Samira urung membuka pintu, berbalik badan cepat. Hanya terpaku ditempatnya berdiri menunggu Morgan yang tengah berjalan menghampirinya. Samira meneguk liur ketika Morgan berhenti hampir tidak berjarak dengannya. Matanya terpaku pada dada lebar yang hampir mengenai ujung hidung mancungnya. Samira mengepal kuat telapak tangannya guna menguatkan kedua kakinya tetap berdiri tegak. Aroma tubuh Morgan seakan-akan melumpuhkan semua saraf-saraf tubuhnya. Hingga sekujur tubuhnya tiba-tiba saja melemah. Seolah ada hal janggal yang terjadi dalam tubuhnya setelah aroma tubuh Morgan memenuhi indra penciumannya. Ada getaran kuat yang membuatnya ingin tenggelam dalam dada bidang Morgan. Namun ... "Kamu mau berpenampilan begini ke rumah Mami?" Morgan bertanya dengan tawa kecilnya. Kaget, dahi Samira mengernyit, bola matanya mengikuti jari telunjuk Morgan yang mengarah ke kepalanya yang masih terbungkus handuk. "Astaga! Aku lupa!" Samira kembali kaget, kali ini bercampur rasa malu. La
Emosi Samira yang sudah mencapai ubun-ubun itu bangkit berdiri. Jari telunjuknya mengarah ke depan tepat diujung hidung Lala. Namun, belum sempat menumpahkan amarahnya, Morgan sudah menarik tangannya dan meremasnya dengan lembut. Spontan Samira menggeser pandangannya ke Morgan yang tampak tenang itu. Raut wajahnya tidak menunjukkan kemarahan dengan penghinaan Rosa dan Lala barusan kepadanya."Tidak perlu marah, Sayang. Semua yang dikatakan Rosa dan Tante Lala itu benar, suamimu ini miskin! Selama ini cuma bisa mengandalkan uang kamu untuk kebutuhan sehari-hari kita." Tenang Morgan berkata. Tangannya berpindah merangkul lembut bahu Samira.Sementara ketiga orang di depan mereka sampai ternganga dengan jawaban tenang Morgan itu. Bahkan pria itu tidak tersinggung ataupun marah sedikitpun.Lebih lagi sikapnya yang begitu manis dan hangat memperlakukan Samira yang tersulut emosi, sampai Samira bisa kembali tenang dan nyaman. Morgan mengangkat pandangannya menatap ketiga orang di depanny
Tidak mau terjadi hal buruk kepada Samira, cepat-cepat Morgan menggendongnya masuk ke dalam.Malam yang larut terasa sangat dingin. Tubuh Samira yang lemah semakin menggigil. Tanpa sungkan-sungkan lagi mendekatkan wajahnya ke wajah Morgan, guna mendapatkan kehangatan dari hembusan nafas Morgan."Dingin," rintih Samira menggulung dirinya dengan selimut sesaat setelah Morgan menurunkannya di atas ranjang dalam kamar."Apa kamu sakit, Samira?" tanya Morgan mulai menggosok-gosok telapak tangan Samira yang hampir beku.Samira menggeleng. "Aku cuma kedinginan.""Tapi tubuhmu sangat dingin, Samira?" "Iya, mungkin karena terkena angin malam saja." Samira menyahut lemah. "Tolong berikan selimut yang lebih tebal," pinta Samira mulai kewalahan menguasai rasa dingin dalam tubuhnya. Rasa yang amat dingin membuat tubuhnya bergetar sampai bahunya terguncang."Biar aku memelukmu," ujar Morgan ikut masuk dalam selimut. "Cara itu lebih cepat menghangatkan tubuhmu."Tanpa pikir-pikir lagi, Morgan menar
Samira dibuat bingung oleh kedua pria di depannya itu jadinya. Ia tidak tahu apa yang mereka pikirkan tentang dirinya, hanya karena terlambat masuk ke kantor hari ini.Dalam kebingungannya Samira menjawab, "Saya baik-baik saja, Pak. Maaf, saya datang terlambat hari ini.""Kalau kamu sakit tidak perlu memaksakan diri harus masuk kerja, Samira. Sekarang kamu pulang dan istirahatlah di rumah. Meeting hari ini di tangani oleh Mariam dan Andrew," ujar pak Baroto mengeluarkan ponselnya, pria tua tampak sibuk menatap layar ponselnya.Samira menggeser bola matanya ke Morgan. Tidak mungkin pak Baroto berkata seperti itu kalau pria ini ada bicara sesuatu tentang dirinya kepada pak Baroto. Hal mustahil pak Baroto bisa berkata seperti itu, sampai bela-belain masuk ke ruangannya.Samira mendesah berat dengan rasa kecewanya. Tidak mau dituduh membuat-buat alasan, Samira mau meluruskan kesalahpahaman sang atasan, sebelum semuanya semakin runyam. Ia tidak lupa jejak kejam pak Baroto kalau sudah d
