Tanggapan apa maksudnya? Bukannya aku tidak bisa menolak semua perintahnya? Dia yang pikun apa aku yang tidak paham sekarang?"Tanggapan?" ulang Samira bertanya ditengah kebingungannya.Tampak pak Baroto mendesahkan nafas berat. Seolah-olah mengerti kebingungannya, pak Baroto berkata untuk menjelaskan maksudnya. "Bagaimana hubunganmu dengan kekasihmu itu, Samira?""A-apa?" Samira gugup setengah mati karena kagetnya.Otak cerdasnya langsung bekerja dengan baik mengingat jelas percakapan mereka tentang cucu sang atasannya ini. "Iya. Saya berharap kamu mau menikah dengan cucu saya."GLEKKSamira semakin tidak bisa menjawab. Ia tidak tahu harus membuat kebohongan apalagi menolak tawaran sang atasannya ini. Di sisi yang lain ia membutuhkan seseorang yang bisa menikahinya secara sah, dan mau bertanggungjawab atas kehamilannya ini.Namun, Samira juga ragu kalau cucu pak Baroto dan sang atasannya ini mau menerima keadaan dirinya, yang tengah mengandung benih Morgan sebab kesalahannya di mal
Di dalam kamarnya. Jarum jam dinding sudah di angka sebelas namun tanda-tanda kepulangan Morgan dari rumah kakeknya belum juga terlihat. Samira masih terus menunggunya. Ia tidak ingin menunda-nunda niatnya membicarakan ini secepat-cepatnya dengan Morgan. Iapun sudah memikirkan semua yang harus ia katakan kepada Morgan. Ia juga sudah memikirkan jawaban dan alasan semisal Morgan bertanya tentang keputusannya itu nanti. Namun, sampai ia tertidur tanda-tanda kepulangan Morgan tidak kunjung terdengar. Dalam lelahnya akhirnya Samira tertidur pulas. Alarm ponsel membangunkan Samira. Pikirannya masih jernih mengingat dirinya tengah menunggu-nunggu Morgan yang tak kunjung pulang. Samira keluar kamar menuju ruang tamu. "Kemana dia? Apa dia tidak pulang semalam?" tanyanya kepada seisi ruang tamu. Samira hanya bisa mendesahkan rasa kecewanya yang mendalam. Ia memutuskan sedikit waktu lagi duduk menunggunya di ruang tamu. Namun, hingga jam tujuh pagi Morgan tak kunjung juga pulang. H
"Samira, saya mencari mu," kata pak Baroto sesaat setelah melihatnya.Samira menyembunyikan ponselnya dibalik tumpukan map yang ia peluk. Takut kalau pak Baroto sampai tahu ia mengabaikan panggilan telepon sang atasannya itu. "Saya baru dari ruangan Morgan untuk mengambil berkas laporan kerjanya, Pak." Samira berdalih. Untungnya ia membawa tumpukan map tadi. "Iya, tidak apa-apa. Kamu selesaikan dulu pekerjaanmu, setelahnya segera ke ruangan saya ya." Pak Baroto beranjak pergi.Dahi Samira mengkerut kebingungan. Belakangan pak Baroto sudah seringkali mendatanginya ke ruangannya. Lebih membingungkannya, pak Baroto tidak pernah marah atau menegurnya, jika membuat alasan dengan membawa nama Morgan.Apa pak Baroto sudah tahu ia memiliki hubungan dengan Morgan?Tapi ...Jika pak Baroto tahu tentu tidak akan menjodoh-jodohkan dirinya dengan cucunya.Samira meletakkan map di atas meja. Setelah merapikan diri, ia keluar untuk menemui pak Baroto."Apa pekerjaanmu sudah selesai?" Pak Baroto t
