Cincin di jari manisnya berkilauan di bawah cahaya keemasan yang berpendar lembut dari lampu kristal di langit-langit. Berkilat seolah mengingatkan Camila akan perjalanan panjang yang telah ia jalani— penantian yang penuh harap, impian yang penuh kesungguhan, dan perjuangan yang akhirnya membawanya pada momen ini. Pria yang selama ini ia kagumi, kini berdiri disampingnya, sebagai suaminya. "Selamat atas pernikahanmu, Camila!" Suara ceria Maddy membawa senyum lebar ke wajah Camila. Sahabat yang selalu menemaninya, kini berdiri dengan senyum jahil yang begitu dikenalnya. "Aku masih nggak percaya kamu akhirnya menikah. Rasanya baru kemarin kamu cerita dengan mata berbinar tentang betapa sempurnanya dia di matamu," kata Maddy, dengan tatapan menggodanya. Seakan memutar kembali setiap kisah yang Camila ceritakan tentang pria yang kini resmi menjadi suaminya. "Maddy, kamu benar-benar nggak pernah berubah," ujar Camila, setengah berbisik, malu namun juga tak bisa menahan tawa kecil
Dua tahun pernikahan yang mereka jalani, dan terhitung lima tahun sudah perjuangan Camila Amorette untuk memenangkan cinta suaminya, Damian Ravensdale. Selama itu, Damian tetap teguh dalam dunia sepinya, seolah terperangkap dalam rutinitas tanpa pernah peduli dengan perubahan sekitar. Keberadaannya yang penuh kendali, jauh dari ekspresi emosional, berlawanan dengan Camila yang selalu terbawa perasaan, seorang wanita yang penuh harapan dan hasrat untuk meraih cinta sang suami. "Sayang..." Panggilan lembut itu menggema di dalam ruangan yang sunyi, namun meskipun kata-kata itu penuh dengan harapan, Damian tetap terfokus pada berkas yang memenuhi mejanya. Tangannya bergerak cepat, pena di tangan bergerak tanpa henti, seolah menepis keberadaan Camila yang kini berdiri di sampingnya. Gaun satin gading yang membalut tubuh Camila memancarkan aura anggun, seperti lukisan klasik yang hidup. Wajahnya tampak sempurna dengan riasan lembut, rambutnya yang terurai rapi menambah kecantikanny
Hujan yang baru saja reda masih menyisakan butiran air di sepanjang kaca depan mobil. Udara malam terasa dingin menusuk, bercampur dengan aroma tanah basah yang khas setelah hujan. Namun, bagi Camila, semua itu tak berarti apa-apa. Tangannya mencengkeram setir dengan erat, buku-buku jarinya memutih karena tekanan yang ia berikan. Nafasnya memburu, dadanya naik turun seiring dengan gelombang emosi yang terus menghantamnya tanpa ampun. Matanya yang penuh amarah menatap tajam ke depan, namun pikirannya berkecamuk, tenggelam dalam pusaran perasaan yang semakin tak terkendali. "Damian di bar. Dengan dua wanita." Kata-kata itu berputar di kepalanya seperti jarum-jarum kecil yang terus menusuk hatinya, membuatnya semakin sulit bernapas. Ada kemarahan yang membara di dadanya, tetapi ada juga rasa sakit yang lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan. Kenapa? Tanpa sadar, kakinya semakin dalam menekan pedal gas. Mobil yang dikemudikannya melesat di atas aspal yang masih sedikit licin aki
"Terima kasih, Galliard." Galliard, pria itu, melirik ke arah Damian yang terbaring di kursi mobil, lalu menatap Camila yang tersenyum tipis. Meskipun senyum itu tampak sedikit dipaksakan. "Tidak apa-apa. Suamimu saja yang selalu merepotkan," ujarnya sambil tertawa kecil, seolah ingin mencairkan ketegangan yang membungkus mereka berdua. Pria itu menatap Camila dengan mata yang sulit dibaca, "Aku bisa membantumu lagi. Biar aku yang mengemudi," tawarnya dengan nada penuh perhatian. Camila menggeleng pelan, sambil melambaikan tangannya tanda menolak. "Tidak, tidak! Kamu sudah sangat membantu. Sekali lagi, terima kasih banyak," ucapnya dengan tulus. "Hm." Galliard hanya berdeham pelan, tidak memutuskan pandangannya pada Camila. "Terima kasih, nanti aku traktir. Oke?" Camila berkata dengan ceria, Galliard mengangguk dengan senyuman yang tersembunyi. Tentu, perasaan itu membuncah dalam dada Galliard. Camila... selalu berhasil membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Dan seperti bi
