Kevin datang sendiri ke tempat pelatihan di hari pertamanya. Awalnya Galang ingin menemaninya, tapi dia masih harus ke luar kota untuk mengurusi sesuatu. Jadi, sore ini setelah pulang sekolah, dia melakukan latihan pertamanya sendirian.
“Makin banyak aja cowok ganteng di sini,” ucap Kevin sambil berjalan di koridor. Tempat latihan itu berupa gedung olahraga serbaguna. Kevin mengendap-endap di balik pilar hijau sepanjang koridor sambil melihat satu-dua lelaki sepulang dari ruang latihan.
Di sisi kanan koridor terdapat lapangan hijau yang luas, di sana terdapat banyak anak yang sedang latihan. Mungkin karena terlalu banyak murid, jadi mereka latihan di luar ruangan. Itu yang Kevin pikirkan saat pertama kali melihatnya.
Dia tersentak saat melihat pemandangan yang tidak disangka-sangka di depannya. Darah di tubuhnya kembali memanas saat melihat laki-laki yang datang melewatinya hanya mengenakan celana boxer tanpa pakaian, menampilkan tubuh indah penuh otot-otot kotak di perut mereka.
“Gila. Ini, sih namanya bunuh diri. Saya enggak akan bisa kembali lurus kalau begini caranya,” katanya sambil terus melangkah. Dia menarik tali tasnya lebih kencang, membuat benda di punggungnya mencengkram tubuhnya lebih erat dari sebelumnya. Kevin lalu melanjutkan langkahnya memasuki gedung olahraga itu.
Selama melewati ruangan-ruangan kecil yang ada di koridor, Kevin melihat banyak sekali lelaki sedang mengganti pakaian. Mereka tampak senang sambil bercanda. Mendadak saja bayangan tentang pertemanan dan relasi di pelatihan karate terbayang di kepalanya. Kevin akan punya teman di sini, pikirnya.
Namun, ada hal yang terus saja mengganjal di kepalanya. Kevin jadi ingat tentang orientasi seksualnya yang menyimpang. Rasa resah dan semangat yang menggebu itu datang silih berganti menyerangnya. Apa itu artinya dia memang seorang homoseksual? Itu akan sulit baginya menjalin relasi secara sehat.
Orang-orang di pelatihan itu tampak segar dan menggairahkan. Bagi Kevin, itu bencana. Mereka bisa saja menjadi pembangkit rasa yang selama ini menganggunya. Akan tetapi, tekad dan niatnya untuk berubah terus membuatnya melawan. Ya, Kevin ingin sekali bisa kembali seperti semula.
Saat dia mengintip beberapa orang dari luar bangunan, seseorang menepuk pundaknya pelan, membuatnya terlonjak kaget dan nyaris menyumpahi orang itu dengan kata-kata kotor.
“Kenapa kamu enggak bilang kalau udah sampai di sini?” tanya lelaki berumur tiga puluhan yang kemarin Kevin temui saat bersama ayahnya itu sambil tersenyum karena merasa bersalah telah membuat Kevin terkejut. Pakaiannya serba putih, dari atas sampai bawah.
“Huh. Mas bikin saya kaget aja,” kata Kevin, dia lalu mengelus dadanya yang masih berdetak tidak keruan. “Saya juga baru dateng, kok. Langsung ke sini tadi.”
“Lagi apa kamu di sini? Ruang pelatihan pemula, kan ada di sana,” ucap lelaki itu sambil menunjuk ruangan kecil di samping gedung olahraga serbaguna. Bangunannya kecil, berbentuk kotak dan beratap genting warna oranye lapuk.
“Saya cuma lihat-lihat. Mereka kayaknya udah jago semua, ya? Bikin kurang percaya diri aja, deh.”
“Kalau kamu serius, enggak lama posisimu bakal kayak mereka. Seriuslah berlatih,” balas lelaki itu sambil mulai melangkah yang diikuti oleh Kevin di belakang.
Mereka berjalan ke arah bangunan itu. Di ujung pandangan, Kevin melihat seorang lelaki sedang berdiri menghadap ke arah mereka. Orang itu tampak sangat tampan, bahkan dari jarak yang sangat jauh.
“Dia adalah salah satu senior di sini. Dia pelatih sama sepertiku dan dia bisa jadi pembimbingmu ke depannya,” ucap lelaki itu sambil menunjuk orang baru yang berdiri di hadapan mereka. “Namanya Henry Chau. Dia akan memberitahumu apa pun yang kamu butuhkan,” jelasnya.
Sekali tatap saja, Kevin langsung tahu jika Henry adalah keturunan Chinese. Terlihat jelas dari kelopak matanya yang runcing seperti mata kucing. Henry memiliki wajah tirus dengan hidung mancung dan dagu yang lancip. Rambutnya cokelat terang disisir ke atas.
“Henry,” katanya, dia menglurukan tangannya sambil tersenyum.
“Saya Kevin. Mohon bantuannya, Kak.” Kevin mengangguk, lalu tersenyum tulus. Dia tahu jika Henry adalah orang yang baik, bahkan dari pertemuan pertama ini. Mungkin, ke depannya dia bisa menjadi teman dekat Henry. Namun, Kevin dengan cepat menggeleng karena tidak ingin membayangkan hal yang terlalu muluk.
