Bandung adalah kota yang dingin dan asri. Dengan udara yang dingin dan menyejukkan seperti itu, membuat beberapa orang lebih memilih melakukan aktivitas agar merasa hangat. Namun, tidak untuk beberapa anak kelas dua belas yang sedang dalam mata pelajaran renang. Mereka rela telanjang dada dan hanya mengenakan celana dalam renang ketat yang membentuk jelas alat vital.
Kevin, lelaki bermata empat dengan warna cokelat madu, tengah mengendap-endap di balik ruang bilas kolam renang. Lehernya yang panjang menampilkan tonjolan jakun yang terus naik-turun seiring ludahnya yang meluncur dengan cepat. Napasnya berderu kencang saat dia merasakan panas di pembuluh darah yang mengaliri jemarinya. Angin yang berembus kencang mengenai rambut hitam belah duanya, tidak cukup membuat dirinya tenang dan nyaman.
Dia sengaja membolos hanya untuk datang ke area kolam renang di saat jam pelajarannya masih berlangsung. Sejak pagi, otaknya terus saja memikirkan tentang senior-senior tampan yang sedang telanjang dada di ruang bilas. Maka dari itu, sekarang dia sedang melakukan niat buruk yang terlintas di otaknya. Namun, dia sedikit menyesal karena tindakkannya membuat dia merasa menjadi orang paling bejat.
“Pelan-pelan, Key. Tenang,” gumamnya sambil terus mengendap di antara sekat kamar mandi. Langkahnya sengaja dia angkat seringan kapas, mencoba meminimalisir kebisingan yang bisa membuat orang-orang di balik kamar mandi itu mengetahui keberadaanya.
Sejauh mata memandang memang tidak ada siapa pun. Senior-senior itu masih anteng di kolam karena jam renang masih berlangsung. Namun, sudah ada satu-dua orang yang membilas diri untuk cepat-cepat menyelesaikan jam renangnya. Saat itulah Kevin merasa dirinya harus mengintip salah satu senior yang menjadi ambisinya itu.
Dia menelan ludah lagi dengan kencang saat tangan kanannya sudah menyentuh pegangan pintu kamar mandi pertama. Terdengar bunyi air dari shower di dalam bilik itu, membuat darahnya semakin memanas. Kevin lalu membayangkan pemandangan indah lekuk tubuh laki-laki seumurannya sedang mandi bugil.
“Huh. Tenang. Saya cuma lihat sebentar. Itu enggak akan masalah. Mereka enggak akan sadar selama saya enggak berisik.”
Di antara bunyi air yang jatuh, Kevin juga mendengar desah seseorang dari balik sekat kamar mandi, Itu membuatnya semakin resah dan menggigil. Darah dalam tubuhnya semakin mendidih, mengeluarkan gelembung uap. Tanpa sadar, tangannya yang sejak tadi menyentuh pegangan pintu itu terus bergetar, menahan nafsu yang meronta ingin keluar.
Bagaimana kalau ada yang tahu?
“Oke. Kalau ada yang datang, bilang ambil sabun yang ketinggalan. Mereka enggak akan mikir aneh-aneh. Lagian ….” Kevin sengaja menjeda ucapannya, kemudian menoleh ke segala arah, mencoba memastikan jika di kamar mandi itu hanya ada dirinya dan orang-orang yang sedang sibuk membersihkan diri. “Sebelum jam pelajaran mereka, kelas sebelas lebih dulu pake kolam renangnya. Mereka enggak akan curiga kalau saya ngintip sebentar,” katanya saat ludah di lehernya meluncur lagi bagaikan roket.
Tangan Kevin semakin bergetar hebat. Ada rasa bersalah yang menjalari dirinya saat otaknya terus mendorongnya melakukan hal itu. Namun, hatinya yang terdalam mengiakan apa yang diinginkannya.
Entah sejak kapan ambisi menyimpang ini muncul dalam dirinya. Kevin sama sekali tidak menyadari hal itu. Apa yang dia tahu, belakangan ini ketika dirinya melihat lelaki telanjang, selalu sukses membuatnya bergairah dan semangat.
Perlahan tapi pasti, pintu berbahan PVC itu dia dorong, nyaris tidak menghasilkan bunyi sama sekali. Air dari dalam ruangan itu masih terus berbunyi, menjadikan fokus utama sosok lelaki tampan yang sedang mandi di bawah kucuran air segar. Kevin menelan ludahnya berkali-kali saat matanya tertuju pada bentuk indah tubuh lelaki itu, tampak sempura dan tanpa cacat. Dan, matanya langsung fokus pada benda yang tergantung di antara selangkangannya.
Namun, saat dia akan membuka daun pintu itu semakin lebar, seseorang mencekal tangannya, membuatnya terkejut bukan kepalang. Dadanya yang sejak tadi sudah terasa tidak keruan dibuat semakin tidak menentu saat sosok itu memegangi tangannya dan memelotot penuh selidik. Lelaki itu mengeratkan pegangan tangannya sambil masih menatap Kevin penuh curiga.
