“K-kamu?” Samira mati-matian menguasai dirinya. Ia tidak mungkin salah mengenali pria ini namun anehnya pria itu seakan tidak mengenalinya.
Atau ... hanya berpura-pura? Mengingat semalam dirinya tidak menutupi sedikitpun wajahnya dari pria ini. Sadar sekarang ia ada di kantor dan tengah melakukan tugas dari sang Bos. Samira memperbaiki sikapnya. “Ahh ... maaf membuat anda menunggu,” ucap Samira menenggak liur kesulitan, lantas menguasai rasa gugup dan kakunya. Cepat-cepat duduk di kursi kebesaran pak Baroto. Wajahnya terasa panas dan memerah sekarang. Samira menggeleng-gelengkan kepala guna memfokuskan pikirannya. Kepalanya yang masih pusing dan berdenyut-denyut membuatnya jadi kesulitan fokus. Sesaat sibuk memperhatikan berkas-berkas yang sudah bolak-balik ia periksa tadi. Kemudian menatap sang pria yang lantas berdiri, dan cepat-cepat mengulurkan tangan hendak berjabat tangan dengannya. “Saya Morgan Francois, dengan ibu ...” Morgan sengaja menggantung ucapannya. “Saya Samira Brisia, Direktur Utama di sini,” ucap Samira tanpa mengurai tatapannya dari wajah Morgan. Jantung Samira berhenti berdetak beberapa detik, wajahnya sedikit memutih dengan napas satu-satu seolah habis berlari jauh. Mengutuk dirinya yang telah bercumbu panas dengan seorang pegawai magang, yang jauh dibawah usianya, alih-alih membayarnya. “Baik, ibu Samira. Pak Baroto berkata jika…” Namun, belum selesai Morgan berbicara, buru-buru Samira menggeser dokumen kontrak perjanjian kerja ke depan muka Morgan. “Ini dokumen kontrak kerja kamu sebagai pegawai magang di sini. Bisa dibaca lebih dulu sebelum menandatanganinya,” jelasnya menunjuk kolom yang harus ditandatangani Morgan. Pria itu hanya diam dan mengambil berkas itu, sekilas membaca sebelum membubuhkan tanda tangannya di kolom namanya. Gemuruh dada Samira meningkat. Pegawai magang ini sangat kuat mempengaruhi pikirannya dengan kejadian tadi malam. Tatapan dinginnya, bentuk wajah, rambut dan cambangnya yang tertata rapi, menampilkan kharisma yang kuat. Sekarang dia terlihat bugar dan sangat tampan dibalik penampilan maskulinnya. Sangat bertolak belakang dengan Morgan semalam, dia seperti binatang buas dan tidak berperasaan meremukkan tubuhnya. Sekarang kebalikannya 180 derajat. “Sudah selesai, ibu Samira,” ucap Morgan meletakkan pulpen di atas meja, mendorong berkas yang sudah selesai ditandatanganinya ke depan. Samira tersentak ketika map yang didorong ke depan menyentuh tangannya. Samira mengerjap kedua matanya cepat untuk mengembalikan fokusnya. Samira menaikkan dagu untuk menjaga wibawanya di depan pegawai magang ini. Tatapannya tegas di wajah tampan Morgan. “Sebelumnya kamu sudah ada pengalaman bekerja?” tanya Samira mendapati berkas Morgan mengosongkan kolom pengalaman bekerja. “Belum, apa artinya saya kehilangan kesempatan bekerja di sini?” tatap Morgan padanya. Deg! Mata tajam itu kembali membuatnya bergetar. Pertanyaan apa itu? Bukankah pengalaman sangat diutamakan di kantor sebesar ini? “Bukan, saya yakin pak Baroto juga punya alasan merekomendasikan kamu ke saya. Jadi, ... lupakan saja.” Samira menyalakan komputer di depannya dan jari-jemarinya mulai sibuk di tetikus. Entah karena mabuk semalaman atau masih belum bisa menguasai rasa gugupnya, otaknya tidak bisa berpikir jernih Ia butuh membuka salinan file cuma sekadar menjelaskan