Kevin benar-benar kesal kepada Audry karena sudah membawanya ke tempat terkutuk seperti itu. Dia nyaris saja kehilangan ciuman pertamanya oleh orang yang bahkan baru dikenalnya beberapa menit di pesta ulang tahun orang lain.
Dia tidak mengatakan sepatah kata pun sampai Audry turun dari taksi daring. Kevin lalu turun setelahnya ketika mobil sewaan itu sampai di indekos Henry tepat jam sepuluh malam. Malam ini dia masih akan tidur di sana sampai setidaknya beberapa hari ke depan.
Seketika saja saat dia mencapai gerbang indekos, rasa bersalah mulai muncul. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Henry ketika dirinya menjemput Kevin di alun-alun tadi sore, tapi dia tidak ada di sana menunggunya.
Kevin mengendap-endap di depan indekos yang lain, lalu berhenti ketika tepat berdiri di depan indekos Henry. Lampunya mati dan pintunya dikunci.
“Apa Henry belum pulang? Tapi, ke mana dia malam-malam begini?” gumamnya. Pesan WA-nya masih belum dibalas
Kevin tidak pernah menyangka jika semua akan menjadi seperti ini. Dia pikir, dengan pulangnya dia ke rumah akan membuat suasana menjadi lebih baik. Ayahnya tidak akan membahas perihal larangannya berteman dengan Henry.Dia mendorong pintu kamarnya dengan kencang, membuat daun pintu itu membentur dinding di belakangnya, menghasilkan suara yang bergema di lorong lantai dua. Kevin marah sekali kepada Galang. Kekuatan pada otot-ototnya sekarang sudah jauh lebih kuat untuk dia gunakan sebagai alat perusak lemari di kamarnya.“Saya enggak pernah dapat kebebasan!” teriaknya sambil meninju cermin berukuran besar yang ada di lemari itu dengan sekali tarikan napas. Kevin sedikit meringis ketika serpihan kaca melukai punggung tangannya, menggoreskan luka yang tidak sebanding dengan sakit di hatinya yang terus terasa menyakitkan.“Kevin!” teriak Henry, membuat Kevin menoleh dengan wajah yang sudah habis disapu air mata. Lelaki berkacamata itu menundu
Beberapa menit setelah kepergian Audry, Kevin tidak merasakan lagi keberadaanya di balik pintu itu. Setelah merasa semua kembali sunyi, dia memutuskan untuk pindah ke ranjang, mengistirahatkan tubuhnya yang semakin terasa lemas.Namun, ketika dia akan melangkah, matanya tertuju pada secarik kertas yang tergeletak di bawah pintu, bersisian dengan barang-barang yang dia lempar secara acak kemarin. Dia mulai penasaran dengan kertas itu dan berjalan menghampirinya.“Kertas? Surat dari Audry?” gumamnya sambil meraih kertas itu dengan tangan kirinya, lalu matanya yang cokelat memindai tulisan tangan di dalamnya. “Hah? Ini cerpen?” katanya lagi semakin bingung.Tulisan itu berisi seperti ini :Kevin, aku bukan penulis. Jadi, maaf kalau tulisanku ini berantakan. Kamu pasti enggak akan kuat bacanya, tapi aku mohon baca sampai akhir. Oke, jadi begini.Di suatu tempat yang enggak jauh-jauh amat, ada seorang anak kecil yang
“Bantu saya cari Henry, Audry. Saya mohon. Banyak hal yang harus saya katakan kepadanya,” ucap Kevin, tampak sangat sedih. Kehilangan Henry memberi dampak yang jauh lebih menyakitkan di dalam hatinya. Meskipun dia tahu, kedua orangtuanya sangat kecewa dan lebih sakit hati olehnya.“Kita bisa bicarakan itu besok, Key. Sekarang, aku mau kamu datangi Om Galang dan bilang semuanya sama dia.”“Saya takut, Audry.” Kevin menggeleng.“Apa yang bikin kamu takut?” tanya Audry sambil mengernyitkan dahi. Mereka masih berdiri di koridor, tepat di depan pintu kamar Kevin. Sejak kepergian Lesti tadi, wanita itu masih belum kembali.“Ayah kecewa banget sama saya, begitu juga Ibu. Saya enggak mau bikin mereka makin sakit hati dengan—““Itu, kan cuma pikiran kamu aja. Mereka itu orangtuamu. Baik-buruknya kamu, mereka akan menerima. Percayalah,” potong Audry kesal. Baginya, Kevin terl
