Kaget Samira lantas menoleh ke samping, setelah tangan sang atasan menepuk pelan di bahunya."Saya, Pak!" sahut Samira mengarahkan jari telunjuk di dadanya menunjuk dirinya sendiri, raut wajahnya sedikit memerah."Iya, kamu. Silakan," ucap pak Baroto menaikkan kedua alisnya seperti mendesaknya.Samira kebingungan. Menggeser pandangannya ke depan, di mana Morgan duduk di balik mejanya dengan tumpukan dokumen dan laptop yang menyala. Pria itu menatap tenang ke arahnya, seakan-akan menunggu sesuatu darinya.Samira menenggak liur, sedari tadi ia hanya fokus memperhatikan gerakan Morgan memaparkan ide-idenya. Sampai dirinya tidak bisa menahan diri untuk tidak terkesima.Kembali terdiam karena tidak tahu harus melakukan apapun dengan titah dari sang atasan. Samira mengalihkan pandangannya kepada pak Baroto dan berniat bertanya untuk memperjelas"Saya tidak---""Baik, karena tidak ada komentar dari ibu Samira selaku direktur utama, saya menyudahi meeting hari ini. Terimakasih atas kerjasama
Seraya menunggu waktu yang dititahkan pak Baroto tadi, Samira memaksakan diri fokus bekerja. Meski tidak sedikitpun yang bisa ia lakukan di meja kerjanya namun seenggaknya pikirannya teralihkan."Masuk." Samira menyahuti ketukan di pintu ruangannya, tanpa menggeser pandangan dari laptop di depannya. Pikirnya, siapa lagi yang berkepentingan masuk kalau bukan Mariam."Ibu Samira, pak Baroto menyuruh anda segera ke ruang direksi sekarang."Tangannya berhenti di tetikus. Kemudian menggeser kepalanya melihat Morgan yang berdiri di depan mejanya.Samira menenggak liur kesulitan bertatapan langsung dengan pria yang ternyata tuan muda keluarga Sagala itu."Iya, saya segera ke sana." Cuek Samira menjawab. Dalam hatinya karena tidak bisa lagi menguasai rasa gugupnya.Samira melanjutkan fokus dengan pekerjaannya. Berharap Morgan segera pergi dari sana. Namun ..."Saya meminta maaf atas kelancangan saya mengambil alih memimpin meeting tadi, ibu Samira," ucap Morgan sangat sopan dan tetap mengho
Terdengar tawa yang sangat dipaksakan dari pak Baroto. Air mukanya juga tampak berubah menjadi tegang."Saya sudah menegaskan kepadanya, tidak ada waktu untuk berpacar-pacaran! Karena itu hanya merugikannya, seperti yang selama ini dia lakukan!" Ucapan pak Baroto itu menarik atensi Samira. Dahinya mengernyit mencoba mencerna ucapan sang atasan. Memang terdengar kejam! Tapi ada benarnya juga, sama seperti yang selalu dikatakan papinya dulu. "Apa dia sudah punya kekasih sebelumnya?" tanya Samira berani.Ia belum lupa pengakuan Morgan waktu itu, kalau dirinya belum pernah memiliki teman dekat wanita alih-alih kekasih. "Bagaimana mau punya pacar? Tiap malam keluyuran di kelab malam, main judi, mabuk-mabukan!" ujar pak Baroto keceplosan. "Tiap malam mungkin bersama wanita-wanita di kelab malam itu!"DEGG Wajah Samira berubah menjadi merah. Hatinya sangat cemburu mendengar pengakuan gila sang atasan ini. Tapi ... apa ia harus percaya Morgan seburuk itu? Yang bahkan ia sudah menyerah
