Share

Pacar Pura-pura

Seolah sudah menemukan jawaban di depan matanya, Samira menyipitkan mata.

Tadi pagi ia meninggalkan uang untuk Morgan, dan sekarang mengetahuinya cuma pegawai magang, tentu pria ini sangat membutuhkan uang tambahan.

Tanpa basa-basi Samira bertanya, “Kamu punya kesibukan malam nanti?”

Morgan yang tengah sibuk merapikan isi mejanya mendongak kaget, mendengar pertanyaan janggal dari atasannya.

Dahinya tampak mengkerut bingung dengan tujuan pertanyaan Samira. Namun, hanya menjawab, “Ahh ... saya tidak ke mana-mana, Bu.”

“Saya punya tugas khusus untukmu!”

Lagi-lagi Morgan dibuat kaget sampai aktivitas tangannya terhenti, kembali menaikkan tatapannya. Seolah-olah tidak diberi opsi lain, Morgan cuma bisa mengangguk.

Samira sampai terperanjat. Tidak menyangka semudah itu menaklukkan pegawai magang itu. Pantas saja semalam begitu mudah menariknya masuk ke kamar.

Samira merapikan ujung lengan seragamnya. Di bibirnya tersungging senyum kecil.

Mengesampingkan rasa malu demi bisa menepati janjinya malam ini, ia tak sungkan membuat penawaran gila, “Kamu mau jadi kekasih saya?”

“Apa? Maksud Anda, saya menjadi pacar Anda?” Kaget dan gugup Morgan bertanya, matanya melotot tidak percaya mendengar tawaran ini dari atasannya.

“Hanya berpura-pura menjadi pacar saya semalam!"

Samira mempermainkan ujung kuku jari tangannya yang panjang sebelum kembali melanjutkan ucapannya, "Anggap saja sebagai ganti kamu tidak memiliki pengalaman kerja.”

Samira mengutuki dirinya. Tidak ada hubungan rencananya ini dengan pengalaman kerja Morgan. Namun, tidak ada cara lain yang bisa memuluskan rencananya membujuk Morgan.

“Tapi saya sudah mengatakan itu kepada pak Baroto, ibu Samira.”

“Sudah kebiasaan saya tidak bisa membimbing pegawai magang yang tidak memiliki pengalaman. Atau, mungkin kamu bisa berhubungan langsung dengan pak Baroto saja. Jadi, kamu boleh mengabaikan tawaran saya ini.”

Mendengar nama pak Baroto, Morgan sedikit memiringkan kepalanya ke sisi kanan. Dahinya tampak mengkerut seakan memikirkan sesuatu yang rumit. Namun, lagi-lagi hanya mengangguk.

Samira menenggak liur kesulitan, menekan rasa sakit hatinya. Sadar, dirinya memang tidak laku. Harusnya ia menerima takdir itu dengan lapang dada. Tidak perlu memberikan kesuciannya kepada pria ini.

“Apa yang harus saya lakukan untuk Anda?” Tenang Morgan bertanya.

Sekarang Samira bingung menyuruh Morgan akan melakukan apa, ia sendiripun tidak pernah berpacaran.

Tapi tak ingin terlihat payah di depan Morgan, Samira berkata, “Kamu tentu sudah punya pacar, jadi perlakukan saya seperti kamu memperlakukan pacar kamu nanti malam.”

“Tapi ... saya tidak pernah pacaran.”

Tidak mungkin!

Samira menggertak geraham kesal. Jelas pegawai magang ini sudah berbohong dan mencari-cari alasan menolaknya.

“Ahh ... saya tak perlu tahu itu! Kamu cukup memperlakukan saya layaknya kita pasangan kekasih.” Samira melipat kedua tangannya kemudian meletakkannya di atas meja.

“Di depan kedua orangtua saya nanti, panggil ‘aku kamu’ saja, atau sesekali panggil ‘sayang’ juga boleh. Lalu, kamu harus mengaku-ngaku tinggal di apartemen, dan semalam kita melewatkan malam dengan minum sampai mabuk di apartemen kamu. Untuk merayakan hari jadi kita yang ke satu tahun, paham!” jelas Samira.

Morgan menatap intens wajah cantik Samira. Keningnya kembali mengkerut, sesaat menghela napas berat sebelum menjawab, “Iya. Jadi, saya datang ke ---“

“Tidak perlu! Berikan saja alamat rumahmu nanti saya jemput ke sana,” potong Samira tidak mau Morgan datang dengan mengendarai sepeda motor atau mobil yang biasa-biasa saja.

Mau ditaruh di mana mukanya nanti. Bisa-bisa maminya mengejeknya memiliki pacar miskin, dan papinya tidak percaya.