Netra kelam itu mengerjap perlahan, matanya masih terasa berat. Bayangan samar mulai terbentuk saat kelopak matanya terangkat. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah leher putih jenjang seorang wanita. Kalung berbandul mawar merah yang berkilau tampak menggantung di sana. Ia mendongak, mendapati wajah Camila. Wajah itu tampak tenang dalam tidur, Damian menghela napas lega. Beberapa saat ia terdiam, merasakan ketenangan yang datang setelah menjalani rutinitas yang melelahkan. Ia mendengar hembusan napas yang teratur dari wanita itu, Camila. Sesekali, pria itu mengerang kecil, karena rasa pusing yang menyerangnya. "Jam berapa sekarang?" gumam Damian dengan suara serak, hampir tak terdengar. Ia menggeliat, menarik selimut ke atas tubuh kekarnya yang merasakan dingin. Matanya melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 6 pagi. Itu artinya, ia baru tidur beberapa jam yang lalu. Meski biasanya ia bukan tipe yang tidur lama. Entah kenapa kali ini tubuhnya terasa begitu b
'Aku sudah meminta seseorang untuk mengirimkan gaun untukmu. Segera persiapkan dirimu, aku akan menjemput tepat pukul tujuh. Jangan membuatku menunggu.' Senyum tipis terbit di wajah manis perempuan itu. Pesan dari Damian membuat Camila, yang semula terbaring lesu di tempat tidur, segera bangun dan merapikan dirinya. Tak lama setelah itu, terdengar ketukan pintu yang cukup pelan. Camila segera bangkit dari kasurnya, berjalan dan meraih knop pintu dengan cepat, kepalanya menyembul, dan di depannya berdiri Aaron, pria berjas yang wajahnya selalu tampak kaku. "Nyonya, saya ingin menyerahkan ini dari Tuan," katanya dengan suara yang sopan. Menyerahkan bungkusan berisi gaun pada wanita itu. Camila tersenyum lebar, senang menerima perhatian dari Damian, meski dari perantara Aaron. "Terima kasih!" ujar Camila, penuh semangat. Aaron hanya mengangguk, tampak tetap tenang seperti biasanya. "Tuan menitipkan pesan, untuk selesai bersiap sebelum beliau datang menjemput." "Baiklah, baiklah! j
Mata gelap itu menatap istrinya. Raut wajahnya begitu berbeda dari biasanya. Camila, wanita yang selalu tampak tersenyum, kini menunjukkan ekspresi sama dinginnya yang ia sendiri tak kenal. "Kenapa kamu kesini? Apa Aaron tidak menyampaikan pesan dariku?" ujar Damian dengan suara. Camila hanya berdecak kecil. Senyum tipis meluncur di bibirnya, melurutkan ekspresi dingin tadi. "Dia melaksanakan tugasnya dengan baik," jawabnya pelan. Dengan gerakan cepat, ia menarik dasi Damian, memaksanya menunduk mendekat. "Hanya saja, aku tak bisa menahan diri untuk menemuimu." Bisikan halus itu merasuk di telinga Damian, membuatnya menghela napas berat. Camila—selalu agresif, selalu menantangnya. Namun dia? Hanya bisa diam, bersikap pasif. Damian berusaha mengalihkan pandangannya, namun Camila tidak memberi kesempatan. Dalam sekejap, ia berjinjit dan mengecup ujung bibir tebal Damian. Tanggapan tubuh pria itu kaku. Reaksi yang membuat Camila tersenyum tipis. Senyum Camila merekah. "Na
'Aku sudah meminta seseorang untuk mengirimkan gaun untukmu. Segera persiapkan dirimu, aku akan menjemput tepat pukul tujuh. Jangan membuatku menunggu.' Senyum tipis terbit di wajah manis perempuan itu. Pesan dari Damian membuat Camila, yang semula terbaring lesu di tempat tidur, segera bangun dan merapikan dirinya. Tak lama setelah itu, terdengar ketukan pintu yang cukup pelan. Camila segera bangkit dari kasurnya, berjalan dan meraih knop pintu dengan cepat, kepalanya menyembul, dan di depannya berdiri Aaron, pria berjas yang wajahnya selalu tampak kaku. "Nyonya, saya ingin menyerahkan ini dari Tuan," katanya dengan suara yang sopan. Menyerahkan bungkusan berisi gaun pada wanita itu. Camila tersenyum lebar, senang menerima perhatian dari Damian, meski dari perantara Aaron. "Terima kasih!" ujar Camila, penuh semangat. Aaron hanya mengangguk, tampak tetap tenang seperti biasanya. "Tuan menitipkan pesan, untuk selesai bersiap sebelum beliau datang menjemput." "Baiklah, baiklah! j
Netra kelam itu mengerjap perlahan, matanya masih terasa berat. Bayangan samar mulai terbentuk saat kelopak matanya terangkat. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah leher putih jenjang seorang wanita. Kalung berbandul mawar merah yang berkilau tampak menggantung di sana. Ia mendongak, mendapati wajah Camila. Wajah itu tampak tenang dalam tidur, Damian menghela napas lega. Beberapa saat ia terdiam, merasakan ketenangan yang datang setelah menjalani rutinitas yang melelahkan. Ia mendengar hembusan napas yang teratur dari wanita itu, Camila. Sesekali, pria itu mengerang kecil, karena rasa pusing yang menyerangnya. "Jam berapa sekarang?" gumam Damian dengan suara serak, hampir tak terdengar. Ia menggeliat, menarik selimut ke atas tubuh kekarnya yang merasakan dingin. Matanya melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 6 pagi. Itu artinya, ia baru tidur beberapa jam yang lalu. Meski biasanya ia bukan tipe yang tidur lama. Entah kenapa kali ini tubuhnya terasa begitu b