pekerjaan utama Morgan sebagai pegawai magang. Ponselnya yang berdenting mengalihkan perhatiannya dari monitor komputer. Sekilas melirik Morgan yang terus mengamati pergerakannya. Cuek Samira menyambar ponselnya, kali saja memang pesan dari pak Baroto terkait pegawai magang ini. Namun, matanya dibuat terbelalak dan raut wajahnya yang langsung berubah masam, nama Silva di notif pesan membuat moodnya hilang. ‘Ingat nanti malam, Samira! Mami sudah tidak sabar melihat wajah kekasihmu itu. Kalau tak ... siap-siap tinggal di rumah istri muda Philip!’ Pesan ibunya tiba-tiba masuk, membuat kepalanya kembali pening! Samira meremas ponselnya. Tidak ingin kesusahannya diketahui Morgan, ia berujar, “Kamu ke ruanganmu sekarang, nanti saya antar berkasnya.” Morgan menatapnya dengan bingung, sebelum akhirnya ia berdiri dari kursinya dan keluar dari ruangan. Sementara Samira? Ia mati-matian menghindari tatapan tajam pria itu. Bagaimana jika ia sebenarnya menyadari jika aku wanita tadi malam?! Waktu berputar, sedari tadi Samira hanya termenung. Sampai ia dikagetkan jarum jam yang sudah menunjuk di angka empat. Sadar belum memberikan berkas yang dibutuhkan Morgan, Samira tergesa-gesa turun menuju ruangan Morgan. Karena tergesa-gesa Samira masuk tanpa mengetuk-ngetuk pintu ruangan lagi. “Ibu Samira!” ucap Morgan segera mengatasi rasa kagetnya. “Ini berkasnya!” Buru-buru Morgan melepas sesuatu dari genggaman tangannya, sebelum meraih map dari tangan Samira. Kalung yang baru saja diletakkan Morgan di atas meja menarik atensi Samira. Samira kaget dengan mata terbelalak langsung mengenali kalung itu miliknya. “Kalungku!” desis Samira langsung meraba-raba leher jenjangnya Benar saja lehernya kosong. Karena terburu-buru mandi tadi pagi, jadi tidak begitu memperhatikan kalungnya. Pun sadar setelah melihat kalung yang sama diletakkan Morgan. Samira suka barang-barang unik dan yang tidak ada dipakai orang lain, kalungnya itu tidak ada tiruan apalagi di jual umum di toko-toko perhiasan. Jadi, sudah bisa dipastikan itu miliknya yang tertinggal semalam. “Apa ada yang ingin ibu Samira sampaikan?” tanya Morgan mengernyit dahi kebingungan, sebab tatapan Samira tidak lepas dari kalung yang diletakkannya di atas meja. Samira menumpulkan pandangannya di wajah Morgan. Jelas kalung itu miliknya. Tapi ... dirinya cukup malu mengakui itu miliknya, apalagi harus memintanya. Pria ini tidak peka dan tidak paham. “Kalungnya unik, saya sangat menyukainya,” ucap Samira mencoba mengorek kepekaan Morgan. “Ohh ... terimakasih.” Singkat Morgan menjawab, kemudian cepat-cepat mengantongi kalung tersebut. Itu membuat Samira mati kutu dan ternganga. Samira mengumpat dalam hati. Ia tidak boleh kehilangan kalungnya, itu pemberian khusus dari papinya. Bagaimanapun ia harus bisa memintanya dari Morgan! Biasanya papinya itu sangat suka memperhatikan dirinya. Mungkin karena masalah tadi pagi maka Philip tidak begitu memperhatikan kalung di lehernya. ‘Papi!' Samira tiba-tiba teringat janjinya bertemu malam ini dengan Phillip, pun sudah diingatkan pesan dari ibunya tadi. ***Seolah sudah menemukan jawaban di depan matanya, Samira menyipitkan mata.Tadi pagi ia meninggalkan uang untuk Morgan, dan sekarang mengetahuinya cuma pegawai magang, tentu pria ini sangat membutuhkan uang tambahan.Tanpa basa-basi Samira bertanya, “Kamu