"Terima kasih, Galliard."
Galliard, pria itu, melirik ke arah Damian yang terbaring di kursi mobil, lalu menatap Camila yang tersenyum tipis. Meskipun senyum itu tampak sedikit dipaksakan. "Tidak apa-apa. Suamimu saja yang selalu merepotkan," ujarnya sambil tertawa kecil, seolah ingin mencairkan ketegangan yang membungkus mereka berdua. Pria itu menatap Camila dengan mata yang sulit dibaca, "Aku bisa membantumu lagi. Biar aku yang mengemudi," tawarnya dengan nada penuh perhatian. Camila menggeleng pelan, sambil melambaikan tangannya tanda menolak. "Tidak, tidak! Kamu sudah sangat membantu. Sekali lagi, terima kasih banyak," ucapnya dengan tulus. "Hm." Galliard hanya berdeham pelan, tidak memutuskan pandangannya pada Camila. "Terima kasih, nanti aku traktir. Oke?" Camila berkata dengan ceria, Galliard mengangguk dengan senyuman yang tersembunyi. Tentu, perasaan itu membuncah dalam dada Galliard. Camila... selalu berhasil membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Dan seperti biasa, perasaan itu terasa seperti dejavu. Semua terasa begitu familiar, berputar-putar dalam kerinduan. "Akan kutagih janjimu," jawab Galliard singkat dan berbalik pergi, tanpa bisa menyembunyikan senyuman tipis yang kini mengembang di wajahnya. Hanya senyuman tipis terukir, setelah itu ia masuk ke dalam mobilnya dan duduk di kursi kemudi. Tatapannya lurus ke depan. Namun, kembali melirik ke samping, di mana Damian masih terbaring, tak kunjung sadar. Perasaan campur aduk menghimpit dadanya. Ia meremas rambutnya, keningnya bertumpu pada stir kemudi. Lalu, perlahan, ia menoleh, senyuman tipis terukir di bibirnya. Melihat wajah damai suaminya yang terlelap. Ia tahu, dirinya begitu egois. Mungkin, orang-orang tidak akan pernah melupakan bagaimana Camila, perempuan yang tak tahu malu, dengan gigih mengejar Damian dan akhirnya berhasil menjebaknya dalam pernikahan yang sudah ia rencanakan. Namun, apakah mereka benar-benar tahu kebenaran yang sesungguhnya? "Maaf," ujarnya pelan, hampir tak terdengar. Suaranya begitu halus. Dengan hati-hati, ia mengusap dahi Damian dan mengecup kening pria itu dengan lembut. Tangan lentiknya turun, mengusap rahang tegas yang biasanya terasa dingin, namun kini terasa lebih lembut. Suasana mobil semakin gelap, hanya sinar lampu jalan yang menembus kaca, menyinari wajahnya yang sembab. Camila sengaja tidak menyalakan lampu mobil, berusaha menyembunyikan wajah sembab yang tak bisa ia sembunyikan lagi. Kepalanya disandarkan pada bahu Damian, perlahan menghapus air mata yang masih jatuh, membasahi baju pria itu. "Maaf," bisiknya dengan suara yang berat, "Aku belum cukup berjuang. Aku tidak bisa berhenti begitu saja." Ia meremas baju Damian, semakin menenggelamkan wajahnya pada tubuh pria itu. Camila tahu, meskipun ada aroma parfum asing yang menempel di baju Damian, bukan itu yang membuat hatinya sakit. Namun, suara deheman berat Damian yang sepertinya terbangun oleh gerakan lembutnya, membuatnya kaget. "D-Damian?" suaranya bergetar, matanya melebar, mencari tanda bahwa suaminya sadar dan mendengar. "Hm." jawab Damian dengan suara serak, matanya tetap terpejam. Camila tersenyum tipis, lalu meraih pipi pria itu, dengan lembut memaksanya untuk membuka mata dan menatap wajahnya. "Pusing?" kata Camila dengan nada penuh kekhawatiran. Bau alkohol yang kuat tercium jelas, membuatnya semakin cemas dengan kondisi Damian. Namun, tatapan pria itu tak terbaca. Wajahnya sayu, namun matanya menatap Camila dengan intens. Bukannya menjawab pertanyaan tersebut. Dia malah berkata lain. "Kamu mendengarnya." ucap Damian dengan suara yang lebih berat. Ada raut yang sulit dibaca di wajahnya. Camila terdiam sejenak, matanya menatap kosong. "Tentu," jawabnya. "Aku mendengarnya." Damian