“Lo lagi ngapain di sini? Apa lo enggak lihat pintu itu ketutup dan ada orang yang lagi mandi?” tanya orang itu dengan nada sinis. Matanya yang tajam menusuk dada Kevin dengan telak, membuatnya tidak bisa berkutik. Kevin hanya bisa menelan ludahnya beberapa kali sambil berusaha melepaskan diri darinya. Dia cemas jika orang-orang akan mulai berdatangan.
“An-anu, saya cu-cuma mau ambil sa-sabun yang ketinggalan di dalam,” jawabnya, dia berhasil mengenyahkan cekalan tangan lelaki berwajah tegas dengan rambut hitam belah dua itu dengan cepat. Parasnya yang tampan dan penampilannya yang telanjang dada, membuat Kevin semakin merasa dibuat jungkir-balik.
“Lo, kan bisa nunggu orang di dalam beres mandi dulu sebelum lo masuk kayak gini. Lo enggak niat buat ngintip, kan?” Lelaki itu menyipitkan matanya, menelisik dengan curiga. Kevin semakin gelagapan. Namun, Kevin buru-buru mengalihkan pandangan ke sisi lain, pada deretan urinoir di samping kanannya.
“Gila! Sa-saya en-enggak mungkin ngitip cowok mandi,” balas Kevin resah, lalu melenggang meninggalkan area kamar mandi. “Saya pergi sekarang. Saya masih bisa beli sabun baru,” lanjutnya sambil meninggalkan area kamar mandi.
Akan tetapi, lelaki berambut belah dua itu terus menatapnya curiga. Ada prasangka buruk yang semakin menjalari kepalanya. Dia mengira jika Kevin memang mengintip temannya yang sedang mandi di dalam ruang bilas.
“Aneh banget gerak-geriknya tuh cowok. Gila. Bikin gue jijik aja,” ucapnya sambil bergidik membayangkan kelakuan Kevin barusan.
Selama perjalanan menuju kelas, Kevin merasakan pukulan berkali-kali di dadanya, seperti sebuah palu yang terus menghantamnya secara otomatis. Dia sempat merasa tidak enak karena hanya dirinya yang mengenakan seragam lengkap di area kolam renang itu. Sementara yang lainnya nyaris semuanya bertelanjang dada dengan celana pendek ketat.
Sepatu hitam Kevin menghasilkan bunyi nyaring di koridor ketika dia berlari, berdecit saat dia mengerem kakinya, lalu hening ketika dia sudah tiba di depan kelasnya yang ramai. Orang-orang mulai berhenti berbicara dan menoleh bersamaan ke arah Kevin yang berdiri di ambang pintu.
Tatapan-tatapan itu mengintimidasi. Kevin menjadi satu-satunya murid yang keluar saat jam pelajaran dan kembali ketika sesi sudah berakhir. Namun, keheningan dan tatapan canggung itu tidak berlangsung lama karena guru jam pelajaran selanjutnya baru saja sampai.
Kevin harus kembali belajar—atau dia akan dicurigai perihal tindak-tanduknya yang selalu keluar kelas di saat jam pelajaran masih berlangsung.
“Tenang. Semua baik-baik aja.”
*
Selama jam pelajaran berlangsung, Kevin hanya bisa menatap ke arah jendela—yang kebetulan posisi meja dan kursinya berada di belakang dekat dengan jendela. Dia menahan pipi kanannya yang tampak putih dan mulus dengan tangan kanannya yang terbalut jaket hitam oversize. Kevin lalu mengembuskan napas berat beberapa kali. Otaknya sama sekali tidak bisa menyingkirkan bayangan bentuk alat vital yang dilihatnya saat di kamar mandi tadi.
Ada apa ini. Saya kenapa? batin Kevin sambil terus menggeleng, mencoba meyakinkan dirinya sendiri, bahwa dia memang normal. Namun, tindakkannya barusan jelas-jelas bertentangan dengan keyakinannya selama ini.
Kevin terus saja memikirkan lelaki berambut belah dua dengan mata tajam yang mencekal tangannya, dia memakai celana renang ketat yang memperlihatkan bentuk alat vitalnya yang besar dan panjang. Bayangan itu benar-benar menghantam otaknya, memaksanya terus memikirkannya tanpa diminta. Entah apa yang terjadi, padahal dia seorang lelaki.
“Ah! Gila. Kenapa saya kepikiran soal itu terus? Ini enggak baik.” Dia menggeleng beberapa kali sampai kepalanya terasa pusing, lalu mengelus wajahnya dengan sepuluh jari dan menggebrak meja dengan kencang setelah merasa frustrasi, membuat beberapa orang menoleh kepadanya.
“Kevin Fernando! Apa yang kamu lakukan?” tanya Pak Ronald, guru Sejarah yang merasa aktivitasnya terganggu oleh ketidakjelasan Kevin. Lelaki itu menyelidik dengan tatapan tidak suka.
Merasa risi diperhatikan oleh semua orang, Kevin lalu menggosok tengkuknya yang tidak gatal dan cengengesan. “Maaf, Pak. Saya cuma pusing,” jawabnya. Beberapa orang tertawa mendengarnya, termasuk Pak Ronald yang tampak mengernyit karena merasa heran dengan tindakan Kevin barusan.