"Sudah lama saya ingin mengatakan ini kepadamu, Samira. Namun, karena kesibukan pekerjaan maka sekarang saya baru sempat mengatakannya."Samira mempererat pegangannya pada sisi pintu, sesaat mengumpulkan kekuatannya untuk menjawab. "Terimakasih, tapi saya tidak berhak merebut kebahagiaan orang lain.""Itu benar. Tapi, tidak ada yang tidak mungkin asal kamu mau saja."Jawaban apa itu? Benar-benar tidak punya hati! Seandai ia mau, apa pak Baroto tidak berpikir rasa sakit menantu cucunya itu? Samira kesulitan menguasai getaran tubuhnya. Namun, mau tak mau ia harus segera berlalu dari sana. Sebelum semua pengakuan pak Baroto melumpuhkan semua kekuatan tubuhnya.Setengah menyeret kedua kakinya, Samira melanjutkan langkahnya kembali ke ruangannya. Gemuruh dadanya meningkat, dahinya berkeringat dingin, dan telapak tangannya mengepal kaku.Selama ini hubungannya dengan pak Baroto memang sangat baik dalam pekerjaan. Samira juga merasa nyaman selama menjadi bawahannya. Tapi ia tidak menyan
"Aku tidak mengatakan seperti itu." Morgan menggeser posisi duduknya menghadap ke depan. Matanya lurus menatap dinding yang cuma berjarak beberapa centimeter di depannya."Apa itu yang kamu inginkan, Samira?"Kenapa dia bertanya seperti itu? Apa dia tidak bisa merasa getaran suaraku yang penuh kekhawatiran?"Aku juga tidak mengatakan seperti itu." Samira menekan beban berat pikirannya dengan menjawab tenang. Andai mereka pasangan resmi, ia sudah menumpahkan beban pikirannya ini kepada Morgan. Tidak perlu menjaga-jaga rahasia dalam ketakutan dan keputusasaannya.Yang ia lakukan hanya bermanja-manja di pelukannya, namun ...Beberapa lama hanya terjadi keheningan di dalam kamar. Keduanya membungkam seolah sibuk dengan pikiran masing-masing. Tampak satu sama lain sungkan untuk mengutarakan isi hati yang menghimpit. "Apa yang ingin kamu sampaikan tadi?" Samira bertanya dengan tatapan kosong ke depan. "Kakek memintaku ..."Morgan kembali menggantung ucapannya. Dia tidak sanggup harus m
Melihat dirinya datang dengan wajah yang tampak sangat ceria, seolah tidak ada masalah mereka di hari-hari lalu. Silva, sang mama benar-benar kaget dengan kedatangannya tersebut.Begitu juga dengan tante Lala dan Rosa. Ketiganya sampai ternganga melihat dirinya begitu santai dan hangat menyapa mereka. Padahal, sejak masalah hari itu mereka yakin kalau Samira sudah jera datang ke rumah itu.Atau, mungkin Morgan yang tidak mengizinkan Samira lagi datang ke sana. "Ini ada kue untuk, Mami," ucap Samira melintas dari depan Silva, kemudian meletakkan paper bag di atas meja ruang tamu. Lelah sebab tenaga terkuras dan pikirannya dihantam beban berat belakangan ini, Samira menjatuhkan tubuhnya di atas sofa panjang. Beberapa detik Silva cuma ternganga. Kemudian kepalanya celingukan keluar seperti mencari-cari seseorang yang datang bersama Samira.Silva menghela nafas lega setelah yang ditakutkannya tidak terjadi. Dia takut kalau Samira mengadukan masalah waktu itu ke Philip, lalu mantan sua
Samira terbelalak melihat Morgan lah yang datang. "K-kenapa dia kemari?" Kaget Samira bergumam sangat pelan, gegas menghampirinya dan bertanya, "apa urusan kamu sudah selesai?" Tanpa ragu-ragu Samira menggamit lengan kekar Morgan mesra.Untungnya Morgan paham dengan perlakuannya barusan. Membalas Samira tidak kalah mesra dan hangat. Bahkan berani mengecup kening Samira layaknya mereka pasangan sungguhan.Samira harus berjuang menguasai getaran hatinya. Nafasnya memburu dengan semua perlakuan tiba-tiba dan hangat dari Morgan. Ia berusaha tetap bersikap tenang dan santai."Elehhh, sandiwara apalagi ini? Modelan pria miskin begitu punya kesibukan pekerjaan?" sindir Rosa mempermainkan ujung kuku jari-jemari tangannya.Tak bisa disangkal, dalam hatinya, Rosa sangat terkagum-kagum melihat ketampanan Morgan dibalik penampilan maskulinnya kali ini. Bahkan ketampanan Pedro, kekasihnya, tidak ada apa-apanya dibanding suami Samira yang selalu direndahkannya itu.Hatinya bergetar hebat saat mena
