Share

6. Sebuah Awal

Penulis: Castortwelvy
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Hari-hari di sekolah menjadi sangat menyebalkan bagi Kevin belakangan ini. Dia semakin merasa tidak nyaman berada di kelas karena tatapan dingin teman-temannya. Setiap perbuatan rasanya diperhatikan, membuat dia selalu melakukan kesalahan.

Di jam olahraga, teman laki-lakinya mengolok-olok dan menyuruhnya memakai rok. Selama di kelas, dia hanya duduk di kursi belakang sambil tidur selama jam pelajaran. Teman-temannya tidak ada yang membangunkannya sampai jam pelajaran terakhir berakhir.

Kevin baru pulang saat satpam keliling kelas untuk mengecek dan mengunci pintu. Dia lalu mampir ke kafe milik Steven karena hari ini tidak ada latihan karate. Kevin hanya ingin berbagi harinya yang buruk kepada sahabatnya itu.

Bunyi lonceng terdengar saat pintu kaca didorong, membuat Steven yang sedang melayani pelanggang menoleh dan tersenyum, menyambut Kevin yang datang lagi ke kafenya.

“Masih kusut aja itu muka. Bukannya lo udah ikut latihan karate, ya? Udah bisa balas dendam ke mereka, dong?” tanya Steven sambil melayani pelanggang yang sedang memesan, sesekali menoleh kepada Kevin yang berjalan melewatinya ke arah meja di ujung ruangan.

“Makin kacau aja hari-hari saya. Kalau begini terus, kayaknya mending pindah sekolah aja, deh,” jawab Kevin lesu. Dia menaruh tasnya di meja, lalu memosisikan pipi kirinya di atas meja sambil mengembuskan napas kasar.

“Santai. Di sini lo enggak bakal sekusut itu,” ucap Steven terkekeh-kekeh, lalu melenggang ke arah minibar untuk menyiapkan sesuatu.

Kevin memerhatikan guguran daun ketapang kencana di luar kafe, tampak indah dan membuatnya merasa tenang. Pohon-pohon itu menjatuhkan daun-daun yang tidak lagi berguna. Apa kevin bisa melakukan itu kepada sifat-sifat dalam dirinya? Dia ingin membuang sifat feminin dan hasrat yang menggebu itu jauh-jauh dari dirinya.

Saat Kevin menoleh pada Steven, lelaki itu sudah berada di sisi lain kafe dan tampak sedang berbincang dengan seorang lelaki tampan. Dari gelagatnya, mereka terlihat akrab dan bersahabat. Kevin terus memerhatikan setiap detailnya, sampai akhirnya Steven sadar sedang diperhatikan.

“Gue ke sini dulu,” ucap Steven pada lelaki itu, lalu berjalan kepada Kevin yang mulai duduk tegap. Sementara lelaki tadi duduk di kursi dekat jendela di samping pilar.

“Pelanggan juga?” tanya Kevin saat Steven sudah berada di hadapannya.

“Oh, dia. Ehm, dia ….” Steven tampak berpikir, lalu detik berikutnya menggeleng. “Dia sahabat gue, Vin. Lebih dari sahabat,” katanya.

Kevin mengangguk paham, lalu tersenyum. “Gimana kafe hari ini? Ramai?”

“Lo bisa lihat sendiri lah gimana keadaanya. Zaman sekarang yang buka beginian enggak cuma satu. Saingan banyak banget, Vin. Kalau enggak kreatif dan pinter-pinter kitanya, sih bakal kalah saing.”

“Tapi, saya yakin kamu bisa, kok bersaing. Kamu cuma harus berjuang lebih keras lagi.”

“Ah, lo. Kayak bener aja kalau ngomong,” ucap Steven terkekeh-kekeh, lalu duduk di kursi di hadapan Kevin. “Jadi, gimana latihan karate lo?”

Kevin menggeleng. “Enggak ada yang berubah sama sekali. Saya pikir masuk ke sana bisa bantu semuanya jadi lebih baik. Eh, ternyata sama aja. Malah sekarang semakin buruk.”

“Hidup lo parah banget kayaknya. Masalah di mana-mana. Bisa enggak, tuh beresin satu-satu?” tanya Steven dengan nada bercanda. Akan tetapi, Kevin menganggap itu serius. Perkataan Steven ada benarnya. Bisakah dia menyelesaikan semuanya?

Dia menggeleng, mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran itu dari kepalanya. Sekarang, pertanyaan lain malah muncul tanpa permisi. “Steve, kamu belum menikah, kan?” tanya Kevin.

“Gila lo. Gue baru dua tiga, Mas Bro. Lo pikir gue cowok yang suka nikah muda?”

Mungkin memang benar, Steven bukan tipe lelaki seperti itu. Akan tetapi, bisa saja di usianya yang sudah dikatakan cukup itu, dia mulai ingin menikah. Bukankah dia lelaki normal yang mencintai wanita pada umumnya?

“Jadi, kenapa lo tanya gue nikah apa belum?”

“Saya kepikiran sesuatu. Ini soal hidup saya, Steve. Kamu tahu, kan saya masih sekolah. Tapi, orangtua saya sudah siapin seorang gadis dan menjodohkan saya dengan gadis itu.”

Steven sama sekali tidak terkejut. Resposnnya biasa saja. “Ya, baguslah. Lo jadi enggak susah cari calon kalau begitu. Lagian, buat anak orang kaya lo, hal kayak begitu udah wajar, kan?”

Pertanyaan Steven barusan membuat Kevin merengut kesal. Dia tidak suka jika Steven menganggapnya seperti itu. Seakan-akan Kevin memang tidak bisa melakukannya sendiri.

