Di dalam kamarnya. Jarum jam dinding sudah di angka sebelas namun tanda-tanda kepulangan Morgan dari rumah kakeknya belum juga terlihat. Samira masih terus menunggunya. Ia tidak ingin menunda-nunda niatnya membicarakan ini secepat-cepatnya dengan Morgan. Iapun sudah memikirkan semua yang harus ia katakan kepada Morgan. Ia juga sudah memikirkan jawaban dan alasan semisal Morgan bertanya tentang keputusannya itu nanti. Namun, sampai ia tertidur tanda-tanda kepulangan Morgan tidak kunjung terdengar. Dalam lelahnya akhirnya Samira tertidur pulas. Alarm ponsel membangunkan Samira. Pikirannya masih jernih mengingat dirinya tengah menunggu-nunggu Morgan yang tak kunjung pulang. Samira keluar kamar menuju ruang tamu. "Kemana dia? Apa dia tidak pulang semalam?" tanyanya kepada seisi ruang tamu. Samira hanya bisa mendesahkan rasa kecewanya yang mendalam. Ia memutuskan sedikit waktu lagi duduk menunggunya di ruang tamu. Namun, hingga jam tujuh pagi Morgan tak kunjung juga pulang. H
"Samira, saya mencari mu," kata pak Baroto sesaat setelah melihatnya.Samira menyembunyikan ponselnya dibalik tumpukan map yang ia peluk. Takut kalau pak Baroto sampai tahu ia mengabaikan panggilan telepon sang atasannya itu. "Saya baru dari ruangan Morgan untuk mengambil berkas laporan kerjanya, Pak." Samira berdalih. Untungnya ia membawa tumpukan map tadi. "Iya, tidak apa-apa. Kamu selesaikan dulu pekerjaanmu, setelahnya segera ke ruangan saya ya." Pak Baroto beranjak pergi.Dahi Samira mengkerut kebingungan. Belakangan pak Baroto sudah seringkali mendatanginya ke ruangannya. Lebih membingungkannya, pak Baroto tidak pernah marah atau menegurnya, jika membuat alasan dengan membawa nama Morgan.Apa pak Baroto sudah tahu ia memiliki hubungan dengan Morgan?Tapi ...Jika pak Baroto tahu tentu tidak akan menjodoh-jodohkan dirinya dengan cucunya.Samira meletakkan map di atas meja. Setelah merapikan diri, ia keluar untuk menemui pak Baroto."Apa pekerjaanmu sudah selesai?" Pak Baroto t
"Sudah lama saya ingin mengatakan ini kepadamu, Samira. Namun, karena kesibukan pekerjaan maka sekarang saya baru sempat mengatakannya."Samira mempererat pegangannya pada sisi pintu, sesaat mengumpulkan kekuatannya untuk menjawab. "Terimakasih, tapi saya tidak berhak merebut kebahagiaan orang lain.""Itu benar. Tapi, tidak ada yang tidak mungkin asal kamu mau saja."Jawaban apa itu? Benar-benar tidak punya hati! Seandai ia mau, apa pak Baroto tidak berpikir rasa sakit menantu cucunya itu? Samira kesulitan menguasai getaran tubuhnya. Namun, mau tak mau ia harus segera berlalu dari sana. Sebelum semua pengakuan pak Baroto melumpuhkan semua kekuatan tubuhnya.Setengah menyeret kedua kakinya, Samira melanjutkan langkahnya kembali ke ruangannya. Gemuruh dadanya meningkat, dahinya berkeringat dingin, dan telapak tangannya mengepal kaku.Selama ini hubungannya dengan pak Baroto memang sangat baik dalam pekerjaan. Samira juga merasa nyaman selama menjadi bawahannya. Tapi ia tidak menyan
"Aku tidak mengatakan seperti itu." Morgan menggeser posisi duduknya menghadap ke depan. Matanya lurus menatap dinding yang cuma berjarak beberapa centimeter di depannya."Apa itu yang kamu inginkan, Samira?"Kenapa dia bertanya seperti itu? Apa dia tidak bisa merasa getaran suaraku yang penuh kekhawatiran?"Aku juga tidak mengatakan seperti itu." Samira menekan beban berat pikirannya dengan menjawab tenang. Andai mereka pasangan resmi, ia sudah menumpahkan beban pikirannya ini kepada Morgan. Tidak perlu menjaga-jaga rahasia dalam ketakutan dan keputusasaannya.Yang ia lakukan hanya bermanja-manja di pelukannya, namun ...Beberapa lama hanya terjadi keheningan di dalam kamar. Keduanya membungkam seolah sibuk dengan pikiran masing-masing. Tampak satu sama lain sungkan untuk mengutarakan isi hati yang menghimpit. "Apa yang ingin kamu sampaikan tadi?" Samira bertanya dengan tatapan kosong ke depan. "Kakek memintaku ..."Morgan kembali menggantung ucapannya. Dia tidak sanggup harus m