berdecak pelan, memijat keningnya yang tampak sedikit berat. Lalu, ia melirik Camila dengan tatapan yang sulit diartikan. Terdiam sejenak, matanya meneliti wajah sendu wanita itu, "Lalu, kenapa kamu masih bisa bersikap biasa saja?" pertanyaan itu terlontar dengan datar. Camila maju sedikit, menyentuh pipi Damian yang memerah karena alkohol. Tatapan pria itu semakin sayu. Camila menunduk, lalu mendongak seraya tersenyum lebar. "Karena aku mencintaimu," 'Meskipun semuanya terasa begitu rumit.' lanjutnya dalam hati. Hembusan napas yang lembut namun sarat makna menyentuh pipi Damian. Dengan mata tajam yang tak pernah lepas darinya, tetap memandangnya tanpa mengubah ekspresi wajahnya yang datar. Damian terdiam sejenak, matanya terpejam, seolah berpikir keras. "Cinta tidak akan cukup, Camila." Suaranya terdengar tajam, namun ada sedikit kelembutan yang menyelip. "Sekarang, itu lebih dari cukup." balasnya, suaranya lebih lembut. Tangan kecil Camila bergerak perlahan, mendekatkan tubuhnya pada tubuh Damian, seolah mengungkung pria bertubuh besar itu di antara kursi dan pintu mobil. Keheningan malam menyelimuti mereka, hanya suara desiran napas dan detak jantung. Damian tetap diam, tak bergerak sedikit pun, hanya matanya yang sedikit menyipit, mengikuti setiap gerakan tubuh Camila yang semakin mendekat. Dengan gerakan yang tak terduga, Camila mencondongkan tubuhnya, mencium pipi Damian dengan lembut, hanya sekejap. Damian tak terkejut. Bahkan, ia tak menunjukkan ekspresi apa pun, tetap diam dan tak bergerak. Namun, matanya, sedari tadi terfokus pada wajah Camila, tak dapat mengalihkan pandangan dari wajah cantik yang terkena bias cahaya bulan. Tersenyum penuh binar dengan mata sembab. "Ayo pulang." *** "Permisi Nyonya, saya taruh di sini, ya." Pembantu di rumah mereka berbicara dengan lembut, meletakkan segelas air putih dan baju piyama di meja samping tempat tidur mereka. Camilla tersenyum dan berterima kasih, pembantu tersebut pamit meninggalkan mereka di kamar. Camila mendekat, matanya terfokus pada Damian yang masih terbaring di tempat tidur. Ia membuka sepatu pria itu dengan hati-hati, melihat setelan Damian yang sama persis dengan yang ia lihat saat di kantor tadi siang. Dari dulu, Camila sudah tahu bahwa suaminya, Damian, memang kuat dengan alkohol, meskipun pria itu sangat jarang mabuk. Namun, sekali pria itu mulai mengonsumsinya, terkadang ia selalu menghabiskan banyak botol. Tangan kecilnya bergerak, membukakan pakaian pria itu, sementara tatapannya jatuh pada raut wajah Damian yang tampak mengeras. Pria itu tampak bergerak tak nyaman, seolah terjaga, namun tetap tidak memberi reaksi. "Dam?" panggilnya dengan suara pelan, mencoba membangunkan Damian. Dengan hati-hati, Camila menyingkap rambut Damian yang hampir menutupi matanya. Dahi pria itu tampak berkeringat, seolah mimpi buruk mengganggunya. "Damian, ada apa?" Beberapa saat kemudian, matanya terbuka, namun cengkraman pada pinggang Camila membuatnya tersentak dan meringis. Sentakan itu membuat tubuh keduanya semakin menempel dengan Damian yang berbaring. Matanya terbuka lebar, menatap penuh wajah Camila yang terlihat cemas. Namun, wajahnya kembali berekspresi dingin, seolah tidak ingin menunjukkan kelemahan. "Hei, Damian, dengar aku? Kamu mimpi buruk?" tanya Camila dengan suara lembut. Tangan kecilnya bergerak mengelus wajah Damian, mencoba memberi kenyamanan. Damian menutup matanya kembali. "Berhenti menggangguku," jawabnya dengan suara serak, nada sedikit tajam. Camila terkejut, hendak bangkit, "Aku hanya mencoba membantu— " Namun, Damian dengan cepat meraih tengkuknya, mencengkram erat, memaksa Camila memandang wajah dinginnya. "Tidak butuh," ucapnya dengan suara yang tegas. "Kamu tidak