Dua tahun pernikahan yang mereka jalani, dan terhitung lima tahun sudah perjuangan Camila Amorette untuk memenangkan cinta suaminya, Damian Ravensdale.
Selama itu, Damian tetap teguh dalam dunia sepinya, seolah terperangkap dalam rutinitas tanpa pernah peduli dengan perubahan sekitar. Keberadaannya yang penuh kendali, jauh dari ekspresi emosional, berlawanan dengan Camila yang selalu terbawa perasaan, seorang wanita yang penuh harapan dan hasrat untuk meraih cinta sang suami. "Sayanggg..." Panggilan lembut itu menggema di dalam ruangan yang sunyi, namun meskipun kata-kata itu penuh dengan harapan, Damian tetap terfokus pada berkas yang memenuhi mejanya. Tangannya bergerak cepat, pena di tangan bergerak tanpa henti, seolah menepis keberadaan Camila yang kini berdiri di sampingnya. Gaun satin gading yang membalut tubuh Camila memancarkan aura anggun, seperti lukisan klasik yang hidup. Wajahnya tampak sempurna dengan riasan lembut, rambutnya yang terurai rapi menambah kecantikannya. Matanya yang berbinar penuh harapan, terus menatap suaminya yang tampak jauh, lebih memilih dunia sepi miliknya ketimbang membalas tatapan itu. "Damian..." Camila berbisik dengan suara lembut, mendekat lebih dekat, berusaha meraih perhatian suaminya. "Aku rindu..." Dengan lembut, ia melingkarkan lengannya di leher suaminya, Damian tetap teguh, meskipun tatapannya tetap tajam dan dingin, ia terlihat sedikit merilekskan bahunya yang semula tegang. Aroma parfum mawar milik Camila tercium dengan jelas, meresap ke dalam indera penciumannya, membawa kehangatan yang seakan mengisi kekosongan hatinya, meski tak pernah ditunjukkan. "Aku sedang sibuk," ucapnya datar, tanpa menoleh sedikit pun. Namun Camila abai, Ia memilih duduk di pangkuan suaminya, menatap wajah dingin yang tak pernah menunjukkan emosi. Matanya yang cokelat penuh harap menatap lurus ke dalam mata abu-abu Damian yang seakan memancarkan ketegasan dan kekosongan yang sama. "Lihat," ujarnya ceria, berusaha mengalihkan perhatian Damian, sambil memperlihatkan bekal makanan yang dibawanya, "Aku bawakan menu favoritmu!" Namun, senyum Camila cepat memudar. "Aku tadi hampir berkunjung ke rumah Bunda, sayangnya beliau menolak lagi..." suara Camila pelan, namun begitu jelas terdengar kecewa. Damian meletakkan penanya dengan perlahan, tatapannya tetap datar dan kosong. "Camila," suaranya terdengar menusuk, "Aku sudah bilang, jangan memaksa Bunda. Dia tidak akan menerimamu." Perkataan itu seperti pedang yang menancap di dada Camila. Ia menggenggam tangannya erat, mencoba menahan perasaan yang mulai meremukkan hatinya. Setiap kata yang keluar dari mulut Damian terasa seperti jarum tajam, membuat hatinya terasa semakin rapuh. Ia mengeratkan pelukannya, meresapi wangi maskulin Damian yang perlahan menenangkan perasaannya, mengimbangi kata-kata tajam yang sempat keluar dari bibir Damian. "Tidak, Damian," jawabnya pelan, suaranya penuh keyakinan, "Bukan 'tidak', tapi 'belum'. Bunda hanya butuh waktu..." Damian menolehkan wajahnya, menatap Camila dengan tatapan dingin yang tak pernah berubah. "Jangan terlalu berharap pada apapun," katanya tanpa empati, "Kau hanya akan kecewa." Pernyataan itu seolah menyudutkan Camila. Kata-kata itu seperti duri yang menggores hati, namun ia berusaha tersenyum meski hati terasa semakin terluka. "Aku tahu." Dia tahu, namun tetap berjuang. Tidak ada yang bisa menghentikan tekadnya untuk terus