-
bab 4
-
Rambutnya berantakan karena diterbangkan oleh angin malam. Sebelah tali tas ransel berwarna hitam polos bertengger di atas bahu kirinya. Sepatu PDH nya sudah kotor karena gesekan sol sepatu dengan trotoar yang membuat sepatunya menjadi kusam tertimbun debu.
Angin malam yang dingin menerpa wajah putih Albi hingga membuatnya terasa agak kaku. Untung saja Albi masih dilindungi almamater yang cukup membuat dinginnya angin malam tak sepenuhnya bisa menembus almamaternya.
Albi berjalan menyusuri trotoar menuju komplek Pinangsia. Pikiranya kalut, yang ada di dalam otaknya sekarang hanyalah sekumpulan rumus yang telah dibahas tadi pagi dan beberapa metode yang bisa Albi pakai untuk membatalkan pertunangannya dengan Minerva.
Seandainya saja ayahnya masih ada di sini dan bersikap lebih pengertian, maka keluarga Albi tak akan sehancur sekarang. Di mana ayahnya pergi setelah resmi bercerai dengan sang ibu. Kemudian ibu sibuk kembali dengan pekerjaannya sebagai jaksa di pusat kota hingga jarang memperhatikan anak-anaknya.
Hanya Alzhea, yang selalu ada dan menjadi ibu pengganti bagi Albi. Hanya Alzhea yang mengerti kebahagiaan Albi. Hanya Alzhea yang memahami isi pikiran dan hati Albi. Hanya Alzheaー
"Lo jadi gembel dalam semalem?"
Albi mendongak, mendapati wajah menyebalkan Pena yang menatapnya setengah tak percaya. Gadis itu berdiri di halaman supermarket memandang Albi dengan heran.
"Gue tebak lo habis dari dalam?" Albi memutuskan untuk mendekat.
"Semua orang juga tau. Apa lo pikir cewek kayak gue ini keliatan gembel banget sampe berdiri di halaman supermarket bawa satu kaleng bearbrand yang masih ada isinya ini buat ngemis?" Balasan Pena terdengar sangat sewot dan sarkas.
"Bisa aja lo mau ngadain pertunjukan. Ngamen atau apa kek gitu." Albi mengangkat kedua bahunya sok tau.
"Pertunjukan? Sulap maksud lo? Gue bakal bisa buat susu ini jadi gelembung terus pecah lagi jadi kupu-kupu gitu?!" Pena membalas sewot, mengambil salah satu adegan sulap di kartun Upin dan Ipin. " Terus apa tadi? Ngamen? Gue bahkan gak bawa gitar atau okulele. Gue pun gak bawa mic dan salon kecil buat narik perhatian orang-orang. Lo kira bunyi apa yang bisa gue hasilin dari kaleng isi susu bearbrand ini yang bakal buat orang-orang datang dan ngasih duitnya?"
"Teori yang masuk akal." Albi mengangguk-angguk kagum. "Pinter juga lo," pujinya kemudian.
"Lo baru sadar? IQ gue 138 btw." Pena membalas dengan sombong kemudian menyeruput pelan susu bearbrandnya.
"Dan IQ gue 142 kalo lo lupa," balas Albi tenang tak mau kalah.
Pena tersedak, kemudian menepuk-nepuk dadanya keras guna membuat susu yang masuk ke saluran pernapasan bisa keluar lagi lewat hidung atau mulut. Walau usaha refleksnya itu sia-sia saja. "Songong banget anjir beda 5 digit doang."
"Refleks lo tadi salah. Yang ada malah bikin tulang rusuk lo sakit dan bisa aja ada saraf lo yang kejepit." Albi sempat-sempatnya pamer teori. "Beda tetep beda. Lo tau kan di pelajaran matematika kalo beda 0,1 sama beda 0,2 aja udah beda jauh nilai aslinya."
Pena mendengus, agak kesal karena mendengar penjelasan Albi yang sama sekali tidak salah. Juga saat Albi mengingatkan kalau IQ nya jauh lebih tinggi dari IQ Pena. Sangat menyebalkan. "Yaudah iya, jeniusawannnn."