Mendadak saja Kevin merasakan kesedihan yang mendalam. Dadanya yang semula terasa ringan, tiba-tiba menjadi sesak dan penuh. Dia bahkan sampai tidak kuasa mengendarai motornya, Sepanjang jalan, dia hanya menatapi aspal yang terus tergilas roda motor kuningnya.Pikirannya terbang pada Henry yang sekarang menghilang tanpa jejak. Ada rasa sakit yang menjalar di dadanya ketika dia ingat kenangan bersamanya. Tentang bagaimana mereka memulai semuanya, menjalani hari-hari sulit di tempat pelatihan, sampai menjadi sepasang kekasih yang singkat.Ketika Audry mengajaknya bicara, Kevin tanpa sadar menitikan air matanya. Entah karena debu jalanan atau angin dari udara kota yang kotor, tapi matanya terasa sangat perih.“Kamu yakin orang itu tahu sesuatu?” tanya Audry sambil menoleh pada kaca spion kiri, menatap Kevin yang masih saja melamun. Dia mengembuskan napasnya pelan, lalu menurunkan kecepatan motornya dan menepi.Menyadari kendaraan yang dinaikinya
Percakapan mereka terhenti saat seseorang mendorong pintu kaca, membuat semua menoleh ke arah pintu dan mendapati seseorang berdiri di sana. Kevin mengernyit heran saat orang itu masuk.“Kirain kafenya tutup,” ucap orang itu sambil mendekat, lalu berdiri di depan mereka berempat. Orang itu adalah pelanggan yang datang sepulang kerja dan ingin menikmati minuman di kafe Steven.“Kafenya buka, Kak. Silakan pilih meja yang mana, pelayan kami akan menyiapkan semuanya,” balas Steven sambil menepuk tangannya satu kali, membuat seorang pelayan datang menyerahkan menu ke orang itu.Rendi, lelaki vokalis itu berdeham, membuat semua orang kembali menoleh kepadanya. “Jadi, kita bisa lanjut soal Henry?” tanyanya.“Bawa kami ke sana sekarang,” kata Steven, lalu berdiri dari duduknya untuk mendatangi salah satu pelayan dan memberitahukan sesuatu soal penjagaan kafe selama dirinya tidak ada.Audry dan Kevin ikut berd
Kepergian Kevin membuat semua orang yang ada di mobil itu terdiam. Mereka sama-sama kaget dengan reaksi Kevin setelah Henry mengatakan putus kepadanya. Sementara itu, Audry yang masih penasaran terus mendesak Henry untuk menjawab.“Itu karena gue bener-bener butuh duit. Sebenarnya hidup gue berantakan. Hutang gue di mana-mana. Selama ini gue cuma bisa lari dan minta waktu sama mereka, tapi belakangan ini penagih hutang itu enggak memberi gue kesempatan lagi.”“Buat apa lo ngutang ke mana-mana, Bro?” tanya Rendi, dia penasaran dengan kehidupan Henry yang baru saja diketahuinya itu. Dia mengira selama ini Henry baik-baik saja dengan kehidupannya.Untuk ukuran anak yang berbakat macam Henry, akan mudah menjalani hidup dengan semua kemampuannya, apalagi menjadi seorang pelatih karate di pusat pelatihan besar. Namun, semua perkiraan itu tidak membuktikan apa pun. Faktanya, Henry hidup sengsara.“Gue kena tipu. Selama ini,