“Ah, enggak. Jangan panggil Kakak. Umur kita enggak beda juah, kan? Gue baru dua puluh satu tahun. Henry aja,” katanya, lalu diangguki oleh Kevin pelan. “Lo bisa ikut gue ke ruangan di sana,” lanjut Henry sambil menunjuk bangunan tadi.
“Jaga dia, Hen. Jangan bikin nangis anak orang,” kata lelaki tadi sambil terkekeh-kekeh.
“Gila aja! Udah, lah. Trims, Bang Jhon. Gue antar dia dulu,” kata Henry, lalu mereka melangkah ke arah bangunan kotak itu bersamaan. Kevin mengangguk sopan pada Bang Jhon sebagai tanda terima kasih karena sudah mengantarnya.
Kevin dibawa berkeliling dahulu untuk mengenal tempat-tempat latihan. Setelah puas ke sana-kemari, akhirnya dia disuruh berganti pakaian di ruang ganti yang tadi dilewatinya di koridor.
“Gue tunggu lo di ruangan itu,” kata Henry sambil tersenyum. Dia tampak menilik penampilan Kevin dari atas sampai bawah, lalu matanya beralih pada jam tangan bermerek milik Kevin dan mengangguk. “Di ruang ganti ada banyak senior. Lo bisa tanya banyak hal sama mereka, sekalian kenalan. Lo udah pegang seragamnya, kan?”
Kevin mengangguk, lalu berlari ke ruang ganti. Di sana, dia malah dibuat tidak keruan dengan pemandangan yang ada. Senior-senior yang dimaksud oleh Henry itu lebih mirip malaikat berwajah tampan, daripada harus dikatakan manusia.
Mereka memiliki tubuh putih dan bersih, penuh dengan otot-otot yang menyembul di perut dan lengan mereka. Kevin menelan ludahnya dengan kasar, mencoba menahan hasrat yang terus bergejolak dalam dirinya.
Aroma keringat dan minyak wangi bercampur, membangkitkan rasa aneh yang membumbung tinggi di kepala Kevin.
“Permisi, saya murid baru di sini,” katanya, lalu masuk ke ruang ganti yang penuh dengan cobaan. Senior-senior itu menatapnya dengan tatapan merendahkan.
*
Kevin tidak menyangka jika ada begitu banyak gadis yang ikut dalam pelatihan karate ini. Akan sangat memalukan jika dia harus kalah oleh mereka. Dia dimasukkan ke barisan pemula. Kevin berdiri di belakang seorang gadis kuncir kuda yang tampak energik dan di belakangnya ada lelaki tambun yang sangat tinggi.
Orang-orang di sekelilingnya terlihat sangat bersemangat dan penuh energi. Kevin menjadi satu-satunya anak yang tampak gugup dan kaku.
“Kita kedatangan murid baru,” kata pelatih yang berdiri di depan mereka, lalu menunjuk Kevin dan menyuruhnya ke depan. “Silakan, Kevin, ke depan dan kenalkan diri kamu,” pintanya sambil mengangguk.
Kevin meneguk ludahnya kencang, merasa ada gundukkan aneh yang menahannya di kerongkongan, membuatnya seperti orang tolol yang tidak tahu caranya menelan ludah dengan benar. Mendadak saja tubuhnya panas-dingin. Dia merasakan keringat yang mengucur di balik seragam karatenya. Saat kakinya mulai melangkah, tatapan semua orang tertuju kepadanya.
Kevin melenggang ke depan dan berdiri di samping si pelatih dengan gugup. “Sa-saya Kevin,” ucapnya terbata. Kevin sama sekali tidak tahu harus berkata apa lagi sekarang. Mungkin sedikit berbasa-basi tidak masalah. “Sa-salam kenal. Saya be-belum menguasai apa pun soal karate.”
“Apa alasan kamu masuk ke sini?” tanya pelatih itu sambil menaruh kedua tangannya di dada, sementara Kevin gelagapan ditanya seperti itu olehnya. Kevin tidak punya alasan kuat karena dia dimasukkan oleh ayahnya. Namun, jika dia harus berkata yang sejujurnya, Kevin akan bilang ingin menjadi sosok yang gagah dan maco agar tidak dikatai banci.
“Sa-saya ingin bisa menjaga diri sendiri dan, dan bi-bisa melindungi orang lain,” jawab Kevin terbata. Otaknya mencari kata apa yang pas untuk menjawab, daripada harus mengatakan yang sebenarnya. Namun, dia juga tidak pandai berbohong, makanya saat melakukannya malah seperti itu.
“Bagus. Alasan yang masuk akal.”
Kevin mengangguk, lalu menelan ludahnya lagi dengan kasar.
“Nah, sekarang kamu coba buat kuda-kuda!” suruh pelatih. Kevin tampak kebingungan, tapi dia langsung membuat posisi kuda-kuda yang dimaksud. Kaki kanannya ke depan, sementara kaki satunya berada di belakang dan dalam posisi tegap seperti tengah berdiri normal.
“Begini?” tanyanya. Namun, Kevin malah mendapatkan tawa dari teman-temannya.