Sebelum menjawab lagi, Pak Ronald tampak mengembuskan napas pelan sambil mengurut pangkal hidungnya. Dia lalu menunjuk Kevin dan menyuruhnya diam jika memang tidak ingin memerhatikan kelasnya.
“Sekali lagi kamu menganggu, berdiri di luar,” kata Pak Ronald tegas, seakan-akan perintahnya adalah hal yang mutlak. Kevin menelan ludahnya susah payah, kemudian mengangguk paham.
Seberapa kuat pun dia mengangguk menyetujui ucapan Pak Ronald untuk fokus pada pelajaran dan tidak menganggu, Kevin benar-benar tidak bisa melakukannya. Saat lelaki beruban itu menjelaskan tentang pra-sejarah, Kevin lagi-lagi berteriak ketika kepalanya mengeluarkan ingatan tentang lelaki tampan yang mencekalnya.
“Ah! Hentikan! Saya enggak tahan,” teriaknya, memancing tatapan semua orang. Dan, saat itulah masa-masa Kevin di kelas sudah habis. Dia dikeluarkan dan dihukum harus berdiri di koridor dengan satu kaki terangkat sambil mengucapkan janji, ‘Saya tidak akan meracau di kelas lagi dan berjanji akan belajar dengan giat’.
Tiga puluh menit sudah dia berdiri di sana dengan satu kaki seperti bangau tidur. Bukan masalah sebenarnya, tapi Kevin tidak nyaman jika harus ditatap terus-menerus oleh teman-temannya dari dalam dengan tatapan mengejek seperti itu. Dia lalu mengembuskan napas kesal sambil memalingkan wajah ke sisi lain.
Tepat saat melakukannya, dia melihat dua orang lelaki tampan menghampirinya. Dua-duanya Kevin tahu, tapi tidak dia kenali. Jelas sekali, lelaki rambut belah dua yang memakai jaket jins abu-abu itu adalah orang yang mencekalnya tadi. Dan, satu lelaki lagi adalah orang yang dia intip di ruang bilas.
Mendadak saja ludahnya meluncur secepat roket ke kerongkongan, ketika menyadari bahaya sedang mendatanginya. Kevin menatap sekitar dengan gelisah, berharap jika dua orang itu tidak mengingatnya. Akan tetapi, lelaki berjaket jins itu lebih dulu menyapanya dengan nada sinis seperti biasa.
“Lo cowok yang tadi gue lihat di kolam, kan?” tanyanya.
Kevin menggeleng. “Bukan. Kakak salah orang kali,” jawab Kevin sambil membuang tatapan ke arah lain, berusaha untuk berbohong.
“Enggak mungkin. Gue ingat lo,” balas si lelaki rambut belah dua itu, lalu menoleh pada temannya sambil memberi kode yang tidak Kevin pahami maksudnya.
“Sikat,” sahut temannya itu sambil mengangguk.
“Eh, lo. Ikut gue ke sana sebentar,” titah lelaki rambut belah dua itu sambil menarik tangan Kevin dengan paksa, membuat pergelangannya berdenyut nyeri.
“Ma-mau ke mana, nih? Saya lagi dihukum sama Pak Ronald,” balas Kevin setengah meronta. Namun, tenaganya tidak sebanding dengan lelaki itu. Tubuh Kevin terseret tanpa bisa melawan. Sementara satu lelaki lainnya sedang berjalan di sampingnya dengan tatapan marah.
Keadaan sekolah sedang sepi karena murid-murid masih melakukan kegiatan belajar. Kevin tahu, dua lelaki di hadapannya itu adalah kelas dua belas. Maka, tidak heran jika mereka sudah berkeliaran di luar kelas jam segini.
“Gue cuma mau tanya sama lo. Temen gue bilang, lo ngintip gue mandi. Lo homo?” tanya lelaki satunya—yang sekarang Kevin sadari memiliki rambut hitam klimis disisir rapi.
Kevin menggeleng. “En-enggak. Saya enggak ngintip,” jawabnya gugup. Lagi-lagi, darahnya terasa mendidih.
“Oke kalau enggak mau ngaku. Gue, sih enggak masalah kalau lo homo. Tapi, kalau lo homo dan lo ganggu gue dengan cara ngintip pas gue mandi, gue kagak terima!” bentak lelaki yang menjadi korban itu dengan nada tinggi. Matanya yang hitam bagai arang memelotot.
“Sa-saya, kan udah bilang enggak ngintip!” jawab Kevin tegas.
“Tapi, gue lihat sendiri,” sambar si lelaki rambut belah dua itu sambil mencengkram kerah seragam Kevin, lalu diangkat tinggi-tinggi.
Kevin berusaha berontak sambil membetulkan posisi kacamatanya yang terus saja melorot dengan tangan kiri. “Ka-kalian mau ngapain? Jangan macem-macem! Saya bisa teriak dan panggil guru,” ancam Kevin. Namun, itu tidak cukup untuk membuat mereka takut.
