"Bersedia? Maksud kamu?" Samira menghentikan langkahnya. Pandangannya bergeser dari ujung sepatunya ke samping, menatap pria yang membuat otaknya terus berpikir liar.Morgan ikut berhenti namun dengan sedikit gugup ditodong pertanyaan seperti itu. Tampak dia menghela nafasnya berkali-kali guna mengatur desah nafasnya yang jelas terdengar memburu.Sang pria tampan itu juga terlihat tidak berani menoleh ke samping. Dia menatap lurus ke depan.Setelah sedikit tenang, dia menjawab, "aku ... aku menginginkan anak darimu, Samira!" Kemudian Morgan berbalik badan, cepat-cepat berjalan menuju mobil, meninggalkan Samira yang ternganga dan seketika membisu.Beberapa kali Morgan berusaha membujuk sang Kakek agar mengganti syarat hukumannya. Namun, agaknya tidak mudah baginya meluluhkan hati tuan bersahaja itu. Samira kaget setengah mati, sampai-sampai kedua kakinya terasa lemas. Gemuruh dadanya langsung meningkat. Perlahan menggeser pandangannya mengikuti punggung Morgan yang semakin menjauh m
"Aku sangat paham dan tidak akan pernah lupa. Sekarang kamu hanya perlu menjawab pertanyaanku tadi, Samira!"Rasanya, ia ingin berteriak keras, menyadarkan pria bodoh yang sedari tadi hanya memutar-mutar ucapannya. Samira mendesah dalam kekecewaannya. Menggeser bola matanya ke jam dinding."Aku mau tidur," ucapnya mengakhiri pembicaraan mereka."Tapi kamu belum menjawabnya, Samira!" Tidak ada sahutan, seiring suara pintu kamar yang sengaja di tutup keras. Beberapa detik setelahnya terjadi keheningan dalam apartemen. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing.Samira duduk dengan memeluk kedua lututnya di atas ranjangnya. Sementara Morgan duduk dengan meremas rambutnya. Sesekali mengumpat dan bergumam tidak jelas.***Tiga bulan sejak hari itu."Sial! Ini tidak bisa ditutupi lagi!" desis Samira menatap dirinya di dalam cermin. Perutnya yang membuncit semakin kelihatan jelas.Entah sudah berapa banyak membuat alasan agar bisa tidak masuk ke kantor. Bahkan, ia juga sudah mendapat tegu
"Tim, aku pinjam charger ponsel kamu ini, ya," ujar Samira seraya tangan kirinya cepat-cepat menutup laci meja. Sementara tangan kanannya lantas meraih charger yang ia letakkan tadi di atas meja, dan menunjukkannya kepada Timothy. Namun, sang pria yang masih sibuk dengan ponselnya itu, enggan mengangkat kepala sekedar melihat Samira. "Apa kamu mendengar ku?"Timothy yang kurang fokus mendengar, bertanya, "apa tadi? Charger ya?""Hmm, iya. Ponselku mati, nih. Mana aku lupa membawa charger nya.""Ooh .. tidak apa-apa, pakai saja." Santai Timothy menjawab. Menutup ponsel dan memasukkannya ke dalam saku celana berbahan thaisilk yang dia kenakan.Samira bergeser dari kursi kebesaran Timothy ke arah kursinya guna memberi ruang kepada sahabatnya itu. Gemuruh dadanya meningkat menunggu reaksi pria itu. Ia takut kalau Timothy sampai melihatnya memegang kalung yang ia lihat di laci tadi. Yang ia yakini itu adalah kalung miliknya yang tertinggal pada Morgan di malam panas itu."Apa urusan
