Netra kelam itu mengerjap perlahan, matanya masih terasa berat. Bayangan samar mulai terbentuk saat kelopak matanya terangkat. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah leher putih jenjang seorang wanita. Kalung berbandul mawar merah yang berkilau tampak menggantung di sana. Ia mendongak, mendapati wajah Camila.
Wajah itu tampak tenang dalam tidur, Damian menghela napas lega. Beberapa saat ia terdiam, merasakan ketenangan yang datang setelah menjalani rutinitas yang melelahkan. Ia mendengar hembusan napas yang teratur dari wanita itu, Camila. Sesekali, pria itu mengerang kecil, karena rasa pusing yang menyerangnya. "Jam berapa sekarang?" gumam Damian dengan suara serak, hampir tak terdengar. Ia menggeliat, menarik selimut ke atas tubuh kekarnya yang merasakan dingin. Matanya melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 6 pagi. Itu artinya, ia baru tidur beberapa jam yang lalu. Meski biasanya ia bukan tipe yang tidur lama. Entah kenapa kali ini tubuhnya terasa begitu berat. Pikiran dan tubuhnya seakan enggan untuk bangkit. Sial, jarang sekali ia merasa terjerumus dalam kelelahan seperti ini. Ia berusaha untuk mengendalikan diri, namun matanya terasa berat. Ia memutuskan untuk melepaskan belitan tangannya dari pinggang ramping Camila yang masih terlelap nyaman. Ia menatap wajah wanita itu dengan lekat, wajahnya tampak sangat lelah. Damian menarik selimut ke atas tubuh istrinya yang kini sepenuhnya tertutup. Namun, saat itu juga, ia menyentuh rambut hitam panjang Camila. Ia mencoba menenangkan pikirannya yang mulai kacau. Setelah beberapa detik, ia bangkit dan melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Ia ingin menyegarkan diri, mendapatkan kembali sedikit kebugaran setelah malam yang panjang. Begitu pintu kamar mandi tertutup, Camila perlahan membuka matanya. Nyatanya, Camila sudah bangun lebih awal sebelum Damian. Pipinya merona layaknya kepiting rebus. “Apa ini benar-benar terjadi?” pikir Camila, mengeratkan genggaman pada selimutnya. Tiba-tiba, rasa perih di area sensitifnya mulai terasa. Camila menggerutu dalam hati, merasakan nyeri yang lebih tajam dari biasanya. Ini memang bukan pertama kalinya Damian menyentuhnya, namun pria itu jarang sekali menunjukkan inisiatif seperti ini selama dua tahun pernikahan mereka. Ah, Camila ingat. Semalam, Damian berusaha menyadarkannya untuk melihat batasan-batasan mereka. Sialnya, hukuman dan tindakan suaminya itu justru membuat istri mungil itu berbunga-bunga di kasurnya, dengan senyum yang tak kunjung luruh. *** "Bi, tolong bantu siapkan makannya di meja, aku ke atas dulu," ujar Camila lembut kepada pembantunya, setelah selesai menyiapkan beberapa hidangan untuk sarapan. "Siap, Nyonya," jawab pembantu itu. Camila melepaskan celemeknya, lalu melangkah ringan menaiki tangga menuju kamar utama. Begitu membuka pintu kamar, ia melihat Damian sudah rapi, siap berangkat bekerja. Keindahan tubuh pria itu dari belakang tidak bisa disembunyikan. Ia melangkah ke belakang Damian dan memeluknya erat, menghirup aroma maskulin yang menenangkan dari tubuh suaminya. "Tunggu, biar aku pasangkan dasimu," ujar Camila sambil tersenyum manis. Camila menarik Damian pelan hingga pria itu berbalik. Dengan cekatan, ia memasangkan dasi di leher suaminya. Terkadang, karena perbedaan tinggi mereka, ia harus sedikit berjinjit agar dasi itu terpasang dengan sempurna. Seperti biasa, celotehan istrinya mengisi udara, memenuhi ruangan yang sebelumnya sunyi. Suaranya yang ceria