Tapi, ia tidak mau Morgan mengetahui isi pikirannya sekarang, Samira menjawab, "iya. Memang setiap selesai meeting aku pasti sibuk."Samira terpaksa berbohong. Sementara tugas itupun ia berikan kepada Mariam tadi."Ohh, lain kali kalau sibuk, kamu bisa memintaku melakukannya," ujar Morgan menawarkan diri.Samira tidak lagi kaget mendengarnya. Setelah mengetahui siapa sebenarnya Morgan. Namun, lagi-lagi ia hanya bisa mengangguk."Oiya, apa kamu ada keperluan keluar malam ini?" tanya Samira ketika mereka sudah tiba di apartemen. Morgan yang tengah membuka pintu, berbalik badan cepat. Dahinya mengkerut bingung karena tidak biasanya Samira menanyakan urusannya."Iya. Apa ada yang ingin kamu katakan?" tanya Morgan.Samira mengangguk kecil. "Iya. Aku ingin bicara denganmu!" Malam ini Morgan berencana mau menemui sang kakek untuk memperjelas pembicaraan mereka di kantor tadi. Tapi dia belum bisa jujur kepada Samira tentang itu. "Aku mau menjemput mobilku dari rumah teman." Morgan akhirnya
"Apa yang kamu katakan ini, Samira? Bukankah di perjanjian kontrak tidak bisa melakukan hal seperti itu?" tanya Morgan sedikit tidak senang. Suara gigi mengerat terdengar jelas dari rongga mulut Morgan. Tatapannya serius di wajah Samira, seakan-akan tidak percaya, wanita lembut dan perhatian itu berani berkata begitu. Yang bahkan dia sempat berpikir jika Samira menaruh hati padanya."Yahh, isi perjanjian itu hanya dibuat-buat saja, kan? Jadi, kapan saja bisa diubah." Cuek Samira menjawab. Membuang wajahnya yang memerah ke samping."Iya. Tapi aku tidak mau melakukannya!" tegas Morgan menaikkan dagunya. "Dan, siapapun tidak bisa!" Samira sedikit kewalahan menghadapi kerasnya Morgan. Niatnya ingin mengorek perasaan Morgan kepadanya, sedikit kesulitan. Hari pria ini sangat sulit ditebak."Itu terserah kamu. Tapi aku bisa melakukannya jika aku mau, kan?" tantang Samira."Apa? Untuk kepentingan apa kamu ingin merubahnya, Samira?" tanya Morgan menaikkan nada suaranya, terdengar banyak em
Sang pria tersebut menarik bungkus rokok dari depan Morgan, mencampakkannya ke tong sampah tidak jauh dari meja mereka."Jangan! Saya harus menghubungi Pierre dulu untuk mencari informasinya, karena dia yang menyiapkan kamar untuk anda malam itu!""Sial! Itu sama saja menghabiskan waktuku hanya menunggu!" Morgan menggeram kecewa."Namanya juga berusaha, Tuan Muda. Kalau mau cepat tinggal memilih para wanita itu saja," ucap sang pria menunjuk para wanita yang duduk berjejer di depan menunggu tawaran para pria hidung belang."Damn man! Jaga mulutmu itu!" Morgan menoyor kepala pria yang berani menggodanya. "Oke, segera kabari setelah mendapat informasi tentangnya! Aku sudah tidak sabar bertemu dengannya!"Setelah menutupi wajahnya, Morgan gegas meninggalkan tempat itu. Di dalam mobil. Sekarang dia sendiri kebingungan, harus kembali ke apartemen atau menemui sang kakek. Sekilas melirik jam di pergelangan tangannya.Tapi, menemui sang kakek dengan keadaan dirinya yang setengah mabuk beg
"K-kamu! Kenapa kamu masuk?" teriak Samira gugup.Morgan yang tidak kalah kaget berhenti sejenak di ambang pintu, matanya terbelalak melihat Samira yang baru saja keluar dari kamar mandi, dengan handuk menutup tidak sempurna tubuhnya. Tak disangkal aset pribadinya yang sudah lama tidak mendapat sentuhan sejak malam panas itu, seketika memberontak. Morgan sedikit kewalahan menutupi aset pribadinya yang menonjol di balik handuknya.Menyadari ternyata dirinya memiliki batasan dengan Samira, Morgan berusaha keras mengendalikan aliran darahnya yang sempat mendidih. "Oh, maaf! Aku tidak tahu kalau kamu baru selesai mandi," ucap Morgan lantas membuang pandangannya. Sangat canggung namun dia berusaha untuk tidak terlihat kaget dan gugup.Samira meremas sisi handuk di dadanya, semakin gugup. Menekan nada suaranya agar tidak goyang dengan menjawab, "tidak apa-apa. Aku juga tidak tahu kamu akan masuk.""Tadi salah mengambil pakaian," ujar Morgan tanpa menoleh, cepat-cepat berjalan dan meng