mengerti, kan?" Sorot wajah Camila kembali memancarkan kesedihan yang tak mampu ia sembunyikan, namun sayangnya, Damian tampak tak tergerak. Ekspresinya tetap dingin, seolah membangun tembok tebal yang sulit ditembus. Dalam hitungan detik, pria itu mengubah posisinya, tubuh besarnya kini menindih tubuh mungil Camila dengan tatapan tajam penuh dominasi. Tangan Damian yang kuat langsung meraih pergelangan tangan Camila, menguncinya dengan genggaman erat. Camila terkejut, tubuhnya refleks bergerak mundur mendapat gerakan kasar, tetapi upayanya sia-sia. Damian terlalu kuat. Napasnya memburu, dan sebelum sempat mengatakan apa pun, sentuhan dingin menyentuh bibirnya- kasar, mendominasi, dan penuh amarah. Lumatan itu menyakitkan, meninggalkan bekas gigitan yang menggores permukaan bibir lembutnya. Hidung mancung mereka saling bersentuhan, satu tangan kekarnya menahan kedua tangan Camila yang meremang saat merasakan cengkraman tangan Damian yang menyusup di antara bajunya, menyentuh kulit pinggangnya dengan cara yang tak terelakkan "Kamu bilang hanya ingin membantu?" Suara Damian terdenga parau. la melepaskan ciumannya, matanya yang gelap menatap tajam ke dalam mata Camila yang kini dipenuhi ketakutan. Damian mendekatkan wajahnya, hingga jarak mereka nyaris tak bersisa. Camila menelan ludah, mencoba mengendalikan gemetar di tubuhnya. Napas Damian yang berat masih terdengar di ruang yang kini sunyi. "Kalau begitu, aku akan membuatmu ingat batasan," desisnya, suaranya terdengar rendah dan dingin, menusuk hingga ke relung hati Camila. "Dan memastikan kamu tidak akan pernah mencoba melewatinya lagi." Saat itu, tatapan Damian memancarkan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tak pernah Camila temui sebelumnya. Bukan sekadar dingin atau tajam, sorot mata itu seperti membawa luka, amarah, dan sesuatu yang lebih gelap. --- Perhatian : Masa lalu para tokoh masih belum terungkap, ikutin terus alurnya untuk mengungkap kebenaran ^_^Netra kelam itu mengerjap perlahan, matanya masih terasa berat. Bayangan samar mulai terbentuk saat kelopak matanya terangkat. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah leher putih jenjang seorang wanita. Kalung berbandul mawar merah yang berkilau tampak menggantung di sana. Ia mendongak, mendapati wajah Camila. Wajah itu tampak tenang dalam tidur, Damian menghela napas lega. Beberapa saat ia terdiam, merasakan ketenangan yang datang setelah menjalani rutinitas yang melelahkan. Ia mendengar hembusan napas yang teratur dari wanita itu, Camila. Sesekali, pria itu mengerang kecil, karena rasa pusing yang menyerangnya. "Jam berapa sekarang?" gumam Damian dengan suara serak, hampir tak terdengar. Ia menggeliat, menarik selimut ke atas tubuh kekarnya yang merasakan dingin. Matanya melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 6 pagi. Itu artinya, ia baru tidur beberapa jam yang lalu. Meski biasanya ia bukan tipe yang tidur lama. Entah kenapa kali ini tubuhnya terasa begitu b
'Aku sudah meminta seseorang untuk mengirimkan gaun untukmu. Segera persiapkan dirimu, aku akan menjemput tepat pukul tujuh. Jangan membuatku menunggu.' Senyum tipis terbit di wajah manis perempuan itu. Pesan dari Damian membuat Camila, yang semula terbaring lesu di tempat tidur, segera bangun dan merapikan dirinya. Tak lama setelah itu, terdengar ketukan pintu yang cukup pelan. Camila segera bangkit dari kasurnya, berjalan dan meraih knop pintu dengan cepat, kepalanya menyembul, dan di depannya berdiri Aaron, pria berjas yang wajahnya selalu tampak kaku. "Nyonya, saya ingin menyerahkan ini dari Tuan," katanya dengan suara yang sopan. Menyerahkan bungkusan berisi gaun pada wanita itu. Camila tersenyum lebar, senang menerima perhatian dari Damian, meski dari perantara Aaron. "Terima kasih!" ujar Camila, penuh semangat. Aaron hanya mengangguk, tampak tetap tenang seperti biasanya. "Tuan menitipkan pesan, untuk selesai bersiap sebelum beliau datang menjemput." "Baiklah, baiklah! j