terdengar begitu kontras sedangkan suaminya tak memberi banyak respons. "Sudah! Ayo turun, kita sarapan bersama. Kamu harus mengisi perutmu, pasti lapar," ujar Camila ceria. Namun, Damian tampak sedikit terfokus pada jam tangan mahalnya. "Aku tidak bisa berlama-lama. Aku akan ke kantor sekarang," jawab Damian datar, tanpa ekspresi. "Tapi— lebih baik sarapan dulu. Kamu harus makan sebelum bekerja. Tenang, aku akan langsung menyiapkannya," kata Camila, mencoba memegang tangan Damian dengan lembut. Namun, Damian hanya menatapnya dengan tatapan tajam. "Jangan membuang waktuku, Camila. Aku cukup terlambat hari ini," ujar Damian dan melanjutkan langkahnya. Camila terdiam, menahan rasa kecewa yang mulai menggerogoti hatinya. Tanpa berkata-kata lagi, Damian berlalu, sibuk dengan ponselnya, menelepon seseorang. Camila hanya bisa berdiri, menatap suaminya yang semakin menjauh. "Damian..." gumamnya pelan, namun suaminya sudah terlalu jauh. Tak bisa memaksa. Camila memilih untuk duduk diam di tepi ranjang, membiarkan keheningan menemani pikirannya. Sekedar mengantar Damian sampai ke depan rumah dan berpamitan tidak sempat dilakukan, mengingat pria itu pasti telah pergi, seperti biasa— tidak mau membuang waktu bahkan untuk sekadar berpamitan. Pagi yang biasanya ia jalani dengan penuh semangat kini tergantikan oleh kehampaan yang menyelimuti dirinya. Perlahan, ia membaringkan tubuh di atas ranjang, matanya setengah terpejam. Sebelum benar-benar tertutup rapat. Ia tidak tahu, bahwa Damian yang sudah keluar rumah menuju mobil, malah terdiam sejenak di dalam mobilnya. Meski mesin mobil sudah menyala, Damian tak kunjung bergerak. Ia memegang setir dengan tangan yang terasa kaku, matanya menatap jalanan dalam diam. Namun, dengan satu tarikan napas dalam, ia menancapkan pedal gas dan melaju, meninggalkan perkarangan rumah mewah itu. *** Ruangan kantor itu berdiri megah dengan desain modern yang dipenuhi sentuhan elegan. Dinding kaca besar membingkai pemandangan kota yang samar tertutup kabut senja, sementara lampu gantung kristal di langit-langit memancarkan cahaya yang berpendar dingin. Damian duduk di balik meja kerjanya, matanya tertuju pada tumpukan dokumen yang berserakan di depannya. Setiap lembar kertas yang dia geser dan tandatangani. Suasana di sekitarnya terasa kaku dan sunyi, hanya suara ketikan keyboard dan sesekali hembusan nafasnya yang terdengar jelas. Sekretarisnya berdiri di samping meja dengan sikap tenang, memegang sebuah tablet di tangan, siap memberikan laporan. “Tuan Damian,” Ethan memulai dengan suara yang jelas, “Untuk rapat dengan klien Singapura, saya sudah memastikan semuanya siap. Tanggal dan waktunya sudah dipastikan. Saya juga telah mengatur beberapa detail tambahan terkait kontrak.” Damian hanya mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen yang sedang dia periksa. "Bagus. Pastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Saya tidak mau ada yang tertunda." Ethan melanjutkan, “Untuk jadwal rapat internal sore nanti, saya rasa Anda perlu lebih banyak persiapan. Ada beberapa analisa yang harus Anda evaluasi.” Damian tetap dengan ekspresi serius, tak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. “Tugasmu pastikan semua berjalan lancar. Saya akan mengevaluasi dokumen itu sesaat sebelum rapat dimulai. Jangan sampai ada yang terlewat.” Ruang kerja yang semula terasa penuh dengan profesionalisme itu tiba-tiba terganggu dengan ketukan pintu. Damian mengeluarkan perintah, “Masuk.” Pintu terbuka