amora, lagi-lagi dia. Senyumnya penuh kemenangan, seperti seekor rubah yang baru saja berhasil menjebak mangsanya. Matanya bertemu dengan mata Camila, tetapi tidak ada rasa bersalah di sana— hanya penghinaan yang terang-terangan. Dan yang lebih menyakitkan dari semuanya? Damian tidak melakukan apa pun untuk menolak mereka. Detik itu, dada Camila terasa seperti dihantam batu besar. Rasa sakitnya begitu nyata, begitu dalam, hingga hampir membuatnya kehilangan keseimbangan. Kemarahannya meledak. "Damian." Bukan dengan nada marah. Bukan dengan suara tinggi yang menggema di antara dentuman musik. Hanya sebuah panggilan. Namun, panggilan itu cukup untuk membuat beberapa orang di sekitar mereka terdiam sejenak. Damian perlahan mengangkat wajahnya. Matanya yang sedikit merah karena alkohol menatap kosong ke arahnya, seolah-olah ia adalah sosok asing yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Camila tetap diam, namun tatapannya tak goyah. Ada sesuatu dalam ekspresi wajahnya yang membuat Damian akhirnya menoleh kembali padanya. "Ayo pulang." Namun, yang lebih menyakitkan adalah wanita bergaun merah itu— yang dengan sengaja semakin mendekat, lalu mengecup rahang Damian dengan lembut. PLAK! Tamparan itu terdengar begitu jelas, mengiris udara malam yang penuh dengan aroma alkohol dan pengkhianatan. Wanita itu tersentak, matanya melebar karena terkejut. Tangannya refleks mengusap pipinya yang kini memerah karena tamparan Camila. "Kamu gila!" desisnya, suaranya bergetar karena marah. Camila menatapnya tajam, matanya berkilat penuh amarah. "Kamu berani menyentuh suamiku?" suaranya dingin, menusuk seperti pisau tajam. Dia hanya terkekeh, matanya penuh penghinaan. "Suamimu?" katanya dengan nada mengejek. "Hei, lihatlah sendiri. Dia tidak keberatan, bukan?" Camila menoleh ke arah Damian, hatinya masih berharap, meski hanya setitik. Namun, yang ia dapatkan hanyalah tatapan kosong—tanpa rasa bersalah, tanpa penyesalan, tanpa emosi. Hatinya mencelos. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Suara Damian terdengar serak, tetapi tidak ada ketulusan di dalamnya. Hanya ada kejenuhan dan ketidakpedulian. Camila menelan ludah, berusaha menahan perih yang mencekik tenggorokannya. "Aku di sini untuk membawamu pulang," katanya, suaranya sedikit bergetar. "Apa kamu pikir aku bisa tinggal diam setelah tahu kamu di sini? Aku istrimu, Damian." Damian tertawa kecil. Tapi itu bukan tawa yang hangat. Itu tawa sinis. "Istri?" ulangnya, seakan mengejek status itu. Camila merasakan sesuatu dalam dirinya pecah. Ia berusaha keras menahan air matanya agar tidak jatuh. Amora menyeringai, mendekatkan tubuhnya ke Damian. "Dengar, sepertinya kamu harus sadar diri. Damian di sini karena dia muak denganmu." "Diam!" bentak Camila, suaranya bergetar, matanya penuh air mata yang mengancam tumpah. "Aku tidak berbicara denganmu!" Amora hanya mengangkat bahu, masih dengan ekspresi puasnya. Camila kembali menatap Damian, matanya mulai menatap tegas. "Damian, ayo pulang." Damian menatapnya. Kali ini, sorot matanya lebih tajam. Lebih menusuk. "Pulang?" katanya, lalu tertawa sinis. "Untuk apa?" Camila menggeleng, air matanya mulai turun. "Aku hanya ingin suamiku pulang ke rumah. Tempatmu bukan di sini..." Damian mengangkat gelasnya dengan gerakan malas, jemarinya yang panjang melingkari kristal dingin itu dengan sempurna. Cairan keemasan di dalamnya berputar perlahan seiring dengan goyangan kecil tangannya. Matanya yang sayu menatap whiskey itu seolah menemukan ketenangan di dalamnya—bukan pada wanita yang berdiri di depannya dengan hati yang remuk redam. Lalu, dalam sekali teguk, ia menghabiskan isinya. Gelas itu berbunyi pelan saat Damian meletakkannya kembali di meja. Suara kecil yang hampir tenggelam dalam dentuman musik, tetapi bagi