berusaha, meskipun setiap langkah terasa berat. Damian diam-diam memandangi tubuh mungil istrinya yang bersandar dengan tenang di atas pangkuannya. Ia mendengus membiarkannya, tak menolak atau memberi respons, membiarkan kedamaian melingkupi mereka, meskipun itu hanyalah kedamaian yang penuh dengan kesepian. "Aku yakin Bunda akan luluh," kata Camila tiba-tiba, "Hmm... bagaimana kalau kita memberinya cucu?" tambahnya dengan nada menggoda, dengan senyum tipis yang menggantung di bibirnya. Tatapan Damian yang tajam kini teralihkan pada wajah istrinya. Mata cokelat Camila yang memancarkan sinar penuh kehangatan. Damian melepaskan satu kata, "Ide buruk." Camila cemberut, namun secepat pula senyum tipis tetap terukir di wajahnya. Damian membuang muka, namun kemudian dengan hati-hati, ia mendorong tubuh Camila perlahan, mencoba menggesernya dari pangkuannya. Meski begitu, wanita itu tetap tak bergerak, seolah enggan melepaskan kedekatan itu, meskipun tahu bahwa Damian tidak meresponnya seperti yang diinginkannya. Kembali mendongak, lalu dengan gemas menoel jahil dagu suaminya yang tampak tenggelam dalam pekerjaannya. Damian hanya berdeham ringan. "Kalau begitu... kapan kamu akan beristirahat?" tanya Camila, mencoba mengalihkan suasana, berharap bisa menemukan sedikit perhatian darinya. "Atau mau aku suapi kamu sekarang?" Damian hanya meliriknya dengan ekspresi yang tidak berubah. "Taruh saja di meja," jawabnya dengan singkat, seakan itu adalah cara terbaik untuk mengakhiri percakapan. Camila meletakkan bekalnya di meja, senyum Camila merekah. Meski jawaban itu terdengar dingin, baginya itu sudah lebih dari cukup. "Aku harap kamu menyukainya," kata Camila, penuh keyakinan. "Tidak! Kamu pasti akan sangat menyukainya," lanjutnya dengan antusiasme yang hampir tampak berlebihan. Camila berkedip, matanya terus terpaku pada wajah tampan Damian yang tengah fokus bekerja. Damian memang pria yang sangat rupawan, meski seolah tak pernah menunjukkan perasaan dan jarang berekspresi. Namun, baginya, pria itu tetap sempurna, tak peduli sejauh mana dia menutup hatinya. "Aku tidak akan menyesal..." bisiknya lembut, suaranya teredam, namun penuh dengan keyakinan yang tulus. Tatapan dingin itu berkedip sejenak, melirik tanpa benar-benar menoleh. Namun, ekspresi keras dan datar di wajah Damian mulai sedikit tergantikan dengan raut yang lebih nyaman, meski samar. Dalam diam, Camila mengamati perubahan halus itu. Tangannya terangkat, seolah ingin menangkup rahang Damian dengan lembut, memberi sentuhan yang penuh perhatian. Namun, kedekatan itu hanya berlangsung sesaat. Pintu ruangan terbuka tanpa ketukan, diikuti oleh suara yang menginterupsi suasana yang baru saja terasa intim. "Permisi Pak Damian..." suara seorang wanita muda terdengar pelan. Camila menegang, tubuhnya mendadak kaku. Ia menoleh, ekspresinya yang lembut berubah menjadi keras dalam sekejap. Damian, di sisi lain, hanya melirik sekilas. Sekilas ia menoleh, "Ada apa?" tanya Damian kembali berkutat pada berkasnya, seakan tak peduli dengan keberadaan orang lain. Wanita muda itu berdeham ringan, menyunggingkan senyum tipis. Sekilas, matanya melirik Camila yang masih duduk nyaman di pangkuan Damian. