Share

Suami Dadakanku Seorang Miliarder
Suami Dadakanku Seorang Miliarder
Penulis: Masrie Napitupulu

Hilang Keperawanan

“Lakukan tanpa ragu! Aku akan membayarmu!”

Dalam keadaan mabuk, Samira tengah mengalungkan tangannya pada seorang pria misterius yang memapahnya.

Tubuh Samira tidak berhenti menggelinjang bak cacing kepanasan di musim kemarau, sebab perpaduan alkohol dan gairahnya yang membuncah.

Sebelumnya, Samira pergi ke sebuah bar karena kepalanya begitu pusing dengan masalah yang menerpanya.

Bagaimana tidak, Samira, meski usianya sudah 34 tahun, cantik, dan memiliki kedudukan bagus di salah satu kantor besar, ia belum juga memiliki pasangan.

Belum lagi ia harus selalu mendapatkan cercaan dari sang ibu dan keluarga besarnya, yang selalu mengatai dirinya perawan tua dan tidak laku. Samira ingin membuktikan bahwa dirinya bisa menarik perhatian pria.

“Aku lelah selalu dicela perawan tua!” racau Samira.

Sesaat tatapannya terpaku pada bola mata gelap, di bawah alis tebal sang pria yang tak henti menggeram penuh damba.

Kini matanya terpejam rapat, menikmati gairah liar pria itu, dia seperti binatang buas yang seolah ingin memangsa tubuhnya bulat-bulat.

Ujung kuku jari-jemari Samira menancap di punggung kekar sang pria, sampai bekas kukunya yang panjang tercetak jelas di sana.

Pria itu menekannya lebih dalam lagi, membuat Samira benar-benar telah kehilangan akal atas tubuh dan kesadarannya!

Desahan dan lenguhan panjang terdengar memenuhi ruangan kamar yang nyaris tidak ada cahaya, diakhiri pelepasan keduanya.

***

“Oh Tuhan! Kenapa ini bisa terjadi!”

Saat terbangun oleh alarm ponselnya, Samira kaget mendapati dirinya tanpa busana dengan seorang pria yang tidak ia kenal di dalam kamar.

Sulur surya yang memenuhi ruangan kamar, hingga dengan jelas ia bisa melihat wajah pria dengan tubuh polos tertidur pulas di sampingnya.

Samira mengerjap kedua matanya guna mengumpulkan kesadaran dan ingatannya, bisa sampai ke tempat itu.

Rasanya, tubuhnya remuk akibat serangan liar pria tak dikenalnya ini. Belum lagi, noda darah di seprai, benar-benar merasa dirinya seorang gadis murahan.

Otak cerdasnya memutar cepat merunutkan kejadian semalam. Segera tersadar kesalahan yang ia lakukan, Samira panik langsung memunguti pakaian dan mengenakannya. Ia harus cepat-cepat pergi sebelum pria itu terbangun.

Samira meletakkan setumpuk uang di atas meja sebelum meninggalkan kamar.

Beberapa saat kemudian, sesampainya di rumah, Silva- sang Ibu sudah berdiri menunggunya. Wajahnya berubah jadi gusar sesaat setelah melihatnya datang.

Silva mengernyit bingung memandangi Samira dari ujung rambut hingga ujung kakinya.

“Kamu dari mana?” Dingin Silva bertanya.

Pertanyaan yang pasti terlontar melihat dirinya masih mengenakan seragam kerja kemarin.

Silva tentu bisa tahu dirinya tidak pulang semalaman hanya melihat pakaian, tas dan sepatu yang ia kenakan sekarang.

Pulang dengan penampilan acak-acakan. Pakaiannya basah dengan bau yang menyengat sebab perpaduan aroma alkohol dan keringat.

Padahal, Samira sudah menyemprotkan parfumnya sampai habis ke tubuhnya untuk menyamarkan bau alkohol semalam.

“Aku lembur di kantor tadi malam, Mam,” sahut Samira menjauhkan mulutnya yang masih tercium aroma alkoholnya.

Awalnya Samira ingin mengakui saja apa yang sudah terjadi tadi malam. Namun, hati kecilnya belum siap mengungkapkan permainan gilanya itu. Bukan waktu yang tepat sekarang, yang ada Silva akan semakin menyudutkannya.

Kedua mata Silva menyipit menelisik di wajahnya. Silva yang gemar dunia kelab malam itu segera tahu apa yang sudah dilakukan Samira.