Camila, suara itu terdengar lebih nyaring dari gemuruh petir. Perlahan, Damian mengangkat wajahnya, menatapnya. Tatapan itu. Mata hitamnya, begitu dingin. Dan kemudian, dengan suara rendah yang terdengar seperti gemuruh di hatinya, Damian berkata: "Aku tidak butuh kamu." Hening. Seolah seluruh dunia berhenti berputar. Suara musik, suara tawa, suara obrolan samar di bar—semuanya menghilang dalam sekejap. Yang tersisa hanyalah keheningan menyakitkan yang menggema di kepala Camila. Dadanya terasa sesak, seolah seseorang baru saja menghantamnya dengan sesuatu yang tak kasat mata. Napasnya tercekat, dan untuk sepersekian detik, ia tak bisa merasakan apapun selain sakit yang menyebar dari dadanya hingga ke ujung jarinya. Dia tidak butuh aku. Kata-kata itu terus berulang di kepalanya, mencabik-cabik harapan kecil yang masih berusaha ia genggam. Galliard, teman Damian yang sejak tadi diam, tiba-tiba berdiri. Rahangnya mengeras, matanya menatap Damian dengan tajam. "Damian, cukup," katanya dengan suara rendah namun tegas. "Kamu sudah terlalu jauh." Damian menoleh ke arahnya, dan dalam sepersekian detik— BUGH! Tinju Damian mendarat di wajah Galliard, membuatnya terhuyung ke belakang. Camila tersentak. "Damian, hentikan!" teriaknya, suaranya bergetar antara ketakutan dan keputusasaan. "Kenapa? kamu mau membelanya?" Damian sudah terbakar emosi. Dadanya naik turun, napasnya berat, dan sorot matanya semakin gelap—bukan karena alkohol semata, tetapi karena kemarahan yang entah berasal dari mana. Camila, dengan tangan gemetar, meraih lengannya. "Damian, ayo kita pulang," suaranya penuh permohonan, nyaris putus asa. Namun, Damian hanya menatapnya sekilas—tanpa rasa. Dan dalam sekejap, dengan kasar, ia menepis tangan Camila hingga wanita itu hampir kehilangan keseimbangan. "Jangan sentuh aku!" Suaranya tajam, menusuk, memotong udara di antara mereka seperti pisau. Camila menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Tangannya yang tadi berusaha menggenggam Damian kini terasa kosong, menggigil karena perasaan dingin yang menjalar dari dalam hatinya sendiri. Namun sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi— BRUK! "Damian!""Terima kasih, Galliard." Galliard, pria itu, melirik ke arah Damian yang terbaring di kursi mobil, lalu menatap Camila yang tersenyum tipis. Meskipun senyum itu tampak sedikit dipaksakan. "Tidak apa-apa. Suamimu saja yang selalu merepotkan," ujarnya sambil tertawa kecil, seolah ingin mencairkan ketegangan yang membungkus mereka berdua. Pria itu menatap Camila dengan mata yang sulit dibaca, "Aku bisa membantumu lagi. Biar aku yang mengemudi," tawarnya dengan nada penuh perhatian. Camila menggeleng pelan, sambil melambaikan tangannya tanda menolak. "Tidak, tidak! Kamu sudah sangat membantu. Sekali lagi, terima kasih banyak," ucapnya dengan tulus. "Hm." Galliard hanya berdeham pelan, tidak memutuskan pandangannya pada Camila. "Terima kasih, nanti aku traktir. Oke?" Camila berkata dengan ceria, Galliard mengangguk dengan senyuman yang tersembunyi. Tentu, perasaan itu membuncah dalam dada Galliard. Camila... selalu berhasil membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Dan seperti bi
Netra kelam itu mengerjap perlahan, matanya masih terasa berat. Bayangan samar mulai terbentuk saat kelopak matanya terangkat. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah leher putih jenjang seorang wanita. Kalung berbandul mawar merah yang berkilau tampak menggantung di sana. Ia mendongak, mendapati wajah Camila. Wajah itu tampak tenang dalam tidur, Damian menghela napas lega. Beberapa saat ia terdiam, merasakan ketenangan yang datang setelah menjalani rutinitas yang melelahkan. Ia mendengar hembusan napas yang teratur dari wanita itu, Camila. Sesekali, pria itu mengerang kecil, karena rasa pusing yang menyerangnya. "Jam berapa sekarang?" gumam Damian dengan suara serak, hampir tak terdengar. Ia menggeliat, menarik selimut ke atas tubuh kekarnya yang merasakan dingin. Matanya melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 6 pagi. Itu artinya, ia baru tidur beberapa jam yang lalu. Meski biasanya ia bukan tipe yang tidur lama. Entah kenapa kali ini tubuhnya terasa begitu b