Mata gelap itu menatap istrinya. Raut wajahnya begitu berbeda dari biasanya. Camila, wanita yang selalu tampak tersenyum, kini menunjukkan ekspresi sama dinginnya yang ia sendiri tak kenal. "Kenapa kamu kesini? Apa Aaron tidak menyampaikan pesan dariku?" ujar Damian dengan suara. Camila hanya berdecak kecil. Senyum tipis meluncur di bibirnya, melurutkan ekspresi dingin tadi. "Dia melaksanakan tugasnya dengan baik," jawabnya pelan. Dengan gerakan cepat, ia menarik dasi Damian, memaksanya menunduk mendekat. "Hanya saja, aku tak bisa menahan diri untuk menemuimu." Bisikan halus itu merasuk di telinga Damian, membuatnya menghela napas berat. Camila—selalu agresif, selalu menantangnya. Namun dia? Hanya bisa diam, bersikap pasif. Damian berusaha mengalihkan pandangannya, namun Camila tidak memberi kesempatan. Dalam sekejap, ia berjinjit dan mengecup ujung bibir tebal Damian. Tanggapan tubuh pria itu kaku. Reaksi yang membuat Camila tersenyum tipis. Senyum Camila merekah. "Na
Cincin di jari manisnya berkilauan di bawah cahaya keemasan yang berpendar lembut dari lampu kristal di langit-langit. Berkilat seolah mengingatkan Camila akan perjalanan panjang yang telah ia jalani— penantian yang penuh harap, impian yang penuh kesungguhan, dan perjuangan yang akhirnya membawanya pada momen ini. Pria yang selama ini ia kagumi, kini berdiri disampingnya, sebagai suaminya. "Selamat atas pernikahanmu, Camila!" Suara ceria Maddy membawa senyum lebar ke wajah Camila. Sahabat yang selalu menemaninya, kini berdiri dengan senyum jahil yang begitu dikenalnya. "Aku masih nggak percaya kamu akhirnya menikah. Rasanya baru kemarin kamu cerita dengan mata berbinar tentang betapa sempurnanya dia di matamu," kata Maddy, dengan tatapan menggodanya. Seakan memutar kembali setiap kisah yang Camila ceritakan tentang pria yang kini resmi menjadi suaminya. "Maddy, kamu benar-benar nggak pernah berubah," ujar Camila, setengah berbisik, malu namun juga tak bisa menahan tawa kecil
Dua tahun pernikahan yang mereka jalani, dan terhitung lima tahun sudah perjuangan Camila Amorette untuk memenangkan cinta suaminya, Damian Ravensdale. Selama itu, Damian tetap teguh dalam dunia sepinya, seolah terperangkap dalam rutinitas tanpa pernah peduli dengan perubahan sekitar. Keberadaannya yang penuh kendali, jauh dari ekspresi emosional, berlawanan dengan Camila yang selalu terbawa perasaan, seorang wanita yang penuh harapan dan hasrat untuk meraih cinta sang suami. "Sayang..." Panggilan lembut itu menggema di dalam ruangan yang sunyi, namun meskipun kata-kata itu penuh dengan harapan, Damian tetap terfokus pada berkas yang memenuhi mejanya. Tangannya bergerak cepat, pena di tangan bergerak tanpa henti, seolah menepis keberadaan Camila yang kini berdiri di sampingnya. Gaun satin gading yang membalut tubuh Camila memancarkan aura anggun, seperti lukisan klasik yang hidup. Wajahnya tampak sempurna dengan riasan lembut, rambutnya yang terurai rapi menambah kecantikanny
Hujan yang baru saja reda masih menyisakan butiran air di sepanjang kaca depan mobil. Udara malam terasa dingin menusuk, bercampur dengan aroma tanah basah yang khas setelah hujan. Namun, bagi Camila, semua itu tak berarti apa-apa. Tangannya mencengkeram setir dengan erat, buku-buku jarinya memutih karena tekanan yang ia berikan. Nafasnya memburu, dadanya naik turun seiring dengan gelombang emosi yang terus menghantamnya tanpa ampun. Matanya yang penuh amarah menatap tajam ke depan, namun pikirannya berkecamuk, tenggelam dalam pusaran perasaan yang semakin tak terkendali. "Damian di bar. Dengan dua wanita." Kata-kata itu berputar di kepalanya seperti jarum-jarum kecil yang terus menusuk hatinya, membuatnya semakin sulit bernapas. Ada kemarahan yang membara di dadanya, tetapi ada juga rasa sakit yang lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan. Kenapa? Tanpa sadar, kakinya semakin dalam menekan pedal gas. Mobil yang dikemudikannya melesat di atas aspal yang masih sedikit licin aki