“Kamu yakin itu posisi yang tepat?” tanya pelatihnya sambil tersenyum. Meskipun ragu dengan jawabannya, Kevin tetap mengangguk.
“Kalau begitu, coba tahan ini,” ucap pelatih itu, lalu dia bergerak cepat ke arahnya dan melakukan kumite pada Kevin. Seketika saja tubuhnya oleng karena pondasinya tidak kokoh. Kevin terjerembab ke belakang dengan ekspresi tegang.
“Aw. Sakit,” katanya. Dan, tawa teman-temannya kembali terdengar, membuat wajah Kevin memerah panas. Di hari pertamanya, dia sudah dipermalukan seperti itu.
“Itu karena kuda-kudamu salah,” kata si pelatih, lalu menariknya berdiri. “Sekarang, coba perhatikan teman-temanmu yang lain dan pelajari.”
Tepat setelah ucapan pelatih barusan, anak-anak yang lain langsung membuat posisi kuda-kuda yang benar, tampak kokoh dan nyaris tidak bisa dirubuhkan seperti dirinya tadi.
“Ba-baik, Pak.” Kevin kemudian disuruh kembali dan bergabung dengan teman-temannya.
Latihan pun dilanjut dan Kevin benar-benar kesulitan karena dia masih sangat pemula. Dia diarahkan oleh seorang senior, tapi bukan Henry seperti apa yang dikatakan Bang Jhon tadi saat di luar. Kevin mencari-cari di mana Henry berada, tapi tidak ditemukan di mana pun.
Senior yang menjadi pelatihnya saat ini terus saja marah-marah karena Kevin tidak bisa mengikuti instruksinya dengan benar. Beberapa kali dia salah posisi dan tenaganya kurang kuat untuk melakukan posisi yang diarahkan.
“Lo cewek apa cowok, sih? Masa kalah sama Nadya?” tanya senior itu jengkel karena kuda-kuda Kevin terus saja goyah dan mudah dirobohkan.
“Maaf. Saya belum terbiasa dengan ini,” katanya sambil menunduk, menahan malu karena sejak tadi ditertawakan oleh teman-teman kelompoknya.
“Coba lagi!” titah senior itu tegas dan penuh amarah. Dia lalu meninggalkan Kevin untuk mengurusi juniornya yang lain.
Henry di ujung ruangan terdiam sambil menggeleng. Dia ingin menggantikan posisi senior yang menjadi pelatih Kevin sekarang, tapi dia masih harus mengurusi anak didik yang sama-sama belum menguasai tekniknya.
Kevin nyaris menyerah karena selalu gagal. Nadya, gadis paling menonjol dengan bakat alaminya yang menjadi teman kelompok, mengatai Kevin lembek, membuatnya meradang dan bilang kalau Nadya terlalu ikut campur dengan urusannya.
“Kamu urusi saja kuda-kudamu!” ucap Kevin kesal, sesekali menaikkan posisi kacamatanya yang terus turun.
“Ya, jangan sewot, dong! Gue, kan cuma mau bantu lo. Dasar banci!” balas Nadya meradang.
“Apa kamu bilang? Saya bukan banci!” kata Kevin tidak terima. Dia sudah siap memelesat ke arah Nadya dan hampir menamparnya. Akan tetapi, dia tersadar pada perkataan Lesti beberapa hari lalu. Ibunya bilang banci adalah lelaki yang hanya berani kepada wanita. Kevin tidak ingin menjadi banci.
“Apa? Lo mau nampar gue? Tampar aja! Lo emang banci, kan? Masa kuda-kuda aja kagak bisa. Kalah sama gue yang cewek begini,” ucapnya, lalu melengos meninggalkan Kevin. Teman-teman yang lainnya gasak-gusuk membicarakan Kevin dan mulai memisahkan diri darinya.
“Terserah kamu! Sok banget jadi cewek!” teriak Kevin, membuat orang-orang yang ada di sana menoleh kepadanya. Henry yang sedang melatih ikut menoleh, lalu tersenyum.
Saat istirahat, Kevin menyelinap keluar ruangan. Dia berniat mencari angin segar dan malah terdampar di ruang ganti senior. Kevin lalu mencoba mengintip apa yang sedang dilakukan orang-orang di dalam ruang ganti.
“Gila aja. Masa iya ada cowok kagak bisa bikin kuda-kuda? Lembek amat jadi cowok,” ucap lelaki botak yang tadi jadi seniornya, dia sedang menggantung pakaian di paku. Lelaki itu hanya mengenakan celana dalam dan sesuatu yang menonjol di bagian bawahnya membuat Kevin salah fokus. Lagi-lagi pemandangan yang membangkitkan gairahnya.
“Katanya doi anak orang kaya. Wajar, sih karena dimanja,” timpal lelaki satunya yang sama-sama mengenakan celana dalam. “Lo bakal kerepotan banget ngurusin dia.”
Kevin meradang mendengar itu di tempatnya. Dia berusaha untuk tidak terpancing, tapi ucapan senior itu ada benarnya, membuat Kevin semakin sakit hati dan sedih. Tepat saat dia akan kembali menguping, seseorang menepuk pundaknya, membuat dia terkejut bukan main.
