Samira memejamkan mata sejenak. Menghela nafas yang panjang berkali-kali, seakan-akan melonggarkan segala yang menghimpit di dadanya. Sadar sudah terlalu lancang mengatakannya, tapi ia tidak bisa terus-terus membohongi dan menyiksa dirinya. Di saat-saat menunggu reaksi dari Morgan, pikiran pragmatisnya segera menyusup, mengingatkannya pada perjanjian yang sudah mereka sepakati.Ia jadi semakin yakin ada yang salah dengan ucapannya tadi. Karena mereka sudah sepakat tidak berhak mengharap pengakuan dan cinta di hubungan mereka."Kamu bisa mengabaikan ucapanku tadi. Aku hanya kehabisan ide berpikir," ucap Samira tertunduk, seperti ingin meralat sepenggal kalimat yang tengah dipikirkan Morgan sekarang. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari, apa yang dipikirkannya tidak sesuai dengan realita yang dijalaninya. Harusnya ia tidak bisa melupakan isi perjanjian kontrak mereka itu. "Samira, tidak ada yang salah dengan itu, hanya saja aku ... aku ..." Morgan tidak sanggup berkata-kata. Aka
“Lakukan tanpa ragu! Aku akan membayarmu!” Dalam keadaan mabuk, Samira tengah mengalungkan tangannya pada seorang pria misterius yang memapahnya. Tubuh Samira tidak berhenti menggelinjang bak cacing kepanasan di musim kemarau, sebab perpaduan alkohol dan gairahnya yang membuncah. Sebelumnya, Samira pergi ke sebuah bar karena kepalanya begitu pusing dengan masalah yang menerpanya. Bagaimana tidak, Samira, meski usianya sudah 34 tahun, cantik, dan memiliki kedudukan bagus di salah satu kantor besar, ia belum juga memiliki pasangan. Belum lagi ia harus selalu mendapatkan cercaan dari sang ibu dan keluarga besarnya, yang selalu mengatai dirinya perawan tua dan tidak laku. Samira ingin membuktikan bahwa dirinya bisa menarik perhatian pria. “Aku lelah selalu dicela perawan tua!” racau Samira. Sesaat tatapannya terpaku pada bola mata gelap, di bawah alis tebal sang pria yang tak henti menggeram penuh damba. Kini matanya terpejam rapat, menikmati gairah liar pria itu
“K-kamu?” Samira mati-matian menguasai dirinya. Ia tidak mungkin salah mengenali pria ini namun anehnya pria itu seakan tidak mengenalinya. Atau ... hanya berpura-pura? Mengingat semalam dirinya tidak menutupi sedikitpun wajahnya dari pria ini. Sadar sekarang ia ada di kantor dan tengah melakukan tugas dari sang Bos. Samira memperbaiki sikapnya. “Ahh ... maaf membuat anda menunggu,” ucap Samira menenggak liur kesulitan, lantas menguasai rasa gugup dan kakunya. Cepat-cepat duduk di kursi kebesaran pak Baroto. Wajahnya terasa panas dan memerah sekarang. Samira menggeleng-gelengkan kepala guna memfokuskan pikirannya. Kepalanya yang masih pusing dan berdenyut-denyut membuatnya jadi kesulitan fokus. Sesaat sibuk memperhatikan berkas-berkas yang sudah bolak-balik ia periksa tadi. Kemudian menatap sang pria yang lantas berdiri, dan cepat-cepat mengulurkan tangan hendak berjabat tangan dengannya. “Saya Morgan Francois, dengan ibu ...” Morgan sengaja menggantung ucapannya.
