-
bab 6
-
Awalnya Albi meragukan kemampuan memasak Pena, namun tanpa disangka, gadis cantik itu berhasil membuktikan dirinya. Walau galaknya dua kali lipat seperti anak lelaki, ternyata Pena masih punya sisi wanita di dalam dirinya. Tangan-tangan mungilnya itu ternyata super ajaib dalam melakukan segala sesuatu. Albi kembali teringat kalau Pena ini anak kos. Pasti ia berusaha hidup mandiri selama ini.
Albi salut sih. Pena bisa menyeimbangkan kehidupannya walau dengan hidup sendiri dalam keadaan miskin dan miris seperti ini. Sedangkan Albi sendiri, walau hidupnya kelewat mewah dan berkecukupan, tetap saja masih tidak seimbang dan banyak cobaan. Hingga membuat pemuda itu jadi liar dan mengekspresikan emosinya dengan salah.
"Kira-kira gue cocok jadi chef gak?" tanya Pena agak berharap untuk dipuji setelah melihat napsu makan Albi meningkat ketika memakan nasi goreng buatannya.
"Cocok jadi chef nasi goreng pinggir jalan," balas Albi enteng tanpa dosa.
"Emang gak ada gunanya gue berharap kalimat pujian keluar dari mulut lo," Pena mendengus kesal. "Orang yang tahan sama sikap lo pasti orang gila," lanjutnya sinis.
"Mulut lo cabe bener," sahut Albi pedas.
"Mulut lo lebih jawara pedesnya," Pena mencibir kesal. "Coba deh sekali-kali ikut kegiatan rohani gitu, biar akhlak lo balik lagi," sambungnya menasihati.
Albi mendecak, merasa kalau acara makannya terganggu. "Berisik!"
"Oh ya lupa. Temen aja lo nggak punya apalagi akhlak ya?" Pena lagi-lagi mencibir pedas.
"Brengsek lo, Na," balas Albi kelewat datar, menunjukkan kalau ia sedang marah- walau masih di tahap awal.
"Cih," Pena mendecih sinis. Berbalik badan beranjak untuk mencuci segala perkakas dapur yang tadi ia gunakan untuk memasak. "Lo kalo udah minum mending langsung ke kamar gue. Takutnya ada yang liat," suruhnya.
"Gue mau bantu." Albi mengabaikan suruhan Pena. Pemuda itu membawa piringnya yang sudah kosong ke wastafel untuk mencucinya.
"Heh gak usah. Mending lo tidur aja sana!" Pena menolak tegas dengan berkata lirih.
"Diem." Albi ikut tegas menolak suruhan Pena.
Pena menghela napas panjang. Akhirnya kalah karena kini tubuh kurusnya sudah dikurung oleh kedua tangan kekar Albi yang membantunya mencuci perkakas dapur tadi. Posisi mereka seperti dua orang yang sedang berpelukan. Apalagi adegan seperti ini biasanya tertuang di dalam w*****d-w*****d romance. Pena jadi malu sendiri karena terpikirkan hal itu.
"Lo tinggi juga ya." Adalah kalimat pengalihan yang Pena ucapkan karena sangat gugup dengan posisinya yang ambigu ini.
"Lo aja yang pendek," balas Albi dengan ketus.
"Bisa gak sih lo tuh jawabnya yang bener dikit? Nista banget kayaknya gue," kata Pena sambil mendengus keras.
"Ya itu semua jawaban reflek dari otak gue," balas Albi kelewat jujur.
"Minggir!" Pena membuka lebar kungkungan lengan Albi karena sudah tak tahan dengan perangai menyebalkan cowok itu. Namun, belum sempat Pena beranjak, Albi sudah kembali mencengkeram kedua bahunya.
"Apaan?" Pena mendongak sembari mengangkat alis, bingung.
"Lo denger nggak tadi?" Albi bertanya dengan raut wajah serius.