Samira mengernyit dahi kebingungan. Raut wajahnya tampak kesal, menunggu Morgan yang terus menggantung-gantung ucapannya.Namun, untuk menghargainya, Samira cuma bisa menunggu sesekali mendesahkan rasa kesalnya. Ia tidak tahu apa yang ada di pikiran Morgan, tapi ia merasakan ada sesuatu yang membuatnya setegang dan segugup itu.Morgan menarik napas panjang dan menatap Samira dengan tatapan lembut. "Samira," suara Morgan terdengar goyah. Samira semakin yakin ada yang hal rumit yang ingin disampaikan oleh Morgan. Siap tak siap, Samira melapangkan dada dengan mengangguk kecil. "Aku tahu kamu juga ingin secepatnya mencapai misi kamu dan segera mengakhiri perjanjian ini, Samira."Kepala Samira terangkat.Apa katanya? Kenapa dia bisa membuat kesimpulan begitu? Harusnya dia sadar aku tidak pernah berkata seperti itu!Menyedihkan, Samira menumpulkan pandangannya ke wajah Morgan. Rasanya ingin berteriak keras, kalau sebenarnya misinya itu ingin menikah sungguhan.Namun ... "Iya!" Samira pa
"Samira, kenapa menutupinya dariku?" "Aku tidak menutupi apapun dari kamu. Siapa yang mengatakannya padamu?" desak Samira masih dalam rasa kaget. "Ini! Aku rasa aku tidak salah melihat. Ini milikmu, 'kan?" ucap Morgan meletakkan kotak test pack beserta kertas kehamilannya dari klinik ke dashboard mobil. "D-dari mana kamu mengambilnya?" Wajah Samira memutih seolah-olah darah berhenti mengalir di sana. Matanya melotot, terpaku pada benda yang baru saja diletakkan Morgan. "Tanpa sengaja aku menemukannya dari dalam laci meja di kamar. Aku sedang mencari-cari remote AC tadi, karena kamu lupa mematikannya." Samira terdiam dan menjauhkan wajahnya. Ia tersudut karena tidak bisa membantah lagi. Ia juga pasrah apapun keputusan Morgan dengan hubungan mereka sekarang. Ia juga yakin, jika Timothy sudah menyampaikan semua pembicaraan mereka tadi kepada Morgan "Samira, apa aku bisa bertanya?" "Hmm, apa ada yang penting dibicarakan sekarang?" jawab Samira balik bertanya. Mengangkat
"What? Kamu jangan mengada-ada, Tim! Kamu tahu apa yang bisa aku lakukan padamu kalau sampai berbohong!" "Silakan pulang sekarang dan tanyakan padanya. Samira sudah mengakui kalau dirinyalah wanita yang bersama anda malam itu.""Hahk! Jelas ia bisa saja mengaku-ngaku agar bisa mendapatkan kalung unik itu! Kamu tahu berapa harga kalung itu?" geram Morgan."Yah, Tuan Philip sudah menunjukkan kwitansi pembelian kalungnya. Dan, hanya Samira seorang yang memiliki kalung seperti itu!" jelas Timothy."Sekarang misi sudah selesai. Dan, selama ini pun kamu sudah menikah dengan wanita yang kamu cari-cari," ujar Timothy mengangkat kedua tangannya di atas telinganya."Tim ..." Morgan menggertak gerahamnya kasar. "Apa Samira yang mengatakan itu semuanya?""Yah, itu benar. Aku sangat lelah, jadi harus pulang sekarang."Morgan meremas angin dalam genggaman tangannya. Antara senang dan rasa bersalah setelah mengetahui siapa gadis yang dicari-carinya selama ini.Morgan kembali menghenyakkan duduknya