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Camila sudah lebih dulu menyambarnya. "Sepertinya aturan kecil seperti mengetuk pintu sebelum masuk sudah menjadi hal yang terlalu kuno, ya?" kata Camila, suaranya terdengar ringan, namun penuh dengan penekanan yang tajam. Amora, pegawai muda dengan rambut panjang dan tubuh semampai itu tampak gelisah. "M-maaf, Bu. Saya hanya belum terbiasa..." jawab Amora, tampak gugup. "Kamu pasti senang karena merasa seperti tak ada batasan yang perlu dihormati di sini," lanjut Camila dengan senyum samar, menatap wanita muda itu dengan tajam. "Diamlah, Camila." tekannya. Camila membuang muka seraya melipat tangan di dadanya. "Segera katakan apa yang perlu disampaikan," matanya kembali fokus pada berkasnya, mencoba untuk mengabaikan ketegangan yang tercipta. Amora terdiam, wajahnya memerah menahan rasa malu dan kesal karena ulah Camila. "Saya hanya ingin menyampaikan dokumen ini, Pak." Damian mendongak, ia berdeham singkat, mencoba mengakhiri interupsi itu. "Silahkan," jawabnya tanpa banyak bicara. Namun, Camila, yang masih duduk dengan postur tegak di dekatnya segera bangkit dari pangkuan Damian, dan tanpa ragu menatap Amora dengan tatapan tajam. "Inikah cara berpakaian yang dianggap profesional di sini?" suara Camila terdengar pelan, namun penuh penekanan. "Atau mungkin, ada niat lain yang lebih... mencolok dengan pilihanmu itu?" Wanita muda itu memicingkan mata, dia membusungkan dada seraya mengibas rambutnya. Menampilkan reaksi percaya diri yang tinggi di depan Camila. Amora mendongak, tersenyum miring. "Ada yang salah dengan penampilan saya?" tanyanya, sedikit sinis. Wanita cantik itu tetap berdiri tegak, matanya menatap tajam. "Rok mini dan blus rendah, apa kau menikmati perhatian itu? Atau memang itu yang kau cari?" Amora terdiam, wajahnya penuh kekhawatiran, tubuhnya sedikit gemetar menahan emosi di bawah tatapan tajam Camila. "Sialan— " umpatnya tak tertahan. Sukses membuat Camila melotot. Dia hendak maju untuk menampar karyawan muda kurang ajar di depannya. Brak! Damian menutup lembar kertasnya dengan kasar, alisnya bertaut tajam. "Kembalilah ke meja kerjamu." Amora menundukkan kepala dalam-dalam, kembali mode kalem, suara pelan keluar dari bibirnya, "Maaf, Tuan. Lain kali saya akan lebih memperhatikan penampilan saya." Dengan langkah cepat dan terburu-buru, Amora pergi meninggalkan ruangan. Suasana di ruang itu terasa lebih hampa setelahnya, dan Camila kembali menatap suaminya dengan tatapan dalam. "Sayang." panggilnya dengan pelan, "Jangan biarkan wanita seperti itu berkeliaran sesukanya di lingkunganmu. Setidaknya berikan dia—" "Kamu cukup berlebihan," potongnya cepat, suaranya rendah tetapi penuh ketegasan yang tak bisa dibantah. "Urusan perusahaanku tidak berhak kamu campuri," lanjutnya, kini dengan nada yang lebih keras, seolah ingin memastikan pembicaraan ini segera selesai. "Aku tahu bagaimana menanganinya." Camila menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan luapan emosi yang bercampur. "Damian," suaranya terdengar lebih rendah namun tegas, "Wanita itu jelas-jelas melangkahi batas. Dia tidak hanya bersikap kurang ajar dan tidak sopan, tapi juga berniat menggodamu." Damian mengalihkan pandangannya, menatap Camila dengan sorot mata yang lebih dingin. Terlalu muak, ia tidak bisa menahan amarahnya. "Kau pikir bagaimana orang melihatmu, Camila?" Damian bertanya dengan suara rendah, setiap katanya penuh tekanan. Menatap dengan tatapan menusuk, "Aku tak pernah lupa bagaimana caramu memaksaku terperangkap dalam pernikahan ini." "Cara licik dan murahanmu tidak akan pernah berhasil padaku. Meskipun kamu sudah