Lelaki itu berdecak sebal, lalu tanpa basa-basi mendorong Kevin kencang ke belakang. Bunyi benturan antara punggung Kevin dan alas pintu PVC terdengar bergema di kamar mandi saat lelaki itu mendorong tubuhnya kencang, membuat Kevin mengaduh beberapa kali dan meringis.
“Udahlah, cowok model beginian emang harus dikasih pelajaran dulu biar ngarti!” ucap si lelaki berambut klimis itu sambil memelesat ke arah Kevin dan melayangkan tinjunya di pipi kiri Kevin dengan keras. “Mati lo, Bangsat!” teriaknya sambil meluncurkan pukulan itu bertubi-tubi.
Kevin mengaduh dan menutupi bagian wajahnya dengan tangan. Dia hanya bisa menahan sakit ketika tangan-tangan kekar itu menghantam wajahnya.
Lelaki belah dua itu melakukan hal yang sama, tapi lebih brutal dari si klimis.
“Udah, udah. Bisa bahaya kalau ketahuan sama guru. Gue udah puas mukulin nih banci,” ucap si korban, lalu meludah di depan Kevin. Dia melenggang sambil memutar pergelangan tangannya yang terasa sakit setelah menghantam wajah Kevin berkali-kali.
Kevin meringkuk di dekat urinoir sambil memegangi pipinya yang lebam. Dia meringis beberapa kali saat tangan kirinya menyentuh benjolan dalam pantulan cermin. Beberapa noda hitam dari jejak sepatu tercetak jelas di jaket hitamnya. Sekarang dia benar-benar menyesal karena telah menuruti otak cabulnya itu.
“Sekarang Ibu akan tanya-tanya dan saya enggak tahu harus jawab apa,” gumamnya sambil mengelus pipinya yang lebam.
*
Saat jam pelajaran sejarah tadi, Kevin dihukum yang membuatnya tidak diperbolehkan masuk lagi ke kelas sampai mata pelajaran itu berakhir. Pada awalnya dia sedih karena dikeluarkan, tapi sekarang bersyukur karena tidak perlu bertemu teman-temannya dalam kondisi mengenaskan seperti itu.
Kevin menenteng tas selempangnya di pundak kanan, lalu memelesat ke arah parkiran di bawah kantin lantai dua. Teman-temannya sudah tidak ada dan tidak ada satu orang pun yang menunggunya. Sudah biasa. Kevin tidak akan terkejut lagi jika mereka selalu bersikap seperti itu. Hanya karena tidak pandai berolahraga, dia dikucilkan oleh geng laki-laki.
Motor Scoopy kuningnya berada di ujung parkiran. Tanpa membuang waktu lagi, dia mendekati benda itu dan memelesat meninggalkan sekolah setelah mesinnya menyala dengan sempurna.
Dengan kondisi wajah babak-belur, tidak mungkin Kevin pulang sekarang. Dia akan habis ditanyai banyak hal oleh ibunya. Makanya, dia memutuskan untuk berkeliling Bandung untuk mencari apotek dan membersihkan luka-lukanya. Namun, tidak disangka, tindakkannya malah membawa Kevin pada sebuah kafe yang baru dibuka tidak jauh dari Alun-alun Kota Bandung.
Tempat itu tampak asri dengan tanaman rambat di halaman depannya. Pepohonan hijau yang rimbun tumbuh di kanan dan kiri bangunan semi modern itu. Nyaris keseluruhan bangunannya terbuat dari kaca, hanya beberapa bagian saja yang terbuat dari bata merah dan semen.
Kevin memutuskan untuk mampir sejenak sambil menunggu luka-lukanya pulih, setidak-tidaknya jangan terlalu jelas terlihat saat dia pulang ke rumah nanti. Di zaman modern seperti sekarang ini, anak sekolah jajan di kafe adalah hal yang biasa. Apalagi untuk Kevin, seorang anak dari keluarga kaya-raya. Itu bukan hal yang sulit dilakukan.
Dia berjalan santai memasuki bangunan asri itu sambil menenteng tas hitamnya dengan tangan kiri. Saat masuk, aroma kopi menyeruak ke penciumannya, membuat dia menarik napas sangat dalam hingga dadanya membusung. Ada rasa nyaman yang menjalari tubuhnya, memaksa Kevin tersenyum ringan.
“Selamat datang,” sapa seorang gadis yang menjadi pelayan di kafe itu. Tatapan Kevin langsung tertuju pada ruangan yang tampak sederhana, tapi menyuguhkan kesan elegan yang kental.
“Terima kasih,” balas Kevin sambil menilik keadaan sekitar. Kafe itu tampak sepi. Mungkin karena masih baru, jadi tidak ada yang tahu lokasinya. Dan, Kevin tidak akan memikirkan apa alasannya. Dia lalu melenggang menuju meja di dekat jendela, dua petak dari dua remaja yang tengah meminum kopi.
Namun, saat Kevin akan melangkah melewati lelaki di hadapannya, perempuan yang jadi lawan bicara si lelaki itu berdiri sambil membawa cangkir. Tubuhnya yang ramping berbenturan dengan bahu Kevin, membuat gelas yang akan dia bawa ke luar kafe itu jatuh dan pecah berserakan.