'Aku sudah meminta seseorang untuk mengirimkan gaun untukmu. Segera persiapkan dirimu, aku akan menjemput tepat pukul tujuh. Jangan membuatku menunggu.' Senyum tipis terbit di wajah manis perempuan itu. Pesan dari Damian membuat Camila, yang semula terbaring lesu di tempat tidur, segera bangun dan merapikan dirinya. Tak lama setelah itu, terdengar ketukan pintu yang cukup pelan. Camila segera bangkit dari kasurnya, berjalan dan meraih knop pintu dengan cepat, kepalanya menyembul, dan di depannya berdiri Aaron, pria berjas yang wajahnya selalu tampak kaku. "Nyonya, saya ingin menyerahkan ini dari Tuan," katanya dengan suara yang sopan. Menyerahkan bungkusan berisi gaun pada wanita itu. Camila tersenyum lebar, senang menerima perhatian dari Damian, meski dari perantara Aaron. "Terima kasih!" ujar Camila, penuh semangat. Aaron hanya mengangguk, tampak tetap tenang seperti biasanya. "Tuan menitipkan pesan, untuk selesai bersiap sebelum beliau datang menjemput." "Baiklah, baiklah! j
Mata gelap itu menatap istrinya. Raut wajahnya begitu berbeda dari biasanya. Camila, wanita yang selalu tampak tersenyum, kini menunjukkan ekspresi sama dinginnya yang ia sendiri tak kenal. "Kenapa kamu kesini? Apa Aaron tidak menyampaikan pesan dariku?" ujar Damian dengan suara. Camila hanya berdecak kecil. Senyum tipis meluncur di bibirnya, melurutkan ekspresi dingin tadi. "Dia melaksanakan tugasnya dengan baik," jawabnya pelan. Dengan gerakan cepat, ia menarik dasi Damian, memaksanya menunduk mendekat. "Hanya saja, aku tak bisa menahan diri untuk menemuimu." Bisikan halus itu merasuk di telinga Damian, membuatnya menghela napas berat. Camila—selalu agresif, selalu menantangnya. Namun dia? Hanya bisa diam, bersikap pasif. Damian berusaha mengalihkan pandangannya, namun Camila tidak memberi kesempatan. Dalam sekejap, ia berjinjit dan mengecup ujung bibir tebal Damian. Tanggapan tubuh pria itu kaku. Reaksi yang membuat Camila tersenyum tipis. Senyum Camila merekah. "Na
Cincin di jari manisnya berkilauan di bawah cahaya keemasan yang berpendar lembut dari lampu kristal di langit-langit. Berkilat seolah mengingatkan Camila akan perjalanan panjang yang telah ia jalani— penantian yang penuh harap, impian yang penuh kesungguhan, dan perjuangan yang akhirnya membawanya pada momen ini. Pria yang selama ini ia kagumi, kini berdiri disampingnya, sebagai suaminya. "Selamat atas pernikahanmu, Camila!" Suara ceria Maddy membawa senyum lebar ke wajah Camila. Sahabat yang selalu menemaninya, kini berdiri dengan senyum jahil yang begitu dikenalnya. "Aku masih nggak percaya kamu akhirnya menikah. Rasanya baru kemarin kamu cerita dengan mata berbinar tentang betapa sempurnanya dia di matamu," kata Maddy, dengan tatapan menggodanya. Seakan memutar kembali setiap kisah yang Camila ceritakan tentang pria yang kini resmi menjadi suaminya. "Maddy, kamu benar-benar nggak pernah berubah," ujar Camila, setengah berbisik, malu namun juga tak bisa menahan tawa kecil
