Terkatup rapat. Namun, sedetik kemudian bolamatanya bergerak kecil saat dengan sengaja mentari memberikan sedikit sinarnya mengenai mata cantik itu. Bergerak Resah, rasa kantuk yang masih menyerangnnya membuat Rania seolah enggan untuk bangun dari tidurnya. Rania kembali terlelap. Dia tak berkeinginan untuk bangun sama sekali. Telah kembali menemukan kenyamanan dalam tidurnya, namun lagi-lagi dengan sengaja matahari memberikan sinarnya dan hal itu sukses membuat Rania terusik Membuka kedua matanya berat. Pemandangan yang dia temukan--adalah langit-langit kamar yang terasa asing untuknya. Nyawa itu telah kembali terkumpul--Rania menyadari di mana dia kini. Dirinya bukan berada di kamar miliknya. Ingin bangun dari tidurnya, tersentak saat tak menemukan tubuhnya tak berbalut apa pun. Ingatan itu kembali dia hantarkan pada kejadian semalam, Rania membekap mulutnya kuat-kuat saat hampir saja dia menjerit-karena shyok menyadari dirinya dan Devan yang telah bercinta. "Kenapa, aku jadi
Tak ada senyuman sama sekali di wajah Rania, sedari tadi wanita itu terus memasang wajah juteknya. Bagaimana tidak, marah? Devan terus mengingatkan tahi lalat kecil yang berada di dekat area intinya. "Bisakah, kau berhenti menggodaku? Dan, apakah perlu aku ingatkan?! Kalau milikmu-itu---." Rania sengaja menggantungkan kalimatnya, saat tatapan Devan semakin menusuk padanya--pria itu seolah tengah melemparkan ancaman bagi Rania. Namun, justru hal itu merupakan kebahagiaan bagi Rania. Dia merasa menang dari pria itu. "Dan, aku rasa-aku tidak perlu mengatakannya lagi!" ujar Rania, dengan senyuman yang membungkus--berusaha menahan tawa yang hampir meledak. Devan menarik napasnya dalam, dan membuangnya dengan pelan. Pria itu tengah membendung rasa kesalnya pada Rania. Menahan gejolak di dalamnya, dan bersuara setelah beberapa menit kemudian, "Lanjutkan makanmu!" titah Devan, seraya menatap Rania dengan sorot mata tajam. "Baiklah," sahut Rania dengan seulas senyum, dan kembali melan
Esok harinyaTidak ada salahnya melihat-lihat. Setidaknya itulah yang ada di dalam pikiran Rasty. Senyum terukir di wajah Rasty, saat menatap pakaian bayi bewarna pink."Cantik," gumam Rasty tersenyum, seraya kembali melepaskan kembali pakaian dari dalam genggamannya. Setelah puas melihat pakaian bayi-Rasty yang kini tengah menghabiskan waktunya dipusat perbelanjaan memutuskan untuk pergi ke sebuah boutique yang berjarak tak jauh.Melihat busana-busana kekinian membuat jiwa Rasty memberontak, "Aku pasti akan sangat cantik jika memakainnya nanti. Aku akan membeli setelah melahirkan," gumam Rasty tersenyum, dan melepaskan kembali pakaian berbahan sifon itu."Rasty---."Rasty sontak menolehkan wajahnya pada asal suara, dan terkejut saat mendapati keberadaan sahabatnya--Dira."Dira," gumam Rasty, dengan pandangann yang terus dia bawa pada Indira yang tengah membawa langkah kaki menuju padanya. "Sendirian, aja Ras?" tanya Dira, wanita itu membuang pandangannya ke belakang seolah tengah m
Sebuah mobil mewah memasuki area Wijaya Group. Seperti sebelumnya--Devan kembali mengulangi hal yang sama lagi. Pria itu melakukan penyamaran hanya untuk membuat Rania tak mengenal dirinya. Menurunkan kedua kakinya dari dalam mobil, topi jacket hoody yang menggelantung sedari tadi segera dia kenakan di kepala. Masih setia dengan posisinya--sepasang iris gelap Devan mengintari segalah penjuru arah, menikmati pemandangan kantor dengan udaranya yang masih sejuk. Devan menghirup udara sebanyak mungkin, suasana hatinya jauh lebih baik setelah menggantikan oksigen yang keruh. Mengedarkan pandangannya, tatapan mata Devan berhenti--saat mendapati sang istri sedang melakukan tugasnya. Rania sedang menyapu halaman bersama salahsatu rekan wanita nya. Rasa bersalah seketika menghampiri Devan, kalau saja dia jujur--Rania pasti tidak harus cape-cape bekerja. "Tuan. Ayo, kita masuk!" ujar Deni tiba-tiba, dengan setengah berbisik. Suara dari Deni kembali menyadarkan Devan akan tujuan kedatangan
Devan terkekeh pelan--ucapan sang kakek menggelitik untuknya sebab itu sangat jauh dari kenyataan yang ada. Setelah sekian detik dirinya mengabaikan apa yang sang kakek ucapkan Devan akhirnya kembali bersuara, "He-he-he, aku hanya meminta apa yang menjadi haknya." Rendah, terkesan datar-namun menusuk, dan mampu melunturkan senyuman di wajah kakek Darma. Airmuka kakek Darma mendadak kaku. Sorot matanya tajam, seolah tengah mencari rasa penasaran yang seketika timbul, "Hak? Apa maksud, mu?!" tanya kakek Darma, ucapan Devan mampu menyalahkan emosi di dalam diri. Nada suara kakek Darma telah meninggi dari sebelumnya. Devan tak langsung menyambut pertanyaan yang kakek Darma layangkan. Airmuka itu tak lagi sama. Berat, sesekali pria itu terlihat ragu menatap kakek Darma yang menatapnya dengan resah. "Dion, adalah anak dari Marlina!" Devan bersuara dengan datar, berat mengatakan namun dia harus mengatakan kenyataan itu. Kian menegang wajah kakek Darma. Ucapan Devan yang diluar nalar.