Samira meninggalkan ruangannya, gegas menuju ruang direksi sebelum pak Baroto datang menghampirinya ke sana. Seperti yang sudah beberapa kali dilakukan pria terhormat tersebut."Samira, duduklah. Maaf, mengganggu kesibukan kamu, tapi ada hal yang harus saya sampaikan sekarang," sambut pak Baroto sesaat melihatnya masuk. Kemudian pria tua yang tengah sibuk memasangkan jam tangannya, berpindah memeriksa ponselnya. Sesaat terdiam dengan mata terpaku pada layar ponselnya.Sepertinya memang tengah menerima pesan, karena beberapa detik kemudian pak Baroto langsung mengetik sesuatu sebelum meletakkan ponselnya kembali.Samira sedikit heran dengan nada bicara pak Baroto yang tidak biasanya meminta maaf.Bukankah dia berhak memerintahkan apapun kepada bawahannya? Jadi, buat apa harus meminta maaf? "Tidak apa-apa, Pak," ucap Samira menghenyakkan duduknya di kursi depan meja pak Baroto."Kamu tahu ini bulan berapa?"Dahi Samira mengernyit kebingungan. Untuk apa pak Baroto menanyainya bulan ber
"Samira, kenapa menutupinya dariku?" "Aku tidak menutupi apapun dari kamu. Siapa yang mengatakannya padamu?" desak Samira masih dalam rasa kaget. "Ini! Aku rasa aku tidak salah melihat. Ini milikmu, 'kan?" ucap Morgan meletakkan kotak test pack beserta kertas kehamilannya dari klinik ke dashboard mobil. "D-dari mana kamu mengambilnya?" Wajah Samira memutih seolah-olah darah berhenti mengalir di sana. Matanya melotot, terpaku pada benda yang baru saja diletakkan Morgan. "Tanpa sengaja aku menemukannya dari dalam laci meja di kamar. Aku sedang mencari-cari remote AC tadi, karena kamu lupa mematikannya." Samira terdiam dan menjauhkan wajahnya. Ia tersudut karena tidak bisa membantah lagi. Ia juga pasrah apapun keputusan Morgan dengan hubungan mereka sekarang. Ia juga yakin, jika Timothy sudah menyampaikan semua pembicaraan mereka tadi kepada Morgan "Samira, apa aku bisa bertanya?" "Hmm, apa ada yang penting dibicarakan sekarang?" jawab Samira balik bertanya. Mengangkat
"What? Kamu jangan mengada-ada, Tim! Kamu tahu apa yang bisa aku lakukan padamu kalau sampai berbohong!" "Silakan pulang sekarang dan tanyakan padanya. Samira sudah mengakui kalau dirinyalah wanita yang bersama anda malam itu.""Hahk! Jelas ia bisa saja mengaku-ngaku agar bisa mendapatkan kalung unik itu! Kamu tahu berapa harga kalung itu?" geram Morgan."Yah, Tuan Philip sudah menunjukkan kwitansi pembelian kalungnya. Dan, hanya Samira seorang yang memiliki kalung seperti itu!" jelas Timothy."Sekarang misi sudah selesai. Dan, selama ini pun kamu sudah menikah dengan wanita yang kamu cari-cari," ujar Timothy mengangkat kedua tangannya di atas telinganya."Tim ..." Morgan menggertak gerahamnya kasar. "Apa Samira yang mengatakan itu semuanya?""Yah, itu benar. Aku sangat lelah, jadi harus pulang sekarang."Morgan meremas angin dalam genggaman tangannya. Antara senang dan rasa bersalah setelah mengetahui siapa gadis yang dicari-carinya selama ini.Morgan kembali menghenyakkan duduknya