"Iya! Kamu tahu apa yang bisa aku lakukan padamu jika sampai mengabaikan perintahku, Tim!" "Satu lagi, kamu melupakan cara sopan menyebut Tuan Muda Morgan Francois!""Itu sangat berpengaruh dengan kedudukan kamu sekarang, Tim?"Morgan melirik ke samping, sengaja menaikkan salah satu sudut bibirnya. Senyumnya sinis penuh ancaman.Merasa terancam Timothy menjadi sedikit gugup, mencoba mencari pembenaran diri. Dia tidak mau kalau Morgan sampai mengadukan yang bukan-bukan kepada pak Baroto. Bisa-bisa pria tua itu menghukumnya jadi pegawai magang.Otak cerdasnya memutar cepat, mungkin cara tepat menyelamatkan dirinya sekarang, dengan menyinggung tentang wanita misterius itu."Oke, saya salah Tuan Muda! Mungkin terbawa suasana jadi ya keceplosan," ujar Timothy menggaruk-garuk kepala belakangnya."Hahaa. Tidak perlu terlalu serius, aku juga cuma bergurau." Morgan menyahuti sambil tertawa kecil namun terdengar menakutkan."Sekarang kamu lakukan apa yang aku perintahkan tadi, Tim!" Kemudian
Tidak lama menunggu di tempat yang mereka janjikan, tampak Timothy berjalan masuk menuju meja Samira menunggu."Maaf membuatmu menunggu," ujar Timothy."Hmm, aku juga baru tiba. Oiya, kamu sendirian kan?" tanya Samira. Kepalanya celingukan seperti mencari seseorang yang datang bersama Timothy."Yah, memangnya harus dengan siapa?""Hehee, nggak seh." Samira tampak salah tingkah. Sedikit lega karena tidak melihat ada Morgan di sana Timothy mencari posisi duduk yang nyaman dan melipat kedua tangannya di atas meja. Pria tampan tersebut menumpulkan tatapannya di wajah Samira yang tampak sedikit memerah karena malu-malu.Rahang wajahnya mengeras, tatapan matanya sangat serius menatap gadis cantik di depannya. Seakan pria tersebut menyimpan sebuah rahasia besar yang ingin diungkapkan saat itu juga."Samira, apa kamu memiliki hubungan dekat dengan Morgan?" Nada suaranya terdengar tegas."A-apa maksud kamu, Tim?" Setengah mati Samira menguasai rasa gugupnya. Namun, ia tetap berusaha memaksak
"What? Kamu jangan mengada-ada, Tim! Kamu tahu apa yang bisa aku lakukan padamu kalau sampai berbohong!" "Silakan pulang sekarang dan tanyakan padanya. Samira sudah mengakui kalau dirinyalah wanita yang bersama anda malam itu.""Hahk! Jelas ia bisa saja mengaku-ngaku agar bisa mendapatkan kalung unik itu! Kamu tahu berapa harga kalung itu?" geram Morgan."Yah, Tuan Philip sudah menunjukkan kwitansi pembelian kalungnya. Dan, hanya Samira seorang yang memiliki kalung seperti itu!" jelas Timothy."Sekarang misi sudah selesai. Dan, selama ini pun kamu sudah menikah dengan wanita yang kamu cari-cari," ujar Timothy mengangkat kedua tangannya di atas telinganya."Tim ..." Morgan menggertak gerahamnya kasar. "Apa Samira yang mengatakan itu semuanya?""Yah, itu benar. Aku sangat lelah, jadi harus pulang sekarang."Morgan meremas angin dalam genggaman tangannya. Antara senang dan rasa bersalah setelah mengetahui siapa gadis yang dicari-carinya selama ini.Morgan kembali menghenyakkan duduknya
"Samira, kenapa menutupinya dariku?" "Aku tidak menutupi apapun dari kamu. Siapa yang mengatakannya padamu?" desak Samira masih dalam rasa kaget. "Ini! Aku rasa aku tidak salah melihat. Ini milikmu, 'kan?" ucap Morgan meletakkan kotak test pack beserta kertas kehamilannya dari klinik ke dashboard mobil. "D-dari mana kamu mengambilnya?" Wajah Samira memutih seolah-olah darah berhenti mengalir di sana. Matanya melotot, terpaku pada benda yang baru saja diletakkan Morgan. "Tanpa sengaja aku menemukannya dari dalam laci meja di kamar. Aku sedang mencari-cari remote AC tadi, karena kamu lupa mematikannya." Samira terdiam dan menjauhkan wajahnya. Ia tersudut karena tidak bisa membantah lagi. Ia juga pasrah apapun keputusan Morgan dengan hubungan mereka sekarang. Ia juga yakin, jika Timothy sudah menyampaikan semua pembicaraan mereka tadi kepada Morgan "Samira, apa aku bisa bertanya?" "Hmm, apa ada yang penting dibicarakan sekarang?" jawab Samira balik bertanya. Mengangkat