selangkah lebih maju, itu justru membuatku semakin benci." ucap Damian dengan rahang mengeras. Kata-kata itu menghantam Camila tanpa ampun. Ia mendongak perlahan, tatapannya penuh keterkejutan dan kesedihan. "Aku mencoba menjadi yang terbaik untukmu," jawabnya lirih, suaranya hampir tak terdengar. Damian menatapnya tanpa perasaan, wajahnya tetap datar seperti batu. "Itu tidak akan ada gunanya," katanya, nadanya mencemooh. "Keluar sekarang. Kau hanya merusak hariku." Air mata menggenang di sudut mata Camila, tapi ia menahan dirinya agar tidak menangis. Perlahan, ia menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Meskipun hatinya terasa hancur, ia tetap berdiri tegak. "Aku pulang dulu, Damian," katanya dengan senyum kecil yang jelas dipaksakan. "Jangan lupa makan bekalnya. Aku menunggumu di rumah." Langkahnya terasa berat saat ia meninggalkan ruangan itu, meninggalkan Damian yang kembali terbenam dalam kesunyian. Matanya kembali terfokus pada tumpukan berkas yang menunggu untuk diselesaikan. Namun, pikirannya tak bisa sepenuhnya fokus pada pekerjaan, sesuatu yang membuatnya tersenyum remeh. Harapan Camila? Mustahil. Selalu mustahil. Ia pastikan. *** Suara televisi yang menyala memenuhi ruang tamu, menghadirkan dialog ringan dari sebuah acara komedi. Bungkus camilan berserakan, tanda pelampiasan emosi yang tak terbendung. Camila duduk di sana, matanya sembap dan merah. Kepalanya terasa berat, pusing akibat tangis yang terlalu lama. Malam sudah larut, kantuk mulai menyerang, namun ia tetap bertahan, menunggu kepulangan suaminya—sebuah rutinitas yang terus ia jalani. Banyak pesan dikirimnya, meski sudah banyak pesan lain yang ia kirim sebelumnya. Namun seperti biasa, tak satu pun mendapat balasan. Bukan hal baru. Ia sudah terbiasa dengan perlakuan itu. "Hm, apa Damian lembur ya? selarut ini?" gumamnya seraya menguap, matanya yang mulai berat menahan kantuk. Waktu terus berlalu. Suara televisi tetap menyala meski tidak lagi ia perhatikan. Kepalanya mulai terkulai beberapa kali, mengalah pada rasa kantuk yang semakin berat. Akhirnya, rasa kantuk yang tak tertahankan membuatnya menyerah. Tubuh mungilnya bersandar di sofa, tertidur pulas. Wajahnya yang lelah kini tampak tenang dalam pejamannya. Ponsel yang semula berada di tangannya telah terlepas dan tergeletak di sampingnya di atas sofa. Layar ponselnya tiba-tiba menyala, bergetar beberapa kali. Satu foto masuk, diikuti serangkaian pesan. Madeline : Cami, sayang. Bukankah ini suamimu? Aku sedang berada di klub yang sama dengannya. Tapi.. ada dua wanita bersamanya, dan aku rasa ini sesuatu yang perlu kamu lihat sendiri. Lebih baik kamu datang ke sini dengan tenang, oke?Di ruangan itu, udara tebal dengan aroma alkohol yang samar bercampur dengan wewangian parfum mahal, menciptakan atmosfer yang memancarkan kemewahan. Lampu kristal yang redup memantulkan bayang-bayang tipis di dinding, menambah kesan misterius pada malam yang semakin larut. Di tengah kerumunan, Damian duduk di pojok ruangan, wajahnya yang dingin seolah tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya, menjadikannya sosok yang tak terjangkau, bahkan bagi mereka yang ingin mendekat. Namun, malam itu ada yang berbeda. Dua wanita yang tampaknya malah terlibat dalam adu mulut yang semakin memanas. Alice, dengan wajah merah karena amarah, melangkah maju, suaranya nyaring dan penuh emosi. “Aku yang lebih dulu di sini! Jangan datang tiba-tiba dan merusak semuanya!” teriak Alice, dengan tangan terkepal, seolah tak bisa menahan amarahnya. Amora tertawa kecil, menyerupai ejekan. “Jangan sok merasa lebih baik! Damian mengenalku jauh lebih baik daripada kamu, Alice. Kamu cuma pelac*r yang