punya kesibukan malam nanti?”Morgan yang tengah sibuk merapikan isi mejanya mendongak kaget, mendengar pertanyaan janggal dari atasannya.Dahinya tampak mengkerut bingung dengan tujuan pertanyaan Samira. Namun, hanya menjawab, “Ahh ... saya tidak ke mana-mana, Bu.” “Saya punya tugas khusus untukmu!” Lagi-lagi Morgan dibuat kaget sampai aktivitas tangannya terhenti, kembali menaikkan tatapannya. Seolah-olah tidak diberi opsi lain, Morgan cuma bisa mengangguk.Samira sampai terperanjat. Tidak menyangka semudah itu menaklukkan pegawai magang itu. Pantas saja semalam begitu mudah menariknya masuk ke kamar.Samira merapikan ujung lengan seragamnya. Di bibirnya tersungging senyum kecil. Mengesampingkan rasa malu demi bisa menepati jan
“Nah, itu benar. Anggap saja kita ini sama seperti kedua orangtuamu,” ucap Silva mengulas senyum ramah di bibirnya. Dari nada suara Silva sepertinya maminya ini sangat menyukai Morgan. Diikuti anggukan kepala setuju dari Morgan. “Kamu tahu kenapa saya menyuruhmu kemari, Morgan?” Tegas Philip bertanya tanpa basa-basi Dia ingin mendengar langsung penjelasan dari Morgan dengan pengakuan Samira tadi lagi. Sekilas melirik Samira, tapi gadis cantik itu hanya terdiam. Morgan langsung paham tujuan pertanyaan Philip. Morgan menurunkan sedikit dagunya sebelum menjawab, “Benar, Pi. Saya meminta maaf atas kejadian semalam di apartemen. Saya dan Samira minum alkohol terlalu banyak, dan ..." Morgan menurunkan pandangannya dari tatapan tegas Philip. "... membuat Samira mabuk dan tidak pulang semalam. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi, Pi." Samira meremas telapak tangannya, gemuruh dadanya meningkat menunggu reaksi sang papi. Ada rasa takut kalau-kalau Philip akan marah
Samira mengerjap kedua matanya untuk menguasai rasa gugup dan kakunya. Semua perlakuan dan jawaban tiba-tiba dari Morgan membuat hatinya bergetar hebat. Tak disangkal ia sempat merasa hangat dan nyaman dengan itu. Namun, segera sadar hanya sandiwara, Samira memaksa dirinya fokus dengan tujuannya. Untuk meyakinkan Phillip, seakan mendukung kesungguhan Morgan yang ingin menikahinya, Samira mengangguk mengiyakan ucapan Morgan. Pun tidak ingin berlama-lama mendengar ocehan tante Lala yang hanya memperkeruh keadaan. Silva meneguk liurnya tidak bisa berkata apa-apa lagi, dirinya cukup malu dan tersinggung dengan ucapan Phillip tadi. Sedikit ada rasa sesal karena tidak bisa menahan diri dari hasutan adiknya sampai ikut-ikutan meremehkan Morgan. "Harusnya kamu bisa menjaga bicaramu di depan Philip, Lala!" bisik Silva menggertak giginya. "Terserah kamu percaya padaku atau sama mantan suamimu itu, Silva," ketus Lala melengos pergi. Silva tidak menjamin Philip tidak akan membah
Cepat-cepat merampas dan memasukkannya ke tas, sebelum kemudian memalingkan wajahnya yang sudah memerah menahan malu.Samira sedikit merasa lega sebab yang ia takutkan tadi tidak terjadi."Dari mana kamu mendapatkannya?" Samira bertanya seraya meremas tali tasnya."Aku menemukannya di dalam map yang kamu berikan tadi.""Harusnya kamu segera memberikannya, tidak perlu membacanya!" ujar Samira mengutuki kelalaiannya sendiri. Sampai-sampai berkas penting itu kesasar ke berkas pegawai magang.Ia sangat malu Morgan sampai tahu tentang masalah dalam keluarganya.Berkas itu akta perceraian kedua orang tuanya. Sengaja ia simpan guna membunyikannya dari sang tante yang berusaha menghasut ibunya untuk menguasai harta ayah Samira. Entah kenapa ia lupa-lupa saja menyimpannya ke brangkas pribadinya.Sialnya lagi, berkas itu malahan ia biarkan di dalam laci mejanya. Karena terlalu gugup dengan keberadaan Morgan yang tiba-tiba itu, membuatnya tidak bisa fokus saat mengeluarkan berkas dari dalam laci