Mata gelap itu menatap istrinya. Raut wajahnya begitu berbeda dari biasanya. Camila, wanita yang selalu tampak tersenyum, kini menunjukkan ekspresi sama dinginnya yang ia sendiri tak kenal. "Kenapa kamu kesini? Apa Aaron tidak menyampaikan pesan dariku?" ujar Damian dengan suara. Camila hanya berdecak kecil. Senyum tipis meluncur di bibirnya, melurutkan ekspresi dingin tadi. "Dia melaksanakan tugasnya dengan baik," jawabnya pelan. Dengan gerakan cepat, ia menarik dasi Damian, memaksanya menunduk mendekat. "Hanya saja, aku tak bisa menahan diri untuk menemuimu." Bisikan halus itu merasuk di telinga Damian, membuatnya menghela napas berat. Camila—selalu agresif, selalu menantangnya. Namun dia? Hanya bisa diam, bersikap pasif. Damian berusaha mengalihkan pandangannya, namun Camila tidak memberi kesempatan. Dalam sekejap, ia berjinjit dan mengecup ujung bibir tebal Damian. Tanggapan tubuh pria itu kaku. Reaksi yang membuat Camila tersenyum tipis. Senyum Camila merekah. "Na
'Aku sudah meminta seseorang untuk mengirimkan gaun untukmu. Segera persiapkan dirimu, aku akan menjemput tepat pukul tujuh. Jangan membuatku menunggu.' Senyum tipis terbit di wajah manis perempuan itu. Pesan dari Damian membuat Camila, yang semula terbaring lesu di tempat tidur, segera bangun dan merapikan dirinya. Tak lama setelah itu, terdengar ketukan pintu yang cukup pelan. Camila segera bangkit dari kasurnya, berjalan dan meraih knop pintu dengan cepat, kepalanya menyembul, dan di depannya berdiri Aaron, pria berjas yang wajahnya selalu tampak kaku. "Nyonya, saya ingin menyerahkan ini dari Tuan," katanya dengan suara yang sopan. Menyerahkan bungkusan berisi gaun pada wanita itu. Camila tersenyum lebar, senang menerima perhatian dari Damian, meski dari perantara Aaron. "Terima kasih!" ujar Camila, penuh semangat. Aaron hanya mengangguk, tampak tetap tenang seperti biasanya. "Tuan menitipkan pesan, untuk selesai bersiap sebelum beliau datang menjemput." "Baiklah, baiklah! j
Netra kelam itu mengerjap perlahan, matanya masih terasa berat. Bayangan samar mulai terbentuk saat kelopak matanya terangkat. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah leher putih jenjang seorang wanita. Kalung berbandul mawar merah yang berkilau tampak menggantung di sana. Ia mendongak, mendapati wajah Camila. Wajah itu tampak tenang dalam tidur, Damian menghela napas lega. Beberapa saat ia terdiam, merasakan ketenangan yang datang setelah menjalani rutinitas yang melelahkan. Ia mendengar hembusan napas yang teratur dari wanita itu, Camila. Sesekali, pria itu mengerang kecil, karena rasa pusing yang menyerangnya. "Jam berapa sekarang?" gumam Damian dengan suara serak, hampir tak terdengar. Ia menggeliat, menarik selimut ke atas tubuh kekarnya yang merasakan dingin. Matanya melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 6 pagi. Itu artinya, ia baru tidur beberapa jam yang lalu. Meski biasanya ia bukan tipe yang tidur lama. Entah kenapa kali ini tubuhnya terasa begitu b