perlahan, dan Amora muncul di ambang pintu. Wajahnya sedikit pucat, meskipun ia berusaha tersenyum. Namun, ada sesuatu yang tidak biasa— bekas merah samar di pipinya yang entah datang dari mana, dan ia tampaknya pura-pura tidak sadar akan hal itu. Amora menghela napas, melangkah pelan menuju meja Damian, suaranya sedikit gemetar mengalir perlahan. "Tuan Damian, saya... ada beberapa dokumen yang perlu saya serahkan. Ini terkait dengan proyek yang sedang kami kerjakan." Damian, yang masih sibuk dengan tumpukan dokumen, hanya meliriknya sekilas. Tak ada tanda-tanda empati atau perhatian. “Serahkan pada Ethan,” ujar Damian tanpa ekspresi. “Dia yang akan mengurusnya.” Amora, yang merasa masih ada hal penting yang perlu dibicarakan, melangkah lebih dekat. Usahanya untuk mendapatkan perhatian jelas terlihat, namun Damian tampak tidak peduli. "Tapi, Tuan," Amora mencoba lagi, suaranya bergetar. "Ada beberapa hal yang perlu Anda ketahui langsung. Saya khawatir jika hanya diserahkan begitu saja... mungkin ada beberapa detail yang terlewatkan." Damian, yang masih tetap diam dan tenggelam dalam pekerjaannya, tak mempedulikan Amora sedikit pun. Ethan pun hanya diam memperhatikan. Amora, semakin memaksakan diri untuk menarik perhatian, akhirnya berbicara dengan suara yang lebih lemah, pura-pura tampak lelah. "Pak Damian, saya... sebenarnya kurang enak badan. Tadi malam saya... saya... mengalami sedikit masalah pribadi, ini perihal semalam," ujarnya, berusaha menundukkan kepala, memperlihatkan kelemahan. Namun, tidak ada tanda-tanda simpati dalam tatapan Damian. "Masalah pribadi bukan urusan saya. Anda datang ke sini untuk pekerjaan, bukan untuk mencari perhatian," jawabnya, matanya tetap dingin, tanpa ada sedikit pun rasa empati yang terpancar. Amora mencoba tersenyum, meskipun senyum itu terlihat dipaksakan. "Tapi... saya merasa tidak terima.. Seharusnya Nona Camila tidak melakukan itu pada saya semalam..." ucapnya, suaranya yang mulai mengandung nada memelas, mencoba memancing simpati. Perkataan itu berhasil menarik atensinya meski ia tampak tetap diam, wajahnya tak menunjukkan perubahan. Dengan tenang, ia kembali tenggelam dalam pekerjaannya. “Keluar,” suaranya kembali terdengar tegas dan dingin, “Tidak seharusnya anda berperilaku seperti ini. Kalau butuh perhatian, cari tempat lain.” Amora tersentak. Rasa malunya mulai tumbuh, ia berusaha mempertahankan kelemahannya, "Tapi... Camila... dia menampar saya semalam di bar, Tuan Damian. Itu semua salah paham..." Damian menatapnya dengan tatapan yang semakin tajam. “Kalau masalah itu urusannya dengan Camila, itu urusan pribadi kalian berdua. Saya tidak tertarik pada masalah kecil seperti itu. Jika tidak bisa profesional di sini, lebih baik kembali ke mejamu dan berhenti mencari alasan.” Amora terdiam, wajahnya memerah—bukan hanya karena malu, tetapi juga karena marah. Ia merutuki kedatangan Camila semalam, saat Damian tiba-tiba tak sadarkan diri. Sial*an, pikirnya. Ia hanya ingin mengadu tentang bagaimana Camila dengan berani menampar pipinya semalam. Bahkan, wanita itu tak segan-segan menyiram wajahnya, mempermalukannya di depan orang-orang di club. “Jika ingin berbicara tentang pekerjaan, lakukan dengan cara yang benar,” lanjut Damian dengan suara yang semakin tegas. “Jangan datang kemari untuk mencari perhatian.” Ethan yang mendengarkan percakapan itu dengan seksama, akhirnya berbicara dengan suara rendah, "Mungkin sebaiknya Nona Amora beristirahat dulu jika merasa tidak enak badan. Biar saya