Pena terkesiap, reflek menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memeriksa sesuatu yang tangah bergerak menuju ke arah dapur. Namun matanya tak dapat menangkap hal apapun. Pena kembali mendongak, semakin bingung dan juga takut kalau-kalau ada yang menangkap basah dirinya membawa pemuda asing ke kos-kos an.
"Ada siapa???" Pena mendelik panik. "Ada siapa anjir yang mergokin kita????" tanyanya menuntut.
"Gak ada siapa-siapa, Na." Albi menjilat bibir bawahnya frustasi. Pena pasti mengira kalau suara yang dibicarakan Albi mungkin suara benda atau sesuatu yang bergerak ke arah mereka. Padahal bukan itu maksud Albi yang sebenarnya.
"Ya terus apaaa????" tanya Pena sewot.
"Lo beneran gak denger apa-apa?" tanya Albi sekali lagi. Mencoba memastikan.
"Gak ada suara apa-apa anjir! Lo jangan coba-coba nakutin gue ya!" Pena menunjuk Albi sarkas, memperingatkan. "Gue tebas pala lo kalo sampe berani-beraninya nakutin gue! Padahal muka lo seremnya ngalahin Valak!" sambungnya kejam.
Albi mendengus, "yaudah. Sana balik kamar," katanya sambil melepas cengkeraman tangannya dari bahu Pena sambil menghela napas pendek.
Alis Pena hampir menyatu heran melihat kerandoman sikap Albi. "Apaan sih gak jelas banget lo!" katanya mencibir pedas sambil berlalu mendahului Albi menaiki tangga untuk kembali menuju kamar kosnya.
Jelas-jelas suara tadi itu suara detak jantung gue. Dasar cewek polos lo, Na. ーlanjut Albi membatin dalam hati.
-
-bab 7-Pena mengucek sebelah matanya. Menguap sekilas karena kantuknya sudah datang menyerang. Padahal di jam-jam segini Pena biasanya sudah duduk anteng di depan laptop untuk menulis artikel. Tapi karena aksi heroiknya memberi tumpangan penginapan untuk Albi malam ini, Pena jadi harus capek dua kali.Seumur-umur ngekos di sini, Pena tak pernah mau menerima tamu orang luar untuk menginap di kamar kos pribadinya. Bahkan teman-teman sekelasnya saja jarang main ke kos Pena. Palingan kalau kumpul Pena yang diajak keluar untuk ngegabut bareng di rumah Jena- itupun kalau Pena lagi mau banget.Malam ini, pertam
- bab 8 - Minerva keluar dari salah satu bilik toilet siswi. Tangannya merogoh ke saku rok, mengeluarkan sebuah lipstick merah muda mencolok dan mengoleskannya di bibir. Gadis itu memang sudah cantik dari dulunya. Tanya saja para buaya di luar, siapa yang tidak suka dengan Minerva? Jelas tidak ada. Kecuali satu. Albino Syahrian. Gadis berambut coklat gelombang itu mencebik, menatap pantulan dirinya di depan cermin wastafel. Helaan napas panjang keluar dari hidungnya. Agak kesal karena belum bisa menaklukkan hati tunangannya. Padahal semua sudah berjalan sesuai rencana, tapi tetap saja Albi kekeuhnya naudzubillah untuk membatalkan pertunangan mereka. Hati pemuda itu amat keras layaknya batu. Untung saja
-bab 9-"Ji plis lahhh bantu gue negoin ke papah lo!!!" Pena merengek melas ke teman satu kelasnya, Radimas Ozzien atau yang kerap dipanggil Oji."Nggak berani gue njir! Papah sendiri udah nentuin kriteria umur buat semua pelamar kerja di perusahaannya, Na!" Oji mengelak tegas.Pena merengut, tengah meluncurkan strateginya untuk membuat Oji luluh dan berakhir membantunya. Pena sangat butuh pekerjaan sekarang. Dan ia tertarik untuk menjadi pengantar paket di perusahaan paket kilat milik papahnya Oji. Sayang, kriteria pekerja yang dibutuhkan haruslah berumur 19 tahun ke atas. Sedangkan Pena sendiri baru berusia legal alias baru berumur 17 tahun. Alhasil Oji menolak mentah-mentah permintaannya.