“Udah, enggak usah lo dengerin mereka. Biasa mereka kayak begitu,” ucap Henry sambil tersenyum manis, menampilkan lesung pipi di bagian pipi kirinya. Tangannya yang putih berurat terulur, lalu menyentuh pundak Kevin lembut. “Sekarang lo mending istirahat dan isi tenaga buat entar,” tambahnya.
Kevin menggeleng. “Mereka bener, kok, Kak—eh, Henry. Saya cuma cowok lembek yang enggak bisa apa-apa.”
“Halah, jangan dramatis begitulah. Males gue dengernya,” kata Henry sambil terbahak, dia lalu merangkul Kevin dan membawanya ke belakang gedung olahraga untuk menyantap bekalnya.
“Terima kasih, Kak.” Kevin menoleh pada tangan Henry yang tertaut di pundaknya, membuat dia merasakan getar aneh yang menjalari seluruh tubuhnya. Napas Henry begitu segar dan hangat, memaksa Kevin menelan ludahnya dengan kasar berkali-kali.
“Kan, gue udah bilang jangan panggil Kakak. Kita, tuh enggak beda jauh umurnya. Berasa tua banget gue kalau lo panggil begitu,” ucap Henry, dia terus menatap Kevin dari samping, membuatnya salah tingkah ditatap dalam jarak sedekat itu.
“Saya cuma kebiasaan manggil seseorang yang lebih tua kayak begitu. Sori.”
“Saya?” tanya Henry, alis hitam tebalnya bertautan karena merasa janggal dengan ucapan Kevin barusan. “Lo manggil diri sendiri pake ‘saya’? Kaku banget lo,” katanya terbahak. Namun, Kevin hanya menunduk malu.
“Selain kaku, saya juga lembek. Bisa begitu, ya,” balasnya Kevin terkekeh-kekeh, melupakan perasaan aneh yang menjalari tubuhnya sejak tadi. Seakan-akan semua itu melebur begitu saja.
Henry terbahak, lalu melepas rangkulannya dan mengeluarkan bekal makanannya dari tas selempang batik yang dia bawa dari tadi. Henry membawa sekotak nasi goreng buatan sendiri dan menawarkannya kepada Kevin untuk makan berdua. Kevin malah menggeleng menolak.
“Apa senior di sini semuanya kayak mereka?” tanya Kevin.
“Maksud lo?”
“Pemarah kayak senior yang tadi ngajar saya. Saya enggak biasa sama karate, tapi senior itu kayak enggak paham kondisi saya yang pemula ini.”
“Kalau lo pikir semua senior di sini kayak si botak itu, terus gue apaan, Kevin?”
Entah kenapa, Kevin merasakan kehangatan di percakapannya bersama Henry ini—atau mungkin hanya karena Henry menyelamatkannya dari kesepian dan keterpurukan. Dia merasa bersama Henry itu aman. Kecanggungan yang menguar di udara, terkikis dengan sendirinya.
“Ya, siapa tahu kamu juga sama kayak mereka, kan? Saya, kan anak baru di sini,” kata Kevin mengedikkan bahunya pelan, lalu membetulkan posisi kacamatanya yang terus saja melorot dengan tangan kiri.
Henry membuka bekal makanannya, meraih sendok plastik warna putih, lalu menyendokkan nasi ke mulutnya sekali. “Jujur, gue agak terganggu sama cara ngomong lo yang kayak begitu. Lo bisa ganti pake ‘gue’ atau ‘aku’ aja pas ngomong sama gue?” tanya Henry sambil mengunyah.
“Saya akan coba. Cara ngomong kayak begini udah ada sejak SD. Saya enggak tahu kenapa.”
“Kalau emang enggak bisa, jangan dipaksa. Gue cuma kagok aja dengernya,” ucap Henry masih mengunyah. Dia lalu menoleh pada nasi yang baru habis beberapa sendok. “Jadi, lo mau makan apa enggak?” tanyanya, membuat Kevin kembali menggeleng.
Mereka kemudian diam dalam keheningan. Kevin sibuk memerhatikan Henry makan, sementara yang ditatap malah anteng menghabiskan makannya sebelum jam istirahat berakhir.
Kevin sempat risi karena di hari pertamanya sudah melakukan kesalahan yang membuat dirinya dijauhi teman-temannya. Bayangan tentang pertemanan dan relasi yang dia buat di awal itu hilang dalam sekejap. Namun, dengan adanya Henry, membuat dia menjadi yakin bisa melewati hari-hari berat di pelatihan ini dengan senang hati.
“Jadi, lo emang anak orang kaya?” tanya Henry setelah nasinya benar-benar habis.
“Apa itu masalah?” jawab Kevin dengan tampang penasaran. Setahunya, senior di ruang ganti tadi sempat menyinggung soal statusnya juga.
“Enggak masalah, sih buat gue. Gue cuma penasaran aja. Kalau lo anak orang kaya, harusnya, kan diantar sopir pribadi dan dikawal sama dua pengawal yang kakunya kayak kanebo kering. Sama kayak lo,” balas Henry terbahak lagi.