Dua tahun pernikahan yang mereka jalani, dan terhitung lima tahun sudah perjuangan Camila Amorette untuk memenangkan cinta suaminya, Damian Ravensdale. Selama itu, Damian tetap teguh dalam dunia sepinya, seolah terperangkap dalam rutinitas tanpa pernah peduli dengan perubahan sekitar. Keberadaannya yang penuh kendali, jauh dari ekspresi emosional, berlawanan dengan Camila yang selalu terbawa perasaan, seorang wanita yang penuh harapan dan hasrat untuk meraih cinta sang suami. "Sayang..." Panggilan lembut itu menggema di dalam ruangan yang sunyi, namun meskipun kata-kata itu penuh dengan harapan, Damian tetap terfokus pada berkas yang memenuhi mejanya. Tangannya bergerak cepat, pena di tangan bergerak tanpa henti, seolah menepis keberadaan Camila yang kini berdiri di sampingnya. Gaun satin gading yang membalut tubuh Camila memancarkan aura anggun, seperti lukisan klasik yang hidup. Wajahnya tampak sempurna dengan riasan lembut, rambutnya yang terurai rapi menambah kecantikanny
Mata gelap itu menatap istrinya. Raut wajahnya begitu berbeda dari biasanya. Camila, wanita yang selalu tampak tersenyum, kini menunjukkan ekspresi sama dinginnya yang ia sendiri tak kenal. "Kenapa kamu kesini? Apa Aaron tidak menyampaikan pesan dariku?" ujar Damian dengan suara. Camila hanya berdecak kecil. Senyum tipis meluncur di bibirnya, melurutkan ekspresi dingin tadi. "Dia melaksanakan tugasnya dengan baik," jawabnya pelan. Dengan gerakan cepat, ia menarik dasi Damian, memaksanya menunduk mendekat. "Hanya saja, aku tak bisa menahan diri untuk menemuimu." Bisikan halus itu merasuk di telinga Damian, membuatnya menghela napas berat. Camila—selalu agresif, selalu menantangnya. Namun dia? Hanya bisa diam, bersikap pasif. Damian berusaha mengalihkan pandangannya, namun Camila tidak memberi kesempatan. Dalam sekejap, ia berjinjit dan mengecup ujung bibir tebal Damian. Tanggapan tubuh pria itu kaku. Reaksi yang membuat Camila tersenyum tipis. Senyum Camila merekah. "Na
'Aku sudah meminta seseorang untuk mengirimkan gaun untukmu. Segera persiapkan dirimu, aku akan menjemput tepat pukul tujuh. Jangan membuatku menunggu.' Senyum tipis terbit di wajah manis perempuan itu. Pesan dari Damian membuat Camila, yang semula terbaring lesu di tempat tidur, segera bangun dan merapikan dirinya. Tak lama setelah itu, terdengar ketukan pintu yang cukup pelan. Camila segera bangkit dari kasurnya, berjalan dan meraih knop pintu dengan cepat, kepalanya menyembul, dan di depannya berdiri Aaron, pria berjas yang wajahnya selalu tampak kaku. "Nyonya, saya ingin menyerahkan ini dari Tuan," katanya dengan suara yang sopan. Menyerahkan bungkusan berisi gaun pada wanita itu. Camila tersenyum lebar, senang menerima perhatian dari Damian, meski dari perantara Aaron. "Terima kasih!" ujar Camila, penuh semangat. Aaron hanya mengangguk, tampak tetap tenang seperti biasanya. "Tuan menitipkan pesan, untuk selesai bersiap sebelum beliau datang menjemput." "Baiklah, baiklah! j
Netra kelam itu mengerjap perlahan, matanya masih terasa berat. Bayangan samar mulai terbentuk saat kelopak matanya terangkat. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah leher putih jenjang seorang wanita. Kalung berbandul mawar merah yang berkilau tampak menggantung di sana. Ia mendongak, mendapati wajah Camila. Wajah itu tampak tenang dalam tidur, Damian menghela napas lega. Beberapa saat ia terdiam, merasakan ketenangan yang datang setelah menjalani rutinitas yang melelahkan. Ia mendengar hembusan napas yang teratur dari wanita itu, Camila. Sesekali, pria itu mengerang kecil, karena rasa pusing yang menyerangnya. "Jam berapa sekarang?" gumam Damian dengan suara serak, hampir tak terdengar. Ia menggeliat, menarik selimut ke atas tubuh kekarnya yang merasakan dingin. Matanya melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 6 pagi. Itu artinya, ia baru tidur beberapa jam yang lalu. Meski biasanya ia bukan tipe yang tidur lama. Entah kenapa kali ini tubuhnya terasa begitu b