“Lakukan tanpa ragu! Aku akan membayarmu!” Dalam keadaan mabuk, Samira tengah mengalungkan tangannya pada seorang pria misterius yang memapahnya. Tubuh Samira tidak berhenti menggelinjang bak cacing kepanasan di musim kemarau, sebab perpaduan alkohol dan gairahnya yang membuncah. Sebelumnya, Samira pergi ke sebuah bar karena kepalanya begitu pusing dengan masalah yang menerpanya. Bagaimana tidak, Samira, meski usianya sudah 34 tahun, cantik, dan memiliki kedudukan bagus di salah satu kantor besar, ia belum juga memiliki pasangan. Belum lagi ia harus selalu mendapatkan cercaan dari sang ibu dan keluarga besarnya, yang selalu mengatai dirinya perawan tua dan tidak laku. Samira ingin membuktikan bahwa dirinya bisa menarik perhatian pria. “Aku lelah selalu dicela perawan tua!” racau Samira. Sesaat tatapannya terpaku pada bola mata gelap, di bawah alis tebal sang pria yang tak henti menggeram penuh damba. Kini matanya terpejam rapat, menikmati gairah liar pria itu
"Samira, kenapa menutupinya dariku?" "Aku tidak menutupi apapun dari kamu. Siapa yang mengatakannya padamu?" desak Samira masih dalam rasa kaget. "Ini! Aku rasa aku tidak salah melihat. Ini milikmu, 'kan?" ucap Morgan meletakkan kotak test pack beserta kertas kehamilannya dari klinik ke dashboard mobil. "D-dari mana kamu mengambilnya?" Wajah Samira memutih seolah-olah darah berhenti mengalir di sana. Matanya melotot, terpaku pada benda yang baru saja diletakkan Morgan. "Tanpa sengaja aku menemukannya dari dalam laci meja di kamar. Aku sedang mencari-cari remote AC tadi, karena kamu lupa mematikannya." Samira terdiam dan menjauhkan wajahnya. Ia tersudut karena tidak bisa membantah lagi. Ia juga pasrah apapun keputusan Morgan dengan hubungan mereka sekarang. Ia juga yakin, jika Timothy sudah menyampaikan semua pembicaraan mereka tadi kepada Morgan "Samira, apa aku bisa bertanya?" "Hmm, apa ada yang penting dibicarakan sekarang?" jawab Samira balik bertanya. Mengangkat
"What? Kamu jangan mengada-ada, Tim! Kamu tahu apa yang bisa aku lakukan padamu kalau sampai berbohong!" "Silakan pulang sekarang dan tanyakan padanya. Samira sudah mengakui kalau dirinyalah wanita yang bersama anda malam itu.""Hahk! Jelas ia bisa saja mengaku-ngaku agar bisa mendapatkan kalung unik itu! Kamu tahu berapa harga kalung itu?" geram Morgan."Yah, Tuan Philip sudah menunjukkan kwitansi pembelian kalungnya. Dan, hanya Samira seorang yang memiliki kalung seperti itu!" jelas Timothy."Sekarang misi sudah selesai. Dan, selama ini pun kamu sudah menikah dengan wanita yang kamu cari-cari," ujar Timothy mengangkat kedua tangannya di atas telinganya."Tim ..." Morgan menggertak gerahamnya kasar. "Apa Samira yang mengatakan itu semuanya?""Yah, itu benar. Aku sangat lelah, jadi harus pulang sekarang."Morgan meremas angin dalam genggaman tangannya. Antara senang dan rasa bersalah setelah mengetahui siapa gadis yang dicari-carinya selama ini.Morgan kembali menghenyakkan duduknya