Samira membuang wajah ke samping, menghela napas sebelum kemudian menjawab, "Nggak, aku melakukan itu untuk keperluan diriku ke depannya, Mam." Sejak awal Samira juga tidak menyukai istri muda ayahnya itu. Ia selalu berharap kedua orang tuanya bisa rujuk kembali. Namun, sepertinya ayahnya tidak ingin kembali kepada Silva. "Oiya? Jadi yang kamu anggap orang tuamu itu hanya Philip, Samira? Oke, sekarang terserah kamu mau menikah dengan pegawai magang itu, tapi ..." Silva sengaja menggantung ucapannya, melirik Philip dengan dagu terangkat angkuh. "Setelah kamu menikah, rumah ini jadi milikku!" lanjut Silva tanpa mengurai tatapannya dari wajah Philip. Kemudian kembali mendekatkan bibirnya ke telinga Samira, Silva berbicara pelan hingga hanya dia dan Samira yang bisa mendengarnya. "Berikan padaku akta perceraian kami, Samira! Aku tahu kamu yang mengambilnya!" "Aku tidak mengambilnya, Mam!" bohong Samira ketus. Wajah Silva memerah, dia tahu Samira berbohong. "Segera bawa bara
"Apa kamu sudah gila, Morgan?""Ini sudah keputusanku, Kek. Jadi setelah pernikahan ini aku terbebas dari semua hukuman Kakek!" tegas Morgan berjalan mondar-mandir di kamarnya.Namun, pria di seberang telepon tidak setuju pernikahan Morgan tanpa kehadirannya. "Minggu depan aku usahakan pulang. Undur saja pernikahanmu ke minggu depan.""Tidak bisa. Pernikahan ini harus segera dilangsungkan, Kek. Ini sudah kesepakatan ku dengan keluarga calon istriku!""Sialan! Bagaimana kamu menikah tanpa dihadiri oleh keluargamu? Sedangkan ayah dan ibumu juga masih di luar negeri! Mungkin minggu depan mereka bisa pulang."Morgan mendesahkan rasa kesalnya. Dia memang sengaja menutupi rahasia pernikahan kontraknya ini dari keluarganya.Karena tujuan pernikahan ini juga hanya agar bisa terbebas dari hukuman sang Kakek, dan ingin merebut kembali kursi kekuasaannya."Maafkan aku, Kek. Tapi aku sudah tidak bisa menunda pernikahan ini.""Arghh! Mau ditaruh di mana wajah dan nama baik keluarga besar kita, Mo
Samira gugup dan kaku. Ia jadi bingung sendiri harus bersikap bagaimana. Keluarganya sangat dekat dengan Morgan namun Morgan seolah menutup-nutupi keluarganya dari Samira. Tapi ia tidak punya keberanian menanyakannya. Agaknya Morgan mengetahui rasa ketidaknyamanannya itu, kemudian berkata kepadanya "Maaf, aku tidak bermaksud berkata seperti tadi. Tapi seperti kesepakatan kita sebelumnya, kalau hubungan ini hanya untuk kepentingan misi kita masing-masing. Jadi, tidak perlu terlalu melibatkan keluarga." Samira mengangguk setuju. Harusnya ia tidak perlu bertanya hal-hal diluar kontrak. Atau, mungkin saja Morgan sengaja melakukan itu karena kondisi keluarganya yang miskin. "Apa kita juga tidur satu kamar?"tanya Samira menunjuk ke arah kamar yang cuma ada satu di sana. Morgan yang tengah berjalan menuju wastafel segera berbalik badan. Entah mengapa sang Kakek malah memberikan apartemen kelas ekonomi itu kepadanya. Harusnya dia bisa memilih tinggal di kelas VIP saja yang ada beber