Samira kembali bertanya hal yang sama. Pikirnya, mungkin sang dokter kurang jelas mendengar."Anda tidak sakit." Dahi Samira sampai mengkerut mendengarnya. Tidak mungkin ia dibawa ke sana kalau keadaannya baik-baik saja.Tapi ... Samira kaget, uluran tangan tiba-tiba sang dokter yang mencoba menjabatnya. “Selamat, Anda hamil!”Berbeda dengan wajah bahagia sang dokter, Samira nyaris jatuh pingsan mendengarnya. Wajahnya memucat, sampai tangannya yang bergetar mencengkeram sisi meja guna menahan tubuhnya yang ikut bergetar. Seketika ia merasakan semua sekelilingnya runtuh. Sampai dokter meletakan beberapa bungkusan obat di depannya, Samira yang bergeming kembali tersentak. Tanpa bicara apapun lagi, dalam kebimbangan dan dengan beban yang berat di kepalanya, Samira keluar dari ruangan dokter."Samira, apa kata dokter?" tanya Morgan yang cemas menunggunya sedari tadi."Tidak apa-apa. Katanya karena kelelahan saja," bohong Samira menutupi raut wajahnya yang memucat dan menegang."Jadi,
Waktu terus memutar, hingga tiba malam yang juga kian larut. Samira melepas ponsel yang sedari tadi dalam genggaman erat tangannya. Sudah tujuh jam yang lalu ia hendak menelepon sang papi namun hingga detik ini belum berani menekan nomor teleponnya."Apa perlu memberitahu Papi tentang kehamilan ini?" Samira seakan bertanya kepada dinding kamar yang diam bisu."Papi pasti akan berkata ini berita baik!" Lagi-lagi Samira mendesah dalam kebingungan dan keputusasaannya. Jari-jemarinya mencengkram seprai yang kusut. Lama berpikir namun tidak juga menemukan satu ide yang bisa mengeluarkannya dari beban beratnya ini. Bunyi nyaring perutnya yang kosong terdengar. Samira baru sadar sejak pagi belum makan. Karena terburu-buru ke kantor tadi pagi, sampai-sampai ia tidak sempat mengisi perutnya.Samira mengganti seragam kerjanya dengan kimono tidur. Kemudian keluar kamar menuju dapur. Berharap ada sepotong roti atau makanan lain yang bisa mengisi perutnya yang mulai terasa perih dan panas. Sa
Samira merasakan hatinya terkoyak-koyak. Orang terakhir yang ia kira bisa menjadi tempat ternyaman dan perlindungannya, sudah tidak memperdulikannya lagi. Lama hanya terdiam. Tekanan batin menyerangnya bertubi-tubi, seolah hilang harapan dan hilang tempat perlindungan. Keadaan dirinya saat ini sangat membuatnya tidak aman dan sangat tertekan.Sudah berapa lama mobilnya berhenti di sisi jalan, yang bahkan ia tidak menyadari tengah berada di mana sekarang. Samira terus merenung dalam waktu yang lama.Di saat pikiran-pikirannya berkelebar, seseorang yang membukakan pintu mobil menyentakkannya."Apa yang kamu lakukan di sini?" Seperti tersadar dirinya menangis, cepat-cepat Samira membuang wajahnya. Tangannya gesit menyeka air mata yang membanjiri wajah cantiknya. "Kenapa kamu kemari? Bukankah seharusnya kamu ke kantor di jam sekarang?" Samira bertanya tanpa berani melihat wajah panik pria yang begitu mengkhawatirkannya.Samira melakukan penekanan pada suaranya agar tidak terdengar goya
Tanggapan apa maksudnya? Bukannya aku tidak bisa menolak semua perintahnya? Dia yang pikun apa aku yang tidak paham sekarang?"Tanggapan?" ulang Samira bertanya ditengah kebingungannya.Tampak pak Baroto mendesahkan nafas berat. Seolah-olah mengerti kebingungannya, pak Baroto berkata untuk menjelaskan maksudnya. "Bagaimana hubunganmu dengan kekasihmu itu, Samira?""A-apa?" Samira gugup setengah mati karena kagetnya.Otak cerdasnya langsung bekerja dengan baik mengingat jelas percakapan mereka tentang cucu sang atasannya ini. "Iya. Saya berharap kamu mau menikah dengan cucu saya."GLEKKSamira semakin tidak bisa menjawab. Ia tidak tahu harus membuat kebohongan apalagi menolak tawaran sang atasannya ini. Di sisi yang lain ia membutuhkan seseorang yang bisa menikahinya secara sah, dan mau bertanggungjawab atas kehamilannya ini.Namun, Samira juga ragu kalau cucu pak Baroto dan sang atasannya ini mau menerima keadaan dirinya, yang tengah mengandung benih Morgan sebab kesalahannya di mal