"Terima kasih, Galliard." Galliard, pria itu, melirik ke arah Damian yang terbaring di kursi mobil, lalu menatap Camila yang tersenyum tipis. Meskipun senyum itu tampak sedikit dipaksakan. "Tidak apa-apa. Suamimu saja yang selalu merepotkan," ujarnya sambil tertawa kecil, seolah ingin mencairkan ketegangan yang membungkus mereka berdua. Pria itu menatap Camila dengan mata yang sulit dibaca, "Aku bisa membantumu lagi. Biar aku yang mengemudi," tawarnya dengan nada penuh perhatian. Camila menggeleng pelan, sambil melambaikan tangannya tanda menolak. "Tidak, tidak! Kamu sudah sangat membantu. Sekali lagi, terima kasih banyak," ucapnya dengan tulus. "Hm." Galliard hanya berdeham pelan, tidak memutuskan pandangannya pada Camila. "Terima kasih, nanti aku traktir. Oke?" Camila berkata dengan ceria, Galliard mengangguk dengan senyuman yang tersembunyi. Tentu, perasaan itu membuncah dalam dada Galliard. Camila... selalu berhasil membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Dan seperti bi
Hujan yang baru saja reda masih menyisakan butiran air di sepanjang kaca depan mobil. Udara malam terasa dingin menusuk, bercampur dengan aroma tanah basah yang khas setelah hujan. Namun, bagi Camila, semua itu tak berarti apa-apa. Tangannya mencengkeram setir dengan erat, buku-buku jarinya memutih karena tekanan yang ia berikan. Nafasnya memburu, dadanya naik turun seiring dengan gelombang emosi yang terus menghantamnya tanpa ampun. Matanya yang penuh amarah menatap tajam ke depan, namun pikirannya berkecamuk, tenggelam dalam pusaran perasaan yang semakin tak terkendali. "Damian di bar. Dengan dua wanita." Kata-kata itu berputar di kepalanya seperti jarum-jarum kecil yang terus menusuk hatinya, membuatnya semakin sulit bernapas. Ada kemarahan yang membara di dadanya, tetapi ada juga rasa sakit yang lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan. Kenapa? Tanpa sadar, kakinya semakin dalam menekan pedal gas. Mobil yang dikemudikannya melesat di atas aspal yang masih sedikit licin aki
Dua tahun pernikahan yang mereka jalani, dan terhitung lima tahun sudah perjuangan Camila Amorette untuk memenangkan cinta suaminya, Damian Ravensdale. Selama itu, Damian tetap teguh dalam dunia sepinya, seolah terperangkap dalam rutinitas tanpa pernah peduli dengan perubahan sekitar. Keberadaannya yang penuh kendali, jauh dari ekspresi emosional, berlawanan dengan Camila yang selalu terbawa perasaan, seorang wanita yang penuh harapan dan hasrat untuk meraih cinta sang suami. "Sayang..." Panggilan lembut itu menggema di dalam ruangan yang sunyi, namun meskipun kata-kata itu penuh dengan harapan, Damian tetap terfokus pada berkas yang memenuhi mejanya. Tangannya bergerak cepat, pena di tangan bergerak tanpa henti, seolah menepis keberadaan Camila yang kini berdiri di sampingnya. Gaun satin gading yang membalut tubuh Camila memancarkan aura anggun, seperti lukisan klasik yang hidup. Wajahnya tampak sempurna dengan riasan lembut, rambutnya yang terurai rapi menambah kecantikanny
Cincin di jari manisnya berkilauan di bawah cahaya keemasan yang berpendar lembut dari lampu kristal di langit-langit. Berkilat seolah mengingatkan Camila akan perjalanan panjang yang telah ia jalani— penantian yang penuh harap, impian yang penuh kesungguhan, dan perjuangan yang akhirnya membawanya pada momen ini. Pria yang selama ini ia kagumi, kini berdiri disampingnya, sebagai suaminya. "Selamat atas pernikahanmu, Camila!" Suara ceria Maddy membawa senyum lebar ke wajah Camila. Sahabat yang selalu menemaninya, kini berdiri dengan senyum jahil yang begitu dikenalnya. "Aku masih nggak percaya kamu akhirnya menikah. Rasanya baru kemarin kamu cerita dengan mata berbinar tentang betapa sempurnanya dia di matamu," kata Maddy, dengan tatapan menggodanya. Seakan memutar kembali setiap kisah yang Camila ceritakan tentang pria yang kini resmi menjadi suaminya. "Maddy, kamu benar-benar nggak pernah berubah," ujar Camila, setengah berbisik, malu namun juga tak bisa menahan tawa kecil