"Terima kasih, Galliard." Galliard, pria itu, melirik ke arah Damian yang terbaring di kursi mobil, lalu menatap Camila yang tersenyum tipis. Meskipun senyum itu tampak sedikit dipaksakan. "Tidak apa-apa. Suamimu saja yang selalu merepotkan," ujarnya sambil tertawa kecil, seolah ingin mencairkan ketegangan yang membungkus mereka berdua. Pria itu menatap Camila dengan mata yang sulit dibaca, "Aku bisa membantumu lagi. Biar aku yang mengemudi," tawarnya dengan nada penuh perhatian. Camila menggeleng pelan, sambil melambaikan tangannya tanda menolak. "Tidak, tidak! Kamu sudah sangat membantu. Sekali lagi, terima kasih banyak," ucapnya dengan tulus. "Hm." Galliard hanya berdeham pelan, tidak memutuskan pandangannya pada Camila. "Terima kasih, nanti aku traktir. Oke?" Camila berkata dengan ceria, Galliard mengangguk dengan senyuman yang tersembunyi. Tentu, perasaan itu membuncah dalam dada Galliard. Camila... selalu berhasil membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Dan seperti bi
Hujan yang baru saja reda masih menyisakan butiran air di sepanjang kaca depan mobil. Udara malam terasa dingin menusuk, bercampur dengan aroma tanah basah yang khas setelah hujan. Namun, bagi Camila, semua itu tak berarti apa-apa. Tangannya mencengkeram setir dengan erat, buku-buku jarinya memutih karena tekanan yang ia berikan. Nafasnya memburu, dadanya naik turun seiring dengan gelombang emosi yang terus menghantamnya tanpa ampun. Matanya yang penuh amarah menatap tajam ke depan, namun pikirannya berkecamuk, tenggelam dalam pusaran perasaan yang semakin tak terkendali. "Damian di bar. Dengan dua wanita." Kata-kata itu berputar di kepalanya seperti jarum-jarum kecil yang terus menusuk hatinya, membuatnya semakin sulit bernapas. Ada kemarahan yang membara di dadanya, tetapi ada juga rasa sakit yang lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan. Kenapa? Tanpa sadar, kakinya semakin dalam menekan pedal gas. Mobil yang dikemudikannya melesat di atas aspal yang masih sedikit licin aki
Dua tahun pernikahan yang mereka jalani, dan terhitung lima tahun sudah perjuangan Camila Amorette untuk memenangkan cinta suaminya, Damian Ravensdale. Selama itu, Damian tetap teguh dalam dunia sepinya, seolah terperangkap dalam rutinitas tanpa pernah peduli dengan perubahan sekitar. Keberadaannya yang penuh kendali, jauh dari ekspresi emosional, berlawanan dengan Camila yang selalu terbawa perasaan, seorang wanita yang penuh harapan dan hasrat untuk meraih cinta sang suami. "Sayang..." Panggilan lembut itu menggema di dalam ruangan yang sunyi, namun meskipun kata-kata itu penuh dengan harapan, Damian tetap terfokus pada berkas yang memenuhi mejanya. Tangannya bergerak cepat, pena di tangan bergerak tanpa henti, seolah menepis keberadaan Camila yang kini berdiri di sampingnya. Gaun satin gading yang membalut tubuh Camila memancarkan aura anggun, seperti lukisan klasik yang hidup. Wajahnya tampak sempurna dengan riasan lembut, rambutnya yang terurai rapi menambah kecantikanny
Cincin di jari manisnya berkilauan di bawah cahaya keemasan yang berpendar lembut dari lampu kristal di langit-langit. Berkilat seolah mengingatkan Camila akan perjalanan panjang yang telah ia jalani— penantian yang penuh harap, impian yang penuh kesungguhan, dan perjuangan yang akhirnya membawanya pada momen ini. Pria yang selama ini ia kagumi, kini berdiri disampingnya, sebagai suaminya. "Selamat atas pernikahanmu, Camila!" Suara ceria Maddy membawa senyum lebar ke wajah Camila. Sahabat yang selalu menemaninya, kini berdiri dengan senyum jahil yang begitu dikenalnya. "Aku masih nggak percaya kamu akhirnya menikah. Rasanya baru kemarin kamu cerita dengan mata berbinar tentang betapa sempurnanya dia di matamu," kata Maddy, dengan tatapan menggodanya. Seakan memutar kembali setiap kisah yang Camila ceritakan tentang pria yang kini resmi menjadi suaminya. "Maddy, kamu benar-benar nggak pernah berubah," ujar Camila, setengah berbisik, malu namun juga tak bisa menahan tawa kecil