Samira menaikkan salah satu alisnya. Alih-alih mentraktir Rosa makan, melihat wajahnya saja ia sudah kesal."Iya, tapi waktunya sudah habis!" ucap Samira asal.Melihat Samira cuek dan bersiap-siap pergi, Rosa menghampiri Morgan ke mobilnya."Morgan, apa tawaranmu tadi masih berlaku?" tanya Rosa dengan raut wajahnya memelas."Tanya saja Samira. Dia yang ingin mentraktir kalian tadi." Dingin Morgan menjawab."T-tapi Samira sudah pergi. Apa aku boleh ikut denganmu saja?" Rosa menurunkan harga dirinya di depan Morgan. Jiwa genitnya berkelebar melihat ketampanan Morgan."Tidak bisa! Aku takut kamu alergi jika dekat-dekat dengan pria miskin sepertiku!" Morgan mendorong Rosa yang menghalangi jalannya. Morgan mengekori mobil Samira hingga tiba di apartemen."Kamu baik-baik saja, Samira? ulang Morgan menanyakan keadaan Samira. "Aku baik-baik saja. Oiya lain kali tidak perlu datang-datang ke rumah mamiku dengan alasan apapun. Kamu juga tahu hubungan kita hanya sebatas kontrak saja," sahut Sam
Sesaat Samira terpaku. Tangannya meremas sisi map di pelukannya. Pikirnya, mungkin pak Baroto menghukum Morgan karena terlambat masuk kantor. Tapi seharusnya hal seperti itu tidak mesti dilakukan oleh direksi langsung. Biasanya cukup menurunkan perintah ke HRD atau kepala staf karyawan, seperti yang biasa melakukan tugas seperti itu.Atau ... kedua mata Samira terbelalak, pak Baroto sudah tahu pernikahan mereka! Samira merasakan dadanya bergemuruh hebat, tubuhnya bergetar hanya membayangkannya.Tidak terbayangkan jika sampai pernikahan kontrak mereka terbongkar. Ia pasti jadi bulan-bulanan para karyawan, yang mau-mau saja menikah dengan pegawai magang, alih-alih baru hitungan hari bekerja di kantor.Disaat pikirannya berkelebar, seseorang dari belakang menepuk pundaknya dan mengagetkannya."Kenapa ibu Samira malah bengong di sini?" tanya Mariam dengan dahi mengernyit kebingungan."Pak Baroto masih ada tamu didalam," jawab Samira segera menguasai rasa kagetnya."Maaf, tapi saya minta
Morgan berhenti, dan berbalik badan. "Ke bar?" tanyanya."Iya, seperti tadi pagi kamu pulang pagi dengan keadaan mabuk! Aku rasa tidak salah berpikir kalau kamu menghabiskan malam di bar."Morgan meneguk liur berkali-kali, jelas terlihat jakun di lehernya turun naik. Alih-alih menjawab, Morgan hanya melanjutkan langkahnya tanpa mengatakan apapun lagi.GLEKKSamira memandangi punggung Morgan perlahan menghilang dibalik pintu. "Sial! Apa dia tersinggung dengan ucapanku tadi?" Samira tertawa kecil mengejek dirinya, sadar tidaknya jelas sudah menunjukkan perhatiannya ke Morgan. "Harusnya aku tidak perlu menanyakan itu tadi."***"Apa-apaan ini, Kek? Kakek hanya memintaku segera menikah, lalu, aku bebas dari hukuman!"Morgan tidak terima kalau sang Kakek meminta hal-hal mustahil, yang tidak berkaitan sama sekali dengan perjanjian yang mereka buat sebelumnya. "Kamu mau membantah? Hukumanmu di tambahi dua belas bulan lagi!""Dua belas bulan? Hukuman apalagi ini?" gusar Morgan tidak ter
"Terimakasih. Sebelumnya kamu bilang tidak memiliki pengalaman kerja, tapi kamu bisa mengerjakan---""Apa kamu tidak berangkat ke kantor?" potong Morgan mengalihkan pembicaraan mereka, jari telunjuknya menunjuk ke arah jam dinding.Samira mengangkat pandangannya mengikuti jari telunjuk Morgan. Takut telat ke kantor Samira gegas merapikan laptopnya. Sekarang ia harus beberes dan cepat-cepat berangkat. Tanpa menyahuti Morgan lagi, ia masuk ke kamar. Beberapa menit kemudian keluar dengan sedikit tergesa-gesa. Kaget, melihat Morgan justru rebahan di sofa panjang. Padahal seharusnya dia pun harus segera ke kantor. Apalagi mengingat kemarin pak Baroto sudah menghukumnya karena terlambat.Samira khawatir pak Baroto benar memecat Morgan kemarin maka pria itu tampak santai melanjutkan tidurnya.Samira mendekati Morgan dan mengguncang pelan bahunya. "Morgan, apa kamu tidak ke kantor hari ini?" "Mmm, bentar lagi," sahut Morgan menarik selimut menutupi wajahnya. "Tapi ini sudah jam tujuh. Set
