Share

Bertemu Pria Yang Sama

“K-kamu?” Samira mati-matian menguasai dirinya. Ia tidak mungkin salah mengenali pria ini namun anehnya pria itu seakan tidak mengenalinya.

Atau ... hanya berpura-pura? Mengingat semalam dirinya tidak menutupi sedikitpun wajahnya dari pria ini.

Sadar sekarang ia ada di kantor dan tengah melakukan tugas dari sang Bos. Samira memperbaiki sikapnya.

“Ahh ... maaf membuat anda menunggu,” ucap Samira menenggak liur kesulitan, lantas menguasai rasa gugup dan kakunya.

Cepat-cepat duduk di kursi kebesaran pak Baroto. Wajahnya terasa panas dan memerah sekarang.

Samira menggeleng-gelengkan kepala guna memfokuskan pikirannya. Kepalanya yang masih pusing dan berdenyut-denyut membuatnya jadi kesulitan fokus.

Sesaat sibuk memperhatikan berkas-berkas yang sudah bolak-balik ia periksa tadi. Kemudian menatap sang pria yang lantas berdiri, dan cepat-cepat mengulurkan tangan hendak berjabat tangan dengannya.

“Saya Morgan Francois, dengan ibu ...” Morgan sengaja menggantung ucapannya.

“Saya Samira Brisia, Direktur Utama di sini,” ucap Samira tanpa mengurai tatapannya dari wajah Morgan.

Jantung Samira berhenti berdetak beberapa detik, wajahnya sedikit memutih dengan napas satu-satu seolah habis berlari jauh. Mengutuk dirinya yang telah bercumbu panas dengan seorang pegawai magang, yang jauh dibawah usianya, alih-alih membayarnya.

“Baik, ibu Samira. Pak Baroto berkata jika…”

Namun, belum selesai Morgan berbicara, buru-buru Samira menggeser dokumen kontrak perjanjian kerja ke depan muka Morgan.

“Ini dokumen kontrak kerja kamu sebagai pegawai magang di sini. Bisa dibaca lebih dulu sebelum menandatanganinya,” jelasnya menunjuk kolom yang harus ditandatangani Morgan.

Pria itu hanya diam dan mengambil berkas itu, sekilas membaca sebelum membubuhkan tanda tangannya di kolom namanya.

Gemuruh dada Samira meningkat. Pegawai magang ini sangat kuat mempengaruhi pikirannya dengan kejadian tadi malam.

Tatapan dinginnya, bentuk wajah, rambut dan cambangnya yang tertata rapi, menampilkan kharisma yang kuat. Sekarang dia terlihat bugar dan sangat tampan dibalik penampilan maskulinnya.

Sangat bertolak belakang dengan Morgan semalam, dia seperti binatang buas dan tidak berperasaan meremukkan tubuhnya. Sekarang kebalikannya 180 derajat.

“Sudah selesai, ibu Samira,” ucap Morgan meletakkan pulpen di atas meja, mendorong berkas yang sudah selesai ditandatanganinya ke depan.

Samira tersentak ketika map yang didorong ke depan menyentuh tangannya. Samira mengerjap kedua matanya cepat untuk mengembalikan fokusnya.

Samira menaikkan dagu untuk menjaga wibawanya di depan pegawai magang ini. Tatapannya tegas di wajah tampan Morgan.

“Sebelumnya kamu sudah ada pengalaman bekerja?” tanya Samira mendapati berkas Morgan mengosongkan kolom pengalaman bekerja.

“Belum, apa artinya saya kehilangan kesempatan bekerja di sini?” tatap Morgan padanya.

Deg!

Mata tajam itu kembali membuatnya bergetar. Pertanyaan apa itu? Bukankah pengalaman sangat diutamakan di kantor sebesar ini?

“Bukan, saya yakin pak Baroto juga punya alasan merekomendasikan kamu ke saya. Jadi, ... lupakan saja.”