“Saya bukan anak orang kaya yang begitu,” balas Kevin. “Tapi, kalau kamu mau lihat saya diantar, besok saya bisa suruh sopir pribadi antar saya ke sini,” tambah Kevin sambil tersenyum sombong, lebih pada ekspresi mengejek Henry.
“Gila. Lo bisa nyuruh-nyuruh begituan segampang itu,” ucap Henry takjub. Dia lalu menoleh lagi pada jam bermerek milik Kevin yang terus berkilau tersinari matahari.
“Biasa aja. Saya malah lebih suka ke mana-mana sendirian. Kan, saya pengin buktiin kalau saya bukan anak manja dan lembek,” kata Kevin enteng. Seakan-akan perkataan seniornya tadi membuatnya berpikir jika menjadi manja itu malah membuatnya semakin diejek.
Percakapan itu harus berakhir karena Henry bilang waktu istirahat sudah selesai. Dia lalu bilang kepada Kevin akan meminta atasannya untuk mengurus Kevin di bawah arahannya seperti apa yang Bang Jhon katakan sebelumnya.
“Pokoknya lo jangan mikir yang aneh-aneh. Semua akan baik-baik aja. Percaya sama gue,” kata Henry sambil menepuk pundak Kevin lembut, membuat Kevin tersenyum senang dan merasa aman berada di dekatnya.
“Terima kasih,” balas Kevin.
Namun, apa yang dirasakan Henry justru berbeda dengan yang Kevin pikirkan. Dia merasa jika sesuatu yang direncanakannya baru saja masuk ke pintu gerbang dan siap dijalankan.
“Sama-sama,” jawabnya senang.
Hari-hari di sekolah menjadi sangat menyebalkan bagi Kevin belakangan ini. Dia semakin merasa tidak nyaman berada di kelas karena tatapan dingin teman-temannya. Setiap perbuatan rasanya diperhatikan, membuat dia selalu melakukan kesalahan.Di jam olahraga, teman laki-lakinya mengolok-olok dan menyuruhnya memakai rok. Selama di kelas, dia hanya duduk di kursi belakang sambil tidur selama jam pelajaran. Teman-temannya tidak ada yang membangunkannya sampai jam pelajaran terakhir berakhir.Kevin baru pulang saat satpam keliling kelas untuk mengecek dan mengunci pintu. Dia lalu mampir ke kafe milik Steven karena hari ini tidak ada latihan karate. Kevin hanya ingin berbagi harinya yang buruk kepada sahabatnya itu.Bunyi lonceng terdengar saat pintu kaca didorong, membuat Steven yang sedang melayani pelanggang menoleh dan tersenyum, menyambut Kevin yang datang lagi ke kafenya.“Masih kusut aja itu muka. Bukannya lo udah ikut latihan karate, ya? Udah bisa b
Saat sampai di indekos Henry, Kevin dibuat menggeleng beberapa kali. Ternyata tempat tinggalnya selama ini tidak lebih dari ruangan kecil memanjang yang disekat tiga, terbagi dari ruang depan, kamar dan dapur. Kevin pikir Henry hidup bermewah-mewahan seperti dirinya. Ketika Henry bilang dia tinggal di indekos, Kevin sempat mengira tempatnya mewah seperti dalam bayangannya.Kevin kemudian masuk sambil masih memakai sepatunya, tapi Henry mencegahnya, membuatnya malu setengah mati. Dia terkekeh-kekeh sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal.“Ini kost-an gue, bukan rumah mewah di tempat lu yang bisa lo masukin pake sepatu,” kata Henry sambil menggeleng, tapi Kevin hanya cengengesan merasa tidak berdosa, lalu melepas sepatu dan menaruhnya di samping pintu.Indekos itu berupa bangunan memanjang dari kiri sampai kanan, terdiri dari sembilan pintu. Ruangan Henry berada di paling ujung, dekat dengan pagar pembatas antara rawa dan pemukiman. Kevin sempat mel
“Kevin?” tanya Henry, dia menghampiri Kevin diikuti gadis tadi di belakangnya yang masih saja mengunyah jagung dari bungkus di tangan Henry. “Gue enggak tahu kalau lo maen ke sini. Tadi lo bilang lagi cari makan. Di sini, toh?”Kevin membatu. Rasanya dia sebal pada Henry tanpa alasan yang jelas. Dia hanya mengangguk sambil berusaha untuk tersenyum, lalu kedua matanya yang cokelat madu menoleh pada gadis di samping Henry.“Siapa dia?” tanya Audry, menilik penampilan Henry yang keren dan kekinian. Mata gadis itu teralihkan pada gadis di sampingnya yang terlihat cantik dan modis. “Kalian saling kenal?”“Gue temen latihan karate Kevin.” Henry mengulurkan tangannya pada Audry dan dibalas dengan lembut. “Karena kebetulan ketemu kalian di sini, kenapa enggak gabung aja nonton bareng sama kami?” tanya Henry, membuat gadis di sampingnya merengut tidak suka.“Bol—“&ldq