Kevin baru saja turun dari mobilnya ketika tiba-tiba seorang anak lelaki mencengkram ujung kemeja kuningnya dengan kencang, membuatnya terkejut dan nyaris memarahi anak itu. Namun, ketika dia akan melakukannya, kedua matanya terhenti pada sosok lelaki yang sekarang berdiri di ujung jalan.“Om, Om, kata Ayah, Om teman sekolahnya Ayah dulu, ya?” tanya anak lelaki berumur lima tahun itu sambil menarik ujung kemeja Kevin terus-menerus. Kevin yang tadinya kesal menjadi melunak dan berjongkok di hadapannya.“Emang begitu, Dek? Siapa yang bilang kalau Om temen sekolahnya ayahmu?” tanya Kevin sambil mencubit pipi tembem anak itu dengan gemas.“Ayah. Tadi Ayah bilang, Om yang baru turun dari mobil kuning itu temannya. Apa emang bener?” balas si anak lelaki itu sambil menggaruk bawah dagunya karena bingung. Dia lalu menoleh pada mobil kuning di belakang Kevin dengan mata berbinar. “Itu Bumble Bee, kan, Om?”Kevin terb
Bandung adalah kota yang dingin dan asri. Dengan udara yang dingin dan menyejukkan seperti itu, membuat beberapa orang lebih memilih melakukan aktivitas agar merasa hangat. Namun, tidak untuk beberapa anak kelas dua belas yang sedang dalam mata pelajaran renang. Mereka rela telanjang dada dan hanya mengenakan celana dalam renang ketat yang membentuk jelas alat vital. Kevin, lelaki bermata empat dengan warna cokelat madu, tengah mengendap-endap di balik ruang bilas kolam renang. Lehernya yang panjang menampilkan tonjolan jakun yang terus naik-turun seiring ludahnya yang meluncur dengan cepat. Napasnya berderu kencang saat dia merasakan panas di pembuluh darah yang mengaliri jemarinya. Angin yang berembus kencang mengenai rambut hitam belah duanya, tidak cukup membuat dirinya tenang dan nyaman. Dia sengaja membolos hanya untuk datang ke area kolam renang di saat jam pelajarannya masih berlangsung. Sejak pagi, otaknya terus saja memikirkan tentang senior-senior tampan yang sedang telanj
Kevin baru saja turun dari mobilnya ketika tiba-tiba seorang anak lelaki mencengkram ujung kemeja kuningnya dengan kencang, membuatnya terkejut dan nyaris memarahi anak itu. Namun, ketika dia akan melakukannya, kedua matanya terhenti pada sosok lelaki yang sekarang berdiri di ujung jalan.“Om, Om, kata Ayah, Om teman sekolahnya Ayah dulu, ya?” tanya anak lelaki berumur lima tahun itu sambil menarik ujung kemeja Kevin terus-menerus. Kevin yang tadinya kesal menjadi melunak dan berjongkok di hadapannya.“Emang begitu, Dek? Siapa yang bilang kalau Om temen sekolahnya ayahmu?” tanya Kevin sambil mencubit pipi tembem anak itu dengan gemas.“Ayah. Tadi Ayah bilang, Om yang baru turun dari mobil kuning itu temannya. Apa emang bener?” balas si anak lelaki itu sambil menggaruk bawah dagunya karena bingung. Dia lalu menoleh pada mobil kuning di belakang Kevin dengan mata berbinar. “Itu Bumble Bee, kan, Om?”Kevin terb
Kepergian Kevin membuat semua orang yang ada di mobil itu terdiam. Mereka sama-sama kaget dengan reaksi Kevin setelah Henry mengatakan putus kepadanya. Sementara itu, Audry yang masih penasaran terus mendesak Henry untuk menjawab.“Itu karena gue bener-bener butuh duit. Sebenarnya hidup gue berantakan. Hutang gue di mana-mana. Selama ini gue cuma bisa lari dan minta waktu sama mereka, tapi belakangan ini penagih hutang itu enggak memberi gue kesempatan lagi.”“Buat apa lo ngutang ke mana-mana, Bro?” tanya Rendi, dia penasaran dengan kehidupan Henry yang baru saja diketahuinya itu. Dia mengira selama ini Henry baik-baik saja dengan kehidupannya.Untuk ukuran anak yang berbakat macam Henry, akan mudah menjalani hidup dengan semua kemampuannya, apalagi menjadi seorang pelatih karate di pusat pelatihan besar. Namun, semua perkiraan itu tidak membuktikan apa pun. Faktanya, Henry hidup sengsara.“Gue kena tipu. Selama ini,