“Astaga. Saya minta maaf,” ucap Kevin dengan mata memelotot kaget. Lelaki yang diduga adalah pacarnya itu tampak mengepalkan tangan, gigi-giginya gemeretak.
“Iya. Aku yang salah, kok,” kata si gadis sambil menepuki bahu Kevin yang tadi membentur tubuhnya. Sontak saja, perbuatan si gadis mengundang amarah pacarnya dan mendorong Kevin dengan kencang.
“Minggir lo!” katanya. “Dan, kamu, ayo ikut aku!” bentak si lelaki. Mereka pun pergi ke luar kafe sambil bertengkar.
“Astaga. Hari ini ada apa, ya? Saya apes banget kayaknya,” ucap Kevin sambil mulai jongkok untuk memunguti beling. Namun, saat akan melakukannya, tiba-tiba seseorang memakai sepatu hitam berdiri di hadapannya.
Tepat saat Kevin mendongak, lelaki itu memelotot nyalang ke arahnya.
“Eh, lo yang di sana!” tunjuk si lelaki itu.
Kevin baru saja akan memunguti pecahan gelas di hadapannya, saat tiba-tiba dia terhenti karena kedatangan seseorang bersepatu hitam polos. Sosok itu berdiri tepat di hadapannya sambil berkacak pinggang. Kevin yang merasa bersalah, lalu mendongak dengan perlahan. Rasa bersalah menggerogoti dirinya begitu saja.“Bagus. Lo pecahin gelas-gelas di kafe gue,” kata si lelaki sambil menurunkan kedua tangannya dari pinggang, lalu melipatnya di dada dengan tatapan sinis. Kevin meneguk ludahnya sekencang dia bisa sambil berusaha untuk tenang. “Dan, sekarang apa lo bakal tanggung jawab?” tanyanya. Ada senyum mengejek yang timbul di bibir merah tipisnya.Gawat! Masalah lagi, batin Kevin sambil mencoba berdiri di hadapan lelaki itu. Dia sedikit mendongak karena perbedaan tinggi tubuh di antara keduanya.“Maafkan saya,” ucap Kevin, kemudian dia menunduk. Sekarang, Kevin tidak berani menatap mata hitam arang lelaki itu. “Saya a
Dua hari sudah berlalu sejak ayah Kevin memberitahu soal sekolah futsal kepadanya. Setelah hari itu, Kevin jadi banyak melamun. Bukan hanya karena beasiswa yang ditawarkan sahabat ayahnya itu, tapi juga karena ketidakjelasan orientasi seksualnya. Ternyata, ketidaksukaanya pada bidang olahraga ada kaitannya dengan rasa suka kepada sejenisnya. Itu yang dia asumsikan beberapa hari ini.Kevin merasa, kecenderungan suka pada sesamanya, membuat dia menjadi lelaki yang tidak wajar. Dia menjadi lebih banyak diam, tidak senang bergaul dengan teman lelakinya dan menjauhi hal-hal yang membuatnya berkeringat. Mungkin memang wajar jika ada segelintir lelaki yang tidak suka main futsal. Namun, tidak banyak lelaki yang tidak menyukai olahraga.Siang ini, dia sedang duduk di depan perpustakaan sambil membaca buku yang dia beli di toko buku beberapa waktu lalu. Jaket kuning kedodorannya tampak cerah di bawah cahaya matahari yang merambat melalui celah daun pohon mangga. Kevin anteng me
“Anak kurang ajar! Enggak tahu terima kasih!” Galang menyeret Kevin ke kamarnya, lalu mendorongnya kencang hingga tubuh Kevin terjerembab di dekat ranjang. Kacamatanya jatuh, tapi tidak sampai pecah.“Ayah enggak pernah denger apa yang saya mau. Tapi, Ayah mau saya denger apa yang Ayah mau. Itu enggak adil!” ucap Kevin dengan nada tinggi. Dia tidak sadar sudah membentak ayahnya sendiri karena sudah kesal dengan sikap ayahnya yang selalu saja mengaturnya.“Tutup mulutmu!” Galang mondar-mandir di pintu masuk, sesekali mengurut batang hidungnya sambil tangan satunya ditaruh di pinggangnya. “Kamu jadi cowok terlalu lembek. Masa maen futsal aja enggak bisa? Kamu udah nolak kesempatan dan bikin malu. Jangan malu-maluin Ayah begitu. Mau ditaruh di mana muka Ayah?” tanyanya.Kevin menarik napas dalam-dalam. Ada rasa sakit yang terus menggerogoti hatinya saat Galang mengatainya ‘cowok lembek’. Dia memang sadar d
Kevin datang sendiri ke tempat pelatihan di hari pertamanya. Awalnya Galang ingin menemaninya, tapi dia masih harus ke luar kota untuk mengurusi sesuatu. Jadi, sore ini setelah pulang sekolah, dia melakukan latihan pertamanya sendirian.“Makin banyak aja cowok ganteng di sini,” ucap Kevin sambil berjalan di koridor. Tempat latihan itu berupa gedung olahraga serbaguna. Kevin mengendap-endap di balik pilar hijau sepanjang koridor sambil melihat satu-dua lelaki sepulang dari ruang latihan.Di sisi kanan koridor terdapat lapangan hijau yang luas, di sana terdapat banyak anak yang sedang latihan. Mungkin karena terlalu banyak murid, jadi mereka latihan di luar ruangan. Itu yang Kevin pikirkan saat pertama kali melihatnya.Dia tersentak saat melihat pemandangan yang tidak disangka-sangka di depannya. Darah di tubuhnya kembali memanas saat melihat laki-laki yang datang melewatinya hanya mengenakan celana boxer tanpa pakaian, menampilkan tubuh indah penuh ot