Tidak lama menunggu di tempat yang mereka janjikan, tampak Timothy berjalan masuk menuju meja Samira menunggu."Maaf membuatmu menunggu," ujar Timothy."Hmm, aku juga baru tiba. Oiya, kamu sendirian kan?" tanya Samira. Kepalanya celingukan seperti mencari seseorang yang datang bersama Timothy."Yah, memangnya harus dengan siapa?""Hehee, nggak seh." Samira tampak salah tingkah. Sedikit lega karena tidak melihat ada Morgan di sana Timothy mencari posisi duduk yang nyaman dan melipat kedua tangannya di atas meja. Pria tampan tersebut menumpulkan tatapannya di wajah Samira yang tampak sedikit memerah karena malu-malu.Rahang wajahnya mengeras, tatapan matanya sangat serius menatap gadis cantik di depannya. Seakan pria tersebut menyimpan sebuah rahasia besar yang ingin diungkapkan saat itu juga."Samira, apa kamu memiliki hubungan dekat dengan Morgan?" Nada suaranya terdengar tegas."A-apa maksud kamu, Tim?" Setengah mati Samira menguasai rasa gugupnya. Namun, ia tetap berusaha memaksak
"Iya! Kamu tahu apa yang bisa aku lakukan padamu jika sampai mengabaikan perintahku, Tim!" "Satu lagi, kamu melupakan cara sopan menyebut Tuan Muda Morgan Francois!""Itu sangat berpengaruh dengan kedudukan kamu sekarang, Tim?"Morgan melirik ke samping, sengaja menaikkan salah satu sudut bibirnya. Senyumnya sinis penuh ancaman.Merasa terancam Timothy menjadi sedikit gugup, mencoba mencari pembenaran diri. Dia tidak mau kalau Morgan sampai mengadukan yang bukan-bukan kepada pak Baroto. Bisa-bisa pria tua itu menghukumnya jadi pegawai magang.Otak cerdasnya memutar cepat, mungkin cara tepat menyelamatkan dirinya sekarang, dengan menyinggung tentang wanita misterius itu."Oke, saya salah Tuan Muda! Mungkin terbawa suasana jadi ya keceplosan," ujar Timothy menggaruk-garuk kepala belakangnya."Hahaa. Tidak perlu terlalu serius, aku juga cuma bergurau." Morgan menyahuti sambil tertawa kecil namun terdengar menakutkan."Sekarang kamu lakukan apa yang aku perintahkan tadi, Tim!" Kemudian
"Tim, aku pinjam charger ponsel kamu ini, ya," ujar Samira seraya tangan kirinya cepat-cepat menutup laci meja. Sementara tangan kanannya lantas meraih charger yang ia letakkan tadi di atas meja, dan menunjukkannya kepada Timothy. Namun, sang pria yang masih sibuk dengan ponselnya itu, enggan mengangkat kepala sekedar melihat Samira. "Apa kamu mendengar ku?"Timothy yang kurang fokus mendengar, bertanya, "apa tadi? Charger ya?""Hmm, iya. Ponselku mati, nih. Mana aku lupa membawa charger nya.""Ooh .. tidak apa-apa, pakai saja." Santai Timothy menjawab. Menutup ponsel dan memasukkannya ke dalam saku celana berbahan thaisilk yang dia kenakan.Samira bergeser dari kursi kebesaran Timothy ke arah kursinya guna memberi ruang kepada sahabatnya itu. Gemuruh dadanya meningkat menunggu reaksi pria itu. Ia takut kalau Timothy sampai melihatnya memegang kalung yang ia lihat di laci tadi. Yang ia yakini itu adalah kalung miliknya yang tertinggal pada Morgan di malam panas itu."Apa urusan
"Aku sangat paham dan tidak akan pernah lupa. Sekarang kamu hanya perlu menjawab pertanyaanku tadi, Samira!"Rasanya, ia ingin berteriak keras, menyadarkan pria bodoh yang sedari tadi hanya memutar-mutar ucapannya. Samira mendesah dalam kekecewaannya. Menggeser bola matanya ke jam dinding."Aku mau tidur," ucapnya mengakhiri pembicaraan mereka."Tapi kamu belum menjawabnya, Samira!" Tidak ada sahutan, seiring suara pintu kamar yang sengaja di tutup keras. Beberapa detik setelahnya terjadi keheningan dalam apartemen. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing.Samira duduk dengan memeluk kedua lututnya di atas ranjangnya. Sementara Morgan duduk dengan meremas rambutnya. Sesekali mengumpat dan bergumam tidak jelas.***Tiga bulan sejak hari itu."Sial! Ini tidak bisa ditutupi lagi!" desis Samira menatap dirinya di dalam cermin. Perutnya yang membuncit semakin kelihatan jelas.Entah sudah berapa banyak membuat alasan agar bisa tidak masuk ke kantor. Bahkan, ia juga sudah mendapat tegu