Tidak lama menunggu di tempat yang mereka janjikan, tampak Timothy berjalan masuk menuju meja Samira menunggu."Maaf membuatmu menunggu," ujar Timothy."Hmm, aku juga baru tiba. Oiya, kamu sendirian kan?" tanya Samira. Kepalanya celingukan seperti mencari seseorang yang datang bersama Timothy."Yah, memangnya harus dengan siapa?""Hehee, nggak seh." Samira tampak salah tingkah. Sedikit lega karena tidak melihat ada Morgan di sana Timothy mencari posisi duduk yang nyaman dan melipat kedua tangannya di atas meja. Pria tampan tersebut menumpulkan tatapannya di wajah Samira yang tampak sedikit memerah karena malu-malu.Rahang wajahnya mengeras, tatapan matanya sangat serius menatap gadis cantik di depannya. Seakan pria tersebut menyimpan sebuah rahasia besar yang ingin diungkapkan saat itu juga."Samira, apa kamu memiliki hubungan dekat dengan Morgan?" Nada suaranya terdengar tegas."A-apa maksud kamu, Tim?" Setengah mati Samira menguasai rasa gugupnya. Namun, ia tetap berusaha memaksak
"Iya! Kamu tahu apa yang bisa aku lakukan padamu jika sampai mengabaikan perintahku, Tim!" "Satu lagi, kamu melupakan cara sopan menyebut Tuan Muda Morgan Francois!""Itu sangat berpengaruh dengan kedudukan kamu sekarang, Tim?"Morgan melirik ke samping, sengaja menaikkan salah satu sudut bibirnya. Senyumnya sinis penuh ancaman.Merasa terancam Timothy menjadi sedikit gugup, mencoba mencari pembenaran diri. Dia tidak mau kalau Morgan sampai mengadukan yang bukan-bukan kepada pak Baroto. Bisa-bisa pria tua itu menghukumnya jadi pegawai magang.Otak cerdasnya memutar cepat, mungkin cara tepat menyelamatkan dirinya sekarang, dengan menyinggung tentang wanita misterius itu."Oke, saya salah Tuan Muda! Mungkin terbawa suasana jadi ya keceplosan," ujar Timothy menggaruk-garuk kepala belakangnya."Hahaa. Tidak perlu terlalu serius, aku juga cuma bergurau." Morgan menyahuti sambil tertawa kecil namun terdengar menakutkan."Sekarang kamu lakukan apa yang aku perintahkan tadi, Tim!" Kemudian
"Tim, aku pinjam charger ponsel kamu ini, ya," ujar Samira seraya tangan kirinya cepat-cepat menutup laci meja. Sementara tangan kanannya lantas meraih charger yang ia letakkan tadi di atas meja, dan menunjukkannya kepada Timothy. Namun, sang pria yang masih sibuk dengan ponselnya itu, enggan mengangkat kepala sekedar melihat Samira. "Apa kamu mendengar ku?"Timothy yang kurang fokus mendengar, bertanya, "apa tadi? Charger ya?""Hmm, iya. Ponselku mati, nih. Mana aku lupa membawa charger nya.""Ooh .. tidak apa-apa, pakai saja." Santai Timothy menjawab. Menutup ponsel dan memasukkannya ke dalam saku celana berbahan thaisilk yang dia kenakan.Samira bergeser dari kursi kebesaran Timothy ke arah kursinya guna memberi ruang kepada sahabatnya itu. Gemuruh dadanya meningkat menunggu reaksi pria itu. Ia takut kalau Timothy sampai melihatnya memegang kalung yang ia lihat di laci tadi. Yang ia yakini itu adalah kalung miliknya yang tertinggal pada Morgan di malam panas itu."Apa urusan
"Aku sangat paham dan tidak akan pernah lupa. Sekarang kamu hanya perlu menjawab pertanyaanku tadi, Samira!"Rasanya, ia ingin berteriak keras, menyadarkan pria bodoh yang sedari tadi hanya memutar-mutar ucapannya. Samira mendesah dalam kekecewaannya. Menggeser bola matanya ke jam dinding."Aku mau tidur," ucapnya mengakhiri pembicaraan mereka."Tapi kamu belum menjawabnya, Samira!" Tidak ada sahutan, seiring suara pintu kamar yang sengaja di tutup keras. Beberapa detik setelahnya terjadi keheningan dalam apartemen. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing.Samira duduk dengan memeluk kedua lututnya di atas ranjangnya. Sementara Morgan duduk dengan meremas rambutnya. Sesekali mengumpat dan bergumam tidak jelas.***Tiga bulan sejak hari itu."Sial! Ini tidak bisa ditutupi lagi!" desis Samira menatap dirinya di dalam cermin. Perutnya yang membuncit semakin kelihatan jelas.Entah sudah berapa banyak membuat alasan agar bisa tidak masuk ke kantor. Bahkan, ia juga sudah mendapat tegu