"Hakh! Atas dasar apa memberitahukan itu ke pak Baroto? Yang ada aku malah jadi bahan ejekan seisi kantor!" Sedikit ketus Samira menjawab. Tertawa dalam hati seperti mengejek nasib dirinya. "Kamu tahu, itu sama dengan mempermalukan diriku di kantor!"Kembali membuang pandangannya keluar kaca mobil. Matanya sibuk menatap rintik-rintik hujan, masih jelas terlihat bias matahari berwarna keemasan ditengah-tengah gerimis melanda.Tetes-tetes hujan terjatuh dari dedaunan pohon mengenai kepala orang-orang yang menyempatkan diri berteduh di bawah pepohonan di jalanan. Namun, mereka yang sibuk bercanda ria tidak menghiraukan tetesan air mengenai puncak kepalanya.Samira berlarut dalam lamunannya. Ia tidak memperdulikan Morgan yang sesekali meliriknya yang memperlihatkan wajah masam. Samira bisa melihat itu dari pantulan kaca di depan mukanya."Aku minta maaf, Samira.""Tidak perlu meminta maaf. Hubungan ini sudah menjadi keputusan kita berdua."Masih sempat melihat Morgan mengedikkan kedua b
BUKK"Jaga bicaramu, ya! Kemarin sama pak Baroto, sekarang sama cucunya, besok-besok sama siapa?" gerutu Samira memukulkan map di tangannya ke bahu Timothy."Maaf, maaf, aku cuma bercanda," ucap Timothy meralat ucapannya. Memundurkan badannya ke belakang mengelakkan diri dari pukulan Samira."Aku saja tidak kenal sama dia," ketus Samira meletakkan map kasar di atas meja."Tidak kenal bagaimana? Kamu bercanda, Samira? Hari-hari dia berada di---"Ucapan Timothy terputus sesaat mendengar suara ketukan di pintu ruangan. Sontak keduanya menggeser pandangan bersamaan ke pintu ruangan."Ya, masuk," sahut Timothy.Seseorang masuk langsung menumpulkan tatapannya kepada Samira dan berkata, "Anda sudah di tunggu di ruangan bawah, ibu Samira."Samira langsung paham tujuan ucapan wanita berpakaian seragam karyawan tersebut. "Iya, saya segera ke sana. Suruh Morgan menunggu sebentar," sahut Samira. Gegas merapikan tasnya dan berpamitan kepada Timothy. "Aku pulang ya, Morgan sudah menungguku di bawa
'Cucu?' Samira membatin. Baru saja ia membicarakan cucu pak Baroto dengan Timothy tadi. Sekarang malah pak Baroto menawarinya menikah dengan cucu sang atasannya ini.Tapi ... andai ia tidak membuat kontrak perjanjian dengan Morgan, mungkin tawaran pak Baroto ini bisa ia dipertimbangkan. Seenggaknya ia bisa menjalani pernikahan resmi bukan hanya sebatas kontrak perjanjian dalam waktu yang sudah mereka tentukan. "Maaf, t-tapi saya sudah mempunyai pacar, Pak," jawab Samira asal, meremas telapak tangannya yang terasa dingin dan kebas."Ohh, tapi tadi kamu tidak mengatakan seperti itu, Samira!""M-maaf, tadi saya belum sempat menjawab, tapi anda sudah---""Tidak apa-apa. Lupakan saja tawaran saya tadi," ucap pak Baroto. Raut wajahnya langsung berubah menegang. Tidak ada lagi tawa dan senyuman manis seperti tadi."Oiya, mulai besok kamu sudah harus memberikan hasil kerja Morgan kepadaku ya," lanjut pak Baroto, mengulurkan tangan ke arah pintu ruangan memberi isyarat Samira meninggalkan
Samira urung membuka pintu, berbalik badan cepat. Hanya terpaku ditempatnya berdiri menunggu Morgan yang tengah berjalan menghampirinya. Samira meneguk liur ketika Morgan berhenti hampir tidak berjarak dengannya. Matanya terpaku pada dada lebar yang hampir mengenai ujung hidung mancungnya. Samira mengepal kuat telapak tangannya guna menguatkan kedua kakinya tetap berdiri tegak. Aroma tubuh Morgan seakan-akan melumpuhkan semua saraf-saraf tubuhnya. Hingga sekujur tubuhnya tiba-tiba saja melemah. Seolah ada hal janggal yang terjadi dalam tubuhnya setelah aroma tubuh Morgan memenuhi indra penciumannya. Ada getaran kuat yang membuatnya ingin tenggelam dalam dada bidang Morgan. Namun ... "Kamu mau berpenampilan begini ke rumah Mami?" Morgan bertanya dengan tawa kecilnya. Kaget, dahi Samira mengernyit, bola matanya mengikuti jari telunjuk Morgan yang mengarah ke kepalanya yang masih terbungkus handuk. "Astaga! Aku lupa!" Samira kembali kaget, kali ini bercampur rasa malu. La