Seolah sudah menemukan jawaban di depan matanya, Samira menyipitkan mata.
Tadi pagi ia meninggalkan uang untuk Morgan, dan sekarang mengetahuinya cuma pegawai magang, tentu pria ini sangat membutuhkan uang tambahan. Tanpa basa-basi Samira bertanya, “Kamu punya kesibukan malam nanti?” Morgan yang tengah sibuk merapikan isi mejanya mendongak kaget, mendengar pertanyaan janggal dari atasannya. Dahinya tampak mengkerut bingung dengan tujuan pertanyaan Samira. Namun, hanya menjawab, “Ahh ... saya tidak ke mana-mana, Bu.” “Saya punya tugas khusus untukmu!” Lagi-lagi Morgan dibuat kaget sampai aktivitas tangannya terhenti, kembali menaikkan tatapannya. Seolah-olah tidak diberi opsi lain, Morgan cuma bisa mengangguk. Samira sampai terperanjat. Tidak menyangka semudah itu menaklukkan pegawai magang itu. Pantas saja semalam begitu mudah menariknya masuk ke kamar. Samira merapikan ujung lengan seragamnya. Di bibirnya tersungging senyum kecil. Mengesampingkan rasa malu demi bisa menepati janjinya malam ini, ia tak sungkan membuat penawaran gila, “Kamu mau jadi kekasih saya?” “Apa? Maksud Anda, saya menjadi pacar Anda?” Kaget dan gugup Morgan bertanya, matanya melotot tidak percaya mendengar tawaran ini dari atasannya. “Hanya berpura-pura menjadi pacar saya semalam!" Samira mempermainkan ujung kuku jari tangannya yang panjang sebelum kembali melanjutkan ucapannya, "Anggap saja sebagai ganti kamu tidak memiliki pengalaman kerja.” Samira mengutuki dirinya. Tidak ada hubungan rencananya ini dengan pengalaman kerja Morgan. Namun, tidak ada cara lain yang bisa memuluskan rencananya membujuk Morgan. “Tapi saya sudah mengatakan itu kepada pak Baroto, ibu Samira.” “Sudah kebiasaan saya tidak bisa membimbing pegawai magang yang tidak memiliki pengalaman. Atau, mungkin kamu bisa berhubungan langsung dengan pak Baroto saja. Jadi, kamu boleh mengabaikan tawaran saya ini.” Mendengar nama pak Baroto, Morgan sedikit memiringkan kepalanya ke sisi kanan. Dahinya tampak mengkerut seakan memikirkan sesuatu yang rumit. Namun, lagi-lagi hanya mengangguk. Samira menenggak liur kesulitan, menekan rasa sakit hatinya. Sadar, dirinya memang tidak laku. Harusnya ia menerima takdir itu dengan lapang dada. Tidak perlu memberikan kesuciannya kepada pria ini. “Apa yang harus saya lakukan untuk Anda?” Tenang Morgan bertanya. Sekarang Samira bingung menyuruh Morgan akan melakukan apa, ia sendiripun tidak pernah berpacaran. Tapi tak ingin terlihat payah di depan Morgan, Samira berkata, “Kamu tentu sudah punya pacar, jadi perlakukan saya seperti kamu memperlakukan pacar kamu nanti malam.” “Tapi ... saya tidak pernah pacaran.” Tidak mungkin! Samira menggertak geraham kesal. Jelas pegawai magang ini sudah berbohong dan mencari-cari alasan menolaknya. “Ahh ... saya tak perlu tahu itu! Kamu cukup memperlakukan saya layaknya kita pasangan kekasih.” Samira melipat kedua tangannya kemudian meletakkannya di atas meja. “Di depan kedua orangtua saya nanti, panggil ‘aku kamu’ saja, atau sesekali panggil ‘sayang’ juga boleh. Lalu, kamu harus mengaku-ngaku tinggal di apartemen, dan semalam kita melewatkan malam dengan minum sampai mabuk di apartemen kamu. Untuk merayakan hari jadi kita yang ke satu tahun, paham!” jelas Samira. Morgan menatap intens wajah cantik Samira. Keningnya kembali mengkerut, sesaat menghela napas berat sebelum menjawab, “Iya. Jadi, saya datang ke ---“ “Tidak perlu! Berikan saja alamat rumahmu nanti saya jemput ke sana,” potong Samira tidak mau Morgan datang dengan mengendarai sepeda motor atau mobil yang biasa-biasa saja. Mau ditaruh di mana mukanya nanti. Bisa-bisa maminya mengejeknya memiliki pacar miskin, dan papinya tidak percaya. “Komplek Anggrek blok 7.” Samira sampai mengerutkan kening mendengar alamat rumah Morgan. Tahu, komplek itu dihuni para orang kaya raya, salah satunya pak