antar.” "Tidak perlu, Tuan Ethan. " Amora kembali menatap Damian sekali lagi sebelum perlahan berbalik. “Saya... saya akan pergi sendiri. Terima kasih, Tuan Damian,” ujarnya, berusaha mengendalikan diri. Setelah Amora keluar dari ruangan, suasana kembali hening. “Ethan,” ujar Damian dengan suara datar, tanpa menoleh padanya. "Ya, Tuan?" Ethan dapat melihat dengan jelas ekspresi keras yang ditampilkan atasannya. Damian memang terlihat menahan emosinya. Alisnya yang tebal mengerut, "Berikan dia sanksi yang sesuai. Biarkan dia tahu bahwa perilaku seperti itu tidak akan diterima di sini. Saya tidak akan mentolerir karyawan yang tidak menghargai ruang kerja.” Ethan mengangguk, memahami dengan sempurna sikap Damian yang tegas. “Tentu, Tuan Damian. Akan saya tangani.” Ya, setidaknya ia memberikan peringatan pada wanita itu. Meskipun ia tidak bisa mengeluarkannya dari perusahaan, karena suatu alasan. Ia hanya ingin wanita itu berhenti bermain-main dan menghentikan sikap tidak profesionalnya.'Aku sudah meminta seseorang untuk mengirimkan gaun untukmu. Segera persiapkan dirimu, aku akan menjemput tepat pukul tujuh. Jangan membuatku menunggu.' Senyum tipis terbit di wajah manis perempuan itu. Pesan dari Damian membuat Camila, yang semula terbaring lesu di tempat tidur, segera bangun dan merapikan dirinya. Tak lama setelah itu, terdengar ketukan pintu yang cukup pelan. Camila segera bangkit dari kasurnya, berjalan dan meraih knop pintu dengan cepat, kepalanya menyembul, dan di depannya berdiri Aaron, pria berjas yang wajahnya selalu tampak kaku. "Nyonya, saya ingin menyerahkan ini dari Tuan," katanya dengan suara yang sopan. Menyerahkan bungkusan berisi gaun pada wanita itu. Camila tersenyum lebar, senang menerima perhatian dari Damian, meski dari perantara Aaron. "Terima kasih!" ujar Camila, penuh semangat. Aaron hanya mengangguk, tampak tetap tenang seperti biasanya. "Tuan menitipkan pesan, untuk selesai bersiap sebelum beliau datang menjemput." "Baiklah, baiklah! j
Mata gelap itu menatap istrinya. Raut wajahnya begitu berbeda dari biasanya. Camila, wanita yang selalu tampak tersenyum, kini menunjukkan ekspresi sama dinginnya yang ia sendiri tak kenal. "Kenapa kamu kesini? Apa Aaron tidak menyampaikan pesan dariku?" ujar Damian dengan suara. Camila hanya berdecak kecil. Senyum tipis meluncur di bibirnya, melurutkan ekspresi dingin tadi. "Dia melaksanakan tugasnya dengan baik," jawabnya pelan. Dengan gerakan cepat, ia menarik dasi Damian, memaksanya menunduk mendekat. "Hanya saja, aku tak bisa menahan diri untuk menemuimu." Bisikan halus itu merasuk di telinga Damian, membuatnya menghela napas berat. Camila—selalu agresif, selalu menantangnya. Namun dia? Hanya bisa diam, bersikap pasif. Damian berusaha mengalihkan pandangannya, namun Camila tidak memberi kesempatan. Dalam sekejap, ia berjinjit dan mengecup ujung bibir tebal Damian. Tanggapan tubuh pria itu kaku. Reaksi yang membuat Camila tersenyum tipis. Senyum Camila merekah. "Na
Cincin di jari manisnya berkilauan di bawah cahaya keemasan yang berpendar lembut dari lampu kristal di langit-langit. Berkilat seolah mengingatkan Camila akan perjalanan panjang yang telah ia jalani— penantian yang penuh harap, impian yang penuh kesungguhan, dan perjuangan yang akhirnya membawanya pada momen ini. Pria yang selama ini ia kagumi, kini berdiri disampingnya, sebagai suaminya. "Selamat atas pernikahanmu, Camila!" Suara ceria Maddy membawa senyum lebar ke wajah Camila. Sahabat yang selalu menemaninya, kini berdiri dengan senyum jahil yang begitu dikenalnya. "Aku masih nggak percaya kamu akhirnya menikah. Rasanya baru kemarin kamu cerita dengan mata berbinar tentang betapa sempurnanya dia di matamu," kata Maddy, dengan tatapan menggodanya. Seakan memutar kembali setiap kisah yang Camila ceritakan tentang pria yang kini resmi menjadi suaminya. "Maddy, kamu benar-benar nggak pernah berubah," ujar Camila, setengah berbisik, malu namun juga tak bisa menahan tawa kecil