Tidak lama menunggu di tempat yang mereka janjikan, tampak Timothy berjalan masuk menuju meja Samira menunggu."Maaf membuatmu menunggu," ujar Timothy."Hmm, aku juga baru tiba. Oiya, kamu sendirian kan?" tanya Samira. Kepalanya celingukan seperti mencari seseorang yang datang bersama Timothy."Yah, memangnya harus dengan siapa?""Hehee, nggak seh." Samira tampak salah tingkah. Sedikit lega karena tidak melihat ada Morgan di sana Timothy mencari posisi duduk yang nyaman dan melipat kedua tangannya di atas meja. Pria tampan tersebut menumpulkan tatapannya di wajah Samira yang tampak sedikit memerah karena malu-malu.Rahang wajahnya mengeras, tatapan matanya sangat serius menatap gadis cantik di depannya. Seakan pria tersebut menyimpan sebuah rahasia besar yang ingin diungkapkan saat itu juga."Samira, apa kamu memiliki hubungan dekat dengan Morgan?" Nada suaranya terdengar tegas."A-apa maksud kamu, Tim?" Setengah mati Samira menguasai rasa gugupnya. Namun, ia tetap berusaha memaksak
"Iya! Kamu tahu apa yang bisa aku lakukan padamu jika sampai mengabaikan perintahku, Tim!" "Satu lagi, kamu melupakan cara sopan menyebut Tuan Muda Morgan Francois!""Itu sangat berpengaruh dengan kedudukan kamu sekarang, Tim?"Morgan melirik ke samping, sengaja menaikkan salah satu sudut bibirnya. Senyumnya sinis penuh ancaman.Merasa terancam Timothy menjadi sedikit gugup, mencoba mencari pembenaran diri. Dia tidak mau kalau Morgan sampai mengadukan yang bukan-bukan kepada pak Baroto. Bisa-bisa pria tua itu menghukumnya jadi pegawai magang.Otak cerdasnya memutar cepat, mungkin cara tepat menyelamatkan dirinya sekarang, dengan menyinggung tentang wanita misterius itu."Oke, saya salah Tuan Muda! Mungkin terbawa suasana jadi ya keceplosan," ujar Timothy menggaruk-garuk kepala belakangnya."Hahaa. Tidak perlu terlalu serius, aku juga cuma bergurau." Morgan menyahuti sambil tertawa kecil namun terdengar menakutkan."Sekarang kamu lakukan apa yang aku perintahkan tadi, Tim!" Kemudian
"Tim, aku pinjam charger ponsel kamu ini, ya," ujar Samira seraya tangan kirinya cepat-cepat menutup laci meja. Sementara tangan kanannya lantas meraih charger yang ia letakkan tadi di atas meja, dan menunjukkannya kepada Timothy. Namun, sang pria yang masih sibuk dengan ponselnya itu, enggan mengangkat kepala sekedar melihat Samira. "Apa kamu mendengar ku?"Timothy yang kurang fokus mendengar, bertanya, "apa tadi? Charger ya?""Hmm, iya. Ponselku mati, nih. Mana aku lupa membawa charger nya.""Ooh .. tidak apa-apa, pakai saja." Santai Timothy menjawab. Menutup ponsel dan memasukkannya ke dalam saku celana berbahan thaisilk yang dia kenakan.Samira bergeser dari kursi kebesaran Timothy ke arah kursinya guna memberi ruang kepada sahabatnya itu. Gemuruh dadanya meningkat menunggu reaksi pria itu. Ia takut kalau Timothy sampai melihatnya memegang kalung yang ia lihat di laci tadi. Yang ia yakini itu adalah kalung miliknya yang tertinggal pada Morgan di malam panas itu."Apa urusan
"Aku sangat paham dan tidak akan pernah lupa. Sekarang kamu hanya perlu menjawab pertanyaanku tadi, Samira!"Rasanya, ia ingin berteriak keras, menyadarkan pria bodoh yang sedari tadi hanya memutar-mutar ucapannya. Samira mendesah dalam kekecewaannya. Menggeser bola matanya ke jam dinding."Aku mau tidur," ucapnya mengakhiri pembicaraan mereka."Tapi kamu belum menjawabnya, Samira!" Tidak ada sahutan, seiring suara pintu kamar yang sengaja di tutup keras. Beberapa detik setelahnya terjadi keheningan dalam apartemen. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing.Samira duduk dengan memeluk kedua lututnya di atas ranjangnya. Sementara Morgan duduk dengan meremas rambutnya. Sesekali mengumpat dan bergumam tidak jelas.***Tiga bulan sejak hari itu."Sial! Ini tidak bisa ditutupi lagi!" desis Samira menatap dirinya di dalam cermin. Perutnya yang membuncit semakin kelihatan jelas.Entah sudah berapa banyak membuat alasan agar bisa tidak masuk ke kantor. Bahkan, ia juga sudah mendapat tegu