Hari-hari di sekolah menjadi sangat menyebalkan bagi Kevin belakangan ini. Dia semakin merasa tidak nyaman berada di kelas karena tatapan dingin teman-temannya. Setiap perbuatan rasanya diperhatikan, membuat dia selalu melakukan kesalahan.Di jam olahraga, teman laki-lakinya mengolok-olok dan menyuruhnya memakai rok. Selama di kelas, dia hanya duduk di kursi belakang sambil tidur selama jam pelajaran. Teman-temannya tidak ada yang membangunkannya sampai jam pelajaran terakhir berakhir.Kevin baru pulang saat satpam keliling kelas untuk mengecek dan mengunci pintu. Dia lalu mampir ke kafe milik Steven karena hari ini tidak ada latihan karate. Kevin hanya ingin berbagi harinya yang buruk kepada sahabatnya itu.Bunyi lonceng terdengar saat pintu kaca didorong, membuat Steven yang sedang melayani pelanggang menoleh dan tersenyum, menyambut Kevin yang datang lagi ke kafenya.“Masih kusut aja itu muka. Bukannya lo udah ikut latihan karate, ya? Udah bisa b
Saat sampai di indekos Henry, Kevin dibuat menggeleng beberapa kali. Ternyata tempat tinggalnya selama ini tidak lebih dari ruangan kecil memanjang yang disekat tiga, terbagi dari ruang depan, kamar dan dapur. Kevin pikir Henry hidup bermewah-mewahan seperti dirinya. Ketika Henry bilang dia tinggal di indekos, Kevin sempat mengira tempatnya mewah seperti dalam bayangannya.Kevin kemudian masuk sambil masih memakai sepatunya, tapi Henry mencegahnya, membuatnya malu setengah mati. Dia terkekeh-kekeh sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal.“Ini kost-an gue, bukan rumah mewah di tempat lu yang bisa lo masukin pake sepatu,” kata Henry sambil menggeleng, tapi Kevin hanya cengengesan merasa tidak berdosa, lalu melepas sepatu dan menaruhnya di samping pintu.Indekos itu berupa bangunan memanjang dari kiri sampai kanan, terdiri dari sembilan pintu. Ruangan Henry berada di paling ujung, dekat dengan pagar pembatas antara rawa dan pemukiman. Kevin sempat mel
“Kevin?” tanya Henry, dia menghampiri Kevin diikuti gadis tadi di belakangnya yang masih saja mengunyah jagung dari bungkus di tangan Henry. “Gue enggak tahu kalau lo maen ke sini. Tadi lo bilang lagi cari makan. Di sini, toh?”Kevin membatu. Rasanya dia sebal pada Henry tanpa alasan yang jelas. Dia hanya mengangguk sambil berusaha untuk tersenyum, lalu kedua matanya yang cokelat madu menoleh pada gadis di samping Henry.“Siapa dia?” tanya Audry, menilik penampilan Henry yang keren dan kekinian. Mata gadis itu teralihkan pada gadis di sampingnya yang terlihat cantik dan modis. “Kalian saling kenal?”“Gue temen latihan karate Kevin.” Henry mengulurkan tangannya pada Audry dan dibalas dengan lembut. “Karena kebetulan ketemu kalian di sini, kenapa enggak gabung aja nonton bareng sama kami?” tanya Henry, membuat gadis di sampingnya merengut tidak suka.“Bol—“&ldq
Kevin duduk di belakang rumahnya sambil bermain gitar. Telinganya ditutup dengan earphone berukuran cukup besar, mendengarkan musik bervolume tinggi. Alunan musik dari Getsunova berjudul The Loudest Silence menjadi teman rasa sakit yang menjalari hatinya.Dia sedang dilanda gundah-gulana. Ternyata mencintai diam-diam adalah hal yang menyakitkan. Seseorang pernah menulis ini dalam sosial media dan Kevin sempat membacanya sekilas. Mencintai adalah seni paling sederhana menyakiti diri sendiri. Dan, Kevin benar-benar setuju pada pendapat itu. Sekarang dia memang sedang tersakiti saat mencintai seseorang.Tidak habis pikir, padahal dia belum lama mengenal Henry. Namun, hatinya sudah tertambat dengan cepat. Hati terdalamnya terus berteriak, menyebut nama Henry yang tidak bisa digapai dan direngkuhnya. Akan tetapi, akal sehatnya menyadarkannya dari semua ketidakwarasan. Henry adalah kemustahilan yang selalu diaminkan olehnya belakangan ini.S