Percakapan mereka terhenti saat seseorang mendorong pintu kaca, membuat semua menoleh ke arah pintu dan mendapati seseorang berdiri di sana. Kevin mengernyit heran saat orang itu masuk.“Kirain kafenya tutup,” ucap orang itu sambil mendekat, lalu berdiri di depan mereka berempat. Orang itu adalah pelanggan yang datang sepulang kerja dan ingin menikmati minuman di kafe Steven.“Kafenya buka, Kak. Silakan pilih meja yang mana, pelayan kami akan menyiapkan semuanya,” balas Steven sambil menepuk tangannya satu kali, membuat seorang pelayan datang menyerahkan menu ke orang itu.Rendi, lelaki vokalis itu berdeham, membuat semua orang kembali menoleh kepadanya. “Jadi, kita bisa lanjut soal Henry?” tanyanya.“Bawa kami ke sana sekarang,” kata Steven, lalu berdiri dari duduknya untuk mendatangi salah satu pelayan dan memberitahukan sesuatu soal penjagaan kafe selama dirinya tidak ada.Audry dan Kevin ikut berd
Mendadak saja Kevin merasakan kesedihan yang mendalam. Dadanya yang semula terasa ringan, tiba-tiba menjadi sesak dan penuh. Dia bahkan sampai tidak kuasa mengendarai motornya, Sepanjang jalan, dia hanya menatapi aspal yang terus tergilas roda motor kuningnya.Pikirannya terbang pada Henry yang sekarang menghilang tanpa jejak. Ada rasa sakit yang menjalar di dadanya ketika dia ingat kenangan bersamanya. Tentang bagaimana mereka memulai semuanya, menjalani hari-hari sulit di tempat pelatihan, sampai menjadi sepasang kekasih yang singkat.Ketika Audry mengajaknya bicara, Kevin tanpa sadar menitikan air matanya. Entah karena debu jalanan atau angin dari udara kota yang kotor, tapi matanya terasa sangat perih.“Kamu yakin orang itu tahu sesuatu?” tanya Audry sambil menoleh pada kaca spion kiri, menatap Kevin yang masih saja melamun. Dia mengembuskan napasnya pelan, lalu menurunkan kecepatan motornya dan menepi.Menyadari kendaraan yang dinaikinya
“Bantu saya cari Henry, Audry. Saya mohon. Banyak hal yang harus saya katakan kepadanya,” ucap Kevin, tampak sangat sedih. Kehilangan Henry memberi dampak yang jauh lebih menyakitkan di dalam hatinya. Meskipun dia tahu, kedua orangtuanya sangat kecewa dan lebih sakit hati olehnya.“Kita bisa bicarakan itu besok, Key. Sekarang, aku mau kamu datangi Om Galang dan bilang semuanya sama dia.”“Saya takut, Audry.” Kevin menggeleng.“Apa yang bikin kamu takut?” tanya Audry sambil mengernyitkan dahi. Mereka masih berdiri di koridor, tepat di depan pintu kamar Kevin. Sejak kepergian Lesti tadi, wanita itu masih belum kembali.“Ayah kecewa banget sama saya, begitu juga Ibu. Saya enggak mau bikin mereka makin sakit hati dengan—““Itu, kan cuma pikiran kamu aja. Mereka itu orangtuamu. Baik-buruknya kamu, mereka akan menerima. Percayalah,” potong Audry kesal. Baginya, Kevin terl