"Terima kasih, Galliard." Galliard, pria itu, melirik ke arah Damian yang terbaring di kursi mobil, lalu menatap Camila yang tersenyum tipis. Meskipun senyum itu tampak sedikit dipaksakan. "Tidak apa-apa. Suamimu saja yang selalu merepotkan," ujarnya sambil tertawa kecil, seolah ingin mencairkan ketegangan yang membungkus mereka berdua. Pria itu menatap Camila dengan mata yang sulit dibaca, "Aku bisa membantumu lagi. Biar aku yang mengemudi," tawarnya dengan nada penuh perhatian. Camila menggeleng pelan, sambil melambaikan tangannya tanda menolak. "Tidak, tidak! Kamu sudah sangat membantu. Sekali lagi, terima kasih banyak," ucapnya dengan tulus. "Hm." Galliard hanya berdeham pelan, tidak memutuskan pandangannya pada Camila. "Terima kasih, nanti aku traktir. Oke?" Camila berkata dengan ceria, Galliard mengangguk dengan senyuman yang tersembunyi. Tentu, perasaan itu membuncah dalam dada Galliard. Camila... selalu berhasil membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Dan seperti bi
Hujan yang baru saja reda masih menyisakan butiran air di sepanjang kaca depan mobil. Udara malam terasa dingin menusuk, bercampur dengan aroma tanah basah yang khas setelah hujan. Namun, bagi Camila, semua itu tak berarti apa-apa. Tangannya mencengkeram setir dengan erat, buku-buku jarinya memutih karena tekanan yang ia berikan. Nafasnya memburu, dadanya naik turun seiring dengan gelombang emosi yang terus menghantamnya tanpa ampun. Matanya yang penuh amarah menatap tajam ke depan, namun pikirannya berkecamuk, tenggelam dalam pusaran perasaan yang semakin tak terkendali. "Damian di bar. Dengan dua wanita." Kata-kata itu berputar di kepalanya seperti jarum-jarum kecil yang terus menusuk hatinya, membuatnya semakin sulit bernapas. Ada kemarahan yang membara di dadanya, tetapi ada juga rasa sakit yang lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan. Kenapa? Tanpa sadar, kakinya semakin dalam menekan pedal gas. Mobil yang dikemudikannya melesat di atas aspal yang masih sedikit licin aki
Dua tahun pernikahan yang mereka jalani, dan terhitung lima tahun sudah perjuangan Camila Amorette untuk memenangkan cinta suaminya, Damian Ravensdale. Selama itu, Damian tetap teguh dalam dunia sepinya, seolah terperangkap dalam rutinitas tanpa pernah peduli dengan perubahan sekitar. Keberadaannya yang penuh kendali, jauh dari ekspresi emosional, berlawanan dengan Camila yang selalu terbawa perasaan, seorang wanita yang penuh harapan dan hasrat untuk meraih cinta sang suami. "Sayang..." Panggilan lembut itu menggema di dalam ruangan yang sunyi, namun meskipun kata-kata itu penuh dengan harapan, Damian tetap terfokus pada berkas yang memenuhi mejanya. Tangannya bergerak cepat, pena di tangan bergerak tanpa henti, seolah menepis keberadaan Camila yang kini berdiri di sampingnya. Gaun satin gading yang membalut tubuh Camila memancarkan aura anggun, seperti lukisan klasik yang hidup. Wajahnya tampak sempurna dengan riasan lembut, rambutnya yang terurai rapi menambah kecantikanny
Cincin di jari manisnya berkilauan di bawah cahaya keemasan yang berpendar lembut dari lampu kristal di langit-langit. Berkilat seolah mengingatkan Camila akan perjalanan panjang yang telah ia jalani— penantian yang penuh harap, impian yang penuh kesungguhan, dan perjuangan yang akhirnya membawanya pada momen ini. Pria yang selama ini ia kagumi, kini berdiri disampingnya, sebagai suaminya. "Selamat atas pernikahanmu, Camila!" Suara ceria Maddy membawa senyum lebar ke wajah Camila. Sahabat yang selalu menemaninya, kini berdiri dengan senyum jahil yang begitu dikenalnya. "Aku masih nggak percaya kamu akhirnya menikah. Rasanya baru kemarin kamu cerita dengan mata berbinar tentang betapa sempurnanya dia di matamu," kata Maddy, dengan tatapan menggodanya. Seakan memutar kembali setiap kisah yang Camila ceritakan tentang pria yang kini resmi menjadi suaminya. "Maddy, kamu benar-benar nggak pernah berubah," ujar Camila, setengah berbisik, malu namun juga tak bisa menahan tawa kecil