"Aku tidak mengatakan seperti itu." Morgan menggeser posisi duduknya menghadap ke depan. Matanya lurus menatap dinding yang cuma berjarak beberapa centimeter di depannya."Apa itu yang kamu inginkan, Samira?"Kenapa dia bertanya seperti itu? Apa dia tidak bisa merasa getaran suaraku yang penuh kekhawatiran?"Aku juga tidak mengatakan seperti itu." Samira menekan beban berat pikirannya dengan menjawab tenang. Andai mereka pasangan resmi, ia sudah menumpahkan beban pikirannya ini kepada Morgan. Tidak perlu menjaga-jaga rahasia dalam ketakutan dan keputusasaannya.Yang ia lakukan hanya bermanja-manja di pelukannya, namun ...Beberapa lama hanya terjadi keheningan di dalam kamar. Keduanya membungkam seolah sibuk dengan pikiran masing-masing. Tampak satu sama lain sungkan untuk mengutarakan isi hati yang menghimpit. "Apa yang ingin kamu sampaikan tadi?" Samira bertanya dengan tatapan kosong ke depan. "Kakek memintaku ..."Morgan kembali menggantung ucapannya. Dia tidak sanggup harus m
Melihat dirinya datang dengan wajah yang tampak sangat ceria, seolah tidak ada masalah mereka di hari-hari lalu. Silva, sang mama benar-benar kaget dengan kedatangannya tersebut.Begitu juga dengan tante Lala dan Rosa. Ketiganya sampai ternganga melihat dirinya begitu santai dan hangat menyapa mereka. Padahal, sejak masalah hari itu mereka yakin kalau Samira sudah jera datang ke rumah itu.Atau, mungkin Morgan yang tidak mengizinkan Samira lagi datang ke sana. "Ini ada kue untuk, Mami," ucap Samira melintas dari depan Silva, kemudian meletakkan paper bag di atas meja ruang tamu. Lelah sebab tenaga terkuras dan pikirannya dihantam beban berat belakangan ini, Samira menjatuhkan tubuhnya di atas sofa panjang. Beberapa detik Silva cuma ternganga. Kemudian kepalanya celingukan keluar seperti mencari-cari seseorang yang datang bersama Samira.Silva menghela nafas lega setelah yang ditakutkannya tidak terjadi. Dia takut kalau Samira mengadukan masalah waktu itu ke Philip, lalu mantan sua
Samira terbelalak melihat Morgan lah yang datang. "K-kenapa dia kemari?" Kaget Samira bergumam sangat pelan, gegas menghampirinya dan bertanya, "apa urusan kamu sudah selesai?" Tanpa ragu-ragu Samira menggamit lengan kekar Morgan mesra.Untungnya Morgan paham dengan perlakuannya barusan. Membalas Samira tidak kalah mesra dan hangat. Bahkan berani mengecup kening Samira layaknya mereka pasangan sungguhan.Samira harus berjuang menguasai getaran hatinya. Nafasnya memburu dengan semua perlakuan tiba-tiba dan hangat dari Morgan. Ia berusaha tetap bersikap tenang dan santai."Elehhh, sandiwara apalagi ini? Modelan pria miskin begitu punya kesibukan pekerjaan?" sindir Rosa mempermainkan ujung kuku jari-jemari tangannya.Tak bisa disangkal, dalam hatinya, Rosa sangat terkagum-kagum melihat ketampanan Morgan dibalik penampilan maskulinnya kali ini. Bahkan ketampanan Pedro, kekasihnya, tidak ada apa-apanya dibanding suami Samira yang selalu direndahkannya itu.Hatinya bergetar hebat saat mena