Rania menghembuskan napas leganya---bersyukur sebab pewaris dari Wijaya Group mau mempercayai dirinya, dan tentunya dia tidak jadi kehilangan pekerjaan. Berbalik menatap Devan--dengan posisi sedikit berjarak. Tak tahan menahan rasa haru yang sudah membuncahdi dalam diri, membuat airmata Rania terlebih dahulu menetes saat dia akan bersuara, "Terima kasih, Pak--Terima kasih. Terima kasih karena sudah mempercayai saya, dan tidak memecat saya," imbuh Rania, tersenyum dengan airmata yang terus saja jatuh. Hujan airmata Rania--bak ribuan anak panah yang sengaja ditancapkan di dada Devan. Rasanya begitu sakit, Devan merasa dirinya gagal menjadi seorang suami. Bahkan hari ini istrinya dipermalukan di depan orang--dan bersyukur dia datang tepat waktu. Tak sanggup lagi Devan bertahan, airmata Rania membuatnya benar-benar lemah. Tanpa sadar, pria itu membawa langkah kakinya menuju Rania. "Tuan--." Deni bersuara, berniat menyadarkan Tuannya--kalau dia tidak boleh melakukan hal itu--namun hal i
Masih jelas dalam ingatan Rania--walaupun pertemuan itu hanya sebentar saja bagaimana suara cucu dari Darma Wijaya. Pria itu mengatakan sebuah kalimat yang sama, dan itu terekam dengan jelas dalam ingatan seorang Rania. Lembut, dan berserak persis dengan suara suaminya. Rania ingin menolak untuk mempercayainya--namun suara-suara yang mengatakan kalau Devan--suaminya adalah cucu dari seorang Darma Wijaya, mendengung begitu kuat--namun diri itu masih berusaha untuk tidak mempercayainya. "Nggak mungkin. Nggak mungkin Devan suamiku, adalah cucu dari Darma Wijaya!" gerutu Rania dalam hati, menolak untuk mempercayainya. Namun, mengilas balik keanehan-keanehan yang dia temukan dalam diri Devan selama ini, membuat raut wajah itu kembali bimbang. Uang dua puluh juta. Berbagai makanan enak. Dan, juga apartemen mewah yang mereka tempati saat ini. Semua fakta itu kembali membuat Rania dilema, apakah benar-benar adalah pewaris dari Wijaya Group? Cucu dari Darma Wijaya. Membeo, Rania nampa
Tautan alis kakek Darma menekuk dengan sempurna, sorot mata itu lebih tajam dan dalam menatap sebuah gambar pada layar ponsel anak buahnya. "Siapa wanita ini?" tanya kakek Darma, mendongak menatap anak buahnya yang kini berdiri di depannya. "Dia adalah OG dari Wijaya Group, Tuan. Anda bisa melihat dari pakaian yang dia kenakan," sahut pria berbaju hitam itu dengan nada suaranya yang rendah. Dahi kakek Darma berkerut samar, bahkan kerutan itu menumpuk dengan sangat sempurna--saat rasa terkejut seketika datang dalam diri lelaki tua itu. Mencoba memperbesar tampilan layarnya, dan benar saja kemeja yang digunakan oleh wanita itu sangat tidak asing untuknya."Anak ini benar-benar memalukan! Bahkan gara-gara foto ini membuat orang memuat sebuah berita omong kosong, kalau cucu seorang Darma Wijaya saat ini tengah menjalin hubungan dengan seorang OG. Memalukan!" geram kakek Darma, wajahnya mengeras amarah nyata terlihat di sana. Nada dering yang berasal dari gawainya mengalihkan pandanga