Kevin duduk di belakang rumahnya sambil bermain gitar. Telinganya ditutup dengan earphone berukuran cukup besar, mendengarkan musik bervolume tinggi. Alunan musik dari Getsunova berjudul The Loudest Silence menjadi teman rasa sakit yang menjalari hatinya.Dia sedang dilanda gundah-gulana. Ternyata mencintai diam-diam adalah hal yang menyakitkan. Seseorang pernah menulis ini dalam sosial media dan Kevin sempat membacanya sekilas. Mencintai adalah seni paling sederhana menyakiti diri sendiri. Dan, Kevin benar-benar setuju pada pendapat itu. Sekarang dia memang sedang tersakiti saat mencintai seseorang.Tidak habis pikir, padahal dia belum lama mengenal Henry. Namun, hatinya sudah tertambat dengan cepat. Hati terdalamnya terus berteriak, menyebut nama Henry yang tidak bisa digapai dan direngkuhnya. Akan tetapi, akal sehatnya menyadarkannya dari semua ketidakwarasan. Henry adalah kemustahilan yang selalu diaminkan olehnya belakangan ini.S
Henry menggeleng sambil masih mengejar Kevin di belakang. Dia sempat terkejut saat tahu jika Kevin memiliki sifat seperti itu saat berhadapan dengan ayahnya. Henry kira, lelaki selugu dan sepolos Kevin tidak akan punya tindakan melawan kepada orangtuanya.“Eits!” ucap Henry saat menahan daun pintu yang melayang ke arah wajahnya karena Kevin menutupnya dengan keras tanpa melihat ke belakang. “Pelan-pelan, dong! Kalau muka kena pintu, bisa berubah, nih,” katanya, membuat Kevin yang tadinya merengut kesal jadi tersenyum.“Lah, salah siapa ngikutin saya?” balas Kevin sambil kembali menarik pintu, membiarkan Henry masuk dan menutupnya dengan pelan untuk kali ini. Dia lalu melangkah ke arah ranjang dan duduk di sampingnya sambil melihat Henry yang tampak takjub.“Sekarang gue enggak bakal ragu lagi kalau lo emang keturunan ningrat yang kayanya tujuh turunan, Vin,” ucap Henry, dia menyentuh lemari putih yang tampak mengil
Henry menggeleng sambil masih mengejar Kevin di belakang. Dia sempat terkejut saat tahu jika Kevin memiliki sifat seperti itu saat berhadapan dengan ayahnya. Henry kira, lelaki selugu dan sepolos Kevin tidak akan punya tindakan melawan kepada orangtuanya.“Eits!” ucap Henry saat menahan daun pintu yang melayang ke arah wajahnya karena Kevin menutupnya dengan keras tanpa melihat ke belakang. “Pelan-pelan, dong! Kalau muka kena pintu, bisa berubah, nih,” katanya, membuat Kevin yang tadinya merengut kesal jadi tersenyum.“Lah, salah siapa ngikutin saya?” balas Kevin sambil kembali menarik pintu, membiarkan Henry masuk dan menutupnya dengan pelan untuk kali ini. Dia lalu melangkah ke arah ranjang dan duduk di sampingnya sambil melihat Henry yang tampak takjub.“Sekarang gue enggak bakal ragu lagi kalau lo emang keturunan ningrat yang kayanya tujuh turunan, Vin,” ucap Henry, dia menyentuh lemari putih yang tampak mengil
“Vin, ada yang mau gue omongin sama lo,” kata Henry, membuat Kevin yang tadi sudah ingin masuk ke kamar harus berhenti dan menoleh ke arahnya dengan tatapan penasaran. Di koridor itu tidak ada suara apa pun, sunyi seperti tidak ada kehidupan.“Apa, Henry? Ini udah malam. Kalau mau ngo—““Gue sebenernya,” potong Henry sambil berusaha berjalan mendekat, memaksa otot-otot di leher Kevin menegang. Dia lalu menoleh pada pintu kamar yang sudah terbuka sedikit, berkedip beberapa kali dan menatap wajah Kevin lagi dengan serius.Namun, saat Henry akan kembali berkata, seseorang datang dari arah tangga dengan wajah penuh tanda tanya, yang ternyata adalah sosok Lesti berpakaian tidur warna biru muda. Dia menatap Kevin dan Henry bergantian.“Kalian belum tidur?” tanya Lesti, berjalan ke samping Henry, lalu berdiri antara mereka sambil sesekali menarik tali pakaian tidurnya lebih kencang.“Ibu? Kenapa
“Kalau rencana pertama gagal, lo bisa lanjut ke rencana kedua. Gue punya sesuatu di sini,” ucap Steven sambil menggerakkan kedua tangannya di depan dada, seolah-olah dirinya adalah seorang pesulap yang sedang merapalkan mantra. Tepat ketika Kevin berkedip, di tangan Steven ada sebuah botol yang tidak Kevin kenali bentuk dan mereknya.“Minuman? Saya harus minum itu biar dia mau sama saya? Semacam pelet cinta?” tanya Kevin polos. Wajahnya yang putih bersih tanpa bekas jerawat semakin bersinar saat cahaya matahari menerpanya dari arah jendela. Namun, Steven yang kesal dengan reaksi Kevin barusan hanya menggeleng.“No. Lo kira kita hidup di zaman apaan? Pakai pelet segala. Udah enggak zaman kali, Mas Bro. Gue punya koktail.”“Hah? Apa itu? Cock tail? Buntut ayam?” tanya Kevin, mencoba mengartikan per kata ucapan Steven barusan. Pikirannya mengacu pada cock berarti ayam dan tail