Samira mengernyit dahi kebingungan. Raut wajahnya tampak kesal, menunggu Morgan yang terus menggantung-gantung ucapannya.Namun, untuk menghargainya, Samira cuma bisa menunggu sesekali mendesahkan rasa kesalnya. Ia tidak tahu apa yang ada di pikiran Morgan, tapi ia merasakan ada sesuatu yang membuatnya setegang dan segugup itu.Morgan menarik napas panjang dan menatap Samira dengan tatapan lembut. "Samira," suara Morgan terdengar goyah. Samira semakin yakin ada yang hal rumit yang ingin disampaikan oleh Morgan. Siap tak siap, Samira melapangkan dada dengan mengangguk kecil. "Aku tahu kamu juga ingin secepatnya mencapai misi kamu dan segera mengakhiri perjanjian ini, Samira."Kepala Samira terangkat.Apa katanya? Kenapa dia bisa membuat kesimpulan begitu? Harusnya dia sadar aku tidak pernah berkata seperti itu!Menyedihkan, Samira menumpulkan pandangannya ke wajah Morgan. Rasanya ingin berteriak keras, kalau sebenarnya misinya itu ingin menikah sungguhan.Namun ... "Iya!" Samira pa
Samira memejamkan mata sejenak. Menghela nafas yang panjang berkali-kali, seakan-akan melonggarkan segala yang menghimpit di dadanya. Sadar sudah terlalu lancang mengatakannya, tapi ia tidak bisa terus-terus membohongi dan menyiksa dirinya. Di saat-saat menunggu reaksi dari Morgan, pikiran pragmatisnya segera menyusup, mengingatkannya pada perjanjian yang sudah mereka sepakati. Ia jadi semakin yakin ada yang salah dengan ucapannya tadi. Karena mereka sudah sepakat tidak berhak mengharap pengakuan dan cinta di hubungan mereka. "Kamu bisa mengabaikan ucapanku tadi. Aku hanya kehabisan ide berpikir," ucap Samira tertunduk, seperti ingin meralat sepenggal kalimat yang tengah dipikirkan Morgan sekarang. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari, apa yang dipikirkannya tidak sesuai dengan realita yang dijalaninya. Harusnya ia tidak bisa melupakan isi perjanjian kontrak mereka itu. "Samira, tidak ada yang salah dengan itu, hanya saja aku ... aku ..." Morgan tidak sanggup berkat
Samira ternganga mendengar pertanyaan itu. Matanya mengerjap berkali-kali guna memfokuskan pikirannya. Bingung harus menjawab apa!"A-aku merasa baik-baik saja," jawab Samira sedikit gugup. "Bagaimana dengan kamu?" "Samira, aku juga merasa baik-baik saja. Tapi, apa kamu pernah berpikir resiko dari sebuah pernikahan sah tanpa ada cinta?" tanya Morgan dengan nada serius, matanya menatap tajam di wajah Samira yang berubah-ubah warna. GLEKKApa yang dia inginkan sebenarnya? Kalau dia tidak mau menikah sah, kenapa dia semakin memperpanjang pembicaraan ini?Samira sudah tidak sanggup melanjutkan pembicaraan mereka. Ia juga sadar kebersamaan mereka hanya di atas surat perjanjian, jadi ia tidak bisa menuntut perasaan Morgan.Melihat Morgan terus menatapnya, seolah-olah menunggu jawabannya, Samira berkata, "aku tidak bisa membayangkan apa resiko pernikahan tanpa cinta. Karena ..." Samira meremas-remas telapak tangannya. Ia ragu melanjutkannya. Karena sengaja atau tidak sengaja, itu hanya
Kaget Samira lantas menoleh ke samping, setelah tangan sang atasan menepuk pelan di bahunya."Saya, Pak!" sahut Samira mengarahkan jari telunjuk di dadanya menunjuk dirinya sendiri, raut wajahnya sedikit memerah."Iya, kamu. Silakan," ucap pak Baroto menaikkan kedua alisnya seperti mendesaknya.Samira kebingungan. Menggeser pandangannya ke depan, di mana Morgan duduk di balik mejanya dengan tumpukan dokumen dan laptop yang menyala. Pria itu menatap tenang ke arahnya, seakan-akan menunggu sesuatu darinya.Samira menenggak liur, sedari tadi ia hanya fokus memperhatikan gerakan Morgan memaparkan ide-idenya. Sampai dirinya tidak bisa menahan diri untuk tidak terkesima.Kembali terdiam karena tidak tahu harus melakukan apapun dengan titah dari sang atasan. Samira mengalihkan pandangannya kepada pak Baroto dan berniat bertanya untuk memperjelas"Saya tidak---""Baik, karena tidak ada komentar dari ibu Samira selaku direktur utama, saya menyudahi meeting hari ini. Terimakasih atas kerjasama