Kevin baru saja turun dari mobilnya ketika tiba-tiba seorang anak lelaki mencengkram ujung kemeja kuningnya dengan kencang, membuatnya terkejut dan nyaris memarahi anak itu. Namun, ketika dia akan melakukannya, kedua matanya terhenti pada sosok lelaki yang sekarang berdiri di ujung jalan.“Om, Om, kata Ayah, Om teman sekolahnya Ayah dulu, ya?” tanya anak lelaki berumur lima tahun itu sambil menarik ujung kemeja Kevin terus-menerus. Kevin yang tadinya kesal menjadi melunak dan berjongkok di hadapannya.“Emang begitu, Dek? Siapa yang bilang kalau Om temen sekolahnya ayahmu?” tanya Kevin sambil mencubit pipi tembem anak itu dengan gemas.“Ayah. Tadi Ayah bilang, Om yang baru turun dari mobil kuning itu temannya. Apa emang bener?” balas si anak lelaki itu sambil menggaruk bawah dagunya karena bingung. Dia lalu menoleh pada mobil kuning di belakang Kevin dengan mata berbinar. “Itu Bumble Bee, kan, Om?”Kevin terb
Kepergian Kevin membuat semua orang yang ada di mobil itu terdiam. Mereka sama-sama kaget dengan reaksi Kevin setelah Henry mengatakan putus kepadanya. Sementara itu, Audry yang masih penasaran terus mendesak Henry untuk menjawab.“Itu karena gue bener-bener butuh duit. Sebenarnya hidup gue berantakan. Hutang gue di mana-mana. Selama ini gue cuma bisa lari dan minta waktu sama mereka, tapi belakangan ini penagih hutang itu enggak memberi gue kesempatan lagi.”“Buat apa lo ngutang ke mana-mana, Bro?” tanya Rendi, dia penasaran dengan kehidupan Henry yang baru saja diketahuinya itu. Dia mengira selama ini Henry baik-baik saja dengan kehidupannya.Untuk ukuran anak yang berbakat macam Henry, akan mudah menjalani hidup dengan semua kemampuannya, apalagi menjadi seorang pelatih karate di pusat pelatihan besar. Namun, semua perkiraan itu tidak membuktikan apa pun. Faktanya, Henry hidup sengsara.“Gue kena tipu. Selama ini,
Percakapan mereka terhenti saat seseorang mendorong pintu kaca, membuat semua menoleh ke arah pintu dan mendapati seseorang berdiri di sana. Kevin mengernyit heran saat orang itu masuk.“Kirain kafenya tutup,” ucap orang itu sambil mendekat, lalu berdiri di depan mereka berempat. Orang itu adalah pelanggan yang datang sepulang kerja dan ingin menikmati minuman di kafe Steven.“Kafenya buka, Kak. Silakan pilih meja yang mana, pelayan kami akan menyiapkan semuanya,” balas Steven sambil menepuk tangannya satu kali, membuat seorang pelayan datang menyerahkan menu ke orang itu.Rendi, lelaki vokalis itu berdeham, membuat semua orang kembali menoleh kepadanya. “Jadi, kita bisa lanjut soal Henry?” tanyanya.“Bawa kami ke sana sekarang,” kata Steven, lalu berdiri dari duduknya untuk mendatangi salah satu pelayan dan memberitahukan sesuatu soal penjagaan kafe selama dirinya tidak ada.Audry dan Kevin ikut berd
Mendadak saja Kevin merasakan kesedihan yang mendalam. Dadanya yang semula terasa ringan, tiba-tiba menjadi sesak dan penuh. Dia bahkan sampai tidak kuasa mengendarai motornya, Sepanjang jalan, dia hanya menatapi aspal yang terus tergilas roda motor kuningnya.Pikirannya terbang pada Henry yang sekarang menghilang tanpa jejak. Ada rasa sakit yang menjalar di dadanya ketika dia ingat kenangan bersamanya. Tentang bagaimana mereka memulai semuanya, menjalani hari-hari sulit di tempat pelatihan, sampai menjadi sepasang kekasih yang singkat.Ketika Audry mengajaknya bicara, Kevin tanpa sadar menitikan air matanya. Entah karena debu jalanan atau angin dari udara kota yang kotor, tapi matanya terasa sangat perih.“Kamu yakin orang itu tahu sesuatu?” tanya Audry sambil menoleh pada kaca spion kiri, menatap Kevin yang masih saja melamun. Dia mengembuskan napasnya pelan, lalu menurunkan kecepatan motornya dan menepi.Menyadari kendaraan yang dinaikinya
“Bantu saya cari Henry, Audry. Saya mohon. Banyak hal yang harus saya katakan kepadanya,” ucap Kevin, tampak sangat sedih. Kehilangan Henry memberi dampak yang jauh lebih menyakitkan di dalam hatinya. Meskipun dia tahu, kedua orangtuanya sangat kecewa dan lebih sakit hati olehnya.“Kita bisa bicarakan itu besok, Key. Sekarang, aku mau kamu datangi Om Galang dan bilang semuanya sama dia.”“Saya takut, Audry.” Kevin menggeleng.“Apa yang bikin kamu takut?” tanya Audry sambil mengernyitkan dahi. Mereka masih berdiri di koridor, tepat di depan pintu kamar Kevin. Sejak kepergian Lesti tadi, wanita itu masih belum kembali.“Ayah kecewa banget sama saya, begitu juga Ibu. Saya enggak mau bikin mereka makin sakit hati dengan—““Itu, kan cuma pikiran kamu aja. Mereka itu orangtuamu. Baik-buruknya kamu, mereka akan menerima. Percayalah,” potong Audry kesal. Baginya, Kevin terl
