Share

bab 8

-

bab 8

-

Minerva keluar dari salah satu bilik toilet siswi. Tangannya merogoh ke saku rok, mengeluarkan sebuah lipstick merah muda mencolok dan mengoleskannya di bibir. Gadis itu memang sudah cantik dari dulunya. Tanya saja para buaya di luar, siapa yang tidak suka dengan Minerva? Jelas tidak ada. Kecuali satu. Albino Syahrian.

Gadis berambut coklat gelombang itu mencebik, menatap pantulan dirinya di depan cermin wastafel. Helaan napas panjang keluar dari hidungnya. Agak kesal karena belum bisa menaklukkan hati tunangannya. Padahal semua sudah berjalan sesuai rencana, tapi tetap saja Albi kekeuhnya naudzubillah untuk membatalkan pertunangan mereka. Hati pemuda itu amat keras layaknya batu. Untung saja wajahnya tampan.

Minerva melirik, menyadari ada seseorang yang datang untuk mencuci tangannya di wastafel samping Minerva. Gadis familiar yang menjadi musuh bebuyutannya. Pevita Natalia. Entah sejak kapan Minerva membenci Pena. Yang jelas, tiap teringat wajah gadis itu, Minerva selalu marah. Seperti ada sesuatu dari Pena yang sangat tidak cocok dengan pribadi Minerva.

"Lo gak usah deket-deket sama Albi," celetuk Minerva langsung, tak mau berbasa-basi memperingatkan.

Pena mendongak, sekilas menatap kaca di depannya. Kemudian tatapannya beralih ke samping, menatap Minerva datar. "Lo ngomong sama gue?"

"Ya selain lo siapa lagi yang ada di sini????" Minerva mendelik sewot.

"Mungkin ngomong sama demit yang kebetulan lagi deketin Albi," balas Pena tanpa dosa.

"Lo gak usah rese ya!" Minerva menunjuk Pena sarkas.

"Emang lo bayarin hidup gue? Nggak, kan????" Pena membalas sewot sambil mendelik.

"Asal lo tau, Albi itu tunangan gue," kata Minerva datar, diam-diam sudah mengepalkan kedua tangannya geram.

Pena melengos, agak terkejut namun berusaha tidak peduli. "Gue gak tau dan gue gak mau tau," balasnya cuek kemudian melangkah pergi keluar toilet.

"Kalo mau jadi pelakor jangan sekolah di Nufa, Mbak." Lagi-lagi suara menyebalkan Minerva terdengar sebelum Pena keluar sepenuhnya dari toilet.

Gadis berkuncir kuda itu menoleh, menatap Minerva dengan tatapan mencela. "Lo juga kalo mau jadi jamet jangan di sini. Pinggir jalan aja sana sekalian cari sugar daddy," balasnya tak mau kalah.

Minerva melotot, kemudian memutar tubuhnya menghadap Pena yang berdiri di ambang pintu toilet dengan tatapan nyalang. "Kurang ajar," gumam Minerva geram.

"Sama-sama." Pena tersenyum paksa sok dimaniskan. Kemudian kembali melanjutkan langkahnya dan pergi meninggalkan Minerva yang sudah penuh dengan amarah.

-

Di gymnasium, Albi bermain bola futsal sendirian. Pemuda itu memang tak mengharapkan siapapun untuk datang. Pemuda itu ingin sendiri. Akhir-akhir ini Albi jadi kurang fokus untuk belajar. Padahal biasanya kalau sudah ada buku di depan mata, Albi akan membaca dan mempelajarinya sampai benar-benar seratus persen paham dengan isi buku itu.

Memang, melihat cara belajar Albi yang menyeramkan ini membuat orang-orang juga enggan berdekatan dengannya. Pemuda itu begitu misterius dan tidak tergapai. Para siswi yang dulunya sempat terpesona pun sekarang hanya omong-omong di belakang saja. Takut kalah telak saat berani berusaha mendekatkan diri ke Albi. Sudah jelas sekali kalau pemuda itu alergi cewek.