Kevin baru saja turun dari mobilnya ketika tiba-tiba seorang anak lelaki mencengkram ujung kemeja kuningnya dengan kencang, membuatnya terkejut dan nyaris memarahi anak itu. Namun, ketika dia akan melakukannya, kedua matanya terhenti pada sosok lelaki yang sekarang berdiri di ujung jalan.“Om, Om, kata Ayah, Om teman sekolahnya Ayah dulu, ya?” tanya anak lelaki berumur lima tahun itu sambil menarik ujung kemeja Kevin terus-menerus. Kevin yang tadinya kesal menjadi melunak dan berjongkok di hadapannya.“Emang begitu, Dek? Siapa yang bilang kalau Om temen sekolahnya ayahmu?” tanya Kevin sambil mencubit pipi tembem anak itu dengan gemas.“Ayah. Tadi Ayah bilang, Om yang baru turun dari mobil kuning itu temannya. Apa emang bener?” balas si anak lelaki itu sambil menggaruk bawah dagunya karena bingung. Dia lalu menoleh pada mobil kuning di belakang Kevin dengan mata berbinar. “Itu Bumble Bee, kan, Om?”Kevin terb
Kepergian Kevin membuat semua orang yang ada di mobil itu terdiam. Mereka sama-sama kaget dengan reaksi Kevin setelah Henry mengatakan putus kepadanya. Sementara itu, Audry yang masih penasaran terus mendesak Henry untuk menjawab.“Itu karena gue bener-bener butuh duit. Sebenarnya hidup gue berantakan. Hutang gue di mana-mana. Selama ini gue cuma bisa lari dan minta waktu sama mereka, tapi belakangan ini penagih hutang itu enggak memberi gue kesempatan lagi.”“Buat apa lo ngutang ke mana-mana, Bro?” tanya Rendi, dia penasaran dengan kehidupan Henry yang baru saja diketahuinya itu. Dia mengira selama ini Henry baik-baik saja dengan kehidupannya.Untuk ukuran anak yang berbakat macam Henry, akan mudah menjalani hidup dengan semua kemampuannya, apalagi menjadi seorang pelatih karate di pusat pelatihan besar. Namun, semua perkiraan itu tidak membuktikan apa pun. Faktanya, Henry hidup sengsara.“Gue kena tipu. Selama ini,
Percakapan mereka terhenti saat seseorang mendorong pintu kaca, membuat semua menoleh ke arah pintu dan mendapati seseorang berdiri di sana. Kevin mengernyit heran saat orang itu masuk.“Kirain kafenya tutup,” ucap orang itu sambil mendekat, lalu berdiri di depan mereka berempat. Orang itu adalah pelanggan yang datang sepulang kerja dan ingin menikmati minuman di kafe Steven.“Kafenya buka, Kak. Silakan pilih meja yang mana, pelayan kami akan menyiapkan semuanya,” balas Steven sambil menepuk tangannya satu kali, membuat seorang pelayan datang menyerahkan menu ke orang itu.Rendi, lelaki vokalis itu berdeham, membuat semua orang kembali menoleh kepadanya. “Jadi, kita bisa lanjut soal Henry?” tanyanya.“Bawa kami ke sana sekarang,” kata Steven, lalu berdiri dari duduknya untuk mendatangi salah satu pelayan dan memberitahukan sesuatu soal penjagaan kafe selama dirinya tidak ada.Audry dan Kevin ikut berd
Mendadak saja Kevin merasakan kesedihan yang mendalam. Dadanya yang semula terasa ringan, tiba-tiba menjadi sesak dan penuh. Dia bahkan sampai tidak kuasa mengendarai motornya, Sepanjang jalan, dia hanya menatapi aspal yang terus tergilas roda motor kuningnya.Pikirannya terbang pada Henry yang sekarang menghilang tanpa jejak. Ada rasa sakit yang menjalar di dadanya ketika dia ingat kenangan bersamanya. Tentang bagaimana mereka memulai semuanya, menjalani hari-hari sulit di tempat pelatihan, sampai menjadi sepasang kekasih yang singkat.Ketika Audry mengajaknya bicara, Kevin tanpa sadar menitikan air matanya. Entah karena debu jalanan atau angin dari udara kota yang kotor, tapi matanya terasa sangat perih.“Kamu yakin orang itu tahu sesuatu?” tanya Audry sambil menoleh pada kaca spion kiri, menatap Kevin yang masih saja melamun. Dia mengembuskan napasnya pelan, lalu menurunkan kecepatan motornya dan menepi.Menyadari kendaraan yang dinaikinya