Dua tahun pernikahan yang mereka jalani, dan terhitung lima tahun sudah perjuangan Camila Amorette untuk memenangkan cinta suaminya, Damian Ravensdale. Selama itu, Damian tetap teguh dalam dunia sepinya, seolah terperangkap dalam rutinitas tanpa pernah peduli dengan perubahan sekitar. Keberadaannya yang penuh kendali, jauh dari ekspresi emosional, berlawanan dengan Camila yang selalu terbawa perasaan, seorang wanita yang penuh harapan dan hasrat untuk meraih cinta sang suami. "Sayang..." Panggilan lembut itu menggema di dalam ruangan yang sunyi, namun meskipun kata-kata itu penuh dengan harapan, Damian tetap terfokus pada berkas yang memenuhi mejanya. Tangannya bergerak cepat, pena di tangan bergerak tanpa henti, seolah menepis keberadaan Camila yang kini berdiri di sampingnya. Gaun satin gading yang membalut tubuh Camila memancarkan aura anggun, seperti lukisan klasik yang hidup. Wajahnya tampak sempurna dengan riasan lembut, rambutnya yang terurai rapi menambah kecantikanny
Hujan yang baru saja reda masih menyisakan butiran air di sepanjang kaca depan mobil. Udara malam terasa dingin menusuk, bercampur dengan aroma tanah basah yang khas setelah hujan. Namun, bagi Camila, semua itu tak berarti apa-apa. Tangannya mencengkeram setir dengan erat, buku-buku jarinya memutih karena tekanan yang ia berikan. Nafasnya memburu, dadanya naik turun seiring dengan gelombang emosi yang terus menghantamnya tanpa ampun. Matanya yang penuh amarah menatap tajam ke depan, namun pikirannya berkecamuk, tenggelam dalam pusaran perasaan yang semakin tak terkendali. "Damian di bar. Dengan dua wanita." Kata-kata itu berputar di kepalanya seperti jarum-jarum kecil yang terus menusuk hatinya, membuatnya semakin sulit bernapas. Ada kemarahan yang membara di dadanya, tetapi ada juga rasa sakit yang lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan. Kenapa? Tanpa sadar, kakinya semakin dalam menekan pedal gas. Mobil yang dikemudikannya melesat di atas aspal yang masih sedikit licin aki
"Terima kasih, Galliard." Galliard, pria itu, melirik ke arah Damian yang terbaring di kursi mobil, lalu menatap Camila yang tersenyum tipis. Meskipun senyum itu tampak sedikit dipaksakan. "Tidak apa-apa. Suamimu saja yang selalu merepotkan," ujarnya sambil tertawa kecil, seolah ingin mencairkan ketegangan yang membungkus mereka berdua. Pria itu menatap Camila dengan mata yang sulit dibaca, "Aku bisa membantumu lagi. Biar aku yang mengemudi," tawarnya dengan nada penuh perhatian. Camila menggeleng pelan, sambil melambaikan tangannya tanda menolak. "Tidak, tidak! Kamu sudah sangat membantu. Sekali lagi, terima kasih banyak," ucapnya dengan tulus. "Hm." Galliard hanya berdeham pelan, tidak memutuskan pandangannya pada Camila. "Terima kasih, nanti aku traktir. Oke?" Camila berkata dengan ceria, Galliard mengangguk dengan senyuman yang tersembunyi. Tentu, perasaan itu membuncah dalam dada Galliard. Camila... selalu berhasil membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Dan seperti bi