Seraya menunggu waktu yang dititahkan pak Baroto tadi, Samira memaksakan diri fokus bekerja. Meski tidak sedikitpun yang bisa ia lakukan di meja kerjanya namun seenggaknya pikirannya teralihkan."Masuk." Samira menyahuti ketukan di pintu ruangannya, tanpa menggeser pandangan dari laptop di depannya. Pikirnya, siapa lagi yang berkepentingan masuk kalau bukan Mariam."Ibu Samira, pak Baroto menyuruh anda segera ke ruang direksi sekarang."Tangannya berhenti di tetikus. Kemudian menggeser kepalanya melihat Morgan yang berdiri di depan mejanya.Samira menenggak liur kesulitan bertatapan langsung dengan pria yang ternyata tuan muda keluarga Sagala itu."Iya, saya segera ke sana." Cuek Samira menjawab. Dalam hatinya karena tidak bisa lagi menguasai rasa gugupnya.Samira melanjutkan fokus dengan pekerjaannya. Berharap Morgan segera pergi dari sana. Namun ..."Saya meminta maaf atas kelancangan saya mengambil alih memimpin meeting tadi, ibu Samira," ucap Morgan sangat sopan dan tetap mengho
"Samira, kenapa menutupinya dariku?" "Aku tidak menutupi apapun dari kamu. Siapa yang mengatakannya padamu?" desak Samira masih dalam rasa kaget. "Ini! Aku rasa aku tidak salah melihat. Ini milikmu, 'kan?" ucap Morgan meletakkan kotak test pack beserta kertas kehamilannya dari klinik ke dashboard mobil. "D-dari mana kamu mengambilnya?" Wajah Samira memutih seolah-olah darah berhenti mengalir di sana. Matanya melotot, terpaku pada benda yang baru saja diletakkan Morgan. "Tanpa sengaja aku menemukannya dari dalam laci meja di kamar. Aku sedang mencari-cari remote AC tadi, karena kamu lupa mematikannya." Samira terdiam dan menjauhkan wajahnya. Ia tersudut karena tidak bisa membantah lagi. Ia juga pasrah apapun keputusan Morgan dengan hubungan mereka sekarang. Ia juga yakin, jika Timothy sudah menyampaikan semua pembicaraan mereka tadi kepada Morgan "Samira, apa aku bisa bertanya?" "Hmm, apa ada yang penting dibicarakan sekarang?" jawab Samira balik bertanya. Mengangkat
"What? Kamu jangan mengada-ada, Tim! Kamu tahu apa yang bisa aku lakukan padamu kalau sampai berbohong!" "Silakan pulang sekarang dan tanyakan padanya. Samira sudah mengakui kalau dirinyalah wanita yang bersama anda malam itu.""Hahk! Jelas ia bisa saja mengaku-ngaku agar bisa mendapatkan kalung unik itu! Kamu tahu berapa harga kalung itu?" geram Morgan."Yah, Tuan Philip sudah menunjukkan kwitansi pembelian kalungnya. Dan, hanya Samira seorang yang memiliki kalung seperti itu!" jelas Timothy."Sekarang misi sudah selesai. Dan, selama ini pun kamu sudah menikah dengan wanita yang kamu cari-cari," ujar Timothy mengangkat kedua tangannya di atas telinganya."Tim ..." Morgan menggertak gerahamnya kasar. "Apa Samira yang mengatakan itu semuanya?""Yah, itu benar. Aku sangat lelah, jadi harus pulang sekarang."Morgan meremas angin dalam genggaman tangannya. Antara senang dan rasa bersalah setelah mengetahui siapa gadis yang dicari-carinya selama ini.Morgan kembali menghenyakkan duduknya