-bab 10-"Temen-temen lo itu pada gak ada akhlak ya!" Albi mencibir setelah tiba di depan wastafel toilet siswa. "Halah lo aja yang baperan." Pena balas mencibir. "Berani banget ya lo sama gue?" Albi menatap Pena tajam yang sedetik kemudian matanya ditutup paksa oleh Pena guna membersihkan noda spidol di wajahnya dengan air mengalir. "Kenapa juga gue gak berani sama lo?" Pena berbalik tanya dengan berani. "Padahal sebelumnya emang gak pernah ada yang berani sama gue." Albi mendesis ger
-bab 11-Sudakuaidi merupakan salah satu perusahaan layanan jasa paket kilat di Jakarta. Namun perusahaan ini menjadi satu-satunya perusahaan yang menggunakan nama dari bahasa mandarin. Sudakuaidi berarti pengiriman paket Suda. Dan nama perusahaan ini cukup umum dipakai di China.Pena sendiri tau karena ia banyak belajar dari menonton drama China. Selain pintar mata pelajaran eksak dan humaniora, Pena juga cukup fasih berbahasa Korea, China, dan Inggris. Pena orang lokal, namun ia ingin mempelajari dunia luas, termasuk belajar banyak macam bahasa.Kali ini, Pena bertekad untuk masuk universitas negeri yang bagus sesuai minatnya. Maka dari itu, Pena berjuang mati-matian
-bab 12-"Kenapa lo bentak gue?! Lo mikir kalo gue yang udah bikin kakak lo jadi begini?!" sentak Pena langsung."Cuma ada lo di sini tadi!" Albi kembali membentak dengan nada tinggi."Gue sebagai saksi! Gue bahkan tadi tanya dia siapa karena sebelumnya gue gak pernah kenal sama dia! Gue pun gak tau kalo dia kakak elo!" Pena menunjuk Albi sarkas, tak terima karena ditatap sebagai pembunuh oleh Albi."Terus lo ngapain ke sini, Na?! Lo ada urusan apa ke sini?! Ngapain lo masih masuk saat udah jelas tertulis di pintu kalo Sudakuaidi lagi tutup karena pegawainya semua cuti?! Kenapa????" Albi melebarkan matanya menuntut kejelasan.
-bab 13-Air yang keluar dari shower itu mengguyur tubuh Pena yang duduk bersandar di dinding kamar mandi sembari memeluk kedua lututnya sendiri. Pena menangis tersedu sejak tadi hingga mengkhawatirkan seluruh penghuni kos. Air itu terus mengalir hingga membuat keseluruhan tubuh Pena basah kuyup. Apalagi raungan gadis itu terdengar pilu. Menambah kesan khawatir bagi para penghuni kos lainnya yang kompak berdiri di depan pintu kamar mandi untuk mencoba membuat Pena keluar dan bercerita apa masalah yang tengah dihadapinya.Dada pena terasa sesak. Mulai merasa kedinginan karena air yang terus-terusan mengguy
-bab 14-Pemuda itu terus melangkah, mendekati Pena dan akhirnya mulai membuka jaket hitam tebalnya. Kemudian tanpa diduga, Albi memakaikan jaket itu ke tubuh Pena. Lengan kanannya merangkul bahu sempit Pena membawanya kembali ke kamar gadis itu. Tanpa kata dan tanpa adanya basa-basi belaka. Membuat para penghuni kos lainnya ternganga lebar tak menyangka."Lo ngapain sih basah-basahan kayak gini di kamar mandi bawah?!" sentak Albi kemudian setelah keduanya tiba di kamar kos Pena.Gadis itu menunduk, tak berani menatap Albi yang terlihat garang sekarang. "Shower di kamar mandi kamar gue mati..." cicitnya lirih, jujur.