Mata gelap itu menatap istrinya. Raut wajahnya begitu berbeda dari biasanya. Camila, wanita yang selalu tampak tersenyum, kini menunjukkan ekspresi sama dinginnya yang ia sendiri tak kenal. "Kenapa kamu kesini? Apa Aaron tidak menyampaikan pesan dariku?" ujar Damian dengan suara. Camila hanya berdecak kecil. Senyum tipis meluncur di bibirnya, melurutkan ekspresi dingin tadi. "Dia melaksanakan tugasnya dengan baik," jawabnya pelan. Dengan gerakan cepat, ia menarik dasi Damian, memaksanya menunduk mendekat. "Hanya saja, aku tak bisa menahan diri untuk menemuimu." Bisikan halus itu merasuk di telinga Damian, membuatnya menghela napas berat. Camila—selalu agresif, selalu menantangnya. Namun dia? Hanya bisa diam, bersikap pasif. Damian berusaha mengalihkan pandangannya, namun Camila tidak memberi kesempatan. Dalam sekejap, ia berjinjit dan mengecup ujung bibir tebal Damian. Tanggapan tubuh pria itu kaku. Reaksi yang membuat Camila tersenyum tipis. Senyum Camila merekah. "Na
'Aku sudah meminta seseorang untuk mengirimkan gaun untukmu. Segera persiapkan dirimu, aku akan menjemput tepat pukul tujuh. Jangan membuatku menunggu.' Senyum tipis terbit di wajah manis perempuan itu. Pesan dari Damian membuat Camila, yang semula terbaring lesu di tempat tidur, segera bangun dan merapikan dirinya. Tak lama setelah itu, terdengar ketukan pintu yang cukup pelan. Camila segera bangkit dari kasurnya, berjalan dan meraih knop pintu dengan cepat, kepalanya menyembul, dan di depannya berdiri Aaron, pria berjas yang wajahnya selalu tampak kaku. "Nyonya, saya ingin menyerahkan ini dari Tuan," katanya dengan suara yang sopan. Menyerahkan bungkusan berisi gaun pada wanita itu. Camila tersenyum lebar, senang menerima perhatian dari Damian, meski dari perantara Aaron. "Terima kasih!" ujar Camila, penuh semangat. Aaron hanya mengangguk, tampak tetap tenang seperti biasanya. "Tuan menitipkan pesan, untuk selesai bersiap sebelum beliau datang menjemput." "Baiklah, baiklah! j
Netra kelam itu mengerjap perlahan, matanya masih terasa berat. Bayangan samar mulai terbentuk saat kelopak matanya terangkat. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah leher putih jenjang seorang wanita. Kalung berbandul mawar merah yang berkilau tampak menggantung di sana. Ia mendongak, mendapati wajah Camila. Wajah itu tampak tenang dalam tidur, Damian menghela napas lega. Beberapa saat ia terdiam, merasakan ketenangan yang datang setelah menjalani rutinitas yang melelahkan. Ia mendengar hembusan napas yang teratur dari wanita itu, Camila. Sesekali, pria itu mengerang kecil, karena rasa pusing yang menyerangnya. "Jam berapa sekarang?" gumam Damian dengan suara serak, hampir tak terdengar. Ia menggeliat, menarik selimut ke atas tubuh kekarnya yang merasakan dingin. Matanya melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 6 pagi. Itu artinya, ia baru tidur beberapa jam yang lalu. Meski biasanya ia bukan tipe yang tidur lama. Entah kenapa kali ini tubuhnya terasa begitu b
"Terima kasih, Galliard." Galliard, pria itu, melirik ke arah Damian yang terbaring di kursi mobil, lalu menatap Camila yang tersenyum tipis. Meskipun senyum itu tampak sedikit dipaksakan. "Tidak apa-apa. Suamimu saja yang selalu merepotkan," ujarnya sambil tertawa kecil, seolah ingin mencairkan ketegangan yang membungkus mereka berdua. Pria itu menatap Camila dengan mata yang sulit dibaca, "Aku bisa membantumu lagi. Biar aku yang mengemudi," tawarnya dengan nada penuh perhatian. Camila menggeleng pelan, sambil melambaikan tangannya tanda menolak. "Tidak, tidak! Kamu sudah sangat membantu. Sekali lagi, terima kasih banyak," ucapnya dengan tulus. "Hm." Galliard hanya berdeham pelan, tidak memutuskan pandangannya pada Camila. "Terima kasih, nanti aku traktir. Oke?" Camila berkata dengan ceria, Galliard mengangguk dengan senyuman yang tersembunyi. Tentu, perasaan itu membuncah dalam dada Galliard. Camila... selalu berhasil membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Dan seperti bi