"Bersedia? Maksud kamu?" Samira menghentikan langkahnya. Pandangannya bergeser dari ujung sepatunya ke samping, menatap pria yang membuat otaknya terus berpikir liar.Morgan ikut berhenti namun dengan sedikit gugup ditodong pertanyaan seperti itu. Tampak dia menghela nafasnya berkali-kali guna mengatur desah nafasnya yang jelas terdengar memburu.Sang pria tampan itu juga terlihat tidak berani menoleh ke samping. Dia menatap lurus ke depan.Setelah sedikit tenang, dia menjawab, "aku ... aku menginginkan anak darimu, Samira!" Kemudian Morgan berbalik badan, cepat-cepat berjalan menuju mobil, meninggalkan Samira yang ternganga dan seketika membisu.Beberapa kali Morgan berusaha membujuk sang Kakek agar mengganti syarat hukumannya. Namun, agaknya tidak mudah baginya meluluhkan hati tuan bersahaja itu. Samira kaget setengah mati, sampai-sampai kedua kakinya terasa lemas. Gemuruh dadanya langsung meningkat. Perlahan menggeser pandangannya mengikuti punggung Morgan yang semakin menjauh m
Bisa merasakan telapak tangannya sudah banjir keringat. Samira tergugu dalam kebingungannya. Ia takut harus mengungkapkan semuanya sekarang. Namun, semakin lama semuanya akan semakin menjadi rumit."Samira! Katakan!" desak Morgan tidak sabar. Didesak seperti itu Samira cuma bisa menjauhkan wajahnya. Dalam hati ia belum benar-benar siap, dan akhirnya menjawab asal, "aku harus mengingat usiaku!" "Hahh! Itu terdengar kekanakan, Samira! Sebelumnya itu sudah kamu pikirkan matang-matang sebelum menandatangani perjanjian kita. Atau, benar yang aku katakan tadi?"Samira menelan liur. Andai semuanya bisa begitu mudah ia ungkapkan, ia tidak perlu mencari-cari alasan menutupi kehamilannya ini."Aku ... lupakan saja! Tidak ada lagi yang perlu dibahas. Aku mau tidur sekarang!" Samira meninggalkan Morgan di ruang tamu."Tunggu!" panggil Morgan. "Ini pembahasan penting, Samira. Aku butuh kamu kejujuranmu!" Samira berhenti di depan pintu kamar. Tanpa menoleh ia menjawab, "Lupakan saja. Sekarang la
Pertanyaan Pierre itu menarik atensi Timothy, cepat-cepat menggeser pandangannya melihat kalung di genggaman tangan Pierre."Berikan padaku," katanya dengan dahi mengernyit seolah-olah kurang jelas melihat kalungnya.Sesaat Timothy hanya memperhatikan kalung di tangannya, kali ini lebih fokus. Matanya menyipit, kalung tersebut seperti tidak asing baginya namun mengingat siapa pemiliknya sangat menguras pikiran.Semakin lebih memperhatikan lagi, dalam pikirannya seakan-akan pernah mengingat seseorang mengenakan kalung tersebut.Tapi siapa?"Malah bengong! Kamu yakin nggak kalung ini milik wanita yang bersama Tuan Muda?" tanya Pierre meninju pelan bahu Timothy yang terdiam seraya memelototi kalung di tangannya."Aku tidak tahu, tapi Tuan Muda mengatakan kalung ini milik wanita itu. Tapi ..." Timothy mengalihkan pandangan dari kalung ke wajah Pierre yang menegang menunggu kelanjutannya."Bukankah kamu yang mengurus kamar itu untuk Tuan Muda?" selidik Timothy."Itu benar, tapi bukan aku