Tidak lama menunggu di tempat yang mereka janjikan, tampak Timothy berjalan masuk menuju meja Samira menunggu."Maaf membuatmu menunggu," ujar Timothy."Hmm, aku juga baru tiba. Oiya, kamu sendirian kan?" tanya Samira. Kepalanya celingukan seperti mencari seseorang yang datang bersama Timothy."Yah, memangnya harus dengan siapa?""Hehee, nggak seh." Samira tampak salah tingkah. Sedikit lega karena tidak melihat ada Morgan di sana Timothy mencari posisi duduk yang nyaman dan melipat kedua tangannya di atas meja. Pria tampan tersebut menumpulkan tatapannya di wajah Samira yang tampak sedikit memerah karena malu-malu.Rahang wajahnya mengeras, tatapan matanya sangat serius menatap gadis cantik di depannya. Seakan pria tersebut menyimpan sebuah rahasia besar yang ingin diungkapkan saat itu juga."Samira, apa kamu memiliki hubungan dekat dengan Morgan?" Nada suaranya terdengar tegas."A-apa maksud kamu, Tim?" Setengah mati Samira menguasai rasa gugupnya. Namun, ia tetap berusaha memaksak
"Iya! Kamu tahu apa yang bisa aku lakukan padamu jika sampai mengabaikan perintahku, Tim!" "Satu lagi, kamu melupakan cara sopan menyebut Tuan Muda Morgan Francois!""Itu sangat berpengaruh dengan kedudukan kamu sekarang, Tim?"Morgan melirik ke samping, sengaja menaikkan salah satu sudut bibirnya. Senyumnya sinis penuh ancaman.Merasa terancam Timothy menjadi sedikit gugup, mencoba mencari pembenaran diri. Dia tidak mau kalau Morgan sampai mengadukan yang bukan-bukan kepada pak Baroto. Bisa-bisa pria tua itu menghukumnya jadi pegawai magang.Otak cerdasnya memutar cepat, mungkin cara tepat menyelamatkan dirinya sekarang, dengan menyinggung tentang wanita misterius itu."Oke, saya salah Tuan Muda! Mungkin terbawa suasana jadi ya keceplosan," ujar Timothy menggaruk-garuk kepala belakangnya."Hahaa. Tidak perlu terlalu serius, aku juga cuma bergurau." Morgan menyahuti sambil tertawa kecil namun terdengar menakutkan."Sekarang kamu lakukan apa yang aku perintahkan tadi, Tim!" Kemudian
"Tim, aku pinjam charger ponsel kamu ini, ya," ujar Samira seraya tangan kirinya cepat-cepat menutup laci meja. Sementara tangan kanannya lantas meraih charger yang ia letakkan tadi di atas meja, dan menunjukkannya kepada Timothy. Namun, sang pria yang masih sibuk dengan ponselnya itu, enggan mengangkat kepala sekedar melihat Samira. "Apa kamu mendengar ku?"Timothy yang kurang fokus mendengar, bertanya, "apa tadi? Charger ya?""Hmm, iya. Ponselku mati, nih. Mana aku lupa membawa charger nya.""Ooh .. tidak apa-apa, pakai saja." Santai Timothy menjawab. Menutup ponsel dan memasukkannya ke dalam saku celana berbahan thaisilk yang dia kenakan.Samira bergeser dari kursi kebesaran Timothy ke arah kursinya guna memberi ruang kepada sahabatnya itu. Gemuruh dadanya meningkat menunggu reaksi pria itu. Ia takut kalau Timothy sampai melihatnya memegang kalung yang ia lihat di laci tadi. Yang ia yakini itu adalah kalung miliknya yang tertinggal pada Morgan di malam panas itu."Apa urusan
"Aku sangat paham dan tidak akan pernah lupa. Sekarang kamu hanya perlu menjawab pertanyaanku tadi, Samira!"Rasanya, ia ingin berteriak keras, menyadarkan pria bodoh yang sedari tadi hanya memutar-mutar ucapannya. Samira mendesah dalam kekecewaannya. Menggeser bola matanya ke jam dinding."Aku mau tidur," ucapnya mengakhiri pembicaraan mereka."Tapi kamu belum menjawabnya, Samira!" Tidak ada sahutan, seiring suara pintu kamar yang sengaja di tutup keras. Beberapa detik setelahnya terjadi keheningan dalam apartemen. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing.Samira duduk dengan memeluk kedua lututnya di atas ranjangnya. Sementara Morgan duduk dengan meremas rambutnya. Sesekali mengumpat dan bergumam tidak jelas.***Tiga bulan sejak hari itu."Sial! Ini tidak bisa ditutupi lagi!" desis Samira menatap dirinya di dalam cermin. Perutnya yang membuncit semakin kelihatan jelas.Entah sudah berapa banyak membuat alasan agar bisa tidak masuk ke kantor. Bahkan, ia juga sudah mendapat tegu