"Terima kasih, Galliard." Galliard, pria itu, melirik ke arah Damian yang terbaring di kursi mobil, lalu menatap Camila yang tersenyum tipis. Meskipun senyum itu tampak sedikit dipaksakan. "Tidak apa-apa. Suamimu saja yang selalu merepotkan," ujarnya sambil tertawa kecil, seolah ingin mencairkan ketegangan yang membungkus mereka berdua. Pria itu menatap Camila dengan mata yang sulit dibaca, "Aku bisa membantumu lagi. Biar aku yang mengemudi," tawarnya dengan nada penuh perhatian. Camila menggeleng pelan, sambil melambaikan tangannya tanda menolak. "Tidak, tidak! Kamu sudah sangat membantu. Sekali lagi, terima kasih banyak," ucapnya dengan tulus. "Hm." Galliard hanya berdeham pelan, tidak memutuskan pandangannya pada Camila. "Terima kasih, nanti aku traktir. Oke?" Camila berkata dengan ceria, Galliard mengangguk dengan senyuman yang tersembunyi. Tentu, perasaan itu membuncah dalam dada Galliard. Camila... selalu berhasil membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Dan seperti bi
Netra kelam itu mengerjap perlahan, matanya masih terasa berat. Bayangan samar mulai terbentuk saat kelopak matanya terangkat. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah leher putih jenjang seorang wanita. Kalung berbandul mawar merah yang berkilau tampak menggantung di sana. Ia mendongak, mendapati wajah Camila. Wajah itu tampak tenang dalam tidur, Damian menghela napas lega. Beberapa saat ia terdiam, merasakan ketenangan yang datang setelah menjalani rutinitas yang melelahkan. Ia mendengar hembusan napas yang teratur dari wanita itu, Camila. Sesekali, pria itu mengerang kecil, karena rasa pusing yang menyerangnya. "Jam berapa sekarang?" gumam Damian dengan suara serak, hampir tak terdengar. Ia menggeliat, menarik selimut ke atas tubuh kekarnya yang merasakan dingin. Matanya melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 6 pagi. Itu artinya, ia baru tidur beberapa jam yang lalu. Meski biasanya ia bukan tipe yang tidur lama. Entah kenapa kali ini tubuhnya terasa begitu b
'Aku sudah meminta seseorang untuk mengirimkan gaun untukmu. Segera persiapkan dirimu, aku akan menjemput tepat pukul tujuh. Jangan membuatku menunggu.' Senyum tipis terbit di wajah manis perempuan itu. Pesan dari Damian membuat Camila, yang semula terbaring lesu di tempat tidur, segera bangun dan merapikan dirinya. Tak lama setelah itu, terdengar ketukan pintu yang cukup pelan. Camila segera bangkit dari kasurnya, berjalan dan meraih knop pintu dengan cepat, kepalanya menyembul, dan di depannya berdiri Aaron, pria berjas yang wajahnya selalu tampak kaku. "Nyonya, saya ingin menyerahkan ini dari Tuan," katanya dengan suara yang sopan. Menyerahkan bungkusan berisi gaun pada wanita itu. Camila tersenyum lebar, senang menerima perhatian dari Damian, meski dari perantara Aaron. "Terima kasih!" ujar Camila, penuh semangat. Aaron hanya mengangguk, tampak tetap tenang seperti biasanya. "Tuan menitipkan pesan, untuk selesai bersiap sebelum beliau datang menjemput." "Baiklah, baiklah! j