“Komplek Anggrek blok 7.”

Samira sampai mengerutkan kening mendengar alamat rumah Morgan. Tahu, komplek itu dihuni para orang kaya raya, salah satunya pak Baroto. Namun, tidak ada waktunya lagi bertanya soal itu.

“Jam tujuh saya jemput. Ini ada sedikit uang untuk belanja pakaian kamu. Maksud saya bukan tidak menyukai penampilan kamu sekarang, tapi ... kamu sudah tahu maksudku,” ujar Samira meletakkan setumpuk uang dan menggesernya ke depan Morgan.

“Satu lagi, jika mami dan papi bertanya soal kendaraan, kamu bisa mencari alasan, di bengkel atau dipakai saudara kamu, ya!”

Morgan mengangguk kecil. “Baik, ini nomor W******p saya.”

***

"Kamu yakin Samira punya pacar, Silva?" tanya Lala, adik ibu Samira, melirik Samira yang tengah siap-siap keluar. "Aku takut, jangan-jangan ia mau melarikan diri!" hasut Lala menaikkan satu sudut bibirnya.

Mendengarnya, Samira membuang wajahnya ke samping. Entah mengapa ibunya selalu mengikutkan tante Lala.

Setuju dengan Lala, melihatnya hendak keluar Silva langsung berujar, “Suruh saja kekasihmu yang datang kemari, Samira! Tidak perlu menjemputnya!"

“Benar itu, Silva. Biasakan punya harga diri!” Tante Lala kembali bersuara.

Samira meredam rasa kesalnya dengan tidak menyahuti. Ia mengabaikan ocehan tante Lala dengan pura-pura sibuk menatap layar ponselnya.

Namun ... ucapan Silva itu segera diiyakan oleh Philip yang baru tiba di sana dan mendengar.

“Itu benar, Samira. Tidak baik terlalu menunjukkan rasa cintamu kepada pria,” nasehat Philip membuat Samira hanya bisa menelan liur.

Samira urung keluar. Ucapan Philip adalah perintah untuknya. Kembali meletakkan kunci mobil di atas meja. Kemudian menghenyakkan duduknya bersisian dengan Philip.

Hatinya tidak tenang sekarang, takut Morgan datang dengan mengendarai sepeda motor.

Harap-harap dia tidak lupa belanja agar penampilannya lebih berkelas.

Takut-takut, setengah berbisik Samira berkata, “Pi, tapi Morgan menelepon tadi, katanya mobilnya di pakai saudaranya.”

“Tenang saja. Kalau dia benar-benar mencintaimu, dia akan cari cara tiba di sini tepat waktu!” tegas Philip.

Samira tidak berdaya membantah cuma terdiam bisu. Cepat-cepat mengirimkan pesan ke Morgan segera menyuruhnya datang.

Beberapa menit kemudian. Morgan tiba di sana dengan mengendarai mobil. Penampilannya juga sangat rapi, dia terlihat sangat tampan layaknya tuan muda kaya. Dengan penampilannya seperti ini, mami dan papinya tidak akan curiga kalau Morgan cuma bawahannya.

Melihatnya, rasa khawatir Samira segera hilang. Di sisi lain sempat kaget melihat mobil mewah Morgan. Namun ... bisa saja Morgan meminjam mobil temannya.

Samira berjalan menghampiri Morgan, setengah berbisik padanya, “Tidak perlu sampai meminjam mobil semewah ini, Morgan.”

Terlihat kedua alis Morgan terangkat tinggi sebelum kemudian menjawab, “Ahh, tidak apa-apa kok.”

Kemudian mengikuti Samira masuk untuk bertemu kedua orangtuanya

“Maaf menunggu lama, Tuan Philip. Saya, Morgan kekasih Samira,” ucap Morgan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.

Samira kaget, bukan melihat cara Morgan memperkenalkan diri ala-ala tuan muda bangsawan. Namun, gamblang menyebut ‘Tuan Philip’ barusan, ia bahkan tidak pernah menyebut nama papinya tadi.

“Tidak perlu seformal itu, Morgan. Panggil saja papi dan mami,” ucap Philip tanpa mengurai tatapannya dari wajah Morgan.

Philip tidak menyangkal sangat mengagumi ketampanan dan wibawa pria pilihan Samira ini.

Hal sama, Silva terus saja mengamati gerak-gerik Morgan yang sopan dan penuh wibawa. Tidak menyangka Samira ternyata memiliki kekasih setampan dan berwibawa seperti ini.

Sementara tante Lala sampai ternganga dengan mulut terbuka. Bola matanya yang melebar, tidak lepas dari wajah Morgan sejak tiba di sana.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status