"Bersedia? Maksud kamu?" Samira menghentikan langkahnya. Pandangannya bergeser dari ujung sepatunya ke samping, menatap pria yang membuat otaknya terus berpikir liar.Morgan ikut berhenti namun dengan sedikit gugup ditodong pertanyaan seperti itu. Tampak dia menghela nafasnya berkali-kali guna mengatur desah nafasnya yang jelas terdengar memburu.Sang pria tampan itu juga terlihat tidak berani menoleh ke samping. Dia menatap lurus ke depan.Setelah sedikit tenang, dia menjawab, "aku ... aku menginginkan anak darimu, Samira!" Kemudian Morgan berbalik badan, cepat-cepat berjalan menuju mobil, meninggalkan Samira yang ternganga dan seketika membisu.Beberapa kali Morgan berusaha membujuk sang Kakek agar mengganti syarat hukumannya. Namun, agaknya tidak mudah baginya meluluhkan hati tuan bersahaja itu. Samira kaget setengah mati, sampai-sampai kedua kakinya terasa lemas. Gemuruh dadanya langsung meningkat. Perlahan menggeser pandangannya mengikuti punggung Morgan yang semakin menjauh m
Bisa merasakan telapak tangannya sudah banjir keringat. Samira tergugu dalam kebingungannya. Ia takut harus mengungkapkan semuanya sekarang. Namun, semakin lama semuanya akan semakin menjadi rumit."Samira! Katakan!" desak Morgan tidak sabar. Didesak seperti itu Samira cuma bisa menjauhkan wajahnya. Dalam hati ia belum benar-benar siap, dan akhirnya menjawab asal, "aku harus mengingat usiaku!" "Hahh! Itu terdengar kekanakan, Samira! Sebelumnya itu sudah kamu pikirkan matang-matang sebelum menandatangani perjanjian kita. Atau, benar yang aku katakan tadi?"Samira menelan liur. Andai semuanya bisa begitu mudah ia ungkapkan, ia tidak perlu mencari-cari alasan menutupi kehamilannya ini."Aku ... lupakan saja! Tidak ada lagi yang perlu dibahas. Aku mau tidur sekarang!" Samira meninggalkan Morgan di ruang tamu."Tunggu!" panggil Morgan. "Ini pembahasan penting, Samira. Aku butuh kamu kejujuranmu!" Samira berhenti di depan pintu kamar. Tanpa menoleh ia menjawab, "Lupakan saja. Sekarang la
Pertanyaan Pierre itu menarik atensi Timothy, cepat-cepat menggeser pandangannya melihat kalung di genggaman tangan Pierre."Berikan padaku," katanya dengan dahi mengernyit seolah-olah kurang jelas melihat kalungnya.Sesaat Timothy hanya memperhatikan kalung di tangannya, kali ini lebih fokus. Matanya menyipit, kalung tersebut seperti tidak asing baginya namun mengingat siapa pemiliknya sangat menguras pikiran.Semakin lebih memperhatikan lagi, dalam pikirannya seakan-akan pernah mengingat seseorang mengenakan kalung tersebut.Tapi siapa?"Malah bengong! Kamu yakin nggak kalung ini milik wanita yang bersama Tuan Muda?" tanya Pierre meninju pelan bahu Timothy yang terdiam seraya memelototi kalung di tangannya."Aku tidak tahu, tapi Tuan Muda mengatakan kalung ini milik wanita itu. Tapi ..." Timothy mengalihkan pandangan dari kalung ke wajah Pierre yang menegang menunggu kelanjutannya."Bukankah kamu yang mengurus kamar itu untuk Tuan Muda?" selidik Timothy."Itu benar, tapi bukan aku