Beberapa menit setelah kepergian Audry, Kevin tidak merasakan lagi keberadaanya di balik pintu itu. Setelah merasa semua kembali sunyi, dia memutuskan untuk pindah ke ranjang, mengistirahatkan tubuhnya yang semakin terasa lemas.Namun, ketika dia akan melangkah, matanya tertuju pada secarik kertas yang tergeletak di bawah pintu, bersisian dengan barang-barang yang dia lempar secara acak kemarin. Dia mulai penasaran dengan kertas itu dan berjalan menghampirinya.“Kertas? Surat dari Audry?” gumamnya sambil meraih kertas itu dengan tangan kirinya, lalu matanya yang cokelat memindai tulisan tangan di dalamnya. “Hah? Ini cerpen?” katanya lagi semakin bingung.Tulisan itu berisi seperti ini :Kevin, aku bukan penulis. Jadi, maaf kalau tulisanku ini berantakan. Kamu pasti enggak akan kuat bacanya, tapi aku mohon baca sampai akhir. Oke, jadi begini.Di suatu tempat yang enggak jauh-jauh amat, ada seorang anak kecil yang
Kevin tidak pernah menyangka jika semua akan menjadi seperti ini. Dia pikir, dengan pulangnya dia ke rumah akan membuat suasana menjadi lebih baik. Ayahnya tidak akan membahas perihal larangannya berteman dengan Henry.Dia mendorong pintu kamarnya dengan kencang, membuat daun pintu itu membentur dinding di belakangnya, menghasilkan suara yang bergema di lorong lantai dua. Kevin marah sekali kepada Galang. Kekuatan pada otot-ototnya sekarang sudah jauh lebih kuat untuk dia gunakan sebagai alat perusak lemari di kamarnya.“Saya enggak pernah dapat kebebasan!” teriaknya sambil meninju cermin berukuran besar yang ada di lemari itu dengan sekali tarikan napas. Kevin sedikit meringis ketika serpihan kaca melukai punggung tangannya, menggoreskan luka yang tidak sebanding dengan sakit di hatinya yang terus terasa menyakitkan.“Kevin!” teriak Henry, membuat Kevin menoleh dengan wajah yang sudah habis disapu air mata. Lelaki berkacamata itu menundu
Kevin benar-benar kesal kepada Audry karena sudah membawanya ke tempat terkutuk seperti itu. Dia nyaris saja kehilangan ciuman pertamanya oleh orang yang bahkan baru dikenalnya beberapa menit di pesta ulang tahun orang lain.Dia tidak mengatakan sepatah kata pun sampai Audry turun dari taksi daring. Kevin lalu turun setelahnya ketika mobil sewaan itu sampai di indekos Henry tepat jam sepuluh malam. Malam ini dia masih akan tidur di sana sampai setidaknya beberapa hari ke depan.Seketika saja saat dia mencapai gerbang indekos, rasa bersalah mulai muncul. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Henry ketika dirinya menjemput Kevin di alun-alun tadi sore, tapi dia tidak ada di sana menunggunya.Kevin mengendap-endap di depan indekos yang lain, lalu berhenti ketika tepat berdiri di depan indekos Henry. Lampunya mati dan pintunya dikunci.“Apa Henry belum pulang? Tapi, ke mana dia malam-malam begini?” gumamnya. Pesan WA-nya masih belum dibalas
Kevin bolos sekolah karena dia tidak bawa seragamnya saat kabur dari rumah kemarin. Beruntungnya, masih ada rumah yang mau menampungnya untuk bermalam saat hujan mengguyur Bandung malam hari. Siapa lagi kalau bukan Henry, sosok penyelamat yang jadi tempat pulang satu-satunya di saat rumah aslinya menjadi sebuah ancaman.Saat kedatangan Kevin malam-malam di indekosnya, Henry jelas kaget. Namun, dia tidak banyak bertanya karena sudah tahu apa yang menjadi akar masalah di kehidupan Kevin. Jika bukan soal perjodohan, pasti perihal bisnis, pikir Henry.Sayangnya, Henry tidak tahu jika masalah sebenarnya, perihal kedekatan dirinya dengan Kevin yang membuat Galang risi.Pagi harinya, saat Henry akan berangkat kerja di tempat disain grafisnya, Kevin masih terlelap dengan tenang di kasur tipis indekos. Lelaki bermata cokelat madu itu tampak damai berada di tempat tinggal keduanya. Henry diam-diam meraih ponsel Kevin yang tergeletak di sampingnya.“Hidup lo e