Baroto. Namun, tidak ada waktunya lagi bertanya soal itu. “Jam tujuh saya jemput. Ini ada sedikit uang untuk belanja pakaian kamu. Maksud saya bukan tidak menyukai penampilan kamu sekarang, tapi ... kamu sudah tahu maksudku,” ujar Samira meletakkan setumpuk uang dan menggesernya ke depan Morgan. “Satu lagi, jika mami dan papi bertanya soal kendaraan, kamu bisa mencari alasan, di bengkel atau dipakai saudara kamu, ya!” Morgan mengangguk kecil. “Baik, ini nomor W******p saya.” *** "Kamu yakin Samira punya pacar, Silva?" tanya Lala, adik ibu Samira, melirik Samira yang tengah siap-siap keluar. "Aku takut, jangan-jangan ia mau melarikan diri!" hasut Lala menaikkan satu sudut bibirnya. Mendengarnya, Samira membuang wajahnya ke samping. Entah mengapa ibunya selalu mengikutkan tante Lala. Setuju dengan Lala, melihatnya hendak keluar Silva langsung berujar, “Suruh saja kekasihmu yang datang kemari, Samira! Tidak perlu menjemputnya!" “Benar itu, Silva. Biasakan punya harga diri!” Tante Lala kembali bersuara. Samira meredam rasa kesalnya dengan tidak menyahuti. Ia mengabaikan ocehan tante Lala dengan pura-pura sibuk menatap layar ponselnya. Namun ... ucapan Silva itu segera diiyakan oleh Philip yang baru tiba di sana dan mendengar. “Itu benar, Samira. Tidak baik terlalu menunjukkan rasa cintamu kepada pria,” nasehat Philip membuat Samira hanya bisa menelan liur. Samira urung keluar. Ucapan Philip adalah perintah untuknya. Kembali meletakkan kunci mobil di atas meja. Kemudian menghenyakkan duduknya bersisian dengan Philip. Hatinya tidak tenang sekarang, takut Morgan datang dengan mengendarai sepeda motor. Harap-harap dia tidak lupa belanja agar penampilannya lebih berkelas. Takut-takut, setengah berbisik Samira berkata, “Pi, tapi Morgan menelepon tadi, katanya mobilnya di pakai saudaranya.” “Tenang saja. Kalau dia benar-benar mencintaimu, dia akan cari cara tiba di sini tepat waktu!” tegas Philip. Samira tidak berdaya membantah cuma terdiam bisu. Cepat-cepat mengirimkan pesan ke Morgan segera menyuruhnya datang. Beberapa menit kemudian. Morgan tiba di sana dengan mengendarai mobil. Penampilannya juga sangat rapi, dia terlihat sangat tampan layaknya tuan muda kaya. Dengan penampilannya seperti ini, mami dan papinya tidak akan curiga kalau Morgan cuma bawahannya. Melihatnya, rasa khawatir Samira segera hilang. Di sisi lain sempat kaget melihat mobil mewah Morgan. Namun ... bisa saja Morgan meminjam mobil temannya. Samira berjalan menghampiri Morgan, setengah berbisik padanya, “Tidak perlu sampai meminjam mobil semewah ini, Morgan.” Terlihat kedua alis Morgan terangkat tinggi sebelum kemudian menjawab, “Ahh, tidak apa-apa kok.” Kemudian mengikuti Samira masuk untuk bertemu kedua orangtuanya “Maaf menunggu lama, Tuan Philip. Saya, Morgan kekasih Samira,” ucap Morgan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Samira kaget, bukan melihat cara Morgan memperkenalkan diri ala-ala tuan muda bangsawan. Namun, gamblang menyebut ‘Tuan Philip’ barusan, ia bahkan tidak pernah menyebut nama papinya tadi. “Tidak perlu seformal itu, Morgan. Panggil saja papi dan mami,” ucap Philip tanpa mengurai tatapannya dari wajah Morgan. Philip tidak menyangkal sangat mengagumi ketampanan dan wibawa pria pilihan Samira ini. Hal sama, Silva terus saja mengamati gerak-gerik Morgan yang sopan dan penuh wibawa. Tidak menyangka Samira ternyata memiliki kekasih setampan dan berwibawa seperti ini. Sementara tante Lala sampai ternganga dengan mulut terbuka. Bola matanya yang melebar, tidak lepas dari wajah Morgan sejak tiba di sana. ***“Nah, itu benar. Anggap saja kita ini sama seperti kedua orangtuamu,” ucap Silva mengulas senyum ramah di bibirnya. Dari nada suara Silva sepertinya maminya ini sangat menyukai Morgan. Diikuti anggukan kepala setuju dari Morgan. “Kamu tahu kenapa saya menyuruhmu kemari, Morgan?” Tegas Philip bertanya tanpa basa-basi Dia ingin mendengar langsung penjelasan dari Morgan dengan pengakuan Samira tadi lagi. Sekilas melirik Samira, tapi gadis cantik itu hanya terdiam. Morgan langsung paham tujuan pertanyaan Philip. Morgan menurunkan sedikit dagunya sebelum menjawab, “Benar, Pi. Saya meminta maaf atas kejadian semalam di apartemen. Saya dan Samira minum alkohol terlalu banyak, dan ..." Morgan menurunkan pandangannya dari tatapan tegas Philip. "... membuat Samira mabuk dan tidak pulang semalam. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi, Pi." Samira meremas telapak tangannya, gemuruh dadanya meningkat menunggu reaksi sang papi. Ada rasa takut kalau-kalau Philip akan marah
Samira mengerjap kedua matanya untuk menguasai rasa gugup dan kakunya. Semua perlakuan dan jawaban tiba-tiba dari Morgan membuat hatinya bergetar hebat. Tak disangkal ia sempat merasa hangat dan nyaman dengan itu. Namun, segera sadar hanya sandiwara, Samira memaksa dirinya fokus dengan tujuannya. Untuk meyakinkan Phillip, seakan mendukung kesungguhan Morgan yang ingin menikahinya, Samira mengangguk mengiyakan ucapan Morgan. Pun tidak ingin berlama-lama mendengar ocehan tante Lala yang hanya memperkeruh keadaan. Silva meneguk liurnya tidak bisa berkata apa-apa lagi, dirinya cukup malu dan tersinggung dengan ucapan Phillip tadi. Sedikit ada rasa sesal karena tidak bisa menahan diri dari hasutan adiknya sampai ikut-ikutan meremehkan Morgan. "Harusnya kamu bisa menjaga bicaramu di depan Philip, Lala!" bisik Silva menggertak giginya. "Terserah kamu percaya padaku atau sama mantan suamimu itu, Silva," ketus Lala melengos pergi. Silva tidak menjamin Philip tidak akan membah
Cepat-cepat merampas dan memasukkannya ke tas, sebelum kemudian memalingkan wajahnya yang sudah memerah menahan malu.Samira sedikit merasa lega sebab yang ia takutkan tadi tidak terjadi."Dari mana kamu mendapatkannya?" Samira bertanya seraya meremas tali tasnya."Aku menemukannya di dalam map yang kamu berikan tadi.""Harusnya kamu segera memberikannya, tidak perlu membacanya!" ujar Samira mengutuki kelalaiannya sendiri. Sampai-sampai berkas penting itu kesasar ke berkas pegawai magang.Ia sangat malu Morgan sampai tahu tentang masalah dalam keluarganya.Berkas itu akta perceraian kedua orang tuanya. Sengaja ia simpan guna membunyikannya dari sang tante yang berusaha menghasut ibunya untuk menguasai harta ayah Samira. Entah kenapa ia lupa-lupa saja menyimpannya ke brangkas pribadinya.Sialnya lagi, berkas itu malahan ia biarkan di dalam laci mejanya. Karena terlalu gugup dengan keberadaan Morgan yang tiba-tiba itu, membuatnya tidak bisa fokus saat mengeluarkan berkas dari dalam laci
Samira membuang wajah ke samping, menghela napas sebelum kemudian menjawab, "Nggak, aku melakukan itu untuk keperluan diriku ke depannya, Mam." Sejak awal Samira juga tidak menyukai istri muda ayahnya itu. Ia selalu berharap kedua orang tuanya bisa rujuk kembali. Namun, sepertinya ayahnya tidak ingin kembali kepada Silva. "Oiya? Jadi yang kamu anggap orang tuamu itu hanya Philip, Samira? Oke, sekarang terserah kamu mau menikah dengan pegawai magang itu, tapi ..." Silva sengaja menggantung ucapannya, melirik Philip dengan dagu terangkat angkuh. "Setelah kamu menikah, rumah ini jadi milikku!" lanjut Silva tanpa mengurai tatapannya dari wajah Philip. Kemudian kembali mendekatkan bibirnya ke telinga Samira, Silva berbicara pelan hingga hanya dia dan Samira yang bisa mendengarnya. "Berikan padaku akta perceraian kami, Samira! Aku tahu kamu yang mengambilnya!" "Aku tidak mengambilnya, Mam!" bohong Samira ketus. Wajah Silva memerah, dia tahu Samira berbohong. "Segera bawa bara