"Bersedia? Maksud kamu?" Samira menghentikan langkahnya. Pandangannya bergeser dari ujung sepatunya ke samping, menatap pria yang membuat otaknya terus berpikir liar.Morgan ikut berhenti namun dengan sedikit gugup ditodong pertanyaan seperti itu. Tampak dia menghela nafasnya berkali-kali guna mengatur desah nafasnya yang jelas terdengar memburu.Sang pria tampan itu juga terlihat tidak berani menoleh ke samping. Dia menatap lurus ke depan.Setelah sedikit tenang, dia menjawab, "aku ... aku menginginkan anak darimu, Samira!" Kemudian Morgan berbalik badan, cepat-cepat berjalan menuju mobil, meninggalkan Samira yang ternganga dan seketika membisu.Beberapa kali Morgan berusaha membujuk sang Kakek agar mengganti syarat hukumannya. Namun, agaknya tidak mudah baginya meluluhkan hati tuan bersahaja itu. Samira kaget setengah mati, sampai-sampai kedua kakinya terasa lemas. Gemuruh dadanya langsung meningkat. Perlahan menggeser pandangannya mengikuti punggung Morgan yang semakin menjauh m
Bisa merasakan telapak tangannya sudah banjir keringat. Samira tergugu dalam kebingungannya. Ia takut harus mengungkapkan semuanya sekarang. Namun, semakin lama semuanya akan semakin menjadi rumit."Samira! Katakan!" desak Morgan tidak sabar. Didesak seperti itu Samira cuma bisa menjauhkan wajahnya. Dalam hati ia belum benar-benar siap, dan akhirnya menjawab asal, "aku harus mengingat usiaku!" "Hahh! Itu terdengar kekanakan, Samira! Sebelumnya itu sudah kamu pikirkan matang-matang sebelum menandatangani perjanjian kita. Atau, benar yang aku katakan tadi?"Samira menelan liur. Andai semuanya bisa begitu mudah ia ungkapkan, ia tidak perlu mencari-cari alasan menutupi kehamilannya ini."Aku ... lupakan saja! Tidak ada lagi yang perlu dibahas. Aku mau tidur sekarang!" Samira meninggalkan Morgan di ruang tamu."Tunggu!" panggil Morgan. "Ini pembahasan penting, Samira. Aku butuh kamu kejujuranmu!" Samira berhenti di depan pintu kamar. Tanpa menoleh ia menjawab, "Lupakan saja. Sekarang la
Pertanyaan Pierre itu menarik atensi Timothy, cepat-cepat menggeser pandangannya melihat kalung di genggaman tangan Pierre."Berikan padaku," katanya dengan dahi mengernyit seolah-olah kurang jelas melihat kalungnya.Sesaat Timothy hanya memperhatikan kalung di tangannya, kali ini lebih fokus. Matanya menyipit, kalung tersebut seperti tidak asing baginya namun mengingat siapa pemiliknya sangat menguras pikiran.Semakin lebih memperhatikan lagi, dalam pikirannya seakan-akan pernah mengingat seseorang mengenakan kalung tersebut.Tapi siapa?"Malah bengong! Kamu yakin nggak kalung ini milik wanita yang bersama Tuan Muda?" tanya Pierre meninju pelan bahu Timothy yang terdiam seraya memelototi kalung di tangannya."Aku tidak tahu, tapi Tuan Muda mengatakan kalung ini milik wanita itu. Tapi ..." Timothy mengalihkan pandangan dari kalung ke wajah Pierre yang menegang menunggu kelanjutannya."Bukankah kamu yang mengurus kamar itu untuk Tuan Muda?" selidik Timothy."Itu benar, tapi bukan aku