“Jangan bohong kamu, Samira! Apa bosmu yang duda itu yang memakaimu? Atau, pria hidung belang di kelab malam?” Silva sedikit menurunkan nada suaranya, dagunya terangkat tinggi menatap Samira dengan tatapan merendahkan.

“Mam, a-aku---“

Ucapan Samira terhenti, seketika ia berjengit kaget, sejurus melihat kemunculan Philip- papinya dari ruang tamu.

“Papi?” desis Samira mulai bingung melihat kehadiran Philip pagi-pagi ada di sana.

Sejak perceraian kedua orang tuanya, baru ini Philip menginjakkan kakinya lagi di rumah itu.

Selama ini hubungan Silva dan Philip juga tidak pernah baik.

Melihat Philip datang tanpa memberitahunya, Samira mulai panik dan di pikirannya penuh tanda tanya. Tangannya mengepal hingga ujung kukunya yang runcing, seakan menembus kulit mulus telapak tangannya yang banjir keringat.

Tidak menyangka Silva akan mengadukannya ke Philip hanya karena tidak pulang semalaman.

“Benarkah itu, Samira?” Datar Philip bertanya menghampirinya, menyentuh wajahnya yang memutih seolah darah berhenti mengalir di sana.

“Sebenarnya, aku pergi dengan kekasihku …”

Samira tidak ingin memperkeruh suasana yang hanya menjadikan dirinya semakin menyedihkan. Pikirnya mengaku-ngaku kencan dengan seseorang maka semuanya akan kelar.

Melihat Philip masih menunggu kejujurannya, Samira memilih berbohong dan berkata, “Sebenarnya aku pergi dengan kekasihku, Pi. Dan ... karena kami mabuk semalaman sampai aku pun tidak pulang.”

Mendengarnya, segaris senyum kecil terbit dari bibir Philip.

“Terimakasih sudah menjelaskannya, Sayang. Apa kamu bisa membawanya malam ini bertemu dengan Papi?”

Jantung Samira langsung meloncat dari tempatnya. Ia pun sudah tidak tahu kemana mencari pria tadi malam itu.

Tapi ... mengingat dirinya harus cepat-cepat ke kantor, tanpa perlu berpikir-pikir Samira hanya mengangguk cepat.

Melirik jam di pergelangan tangannya, Samira segera berpamitan. Gegas membersihkan tubuhnya. Rasa sakit di sekujur tubuhnya terlebih di pangkal kedua kakinya cuma diabaikannya.

Sesaat mematut diri di depan cermin sebelum keluar dari kamar.

Ia harus tiba lebih cepat di kantor, mengingat pembicaraannya dengan pak Baroto kemarin sore. Pria tua berusia 60 tahun merupakan direksi di kantor tempatnya bekerja, yang mempercayakannya menginterview seseorang di kantor hari ini.

Kebetulan pak Baroto ada kunjungan bisnis ke luar kota. Samira Brisia sebagai direktur Utama yang dipercayakan menggantikan tugasnya.

Tiba di kantor, Samira sudah ditunggu oleh Miriam, HRD perusahaan, di ruang direksi.

Belum lagi sebelumnya, Samira harus menyiapkan berkas-berkas terkait calon pegawai itu dikirim oleh atasannya.

‘Morgan Francois, 25 tahun sebagai pegawai magang?’ Samira mengernyit dahi kebingungan. Memang pak Baroto tidak memberitahu nama dan jabatan seseorang yang akan di interviewnya itu semalam.

Tapi ... kalau cuma pegawai magang tidak perlu meng-interviewnya di ruangan direksi.

Ragu karena hal seperti itu belum pernah terjadi selama ia menjabat sebagai Direktur Utama di sana. Alih-alih pegawai magang mendahuluinya ke ruangan direksi.

Sejenak Samira merenung, tapi mau tak mau Samira hanya bisa menurut melakukan perintah dari Pak Baroto.

Langkahnya gegas menuju ruangan direksi. ‘Sial, sudah terlambat sepuluh menit!’

Samira mengetuk pintu sekedar memberitahu kedatangannya. Namun, di dalam ruangan ia dikagetkan oleh pegawai magang, yang tengah menunggunya di kursi depan meja pak Baroto.

Samira ternganga, beberapa detik hanya terdiam bisu, kedua bola matanya melebar sempurna. Benar-benar tidak bisa dipercaya, atau dirinya belum sadar sepenuhnya dari alkohol yang masih mengendap dalam tubuhnya.

Bagaimana bisa pria yang bersamanya semalam ada di sini?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status