Devan berpaling. Tamparan keras yang Dion--berikan membuat wajahnya menoleh, terasa kaku dan juga kebas. Amarah telah memenuhi wajahnya. Rahangnya mengeras, giginya gemerlatuk--menahan emosi yang benar-benar telah membakar di dalam dirinya. Namun, Devan berusaha untuk membendung amarah--dan mengerti dengan keadaan Dion saat ini. Menyeringai, sorot mata Devan laksana pisau yang baru saja di asa. Sekian lama membiarkan keheningan melanda, dengan suasana yang begitu tegang, Devan akhirnya bersuara. "Aku akan mengembalikkan apa yang telah kakekku ambil!" Devan dingin Devan bersuara, berusaha menunjukkan sikap biasanya walaupun saat ini dadanya tengah bergejolak. Seringai rendah tercetak sempurna disudut bibir Dion--rahangnya mengeras, amarah itu semakin terlihat nyata di wajahnya pria itu, "Anda memang kehilangan kedua orangtua anda, namun anda tidak pernah merasakan penderitaan seperti yang saya dan adik saya lewati. Tidur di jalanan, menahan lapar, bahkan--." Dion menjeda ucapanny
"Mama serius? Mama pergi mencari Rania--dan orang-orang mengatakan kalau dia dan suaminya, sudah tidak tinggal di sana lagi?!" Rasty sangat terkejut setelah mendengar kalau sang Bunda pergi mencari Rania, namun lebih kaget lagi saat mengetahui kalau Rania ternyata sudah tidak tinggal lagi dikontrakkan lamanya. "Iya," sahut Mama Anita dengan masih memasang wajah juteknya, mengingat tujuan kedatangannya ke sana untuk memberikan pelajaran pada anak angkatnya itu--namun justru dirinya di sambut dengan kekecewaan. "Terus, ada yang tahu kalau mereka tinggal di mana?" tanya Rasty, setelah sepersekian detik. "Nggak. Atau, mungkin--." Mama Anita menjeda ucapannya, berbalik menatap Rasty dengan tatapan yang tak biasa--di mana kini wanita itu kini menatap ibunya dengan tatapan penasaran. "Atau, mungkin apa, Maa?!" tanya Rasty menuntut, wanita yang kandungannya telah memasuki usia 7 bulan itu menatap sang Bunda dengan raut wajah tidak sabaran. "Atau mungkin, karena mereka nggak sanggup bay
Ini-gila! Rania sama sekali tidak menyangkah kalau dirinya akan melakukan hal gila-itu, dan dalam dirinya Rania menyesali perbuatannya sendiri--gadis itu merutuki dirinya habis-habisan. Menundukkan--wajah itu sedalam mungkin, Rania tak berani menatap Devan. Rasanya dia ingin meminta pada Tuhan, agar diberikan kantong ajaib doraemon agar dia bisa menghilang sekarang juga. "Kenapa, aku mengecupnya? Kenapa, aku jadi segenit ini? Dia memang suamiku, tapi bukan kami menikah--tanpa cinta? Pasti saat ini Devan menganggap aku sebagai wanita murahan," gerutu Rania dalam hati. Rania masih setia menundukkan wajahnya, berharap Devan segera pergi dari depannya saat ini juga. Namun, walaupun setelah sekian detik lamanya keinginan itu tak kunjung terkabul. Larut dalam apa yang menjadi beban pikirannya, Rania dibuat kaget saat tiba-tiba saja tengkuknya tertarik. Rania mematung, dengan bolamata membulat penuh--bagai berada didimensi yang lain saat Devan menciumnya tiba-tiba. Rania tak melakukan ap
Terkatup rapat. Namun, sedetik kemudian bolamatanya bergerak kecil saat dengan sengaja mentari memberikan sedikit sinarnya mengenai mata cantik itu. Bergerak Resah, rasa kantuk yang masih menyerangnnya membuat Rania seolah enggan untuk bangun dari tidurnya. Rania kembali terlelap. Dia tak berkeinginan untuk bangun sama sekali. Telah kembali menemukan kenyamanan dalam tidurnya, namun lagi-lagi dengan sengaja matahari memberikan sinarnya dan hal itu sukses membuat Rania terusik Membuka kedua matanya berat. Pemandangan yang dia temukan--adalah langit-langit kamar yang terasa asing untuknya. Nyawa itu telah kembali terkumpul--Rania menyadari di mana dia kini. Dirinya bukan berada di kamar miliknya. Ingin bangun dari tidurnya, tersentak saat tak menemukan tubuhnya tak berbalut apa pun. Ingatan itu kembali dia hantarkan pada kejadian semalam, Rania membekap mulutnya kuat-kuat saat hampir saja dia menjerit-karena shyok menyadari dirinya dan Devan yang telah bercinta. "Kenapa, aku jadi