Albi tersenyum kecil, agaknya kurang fokus. Karena malam ini Pena terlihat sangat natural dan ehm, cantik. Pasalnya, gadis yang biasanya menguncir rambutnya rapih seperti ekor kuda itu kini hanya menarik seluruh rambut panjangnya untuk dicepol asal dengan jepit rambut biasa berwarna merah muda.
Setelan bajunya juga sangat santai dan minim. Celana kain halus 12 senti di atas lutut dengan hoodie tebal polos yang menutupi seluruh tubuh atas gadis itu. Membuat Pena sekilas tenggelam dalam balutan kain hoodie. Ia memakai sendal jepit karet dengan karakter Pikachu sebagai hiasannya.
"Lo... gak lagi napsu sama gue, kan?"
Albi hampir saja mengumpat mendengar polosnya pertanyaan Pena. Ia menyisir rambut depannya ke belakang. Yang tanpa sadar perbuatan kecilnya itu membuat Pena terpana begitu saja. "Badan lo gak ada apa-apanya dibandingin sama Lady Gaga."
"Ya iya beda! Gue Pevita Natalia bukan Lady Gaga!" Pena berseru sewot, tersinggung.
"Agak kaget aja ternyata lo juga bisa gemesin kayak gini."
"Maksud lo?"
"Penampilan lo." Albi menatap mata Pena dalam. "Bisa gemesin juga kalo lagi di rumah."
Pena tertegun ditatap langsung seperti itu oleh seorang berandal sekolah. Kemudian ia menggeleng cepat, memperingatkan diri jangan sampai jatuh dalam pesona seorang Albiano Syahrian.
"Gue lagi di depan supermarket, bukan di rumah." Lagi-lagi Pena menskakmat pujian dari mulut racun Albi.
Albi berdecak, "terserah," balasnya datar.
Pena mengangkat bahu acuh, berjalan melewati Albi untuk kembali ke kosnya di seberang jalan, namun lengan kanannya yang tertutup hoodie itu tiba-tiba dicekal oleh Albi. Pena mendongak, menatap Albi dengan tatapan meminta penjelasan.
Agaknya pemuda itu paham. Ia berdeham canggung, menjawab pertanyaan telepati Pena tanpa menoleh. "Gue boleh nginep?"
"Hah?"
-
-bab 5-Pukul 11 malam kos khusus putri di komplek Pinangsia itu sudah sepi. Karena peraturan dalam kos menuliskan kalau penghuni kos dilarang keras pulang malam atau keluar malam. Bila sangat penting seperti menyangkut tugas negara sih boleh, tapi harus ijin dulu ke pemilik kos.Alasan di atas yang membuat Pena jadi was-was sekarang. Walau seluruh lampu utama kos sudah dimatikan, masih ada satu-dua titik cahaya dari lampu dinding pojok pintu yang sengaja dibiarkan menyala.Pena memang gadis yang memiliki kebiasaan unik. Setidaknya setiap jam 10 malam ia akan keluar ke supermarket s
-bab 6-Berani sumpah, Albi bahkan sudah lupa bagaimana wangi masakan ibunya saking lamanya mereka berpisah rumah karena Albi yang hanya ingin tinggal bersama kakak perempuannya, Alzhea. Albi juga anti sekali memakan makanan kalau bukan Alzhea yang memasak. Tapi malam ini, lagi-lagi untuk yang pertama kalinya yang kesekian kali, Albi merasakan masakan lezat dari tangan musuh bebuyutannya.Awalnya Albi meragukan kemampuan memasak Pena, namun tanpa disangka, gadis cantik itu berhasil membuktikan dirinya. Walau galaknya dua kali lipat seperti anak lelaki, ternyata Pena masih punya sisi wanita di dalam dirinya. Tangan-tangan mungilnya itu ternyata s
-bab 7-Pena mengucek sebelah matanya. Menguap sekilas karena kantuknya sudah datang menyerang. Padahal di jam-jam segini Pena biasanya sudah duduk anteng di depan laptop untuk menulis artikel. Tapi karena aksi heroiknya memberi tumpangan penginapan untuk Albi malam ini, Pena jadi harus capek dua kali.Seumur-umur ngekos di sini, Pena tak pernah mau menerima tamu orang luar untuk menginap di kamar kos pribadinya. Bahkan teman-teman sekelasnya saja jarang main ke kos Pena. Palingan kalau kumpul Pena yang diajak keluar untuk ngegabut bareng di rumah Jena- itupun kalau Pena lagi mau banget.Malam ini, pertam