"Apa kamu sudah gila, Morgan?""Ini sudah keputusanku, Kek. Jadi setelah pernikahan ini aku terbebas dari semua hukuman Kakek!" tegas Morgan berjalan mondar-mandir di kamarnya.Namun, pria di seberang telepon tidak setuju pernikahan Morgan tanpa kehadirannya. "Minggu depan aku usahakan pulang. Undur saja pernikahanmu ke minggu depan.""Tidak bisa. Pernikahan ini harus segera dilangsungkan, Kek. Ini sudah kesepakatan ku dengan keluarga calon istriku!""Sialan! Bagaimana kamu menikah tanpa dihadiri oleh keluargamu? Sedangkan ayah dan ibumu juga masih di luar negeri! Mungkin minggu depan mereka bisa pulang."Morgan mendesahkan rasa kesalnya. Dia memang sengaja menutupi rahasia pernikahan kontraknya ini dari keluarganya.Karena tujuan pernikahan ini juga hanya agar bisa terbebas dari hukuman sang Kakek, dan ingin merebut kembali kursi kekuasaannya."Maafkan aku, Kek. Tapi aku sudah tidak bisa menunda pernikahan ini.""Arghh! Mau ditaruh di mana wajah dan nama baik keluarga besar kita, Mo
Samira gugup dan kaku. Ia jadi bingung sendiri harus bersikap bagaimana. Keluarganya sangat dekat dengan Morgan namun Morgan seolah menutup-nutupi keluarganya dari Samira. Tapi ia tidak punya keberanian menanyakannya. Agaknya Morgan mengetahui rasa ketidaknyamanannya itu, kemudian berkata kepadanya "Maaf, aku tidak bermaksud berkata seperti tadi. Tapi seperti kesepakatan kita sebelumnya, kalau hubungan ini hanya untuk kepentingan misi kita masing-masing. Jadi, tidak perlu terlalu melibatkan keluarga." Samira mengangguk setuju. Harusnya ia tidak perlu bertanya hal-hal diluar kontrak. Atau, mungkin saja Morgan sengaja melakukan itu karena kondisi keluarganya yang miskin. "Apa kita juga tidur satu kamar?"tanya Samira menunjuk ke arah kamar yang cuma ada satu di sana. Morgan yang tengah berjalan menuju wastafel segera berbalik badan. Entah mengapa sang Kakek malah memberikan apartemen kelas ekonomi itu kepadanya. Harusnya dia bisa memilih tinggal di kelas VIP saja yang ada beber
Samira menaikkan salah satu alisnya. Alih-alih mentraktir Rosa makan, melihat wajahnya saja ia sudah kesal."Iya, tapi waktunya sudah habis!" ucap Samira asal.Melihat Samira cuek dan bersiap-siap pergi, Rosa menghampiri Morgan ke mobilnya."Morgan, apa tawaranmu tadi masih berlaku?" tanya Rosa dengan raut wajahnya memelas."Tanya saja Samira. Dia yang ingin mentraktir kalian tadi." Dingin Morgan menjawab."T-tapi Samira sudah pergi. Apa aku boleh ikut denganmu saja?" Rosa menurunkan harga dirinya di depan Morgan. Jiwa genitnya berkelebar melihat ketampanan Morgan."Tidak bisa! Aku takut kamu alergi jika dekat-dekat dengan pria miskin sepertiku!" Morgan mendorong Rosa yang menghalangi jalannya. Morgan mengekori mobil Samira hingga tiba di apartemen."Kamu baik-baik saja, Samira? ulang Morgan menanyakan keadaan Samira. "Aku baik-baik saja. Oiya lain kali tidak perlu datang-datang ke rumah mamiku dengan alasan apapun. Kamu juga tahu hubungan kita hanya sebatas kontrak saja," sahut Sam
Sesaat Samira terpaku. Tangannya meremas sisi map di pelukannya. Pikirnya, mungkin pak Baroto menghukum Morgan karena terlambat masuk kantor. Tapi seharusnya hal seperti itu tidak mesti dilakukan oleh direksi langsung. Biasanya cukup menurunkan perintah ke HRD atau kepala staf karyawan, seperti yang biasa melakukan tugas seperti itu.Atau ... kedua mata Samira terbelalak, pak Baroto sudah tahu pernikahan mereka! Samira merasakan dadanya bergemuruh hebat, tubuhnya bergetar hanya membayangkannya.Tidak terbayangkan jika sampai pernikahan kontrak mereka terbongkar. Ia pasti jadi bulan-bulanan para karyawan, yang mau-mau saja menikah dengan pegawai magang, alih-alih baru hitungan hari bekerja di kantor.Disaat pikirannya berkelebar, seseorang dari belakang menepuk pundaknya dan mengagetkannya."Kenapa ibu Samira malah bengong di sini?" tanya Mariam dengan dahi mengernyit kebingungan."Pak Baroto masih ada tamu didalam," jawab Samira segera menguasai rasa kagetnya."Maaf, tapi saya minta