Samira menaikkan salah satu alisnya. Alih-alih mentraktir Rosa makan, melihat wajahnya saja ia sudah kesal."Iya, tapi waktunya sudah habis!" ucap Samira asal.Melihat Samira cuek dan bersiap-siap pergi, Rosa menghampiri Morgan ke mobilnya."Morgan, apa tawaranmu tadi masih berlaku?" tanya Rosa dengan raut wajahnya memelas."Tanya saja Samira. Dia yang ingin mentraktir kalian tadi." Dingin Morgan menjawab."T-tapi Samira sudah pergi. Apa aku boleh ikut denganmu saja?" Rosa menurunkan harga dirinya di depan Morgan. Jiwa genitnya berkelebar melihat ketampanan Morgan."Tidak bisa! Aku takut kamu alergi jika dekat-dekat dengan pria miskin sepertiku!" Morgan mendorong Rosa yang menghalangi jalannya. Morgan mengekori mobil Samira hingga tiba di apartemen."Kamu baik-baik saja, Samira? ulang Morgan menanyakan keadaan Samira. "Aku baik-baik saja. Oiya lain kali tidak perlu datang-datang ke rumah mamiku dengan alasan apapun. Kamu juga tahu hubungan kita hanya sebatas kontrak saja," sahut Sam
"Samira, kenapa menutupinya dariku?" "Aku tidak menutupi apapun dari kamu. Siapa yang mengatakannya padamu?" desak Samira masih dalam rasa kaget. "Ini! Aku rasa aku tidak salah melihat. Ini milikmu, 'kan?" ucap Morgan meletakkan kotak test pack beserta kertas kehamilannya dari klinik ke dashboard mobil. "D-dari mana kamu mengambilnya?" Wajah Samira memutih seolah-olah darah berhenti mengalir di sana. Matanya melotot, terpaku pada benda yang baru saja diletakkan Morgan. "Tanpa sengaja aku menemukannya dari dalam laci meja di kamar. Aku sedang mencari-cari remote AC tadi, karena kamu lupa mematikannya." Samira terdiam dan menjauhkan wajahnya. Ia tersudut karena tidak bisa membantah lagi. Ia juga pasrah apapun keputusan Morgan dengan hubungan mereka sekarang. Ia juga yakin, jika Timothy sudah menyampaikan semua pembicaraan mereka tadi kepada Morgan "Samira, apa aku bisa bertanya?" "Hmm, apa ada yang penting dibicarakan sekarang?" jawab Samira balik bertanya. Mengangkat
"What? Kamu jangan mengada-ada, Tim! Kamu tahu apa yang bisa aku lakukan padamu kalau sampai berbohong!" "Silakan pulang sekarang dan tanyakan padanya. Samira sudah mengakui kalau dirinyalah wanita yang bersama anda malam itu.""Hahk! Jelas ia bisa saja mengaku-ngaku agar bisa mendapatkan kalung unik itu! Kamu tahu berapa harga kalung itu?" geram Morgan."Yah, Tuan Philip sudah menunjukkan kwitansi pembelian kalungnya. Dan, hanya Samira seorang yang memiliki kalung seperti itu!" jelas Timothy."Sekarang misi sudah selesai. Dan, selama ini pun kamu sudah menikah dengan wanita yang kamu cari-cari," ujar Timothy mengangkat kedua tangannya di atas telinganya."Tim ..." Morgan menggertak gerahamnya kasar. "Apa Samira yang mengatakan itu semuanya?""Yah, itu benar. Aku sangat lelah, jadi harus pulang sekarang."Morgan meremas angin dalam genggaman tangannya. Antara senang dan rasa bersalah setelah mengetahui siapa gadis yang dicari-carinya selama ini.Morgan kembali menghenyakkan duduknya