Hujan yang baru saja reda masih menyisakan butiran air di sepanjang kaca depan mobil. Udara malam terasa dingin menusuk, bercampur dengan aroma tanah basah yang khas setelah hujan. Namun, bagi Camila, semua itu tak berarti apa-apa. Tangannya mencengkeram setir dengan erat, buku-buku jarinya memutih karena tekanan yang ia berikan. Nafasnya memburu, dadanya naik turun seiring dengan gelombang emosi yang terus menghantamnya tanpa ampun. Matanya yang penuh amarah menatap tajam ke depan, namun pikirannya berkecamuk, tenggelam dalam pusaran perasaan yang semakin tak terkendali. "Damian di bar. Dengan dua wanita." Kata-kata itu berputar di kepalanya seperti jarum-jarum kecil yang terus menusuk hatinya, membuatnya semakin sulit bernapas. Ada kemarahan yang membara di dadanya, tetapi ada juga rasa sakit yang lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan. Kenapa? Tanpa sadar, kakinya semakin dalam menekan pedal gas. Mobil yang dikemudikannya melesat di atas aspal yang masih sedikit licin aki
Dua tahun pernikahan yang mereka jalani, dan terhitung lima tahun sudah perjuangan Camila Amorette untuk memenangkan cinta suaminya, Damian Ravensdale. Selama itu, Damian tetap teguh dalam dunia sepinya, seolah terperangkap dalam rutinitas tanpa pernah peduli dengan perubahan sekitar. Keberadaannya yang penuh kendali, jauh dari ekspresi emosional, berlawanan dengan Camila yang selalu terbawa perasaan, seorang wanita yang penuh harapan dan hasrat untuk meraih cinta sang suami. "Sayang..." Panggilan lembut itu menggema di dalam ruangan yang sunyi, namun meskipun kata-kata itu penuh dengan harapan, Damian tetap terfokus pada berkas yang memenuhi mejanya. Tangannya bergerak cepat, pena di tangan bergerak tanpa henti, seolah menepis keberadaan Camila yang kini berdiri di sampingnya. Gaun satin gading yang membalut tubuh Camila memancarkan aura anggun, seperti lukisan klasik yang hidup. Wajahnya tampak sempurna dengan riasan lembut, rambutnya yang terurai rapi menambah kecantikanny
Cincin di jari manisnya berkilauan di bawah cahaya keemasan yang berpendar lembut dari lampu kristal di langit-langit. Berkilat seolah mengingatkan Camila akan perjalanan panjang yang telah ia jalani— penantian yang penuh harap, impian yang penuh kesungguhan, dan perjuangan yang akhirnya membawanya pada momen ini. Pria yang selama ini ia kagumi, kini berdiri disampingnya, sebagai suaminya. "Selamat atas pernikahanmu, Camila!" Suara ceria Maddy membawa senyum lebar ke wajah Camila. Sahabat yang selalu menemaninya, kini berdiri dengan senyum jahil yang begitu dikenalnya. "Aku masih nggak percaya kamu akhirnya menikah. Rasanya baru kemarin kamu cerita dengan mata berbinar tentang betapa sempurnanya dia di matamu," kata Maddy, dengan tatapan menggodanya. Seakan memutar kembali setiap kisah yang Camila ceritakan tentang pria yang kini resmi menjadi suaminya. "Maddy, kamu benar-benar nggak pernah berubah," ujar Camila, setengah berbisik, malu namun juga tak bisa menahan tawa kecil