"Bersedia? Maksud kamu?" Samira menghentikan langkahnya. Pandangannya bergeser dari ujung sepatunya ke samping, menatap pria yang membuat otaknya terus berpikir liar.Morgan ikut berhenti namun dengan sedikit gugup ditodong pertanyaan seperti itu. Tampak dia menghela nafasnya berkali-kali guna mengatur desah nafasnya yang jelas terdengar memburu.Sang pria tampan itu juga terlihat tidak berani menoleh ke samping. Dia menatap lurus ke depan.Setelah sedikit tenang, dia menjawab, "aku ... aku menginginkan anak darimu, Samira!" Kemudian Morgan berbalik badan, cepat-cepat berjalan menuju mobil, meninggalkan Samira yang ternganga dan seketika membisu.Beberapa kali Morgan berusaha membujuk sang Kakek agar mengganti syarat hukumannya. Namun, agaknya tidak mudah baginya meluluhkan hati tuan bersahaja itu. Samira kaget setengah mati, sampai-sampai kedua kakinya terasa lemas. Gemuruh dadanya langsung meningkat. Perlahan menggeser pandangannya mengikuti punggung Morgan yang semakin menjauh m
Bisa merasakan telapak tangannya sudah banjir keringat. Samira tergugu dalam kebingungannya. Ia takut harus mengungkapkan semuanya sekarang. Namun, semakin lama semuanya akan semakin menjadi rumit."Samira! Katakan!" desak Morgan tidak sabar. Didesak seperti itu Samira cuma bisa menjauhkan wajahnya. Dalam hati ia belum benar-benar siap, dan akhirnya menjawab asal, "aku harus mengingat usiaku!" "Hahh! Itu terdengar kekanakan, Samira! Sebelumnya itu sudah kamu pikirkan matang-matang sebelum menandatangani perjanjian kita. Atau, benar yang aku katakan tadi?"Samira menelan liur. Andai semuanya bisa begitu mudah ia ungkapkan, ia tidak perlu mencari-cari alasan menutupi kehamilannya ini."Aku ... lupakan saja! Tidak ada lagi yang perlu dibahas. Aku mau tidur sekarang!" Samira meninggalkan Morgan di ruang tamu."Tunggu!" panggil Morgan. "Ini pembahasan penting, Samira. Aku butuh kamu kejujuranmu!" Samira berhenti di depan pintu kamar. Tanpa menoleh ia menjawab, "Lupakan saja. Sekarang la
Pertanyaan Pierre itu menarik atensi Timothy, cepat-cepat menggeser pandangannya melihat kalung di genggaman tangan Pierre."Berikan padaku," katanya dengan dahi mengernyit seolah-olah kurang jelas melihat kalungnya.Sesaat Timothy hanya memperhatikan kalung di tangannya, kali ini lebih fokus. Matanya menyipit, kalung tersebut seperti tidak asing baginya namun mengingat siapa pemiliknya sangat menguras pikiran.Semakin lebih memperhatikan lagi, dalam pikirannya seakan-akan pernah mengingat seseorang mengenakan kalung tersebut.Tapi siapa?"Malah bengong! Kamu yakin nggak kalung ini milik wanita yang bersama Tuan Muda?" tanya Pierre meninju pelan bahu Timothy yang terdiam seraya memelototi kalung di tangannya."Aku tidak tahu, tapi Tuan Muda mengatakan kalung ini milik wanita itu. Tapi ..." Timothy mengalihkan pandangan dari kalung ke wajah Pierre yang menegang menunggu kelanjutannya."Bukankah kamu yang mengurus kamar itu untuk Tuan Muda?" selidik Timothy."Itu benar, tapi bukan aku