“Bantu saya cari Henry, Audry. Saya mohon. Banyak hal yang harus saya katakan kepadanya,” ucap Kevin, tampak sangat sedih. Kehilangan Henry memberi dampak yang jauh lebih menyakitkan di dalam hatinya. Meskipun dia tahu, kedua orangtuanya sangat kecewa dan lebih sakit hati olehnya.“Kita bisa bicarakan itu besok, Key. Sekarang, aku mau kamu datangi Om Galang dan bilang semuanya sama dia.”“Saya takut, Audry.” Kevin menggeleng.“Apa yang bikin kamu takut?” tanya Audry sambil mengernyitkan dahi. Mereka masih berdiri di koridor, tepat di depan pintu kamar Kevin. Sejak kepergian Lesti tadi, wanita itu masih belum kembali.“Ayah kecewa banget sama saya, begitu juga Ibu. Saya enggak mau bikin mereka makin sakit hati dengan—““Itu, kan cuma pikiran kamu aja. Mereka itu orangtuamu. Baik-buruknya kamu, mereka akan menerima. Percayalah,” potong Audry kesal. Baginya, Kevin terl
Beberapa menit setelah kepergian Audry, Kevin tidak merasakan lagi keberadaanya di balik pintu itu. Setelah merasa semua kembali sunyi, dia memutuskan untuk pindah ke ranjang, mengistirahatkan tubuhnya yang semakin terasa lemas.Namun, ketika dia akan melangkah, matanya tertuju pada secarik kertas yang tergeletak di bawah pintu, bersisian dengan barang-barang yang dia lempar secara acak kemarin. Dia mulai penasaran dengan kertas itu dan berjalan menghampirinya.“Kertas? Surat dari Audry?” gumamnya sambil meraih kertas itu dengan tangan kirinya, lalu matanya yang cokelat memindai tulisan tangan di dalamnya. “Hah? Ini cerpen?” katanya lagi semakin bingung.Tulisan itu berisi seperti ini :Kevin, aku bukan penulis. Jadi, maaf kalau tulisanku ini berantakan. Kamu pasti enggak akan kuat bacanya, tapi aku mohon baca sampai akhir. Oke, jadi begini.Di suatu tempat yang enggak jauh-jauh amat, ada seorang anak kecil yang
Kevin tidak pernah menyangka jika semua akan menjadi seperti ini. Dia pikir, dengan pulangnya dia ke rumah akan membuat suasana menjadi lebih baik. Ayahnya tidak akan membahas perihal larangannya berteman dengan Henry.Dia mendorong pintu kamarnya dengan kencang, membuat daun pintu itu membentur dinding di belakangnya, menghasilkan suara yang bergema di lorong lantai dua. Kevin marah sekali kepada Galang. Kekuatan pada otot-ototnya sekarang sudah jauh lebih kuat untuk dia gunakan sebagai alat perusak lemari di kamarnya.“Saya enggak pernah dapat kebebasan!” teriaknya sambil meninju cermin berukuran besar yang ada di lemari itu dengan sekali tarikan napas. Kevin sedikit meringis ketika serpihan kaca melukai punggung tangannya, menggoreskan luka yang tidak sebanding dengan sakit di hatinya yang terus terasa menyakitkan.“Kevin!” teriak Henry, membuat Kevin menoleh dengan wajah yang sudah habis disapu air mata. Lelaki berkacamata itu menundu
Kevin benar-benar kesal kepada Audry karena sudah membawanya ke tempat terkutuk seperti itu. Dia nyaris saja kehilangan ciuman pertamanya oleh orang yang bahkan baru dikenalnya beberapa menit di pesta ulang tahun orang lain.Dia tidak mengatakan sepatah kata pun sampai Audry turun dari taksi daring. Kevin lalu turun setelahnya ketika mobil sewaan itu sampai di indekos Henry tepat jam sepuluh malam. Malam ini dia masih akan tidur di sana sampai setidaknya beberapa hari ke depan.Seketika saja saat dia mencapai gerbang indekos, rasa bersalah mulai muncul. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Henry ketika dirinya menjemput Kevin di alun-alun tadi sore, tapi dia tidak ada di sana menunggunya.Kevin mengendap-endap di depan indekos yang lain, lalu berhenti ketika tepat berdiri di depan indekos Henry. Lampunya mati dan pintunya dikunci.“Apa Henry belum pulang? Tapi, ke mana dia malam-malam begini?” gumamnya. Pesan WA-nya masih belum dibalas
Kevin bolos sekolah karena dia tidak bawa seragamnya saat kabur dari rumah kemarin. Beruntungnya, masih ada rumah yang mau menampungnya untuk bermalam saat hujan mengguyur Bandung malam hari. Siapa lagi kalau bukan Henry, sosok penyelamat yang jadi tempat pulang satu-satunya di saat rumah aslinya menjadi sebuah ancaman.Saat kedatangan Kevin malam-malam di indekosnya, Henry jelas kaget. Namun, dia tidak banyak bertanya karena sudah tahu apa yang menjadi akar masalah di kehidupan Kevin. Jika bukan soal perjodohan, pasti perihal bisnis, pikir Henry.Sayangnya, Henry tidak tahu jika masalah sebenarnya, perihal kedekatan dirinya dengan Kevin yang membuat Galang risi.Pagi harinya, saat Henry akan berangkat kerja di tempat disain grafisnya, Kevin masih terlelap dengan tenang di kasur tipis indekos. Lelaki bermata cokelat madu itu tampak damai berada di tempat tinggal keduanya. Henry diam-diam meraih ponsel Kevin yang tergeletak di sampingnya.“Hidup lo e