- bab 8 - Minerva keluar dari salah satu bilik toilet siswi. Tangannya merogoh ke saku rok, mengeluarkan sebuah lipstick merah muda mencolok dan mengoleskannya di bibir. Gadis itu memang sudah cantik dari dulunya. Tanya saja para buaya di luar, siapa yang tidak suka dengan Minerva? Jelas tidak ada. Kecuali satu. Albino Syahrian. Gadis berambut coklat gelombang itu mencebik, menatap pantulan dirinya di depan cermin wastafel. Helaan napas panjang keluar dari hidungnya. Agak kesal karena belum bisa menaklukkan hati tunangannya. Padahal semua sudah berjalan sesuai rencana, tapi tetap saja Albi kekeuhnya naudzubillah untuk membatalkan pertunangan mereka. Hati pemuda itu amat keras layaknya batu. Untung saja
-bab 9-"Ji plis lahhh bantu gue negoin ke papah lo!!!" Pena merengek melas ke teman satu kelasnya, Radimas Ozzien atau yang kerap dipanggil Oji."Nggak berani gue njir! Papah sendiri udah nentuin kriteria umur buat semua pelamar kerja di perusahaannya, Na!" Oji mengelak tegas.Pena merengut, tengah meluncurkan strateginya untuk membuat Oji luluh dan berakhir membantunya. Pena sangat butuh pekerjaan sekarang. Dan ia tertarik untuk menjadi pengantar paket di perusahaan paket kilat milik papahnya Oji. Sayang, kriteria pekerja yang dibutuhkan haruslah berumur 19 tahun ke atas. Sedangkan Pena sendiri baru berusia legal alias baru berumur 17 tahun. Alhasil Oji menolak mentah-mentah permintaannya.
-bab 10-"Temen-temen lo itu pada gak ada akhlak ya!" Albi mencibir setelah tiba di depan wastafel toilet siswa. "Halah lo aja yang baperan." Pena balas mencibir. "Berani banget ya lo sama gue?" Albi menatap Pena tajam yang sedetik kemudian matanya ditutup paksa oleh Pena guna membersihkan noda spidol di wajahnya dengan air mengalir. "Kenapa juga gue gak berani sama lo?" Pena berbalik tanya dengan berani. "Padahal sebelumnya emang gak pernah ada yang berani sama gue." Albi mendesis ger
-bab 11-Sudakuaidi merupakan salah satu perusahaan layanan jasa paket kilat di Jakarta. Namun perusahaan ini menjadi satu-satunya perusahaan yang menggunakan nama dari bahasa mandarin. Sudakuaidi berarti pengiriman paket Suda. Dan nama perusahaan ini cukup umum dipakai di China.Pena sendiri tau karena ia banyak belajar dari menonton drama China. Selain pintar mata pelajaran eksak dan humaniora, Pena juga cukup fasih berbahasa Korea, China, dan Inggris. Pena orang lokal, namun ia ingin mempelajari dunia luas, termasuk belajar banyak macam bahasa.Kali ini, Pena bertekad untuk masuk universitas negeri yang bagus sesuai minatnya. Maka dari itu, Pena berjuang mati-matian
-bab 12-"Kenapa lo bentak gue?! Lo mikir kalo gue yang udah bikin kakak lo jadi begini?!" sentak Pena langsung."Cuma ada lo di sini tadi!" Albi kembali membentak dengan nada tinggi."Gue sebagai saksi! Gue bahkan tadi tanya dia siapa karena sebelumnya gue gak pernah kenal sama dia! Gue pun gak tau kalo dia kakak elo!" Pena menunjuk Albi sarkas, tak terima karena ditatap sebagai pembunuh oleh Albi."Terus lo ngapain ke sini, Na?! Lo ada urusan apa ke sini?! Ngapain lo masih masuk saat udah jelas tertulis di pintu kalo Sudakuaidi lagi tutup karena pegawainya semua cuti?! Kenapa????" Albi melebarkan matanya menuntut kejelasan.