Melihat dirinya datang dengan wajah yang tampak sangat ceria, seolah tidak ada masalah mereka di hari-hari lalu. Silva, sang mama benar-benar kaget dengan kedatangannya tersebut.Begitu juga dengan tante Lala dan Rosa. Ketiganya sampai ternganga melihat dirinya begitu santai dan hangat menyapa mereka. Padahal, sejak masalah hari itu mereka yakin kalau Samira sudah jera datang ke rumah itu.Atau, mungkin Morgan yang tidak mengizinkan Samira lagi datang ke sana. "Ini ada kue untuk, Mami," ucap Samira melintas dari depan Silva, kemudian meletakkan paper bag di atas meja ruang tamu. Lelah sebab tenaga terkuras dan pikirannya dihantam beban berat belakangan ini, Samira menjatuhkan tubuhnya di atas sofa panjang. Beberapa detik Silva cuma ternganga. Kemudian kepalanya celingukan keluar seperti mencari-cari seseorang yang datang bersama Samira.Silva menghela nafas lega setelah yang ditakutkannya tidak terjadi. Dia takut kalau Samira mengadukan masalah waktu itu ke Philip, lalu mantan sua
“Lakukan tanpa ragu! Aku akan membayarmu!” Dalam keadaan mabuk, Samira tengah mengalungkan tangannya pada seorang pria misterius yang memapahnya. Tubuh Samira tidak berhenti menggelinjang bak cacing kepanasan di musim kemarau, sebab perpaduan alkohol dan gairahnya yang membuncah. Sebelumnya, Samira pergi ke sebuah bar karena kepalanya begitu pusing dengan masalah yang menerpanya. Bagaimana tidak, Samira, meski usianya sudah 34 tahun, cantik, dan memiliki kedudukan bagus di salah satu kantor besar, ia belum juga memiliki pasangan. Belum lagi ia harus selalu mendapatkan cercaan dari sang ibu dan keluarga besarnya, yang selalu mengatai dirinya perawan tua dan tidak laku. Samira ingin membuktikan bahwa dirinya bisa menarik perhatian pria. “Aku lelah selalu dicela perawan tua!” racau Samira. Sesaat tatapannya terpaku pada bola mata gelap, di bawah alis tebal sang pria yang tak henti menggeram penuh damba. Kini matanya terpejam rapat, menikmati gairah liar pria itu
“K-kamu?” Samira mati-matian menguasai dirinya. Ia tidak mungkin salah mengenali pria ini namun anehnya pria itu seakan tidak mengenalinya. Atau ... hanya berpura-pura? Mengingat semalam dirinya tidak menutupi sedikitpun wajahnya dari pria ini. Sadar sekarang ia ada di kantor dan tengah melakukan tugas dari sang Bos. Samira memperbaiki sikapnya. “Ahh ... maaf membuat anda menunggu,” ucap Samira menenggak liur kesulitan, lantas menguasai rasa gugup dan kakunya. Cepat-cepat duduk di kursi kebesaran pak Baroto. Wajahnya terasa panas dan memerah sekarang. Samira menggeleng-gelengkan kepala guna memfokuskan pikirannya. Kepalanya yang masih pusing dan berdenyut-denyut membuatnya jadi kesulitan fokus. Sesaat sibuk memperhatikan berkas-berkas yang sudah bolak-balik ia periksa tadi. Kemudian menatap sang pria yang lantas berdiri, dan cepat-cepat mengulurkan tangan hendak berjabat tangan dengannya. “Saya Morgan Francois, dengan ibu ...” Morgan sengaja menggantung ucapannya.
Seolah sudah menemukan jawaban di depan matanya, Samira menyipitkan mata.Tadi pagi ia meninggalkan uang untuk Morgan, dan sekarang mengetahuinya cuma pegawai magang, tentu pria ini sangat membutuhkan uang tambahan.Tanpa basa-basi Samira bertanya, “Kamu punya kesibukan malam nanti?”Morgan yang tengah sibuk merapikan isi mejanya mendongak kaget, mendengar pertanyaan janggal dari atasannya.Dahinya tampak mengkerut bingung dengan tujuan pertanyaan Samira. Namun, hanya menjawab, “Ahh ... saya tidak ke mana-mana, Bu.” “Saya punya tugas khusus untukmu!” Lagi-lagi Morgan dibuat kaget sampai aktivitas tangannya terhenti, kembali menaikkan tatapannya. Seolah-olah tidak diberi opsi lain, Morgan cuma bisa mengangguk.Samira sampai terperanjat. Tidak menyangka semudah itu menaklukkan pegawai magang itu. Pantas saja semalam begitu mudah menariknya masuk ke kamar.Samira merapikan ujung lengan seragamnya. Di bibirnya tersungging senyum kecil. Mengesampingkan rasa malu demi bisa menepati jan