-
bab 3
-
Sebenarnya Albi sudah pusing terlibat dalam hubungan tidak jelasnya dengan keluarga si gadis tunangannya itu, apalagi embel-embelnya pertunangan bisnis. Albi sangat muak karena mereka bahkan mendiskusikan sesuatu yang notabenenya tak pernah terpikirkan oleh Albi. Aslinya sih, ia juga tak mau kalau dijadikan alat bisnis seperti ini. Apalagi ini bersangkutan langsung dengan hati dan kehidupan dewasanya nanti.
Tak tahan, Albi menggeretakkan gigi. Hendak mengeluarkan protes namun lagi-lagi ditahan oleh Alzhea. Wanita berumur 22 tahun itu menggeleng lemah sembari menatap Albi penuh harap, mengisyaratkan agar Albi diam dan tidak membuat keributan di sini.
"Aku pokoknya mau nikah di Paris!" seru gadis yang merupakan tunangan dari Albi itu terdengar merajuk.
Kalau biasanya tindakan gadis seusianya terbilang imut dan menggemaskan, berbeda dengan pandangan Albi pada gadis itu sekarang. Mengerikan dan menajiskan. Sama sekali tidak ada unsur imutnya.
"Boros. Biaya bolak-balik pesawat dan tinggal di Paris itu mahal. Malah uangnya bisa buat sedekah ke anak panti sama tunawisma," celetuk Albi akhirnya sudah tak tahan, menukas dengan nada datar- sedikit bernasihat.
Sang ibu sedikit menyunggingkan senyum kecilnya, menyadari kalau putra bungsunya ini sudah dewasa dan sikap baik dan pikiran rasionalnya menurun dari sang ayah.
"Ngapain sih? Mending buat investasi sama jalan-jalan ke luar negeri!" Gadis itu tentu saja menolak mentah-mentah nasihat Albi.
Albi melirik sinis, "Elo katanya bunga sekolah? Ngamal aja beratnya kayak mikul beban orang satu dunia," cibirnya tajam.
Alzhea berdecak samar, kemudian menginjak pelan kaki adiknya untuk memperingatkan. "Jangan gitu, Al," bisiknya penuh arti.
"Ngomong yang keras, Kak. Lo di sini sebagai kakak gue. Lo punya hak buat berpendapat. Lo punya hak buat gak setuju. Dan lo punya hak buat nyelametin hidup adek lo sendiri dari pertunangan gak jelas ini."
Di luar dugaan, Albi menanggapi dengan tegas dan jelas. Alzhea sempat terlonjak kaget sebelum akhirnya mengusap dadanya sabar, maklum dengan pembawaan serius dari adik satu-satunya ini.
"Albi, yang sopan." Ibu juga memperingatkan dengan nada lembut.
"Kalo ibu mau aku bersikap sopan, maka ibu dulu yang harusnya sopan sama aku. Ibu kira sopan tiba-tiba jodohin aku sama Minerva yang notabenenya anak dari temennya ibu buat alasan supaya relasi pekerjaan kalian tetap lancar? Dengan ngorbanin masa depan anak ibu sendiri??" Albi meninggikan oktaf suaranya, sudah tak tahan. "Ibu mikir nggak kehidupan Albi selanjutnya bakal kayak gimana?!"
"Ya emang kenapa sih, Al? Ujung-ujungnya juga kamu nanti bakal nikah, kan?!" Minerva menyahut dengan sebal.
Albi mendesah keras, sengaja berbuat tidak sopan untuk menunjukkan kalau ia sudah muak berada di sini. "Bener. Tapi kalo nikahnya nanti, gue gak bakal mau nikah sama orang kayak elo," balasnya sinis. "Dikira tahan liat muka rese lo tiap menit? Gue mah ogah."
Dengan cepat tangan Albi memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam tas. Hendak beranjak pergi sebelum tangan kanannya kembali dicekal oleh Alzhea. Albi menghela napas menatap mata bening kakaknya yang memancarkan harapan agar Albi tidak pergi dari sini. Albi sengaja mengabaikannya, kemudian tatapannya berpindah ke Minerva, sengaja menatapnya tajam penuh dendam.
"Jangan lo kira kalo lo punya segalanya lantas hidup lo bakal selalu enak dan semua kemauan lo bakal lo dapet. Ada kalanya manusia lain bisa lebih egois dari lo dan berakhir dia yang bisa ngrebut semuanya dari lo. Termasuk mahkota kecantikan lo itu. Sadar, roda kehidupan itu selalu berputar. Bumi berputar bukan karena lo doang yang jadi ratunya. Banyak ratu lain yang bahkan lebih berbudi dari elo."
Amarah Minerva terpancing. Jelas pemuda yang berdiri di sampingnya itu tengah membandingkan Minerva dengan gadis cantik di luaran sana yang etika dan sifatnya lebih baik dari Minerva. Itu membuat Minerva amat emosi dan marah karena penghinaan Albi. Harga dirinya seolah jatuh dan hancur lebur karena dipermalukan di hadapan keluarganya dan keluarga Albi sendiri.
"Satu lagi." Albi berbalik sebelum menggapai kenop pintu keluar. "Rumus lo di TO Mandiri 2 kemaren kurang tanda minus. Makanya masih ada 5 nomor yang salah. Ternyata kalo soal ketelitian, Pena masih jauh di atas lo."