Tak ada senyuman sama sekali di wajah Rania, sedari tadi wanita itu terus memasang wajah juteknya. Bagaimana tidak, marah? Devan terus mengingatkan tahi lalat kecil yang berada di dekat area intinya. "Bisakah, kau berhenti menggodaku? Dan, apakah perlu aku ingatkan?! Kalau milikmu-itu---." Rania sengaja menggantungkan kalimatnya, saat tatapan Devan semakin menusuk padanya--pria itu seolah tengah melemparkan ancaman bagi Rania. Namun, justru hal itu merupakan kebahagiaan bagi Rania. Dia merasa menang dari pria itu. "Dan, aku rasa-aku tidak perlu mengatakannya lagi!" ujar Rania, dengan senyuman yang membungkus--berusaha menahan tawa yang hampir meledak. Devan menarik napasnya dalam, dan membuangnya dengan pelan. Pria itu tengah membendung rasa kesalnya pada Rania. Menahan gejolak di dalamnya, dan bersuara setelah beberapa menit kemudian, "Lanjutkan makanmu!" titah Devan, seraya menatap Rania dengan sorot mata tajam. "Baiklah," sahut Rania dengan seulas senyum, dan kembali melan
Esok harinyaTidak ada salahnya melihat-lihat. Setidaknya itulah yang ada di dalam pikiran Rasty. Senyum terukir di wajah Rasty, saat menatap pakaian bayi bewarna pink."Cantik," gumam Rasty tersenyum, seraya kembali melepaskan kembali pakaian dari dalam genggamannya. Setelah puas melihat pakaian bayi-Rasty yang kini tengah menghabiskan waktunya dipusat perbelanjaan memutuskan untuk pergi ke sebuah boutique yang berjarak tak jauh.Melihat busana-busana kekinian membuat jiwa Rasty memberontak, "Aku pasti akan sangat cantik jika memakainnya nanti. Aku akan membeli setelah melahirkan," gumam Rasty tersenyum, dan melepaskan kembali pakaian berbahan sifon itu."Rasty---."Rasty sontak menolehkan wajahnya pada asal suara, dan terkejut saat mendapati keberadaan sahabatnya--Dira."Dira," gumam Rasty, dengan pandangann yang terus dia bawa pada Indira yang tengah membawa langkah kaki menuju padanya. "Sendirian, aja Ras?" tanya Dira, wanita itu membuang pandangannya ke belakang seolah tengah m
Sebuah mobil mewah memasuki area Wijaya Group. Seperti sebelumnya--Devan kembali mengulangi hal yang sama lagi. Pria itu melakukan penyamaran hanya untuk membuat Rania tak mengenal dirinya. Menurunkan kedua kakinya dari dalam mobil, topi jacket hoody yang menggelantung sedari tadi segera dia kenakan di kepala. Masih setia dengan posisinya--sepasang iris gelap Devan mengintari segalah penjuru arah, menikmati pemandangan kantor dengan udaranya yang masih sejuk. Devan menghirup udara sebanyak mungkin, suasana hatinya jauh lebih baik setelah menggantikan oksigen yang keruh. Mengedarkan pandangannya, tatapan mata Devan berhenti--saat mendapati sang istri sedang melakukan tugasnya. Rania sedang menyapu halaman bersama salahsatu rekan wanita nya. Rasa bersalah seketika menghampiri Devan, kalau saja dia jujur--Rania pasti tidak harus cape-cape bekerja. "Tuan. Ayo, kita masuk!" ujar Deni tiba-tiba, dengan setengah berbisik. Suara dari Deni kembali menyadarkan Devan akan tujuan kedatangan
Devan terkekeh pelan--ucapan sang kakek menggelitik untuknya sebab itu sangat jauh dari kenyataan yang ada. Setelah sekian detik dirinya mengabaikan apa yang sang kakek ucapkan Devan akhirnya kembali bersuara, "He-he-he, aku hanya meminta apa yang menjadi haknya." Rendah, terkesan datar-namun menusuk, dan mampu melunturkan senyuman di wajah kakek Darma. Airmuka kakek Darma mendadak kaku. Sorot matanya tajam, seolah tengah mencari rasa penasaran yang seketika timbul, "Hak? Apa maksud, mu?!" tanya kakek Darma, ucapan Devan mampu menyalahkan emosi di dalam diri. Nada suara kakek Darma telah meninggi dari sebelumnya. Devan tak langsung menyambut pertanyaan yang kakek Darma layangkan. Airmuka itu tak lagi sama. Berat, sesekali pria itu terlihat ragu menatap kakek Darma yang menatapnya dengan resah. "Dion, adalah anak dari Marlina!" Devan bersuara dengan datar, berat mengatakan namun dia harus mengatakan kenyataan itu. Kian menegang wajah kakek Darma. Ucapan Devan yang diluar nalar.