Beberapa menit setelah kepergian Audry, Kevin tidak merasakan lagi keberadaanya di balik pintu itu. Setelah merasa semua kembali sunyi, dia memutuskan untuk pindah ke ranjang, mengistirahatkan tubuhnya yang semakin terasa lemas.Namun, ketika dia akan melangkah, matanya tertuju pada secarik kertas yang tergeletak di bawah pintu, bersisian dengan barang-barang yang dia lempar secara acak kemarin. Dia mulai penasaran dengan kertas itu dan berjalan menghampirinya.“Kertas? Surat dari Audry?” gumamnya sambil meraih kertas itu dengan tangan kirinya, lalu matanya yang cokelat memindai tulisan tangan di dalamnya. “Hah? Ini cerpen?” katanya lagi semakin bingung.Tulisan itu berisi seperti ini :Kevin, aku bukan penulis. Jadi, maaf kalau tulisanku ini berantakan. Kamu pasti enggak akan kuat bacanya, tapi aku mohon baca sampai akhir. Oke, jadi begini.Di suatu tempat yang enggak jauh-jauh amat, ada seorang anak kecil yang
Kevin tidak pernah menyangka jika semua akan menjadi seperti ini. Dia pikir, dengan pulangnya dia ke rumah akan membuat suasana menjadi lebih baik. Ayahnya tidak akan membahas perihal larangannya berteman dengan Henry.Dia mendorong pintu kamarnya dengan kencang, membuat daun pintu itu membentur dinding di belakangnya, menghasilkan suara yang bergema di lorong lantai dua. Kevin marah sekali kepada Galang. Kekuatan pada otot-ototnya sekarang sudah jauh lebih kuat untuk dia gunakan sebagai alat perusak lemari di kamarnya.“Saya enggak pernah dapat kebebasan!” teriaknya sambil meninju cermin berukuran besar yang ada di lemari itu dengan sekali tarikan napas. Kevin sedikit meringis ketika serpihan kaca melukai punggung tangannya, menggoreskan luka yang tidak sebanding dengan sakit di hatinya yang terus terasa menyakitkan.“Kevin!” teriak Henry, membuat Kevin menoleh dengan wajah yang sudah habis disapu air mata. Lelaki berkacamata itu menundu
Kevin benar-benar kesal kepada Audry karena sudah membawanya ke tempat terkutuk seperti itu. Dia nyaris saja kehilangan ciuman pertamanya oleh orang yang bahkan baru dikenalnya beberapa menit di pesta ulang tahun orang lain.Dia tidak mengatakan sepatah kata pun sampai Audry turun dari taksi daring. Kevin lalu turun setelahnya ketika mobil sewaan itu sampai di indekos Henry tepat jam sepuluh malam. Malam ini dia masih akan tidur di sana sampai setidaknya beberapa hari ke depan.Seketika saja saat dia mencapai gerbang indekos, rasa bersalah mulai muncul. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Henry ketika dirinya menjemput Kevin di alun-alun tadi sore, tapi dia tidak ada di sana menunggunya.Kevin mengendap-endap di depan indekos yang lain, lalu berhenti ketika tepat berdiri di depan indekos Henry. Lampunya mati dan pintunya dikunci.“Apa Henry belum pulang? Tapi, ke mana dia malam-malam begini?” gumamnya. Pesan WA-nya masih belum dibalas
Kevin bolos sekolah karena dia tidak bawa seragamnya saat kabur dari rumah kemarin. Beruntungnya, masih ada rumah yang mau menampungnya untuk bermalam saat hujan mengguyur Bandung malam hari. Siapa lagi kalau bukan Henry, sosok penyelamat yang jadi tempat pulang satu-satunya di saat rumah aslinya menjadi sebuah ancaman.Saat kedatangan Kevin malam-malam di indekosnya, Henry jelas kaget. Namun, dia tidak banyak bertanya karena sudah tahu apa yang menjadi akar masalah di kehidupan Kevin. Jika bukan soal perjodohan, pasti perihal bisnis, pikir Henry.Sayangnya, Henry tidak tahu jika masalah sebenarnya, perihal kedekatan dirinya dengan Kevin yang membuat Galang risi.Pagi harinya, saat Henry akan berangkat kerja di tempat disain grafisnya, Kevin masih terlelap dengan tenang di kasur tipis indekos. Lelaki bermata cokelat madu itu tampak damai berada di tempat tinggal keduanya. Henry diam-diam meraih ponsel Kevin yang tergeletak di sampingnya.“Hidup lo e