-
-bab 4-Pemuda itu masih mengenakan seragam putih abu dan almamater berwarna biru tua dan putih dengan logo SMA Nufa di dada sebelah kirinya. Di dada sebelah kanannya, terpasang nametag dengan ukiran nama Albino Syahrian.Rambutnya berantakan karena diterbangkan oleh angin malam. Sebelah tali tas ransel berwarna hitam polos bertengger di atas bahu kirinya. Sepatu PDH nya sudah kotor karena gesekan sol sepatu dengan trotoar yang membuat sepatunya menjadi kusam tertimbun debu.Angin malam yang dingin menerpa wajah putih Albi hingga membuatnya terasa agak kaku. Untung saja Albi masih dilindungi almamater yang cukup membuat dinginnya angin malam tak sepenuh
-bab 5-Pukul 11 malam kos khusus putri di komplek Pinangsia itu sudah sepi. Karena peraturan dalam kos menuliskan kalau penghuni kos dilarang keras pulang malam atau keluar malam. Bila sangat penting seperti menyangkut tugas negara sih boleh, tapi harus ijin dulu ke pemilik kos.Alasan di atas yang membuat Pena jadi was-was sekarang. Walau seluruh lampu utama kos sudah dimatikan, masih ada satu-dua titik cahaya dari lampu dinding pojok pintu yang sengaja dibiarkan menyala.Pena memang gadis yang memiliki kebiasaan unik. Setidaknya setiap jam 10 malam ia akan keluar ke supermarket s
-bab 6-Berani sumpah, Albi bahkan sudah lupa bagaimana wangi masakan ibunya saking lamanya mereka berpisah rumah karena Albi yang hanya ingin tinggal bersama kakak perempuannya, Alzhea. Albi juga anti sekali memakan makanan kalau bukan Alzhea yang memasak. Tapi malam ini, lagi-lagi untuk yang pertama kalinya yang kesekian kali, Albi merasakan masakan lezat dari tangan musuh bebuyutannya.Awalnya Albi meragukan kemampuan memasak Pena, namun tanpa disangka, gadis cantik itu berhasil membuktikan dirinya. Walau galaknya dua kali lipat seperti anak lelaki, ternyata Pena masih punya sisi wanita di dalam dirinya. Tangan-tangan mungilnya itu ternyata s
-bab 7-Pena mengucek sebelah matanya. Menguap sekilas karena kantuknya sudah datang menyerang. Padahal di jam-jam segini Pena biasanya sudah duduk anteng di depan laptop untuk menulis artikel. Tapi karena aksi heroiknya memberi tumpangan penginapan untuk Albi malam ini, Pena jadi harus capek dua kali.Seumur-umur ngekos di sini, Pena tak pernah mau menerima tamu orang luar untuk menginap di kamar kos pribadinya. Bahkan teman-teman sekelasnya saja jarang main ke kos Pena. Palingan kalau kumpul Pena yang diajak keluar untuk ngegabut bareng di rumah Jena- itupun kalau Pena lagi mau banget.Malam ini, pertam
- bab 8 - Minerva keluar dari salah satu bilik toilet siswi. Tangannya merogoh ke saku rok, mengeluarkan sebuah lipstick merah muda mencolok dan mengoleskannya di bibir. Gadis itu memang sudah cantik dari dulunya. Tanya saja para buaya di luar, siapa yang tidak suka dengan Minerva? Jelas tidak ada. Kecuali satu. Albino Syahrian. Gadis berambut coklat gelombang itu mencebik, menatap pantulan dirinya di depan cermin wastafel. Helaan napas panjang keluar dari hidungnya. Agak kesal karena belum bisa menaklukkan hati tunangannya. Padahal semua sudah berjalan sesuai rencana, tapi tetap saja Albi kekeuhnya naudzubillah untuk membatalkan pertunangan mereka. Hati pemuda itu amat keras layaknya batu. Untung saja
-bab 9-"Ji plis lahhh bantu gue negoin ke papah lo!!!" Pena merengek melas ke teman satu kelasnya, Radimas Ozzien atau yang kerap dipanggil Oji."Nggak berani gue njir! Papah sendiri udah nentuin kriteria umur buat semua pelamar kerja di perusahaannya, Na!" Oji mengelak tegas.Pena merengut, tengah meluncurkan strateginya untuk membuat Oji luluh dan berakhir membantunya. Pena sangat butuh pekerjaan sekarang. Dan ia tertarik untuk menjadi pengantar paket di perusahaan paket kilat milik papahnya Oji. Sayang, kriteria pekerja yang dibutuhkan haruslah berumur 19 tahun ke atas. Sedangkan Pena sendiri baru berusia legal alias baru berumur 17 tahun. Alhasil Oji menolak mentah-mentah permintaannya.
-bab 10-"Temen-temen lo itu pada gak ada akhlak ya!" Albi mencibir setelah tiba di depan wastafel toilet siswa. "Halah lo aja yang baperan." Pena balas mencibir. "Berani banget ya lo sama gue?" Albi menatap Pena tajam yang sedetik kemudian matanya ditutup paksa oleh Pena guna membersihkan noda spidol di wajahnya dengan air mengalir. "Kenapa juga gue gak berani sama lo?" Pena berbalik tanya dengan berani. "Padahal sebelumnya emang gak pernah ada yang berani sama gue." Albi mendesis ger
-bab 11-Sudakuaidi merupakan salah satu perusahaan layanan jasa paket kilat di Jakarta. Namun perusahaan ini menjadi satu-satunya perusahaan yang menggunakan nama dari bahasa mandarin. Sudakuaidi berarti pengiriman paket Suda. Dan nama perusahaan ini cukup umum dipakai di China.Pena sendiri tau karena ia banyak belajar dari menonton drama China. Selain pintar mata pelajaran eksak dan humaniora, Pena juga cukup fasih berbahasa Korea, China, dan Inggris. Pena orang lokal, namun ia ingin mempelajari dunia luas, termasuk belajar banyak macam bahasa.Kali ini, Pena bertekad untuk masuk universitas negeri yang bagus sesuai minatnya. Maka dari itu, Pena berjuang mati-matian