"Mari bercerai." Dua kata itu seperti petir yang menyambar di tengah malam, mengiris kesunyian yang sudah lama mengisi ruang di antara mereka. Suaranya terdengar datar, penuh ketegasan yang mengindikasikan keputusan itu sudah matang, telah lama ia pikirkan tanpa sedikit pun keraguan. Damian Ravensdale, hanya bisa terdiam sejenak, dia ingat, kalimat yang sama pernah terdengar di antara mereka. Bedanya, waktu itu Damian yang melayangkan perkataan itu. Kini, keadaannya berbeda. Orang yang melontarkan kata-kata itu adalah Camila. Dan ia merasakannya— tekanan tak kasat mata yang menekan dadanya hingga sulit bernapas. Tatapannya terpaku pada punggung Camila yang membelakanginya. Wanita itu duduk di pinggir ranjang, rambut panjangnya tergerai liar, menutupi sebagian punggungnya yang ramping. Damian mengangkat alis, meletakkan cerutunya yang hampir habis ke asbak. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Kamu serius?" suaranya terdengar serak ketika akhirnya i
'Aku sudah meminta seseorang untuk mengirimkan gaun untukmu. Segera persiapkan dirimu, aku akan menjemput tepat pukul tujuh. Jangan membuatku menunggu.' Senyum tipis terbit di wajah manis perempuan itu. Pesan dari Damian membuat Camila, yang semula terbaring lesu di tempat tidur, segera bangun dan merapikan dirinya. Tak lama setelah itu, terdengar ketukan pintu yang cukup pelan. Camila segera bangkit dari kasurnya, berjalan dan meraih knop pintu dengan cepat, kepalanya menyembul, dan di depannya berdiri Aaron, pria berjas yang wajahnya selalu tampak kaku. "Nyonya, saya ingin menyerahkan ini dari Tuan," katanya dengan suara yang sopan. Menyerahkan bungkusan berisi gaun pada wanita itu. Camila tersenyum lebar, senang menerima perhatian dari Damian, meski dari perantara Aaron. "Terima kasih!" ujar Camila, penuh semangat. Aaron hanya mengangguk, tampak tetap tenang seperti biasanya. "Tuan menitipkan pesan, untuk selesai bersiap sebelum beliau datang menjemput." "Baiklah, baiklah! j
Netra kelam itu mengerjap perlahan, matanya masih terasa berat. Bayangan samar mulai terbentuk saat kelopak matanya terangkat. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah leher putih jenjang seorang wanita. Kalung berbandul mawar merah yang berkilau tampak menggantung di sana. Ia mendongak, mendapati wajah Camila. Wajah itu tampak tenang dalam tidur, Damian menghela napas lega. Beberapa saat ia terdiam, merasakan ketenangan yang datang setelah menjalani rutinitas yang melelahkan. Ia mendengar hembusan napas yang teratur dari wanita itu, Camila. Sesekali, pria itu mengerang kecil, karena rasa pusing yang menyerangnya. "Jam berapa sekarang?" gumam Damian dengan suara serak, hampir tak terdengar. Ia menggeliat, menarik selimut ke atas tubuh kekarnya yang merasakan dingin. Matanya melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 6 pagi. Itu artinya, ia baru tidur beberapa jam yang lalu. Meski biasanya ia bukan tipe yang tidur lama. Entah kenapa kali ini tubuhnya terasa begitu b
"Terima kasih, Galliard." Galliard, pria itu, melirik ke arah Damian yang terbaring di kursi mobil, lalu menatap Camila yang tersenyum tipis. Meskipun senyum itu tampak sedikit dipaksakan. "Tidak apa-apa. Suamimu saja yang selalu merepotkan," ujarnya sambil tertawa kecil, seolah ingin mencairkan ketegangan yang membungkus mereka berdua. Pria itu menatap Camila dengan mata yang sulit dibaca, "Aku bisa membantumu lagi. Biar aku yang mengemudi," tawarnya dengan nada penuh perhatian. Camila menggeleng pelan, sambil melambaikan tangannya tanda menolak. "Tidak, tidak! Kamu sudah sangat membantu. Sekali lagi, terima kasih banyak," ucapnya dengan tulus. "Hm." Galliard hanya berdeham pelan, tidak memutuskan pandangannya pada Camila. "Terima kasih, nanti aku traktir. Oke?" Camila berkata dengan ceria, Galliard mengangguk dengan senyuman yang tersembunyi. Tentu, perasaan itu membuncah dalam dada Galliard. Camila... selalu berhasil membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Dan seperti bi