Seolah sudah menemukan jawaban di depan matanya, Samira menyipitkan mata.Tadi pagi ia meninggalkan uang untuk Morgan, dan sekarang mengetahuinya cuma pegawai magang, tentu pria ini sangat membutuhkan uang tambahan.Tanpa basa-basi Samira bertanya, “Kamu punya kesibukan malam nanti?”Morgan yang tengah sibuk merapikan isi mejanya mendongak kaget, mendengar pertanyaan janggal dari atasannya.Dahinya tampak mengkerut bingung dengan tujuan pertanyaan Samira. Namun, hanya menjawab, “Ahh ... saya tidak ke mana-mana, Bu.” “Saya punya tugas khusus untukmu!” Lagi-lagi Morgan dibuat kaget sampai aktivitas tangannya terhenti, kembali menaikkan tatapannya. Seolah-olah tidak diberi opsi lain, Morgan cuma bisa mengangguk.Samira sampai terperanjat. Tidak menyangka semudah itu menaklukkan pegawai magang itu. Pantas saja semalam begitu mudah menariknya masuk ke kamar.Samira merapikan ujung lengan seragamnya. Di bibirnya tersungging senyum kecil. Mengesampingkan rasa malu demi bisa menepati jan
“Nah, itu benar. Anggap saja kita ini sama seperti kedua orangtuamu,” ucap Silva mengulas senyum ramah di bibirnya. Dari nada suara Silva sepertinya maminya ini sangat menyukai Morgan. Diikuti anggukan kepala setuju dari Morgan. “Kamu tahu kenapa saya menyuruhmu kemari, Morgan?” Tegas Philip bertanya tanpa basa-basi Dia ingin mendengar langsung penjelasan dari Morgan dengan pengakuan Samira tadi lagi. Sekilas melirik Samira, tapi gadis cantik itu hanya terdiam. Morgan langsung paham tujuan pertanyaan Philip. Morgan menurunkan sedikit dagunya sebelum menjawab, “Benar, Pi. Saya meminta maaf atas kejadian semalam di apartemen. Saya dan Samira minum alkohol terlalu banyak, dan ..." Morgan menurunkan pandangannya dari tatapan tegas Philip. "... membuat Samira mabuk dan tidak pulang semalam. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi, Pi." Samira meremas telapak tangannya, gemuruh dadanya meningkat menunggu reaksi sang papi. Ada rasa takut kalau-kalau Philip akan marah
Samira mengerjap kedua matanya untuk menguasai rasa gugup dan kakunya. Semua perlakuan dan jawaban tiba-tiba dari Morgan membuat hatinya bergetar hebat. Tak disangkal ia sempat merasa hangat dan nyaman dengan itu. Namun, segera sadar hanya sandiwara, Samira memaksa dirinya fokus dengan tujuannya. Untuk meyakinkan Phillip, seakan mendukung kesungguhan Morgan yang ingin menikahinya, Samira mengangguk mengiyakan ucapan Morgan. Pun tidak ingin berlama-lama mendengar ocehan tante Lala yang hanya memperkeruh keadaan. Silva meneguk liurnya tidak bisa berkata apa-apa lagi, dirinya cukup malu dan tersinggung dengan ucapan Phillip tadi. Sedikit ada rasa sesal karena tidak bisa menahan diri dari hasutan adiknya sampai ikut-ikutan meremehkan Morgan. "Harusnya kamu bisa menjaga bicaramu di depan Philip, Lala!" bisik Silva menggertak giginya. "Terserah kamu percaya padaku atau sama mantan suamimu itu, Silva," ketus Lala melengos pergi. Silva tidak menjamin Philip tidak akan membah
Cepat-cepat merampas dan memasukkannya ke tas, sebelum kemudian memalingkan wajahnya yang sudah memerah menahan malu.Samira sedikit merasa lega sebab yang ia takutkan tadi tidak terjadi."Dari mana kamu mendapatkannya?" Samira bertanya seraya meremas tali tasnya."Aku menemukannya di dalam map yang kamu berikan tadi.""Harusnya kamu segera memberikannya, tidak perlu membacanya!" ujar Samira mengutuki kelalaiannya sendiri. Sampai-sampai berkas penting itu kesasar ke berkas pegawai magang.Ia sangat malu Morgan sampai tahu tentang masalah dalam keluarganya.Berkas itu akta perceraian kedua orang tuanya. Sengaja ia simpan guna membunyikannya dari sang tante yang berusaha menghasut ibunya untuk menguasai harta ayah Samira. Entah kenapa ia lupa-lupa saja menyimpannya ke brangkas pribadinya.Sialnya lagi, berkas itu malahan ia biarkan di dalam laci mejanya. Karena terlalu gugup dengan keberadaan Morgan yang tiba-tiba itu, membuatnya tidak bisa fokus saat mengeluarkan berkas dari dalam laci
Samira membuang wajah ke samping, menghela napas sebelum kemudian menjawab, "Nggak, aku melakukan itu untuk keperluan diriku ke depannya, Mam." Sejak awal Samira juga tidak menyukai istri muda ayahnya itu. Ia selalu berharap kedua orang tuanya bisa rujuk kembali. Namun, sepertinya ayahnya tidak ingin kembali kepada Silva. "Oiya? Jadi yang kamu anggap orang tuamu itu hanya Philip, Samira? Oke, sekarang terserah kamu mau menikah dengan pegawai magang itu, tapi ..." Silva sengaja menggantung ucapannya, melirik Philip dengan dagu terangkat angkuh. "Setelah kamu menikah, rumah ini jadi milikku!" lanjut Silva tanpa mengurai tatapannya dari wajah Philip. Kemudian kembali mendekatkan bibirnya ke telinga Samira, Silva berbicara pelan hingga hanya dia dan Samira yang bisa mendengarnya. "Berikan padaku akta perceraian kami, Samira! Aku tahu kamu yang mengambilnya!" "Aku tidak mengambilnya, Mam!" bohong Samira ketus. Wajah Silva memerah, dia tahu Samira berbohong. "Segera bawa bara