Kecuali

"Heh futsal tuh permainan tim, eh lo malah main sendiri. Bener-bener gak punya temen ya lo?"

Suara yang belakangan ini selalu familiar kembali terdengar. Musuh bebuyutan Albi di peringkat paralel Nufa. Siswi jurusan IPS yang amat jenius sampai bisa membalap Minerva yang notabenenya siswi jurusan IPA. Tapi masih belum bisa mengalahkan Albi sebagai peringkat paralel pertama bertahan selama setahun belakangan.

"Gue lagi mau sendiri." Albi membalas tak minat.

"Lo tiap hari udah sendiri nyet. Se-kesepian itu hidup lo?" Lagi-lagi pertanyaan Pena keluar tanpa saring.

"Lo se-nyebelin ini ya?" Albi melangkah mendekat dan menarik dagu Pena.

"Baru tau?" Pena membalas berani.

Albi menggeretakkan gigi, berusaha sabar setengah mati. "Kalo aja lo bukan cewek... " gumamnya samar namun masih terdengar jelas oleh Pena.

"Kenapa kalo gue cewek? Gak bisa berantem gitu? Bisa njir gak usah ngejek lo!" sentak Pena tersinggung sambil berkacak pinggang.

"Suara berisik lo itu udah 80 desibel. Kalo lagi di gymnasium gini jadi lebih berisik sampe bisa masuk kategori ultrasonik!" balas Albi ikut kesal mendengar suara cempreng Pena begitu menggaung di telinganya.

"Yaudah???? Sewotan banget lo!" Bukannya memelan, Pena malah semakin menaikkan intonasinya.

"Kayaknya lo butuh di ruqyah ya, Na," kata Albi datar, menatap Pena dengan tatapan yang sulit diartikan.

Namun Pena tersadar, kalau tatapan itu merupakan tatapan yang mengerikan. Jadi Pena perlahan mundur, sedetik kemudian berlari kencang mengitari gymnasium demi menghindari kejaran Albi. Suara hentakkan langkah kaki mereka menggema memenuhi gymnasium dengan riuh gelak tawa Albi dan rengekan melas Pena.

Berkat kaki panjangnya, Albi bisa langsung menangkap Pena setelah 3 kali mengitari gymnasium. Kedua lengan kekarnya memeluk tubuh mungil Pena dari belakang. Entah ini yang dinamakan takdir atau nasib sial, Albi tidak berhasil menyeimbangkan langkah kakinya hingga membuat pemuda itu terjatuh menimpa Pena. Membuat Pena ikut terkejut karena tertimpa tubuh kekar dan berat Albi.

Parahnya lagi, posisi mereka sekarang terlihat sangat ambigu. Pena terlentang sempurna di atas lantai gymnasium, dan Albi berada tepat di atasnya menindih Pena. Ia mengernyit saat merasakan detak jantung Albi sudah berisik sekarang. Apalagi wajah kecil pemuda itu berada tepat di atas wajahnya. Membuat Pena semakin ambyar tak karuan.

"Minggir anjir lo berat." Pena mendesis setelah mengalami fase ngefreeze karena kejadian yang tak terduga ini.

Albi mengerjap, segera tersadar kalau ia menghabiskan waktu 30 detik untuk menyadari situasi ini. Dalam 30 detik itu, Albi mulai paham mengapa Pena disebut sebagai bunga langka tersembunyi, karena gadis mungil itu sebenarnya sangat cantik. Dan cantiknya Pena itu tidak bisa di dapat dari orang lain. 

Albi akhirnya tau, apa maksud sebenarnya dari kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya dan kembang api yang meledak di dalam hatinya.

Haruskah Albi mengakuinya sekarang?

"Lo kerasukan jin gymnasium ya?"

Sebaiknya tidak.

-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status