Di ruangan itu, udara tebal dengan aroma alkohol yang samar bercampur dengan wewangian parfum mahal, menciptakan atmosfer yang memancarkan kemewahan. Lampu kristal yang redup memantulkan bayang-bayang tipis di dinding, menambah kesan misterius pada malam yang semakin larut. Di tengah kerumunan, Damian duduk di pojok ruangan, wajahnya yang dingin seolah tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya, menjadikannya sosok yang tak terjangkau, bahkan bagi mereka yang ingin mendekat. Namun, malam itu ada yang berbeda. Dua wanita yang tampaknya malah terlibat dalam adu mulut yang semakin memanas. Alice, dengan wajah merah karena amarah, melangkah maju, suaranya nyaring dan penuh emosi. “Aku yang lebih dulu di sini! Jangan datang tiba-tiba dan merusak semuanya!” teriak Alice, dengan tangan terkepal, seolah tak bisa menahan amarahnya. Amora tertawa kecil, menyerupai ejekan. “Jangan sok merasa lebih baik! Damian mengenalku jauh lebih baik daripada kamu, Alice. Kamu cuma pelac*r yang
Dua tahun pernikahan yang mereka jalani, dan terhitung lima tahun sudah perjuangan Camila Amorette untuk memenangkan cinta suaminya, Damian Ravensdale. Selama itu, Damian tetap teguh dalam dunia sepinya, seolah terperangkap dalam rutinitas tanpa pernah peduli dengan perubahan sekitar. Keberadaannya yang penuh kendali, jauh dari ekspresi emosional, berlawanan dengan Camila yang selalu terbawa perasaan, seorang wanita yang penuh harapan dan hasrat untuk meraih cinta sang suami. "Sayanggg..." Panggilan lembut itu menggema di dalam ruangan yang sunyi, namun meskipun kata-kata itu penuh dengan harapan, Damian tetap terfokus pada berkas yang memenuhi mejanya. Tangannya bergerak cepat, pena di tangan bergerak tanpa henti, seolah menepis keberadaan Camila yang kini berdiri di sampingnya. Gaun satin gading yang membalut tubuh Camila memancarkan aura anggun, seperti lukisan klasik yang hidup. Wajahnya tampak sempurna dengan riasan lembut, rambutnya yang terurai rapi menambah kecantikann
"Mari bercerai." Dua kata itu seperti petir yang menyambar di tengah malam, mengiris kesunyian yang sudah lama mengisi ruang di antara mereka. Suaranya terdengar datar, penuh ketegasan yang mengindikasikan keputusan itu sudah matang, telah lama ia pikirkan tanpa sedikit pun keraguan. Damian Ravensdale, hanya bisa terdiam sejenak, dia ingat, kalimat yang sama pernah terdengar di antara mereka. Bedanya, waktu itu Damian yang melayangkan perkataan itu. Kini, keadaannya berbeda. Orang yang melontarkan kata-kata itu adalah Camila. Dan ia merasakannya— tekanan tak kasat mata yang menekan dadanya hingga sulit bernapas. Tatapannya terpaku pada punggung Camila yang membelakanginya. Wanita itu duduk di pinggir ranjang, rambut panjangnya tergerai liar, menutupi sebagian punggungnya yang ramping. Damian mengangkat alis, meletakkan cerutunya yang hampir habis ke asbak. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Kamu serius?" suaranya terdengar serak ketika akhirnya i