Samira menyalakan komputer di depannya dan jari-jemarinya mulai sibuk di tetikus. Entah karena mabuk semalaman atau masih belum bisa menguasai rasa gugupnya, otaknya tidak bisa berpikir jernih

Ia butuh membuka salinan file cuma sekadar menjelaskan pekerjaan utama Morgan sebagai pegawai magang.

Ponselnya yang berdenting mengalihkan perhatiannya dari monitor komputer. Sekilas melirik Morgan yang terus mengamati pergerakannya.

Cuek Samira menyambar ponselnya, kali saja memang pesan dari pak Baroto terkait pegawai magang ini.

Namun, matanya dibuat terbelalak dan raut wajahnya yang langsung berubah masam, nama Silva di notif pesan membuat moodnya hilang.

‘Ingat nanti malam, Samira! Mami sudah tidak sabar melihat wajah kekasihmu itu. Kalau tak ... siap-siap tinggal di rumah istri muda Philip!’

Pesan ibunya tiba-tiba masuk, membuat kepalanya kembali pening!

Samira meremas ponselnya. Tidak ingin kesusahannya diketahui Morgan, ia berujar, “Kamu ke ruanganmu sekarang, nanti saya antar berkasnya.”

Morgan menatapnya dengan bingung, sebelum akhirnya ia berdiri dari kursinya dan keluar dari ruangan. Sementara Samira? Ia mati-matian menghindari tatapan tajam pria itu.

Bagaimana jika ia sebenarnya menyadari jika aku wanita tadi malam?!

Waktu berputar, sedari tadi Samira hanya termenung. Sampai ia dikagetkan jarum jam yang sudah menunjuk di angka empat.

Sadar belum memberikan berkas yang dibutuhkan Morgan, Samira tergesa-gesa turun menuju ruangan Morgan.

Karena tergesa-gesa Samira masuk tanpa mengetuk-ngetuk pintu ruangan lagi.

“Ibu Samira!” ucap Morgan segera mengatasi rasa kagetnya.

“Ini berkasnya!”

Buru-buru Morgan melepas sesuatu dari genggaman tangannya, sebelum meraih map dari tangan Samira.

Kalung yang baru saja diletakkan Morgan di atas meja menarik atensi Samira.

Samira kaget dengan mata terbelalak langsung mengenali kalung itu miliknya.

“Kalungku!” desis Samira langsung meraba-raba leher jenjangnya

Benar saja lehernya kosong. Karena terburu-buru mandi tadi pagi, jadi tidak begitu memperhatikan kalungnya. Pun sadar setelah melihat kalung yang sama diletakkan Morgan.

Samira suka barang-barang unik dan yang tidak ada dipakai orang lain, kalungnya itu tidak ada tiruan apalagi di jual umum di toko-toko perhiasan. Jadi, sudah bisa dipastikan itu miliknya yang tertinggal semalam.

“Apa ada yang ingin ibu Samira sampaikan?” tanya Morgan mengernyit dahi kebingungan, sebab tatapan Samira tidak lepas dari kalung yang diletakkannya di atas meja.

Samira menumpulkan pandangannya di wajah Morgan. Jelas kalung itu miliknya. Tapi ... dirinya cukup malu mengakui itu miliknya, apalagi harus memintanya. Pria ini tidak peka dan tidak paham.

“Kalungnya unik, saya sangat menyukainya,” ucap Samira mencoba mengorek kepekaan Morgan.

“Ohh ... terimakasih.” Singkat Morgan menjawab, kemudian cepat-cepat mengantongi kalung tersebut.

Itu membuat Samira mati kutu dan ternganga.

Samira mengumpat dalam hati. Ia tidak boleh kehilangan kalungnya, itu pemberian khusus dari papinya. Bagaimanapun ia harus bisa memintanya dari Morgan!

Biasanya papinya itu sangat suka memperhatikan dirinya. Mungkin karena masalah tadi pagi maka Philip tidak begitu memperhatikan kalung di lehernya.

‘Papi!'

Samira tiba-tiba teringat janjinya bertemu malam ini dengan Phillip, pun sudah diingatkan pesan dari ibunya tadi.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status