Tidak lama menunggu di tempat yang mereka janjikan, tampak Timothy berjalan masuk menuju meja Samira menunggu."Maaf membuatmu menunggu," ujar Timothy."Hmm, aku juga baru tiba. Oiya, kamu sendirian kan?" tanya Samira. Kepalanya celingukan seperti mencari seseorang yang datang bersama Timothy."Yah, memangnya harus dengan siapa?""Hehee, nggak seh." Samira tampak salah tingkah. Sedikit lega karena tidak melihat ada Morgan di sana Timothy mencari posisi duduk yang nyaman dan melipat kedua tangannya di atas meja. Pria tampan tersebut menumpulkan tatapannya di wajah Samira yang tampak sedikit memerah karena malu-malu.Rahang wajahnya mengeras, tatapan matanya sangat serius menatap gadis cantik di depannya. Seakan pria tersebut menyimpan sebuah rahasia besar yang ingin diungkapkan saat itu juga."Samira, apa kamu memiliki hubungan dekat dengan Morgan?" Nada suaranya terdengar tegas."A-apa maksud kamu, Tim?" Setengah mati Samira menguasai rasa gugupnya. Namun, ia tetap berusaha memaksak
"Iya! Kamu tahu apa yang bisa aku lakukan padamu jika sampai mengabaikan perintahku, Tim!" "Satu lagi, kamu melupakan cara sopan menyebut Tuan Muda Morgan Francois!""Itu sangat berpengaruh dengan kedudukan kamu sekarang, Tim?"Morgan melirik ke samping, sengaja menaikkan salah satu sudut bibirnya. Senyumnya sinis penuh ancaman.Merasa terancam Timothy menjadi sedikit gugup, mencoba mencari pembenaran diri. Dia tidak mau kalau Morgan sampai mengadukan yang bukan-bukan kepada pak Baroto. Bisa-bisa pria tua itu menghukumnya jadi pegawai magang.Otak cerdasnya memutar cepat, mungkin cara tepat menyelamatkan dirinya sekarang, dengan menyinggung tentang wanita misterius itu."Oke, saya salah Tuan Muda! Mungkin terbawa suasana jadi ya keceplosan," ujar Timothy menggaruk-garuk kepala belakangnya."Hahaa. Tidak perlu terlalu serius, aku juga cuma bergurau." Morgan menyahuti sambil tertawa kecil namun terdengar menakutkan."Sekarang kamu lakukan apa yang aku perintahkan tadi, Tim!" Kemudian
"Tim, aku pinjam charger ponsel kamu ini, ya," ujar Samira seraya tangan kirinya cepat-cepat menutup laci meja. Sementara tangan kanannya lantas meraih charger yang ia letakkan tadi di atas meja, dan menunjukkannya kepada Timothy. Namun, sang pria yang masih sibuk dengan ponselnya itu, enggan mengangkat kepala sekedar melihat Samira. "Apa kamu mendengar ku?"Timothy yang kurang fokus mendengar, bertanya, "apa tadi? Charger ya?""Hmm, iya. Ponselku mati, nih. Mana aku lupa membawa charger nya.""Ooh .. tidak apa-apa, pakai saja." Santai Timothy menjawab. Menutup ponsel dan memasukkannya ke dalam saku celana berbahan thaisilk yang dia kenakan.Samira bergeser dari kursi kebesaran Timothy ke arah kursinya guna memberi ruang kepada sahabatnya itu. Gemuruh dadanya meningkat menunggu reaksi pria itu. Ia takut kalau Timothy sampai melihatnya memegang kalung yang ia lihat di laci tadi. Yang ia yakini itu adalah kalung miliknya yang tertinggal pada Morgan di malam panas itu."Apa urusan
"Aku sangat paham dan tidak akan pernah lupa. Sekarang kamu hanya perlu menjawab pertanyaanku tadi, Samira!"Rasanya, ia ingin berteriak keras, menyadarkan pria bodoh yang sedari tadi hanya memutar-mutar ucapannya. Samira mendesah dalam kekecewaannya. Menggeser bola matanya ke jam dinding."Aku mau tidur," ucapnya mengakhiri pembicaraan mereka."Tapi kamu belum menjawabnya, Samira!" Tidak ada sahutan, seiring suara pintu kamar yang sengaja di tutup keras. Beberapa detik setelahnya terjadi keheningan dalam apartemen. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing.Samira duduk dengan memeluk kedua lututnya di atas ranjangnya. Sementara Morgan duduk dengan meremas rambutnya. Sesekali mengumpat dan bergumam tidak jelas.***Tiga bulan sejak hari itu."Sial! Ini tidak bisa ditutupi lagi!" desis Samira menatap dirinya di dalam cermin. Perutnya yang membuncit semakin kelihatan jelas.Entah sudah berapa banyak membuat alasan agar bisa tidak masuk ke kantor. Bahkan, ia juga sudah mendapat tegu
"Bersedia? Maksud kamu?" Samira menghentikan langkahnya. Pandangannya bergeser dari ujung sepatunya ke samping, menatap pria yang membuat otaknya terus berpikir liar.Morgan ikut berhenti namun dengan sedikit gugup ditodong pertanyaan seperti itu. Tampak dia menghela nafasnya berkali-kali guna mengatur desah nafasnya yang jelas terdengar memburu.Sang pria tampan itu juga terlihat tidak berani menoleh ke samping. Dia menatap lurus ke depan.Setelah sedikit tenang, dia menjawab, "aku ... aku menginginkan anak darimu, Samira!" Kemudian Morgan berbalik badan, cepat-cepat berjalan menuju mobil, meninggalkan Samira yang ternganga dan seketika membisu.Beberapa kali Morgan berusaha membujuk sang Kakek agar mengganti syarat hukumannya. Namun, agaknya tidak mudah baginya meluluhkan hati tuan bersahaja itu. Samira kaget setengah mati, sampai-sampai kedua kakinya terasa lemas. Gemuruh dadanya langsung meningkat. Perlahan menggeser pandangannya mengikuti punggung Morgan yang semakin menjauh m
Bisa merasakan telapak tangannya sudah banjir keringat. Samira tergugu dalam kebingungannya. Ia takut harus mengungkapkan semuanya sekarang. Namun, semakin lama semuanya akan semakin menjadi rumit."Samira! Katakan!" desak Morgan tidak sabar. Didesak seperti itu Samira cuma bisa menjauhkan wajahnya. Dalam hati ia belum benar-benar siap, dan akhirnya menjawab asal, "aku harus mengingat usiaku!" "Hahh! Itu terdengar kekanakan, Samira! Sebelumnya itu sudah kamu pikirkan matang-matang sebelum menandatangani perjanjian kita. Atau, benar yang aku katakan tadi?"Samira menelan liur. Andai semuanya bisa begitu mudah ia ungkapkan, ia tidak perlu mencari-cari alasan menutupi kehamilannya ini."Aku ... lupakan saja! Tidak ada lagi yang perlu dibahas. Aku mau tidur sekarang!" Samira meninggalkan Morgan di ruang tamu."Tunggu!" panggil Morgan. "Ini pembahasan penting, Samira. Aku butuh kamu kejujuranmu!" Samira berhenti di depan pintu kamar. Tanpa menoleh ia menjawab, "Lupakan saja. Sekarang la
Pertanyaan Pierre itu menarik atensi Timothy, cepat-cepat menggeser pandangannya melihat kalung di genggaman tangan Pierre."Berikan padaku," katanya dengan dahi mengernyit seolah-olah kurang jelas melihat kalungnya.Sesaat Timothy hanya memperhatikan kalung di tangannya, kali ini lebih fokus. Matanya menyipit, kalung tersebut seperti tidak asing baginya namun mengingat siapa pemiliknya sangat menguras pikiran.Semakin lebih memperhatikan lagi, dalam pikirannya seakan-akan pernah mengingat seseorang mengenakan kalung tersebut.Tapi siapa?"Malah bengong! Kamu yakin nggak kalung ini milik wanita yang bersama Tuan Muda?" tanya Pierre meninju pelan bahu Timothy yang terdiam seraya memelototi kalung di tangannya."Aku tidak tahu, tapi Tuan Muda mengatakan kalung ini milik wanita itu. Tapi ..." Timothy mengalihkan pandangan dari kalung ke wajah Pierre yang menegang menunggu kelanjutannya."Bukankah kamu yang mengurus kamar itu untuk Tuan Muda?" selidik Timothy."Itu benar, tapi bukan aku