“Tapi, saya masih harus lulus SMA, masuk kuliah dan masih harus kerja. Apa enggak kecepetan kalau mereka jodohin kami sekarang?”

“Kan, mereka cuma ikat lo doang. Kalian bisa lakukan pendekatan dan komitmen,” ucap Steven sambil mengedikkan bahu enteng.

“Masalahnya bukan cuma itu, Steve.” Kevin menelan ludahnya dengan paksa, merasa sangat sulit meluncurkan cairan itu ke kerongkongannya. Sekarang, Kevin merasa tidak harus menjelaskan apa yang terjadi dengan dirinya kepada Steven. Siapa yang tahu reaksi Steven nanti akan bagaimana, kan/?

Mereka sama-sama diam dalam keheningan yang nyata. Steven tampak memiringkan kepalanya ke sebelah kanan, menunggu Kevin menyelesaikan ucapannya. Namun, sampai lonceng kembali berbunyi, lelaki berkacamata itu belum juga mengatakan apa pun.

Steven berdeham, lalu menoleh pada pelanggan baru yang langsung disambut oleh karyawannya.

“Apa yang harus saya lakukan?” tanya Kevin lagi karena Steven tidak merespons ucapannya barusan.

“Udah, enggak usah banyak pikiran. Sekarang lo nikmatin hidup lo yang sekarang. Kalau bisa, lo pesen juga minuman, bukannya dateng menuhin kursi doang,” ucap Steven, lalu terbahak dan pergi meninggalkan kursinya untuk mengurusi pelanggan tadi.

Kevin mengembuskan lagi napasnya, lalu menarik menu di sampingnya.

*

Saat pulang, Kevin disuguhi kehadiran Audry yang sedang menunggunya di gerbang. Gadis itu melambaikan tangannya sambil tersenyum senang karena penantiannya sudah berakhir.

“Hai, Key. Kamu ke mana aja?” tanya Audry senang. Gadis itu selalu tampak energik dan ceria.

Kevin mendengus tidak senang saat Audry memanggilnya seperti itu, karena yang memanggilnya ‘Key’ hanya ibunya. Dia lalu melepas helm kuningnya dan menaruhnya di setang motor. “Kamu ngapain di sini? Ini, kan udah malam, Dy,” tanya Kevin, dia meraih kacamata di saku seragam dan memakainya.

“Aku nunggu kamu. Dady juga ada di dalam. Om Galang udah nunggu kamu dari tadi,” jawab Audry semangat.

“Mau ngapain lagi?” tanyanya malas.

“Acara makan malam kayaknya,” jawab Audry, bahunya terangkat pelan, lalu matanya yang hitam cemerlang terarah pada tangan Kevin yang sekarang memegang sesuatu.

“Makan malam terus. Kalian enggak bosen?”

“Itu apaan? Boba buatku, ya?” tanya Audry, mengabaikan pertanyaan Kevin. Gadis itu lalu merebut kantong keresek di tangan Kevin dengan cepat. Isinya hanya minuman yang dia beli dari kafe Steven tadi. Niatnya, sih untuk diminum nanti malam.

“Eh—ah, udahlah.” Kevin mengibaskan tangannya, lalu masuk ke rumah dan disambut oleh kedua orangtuanya yang sedang berbincang dengan orangtua Audry.

Mereka serempak berdiri, lalu tersenyum pada Kevin. Galang mengangguk, menyambut kedatangan anak sematawayangnya dengan senang. Dia lalu menyuruh Kevin untuk memberi salam kepada kedua orangtua Audry.

“Kalian mau ke mana?” tanya Kevin setelah menyalami satu per satu dua pasang suami-istri itu.

“Kami mau mengadakan acara makan malam lagi, Key,” jawab Lesti sambil tersenyum.

“Makan malam lagi? Saya enggak bisa ikut, Bu. Masih banyak tugas,” balas Kevin, lalu melengos ke kamar tanpa pamit. Dia sudah sangat muak dengan keputusan orangtuanya yang selalu saja sesuka hati.

“Kevin,” panggil Galang. Dia bangkit dan mencekal tangan Kevin erat. “Mau ke mana kamu? Om Rendra sudah datang ke sini. Masa kamu mau pergi gitu aja?”

“Ayah, saya capek. Seharian ini saya belajar.  Lagian, buat apa acara makan malam sesering itu?” tanya Kevin kesal, tepat saat Audry masuk sambil menyesap minuman darinya tadi. “Besok saya masih harus latihan karate. Bukannya itu yang Ayah mau?”

Galang menekan amarahnya pada gigi gerahamnya yang dia tekan kuat-kuat. Tangannya yang tadi mencekal Kevin kini dia lepaskan dan menoleh pada Lesti yang sedang membalas tatapannya.

“Kamu bisa, kan menghargai kedatangan Om Rendra? Beliau sudah datang ke sini demi kamu. Demi kalian berdua,” ucap Galang berusaha lembut.

“Tapi, saya enggak pernah minta Om Rendra datang. Dan, soal perjodohan itu, saya enggak pernah memintanya. Kalian terlalu mengurusi hidup saya. Ayah enggak pernah memberi kebebasan buat saya,” kata Kevin dengan nada tinggi. Dan, detik itu juga pipinya sudah memerah karena Galang menamparnya dengan keras.

“Kurang ajar kamu! Ayah melakukan itu semua demi kebaikanmu!” bentak Galang.

Kevin meringis sambil menekan pipinya yang terus berdenyut nyeri. Dia sebisa mungkin untuk tidak menangis dan bersikap sok kuat. “Seharusnya Ayah mengerti situasi saya. Saya udah turuti apa yang Ayah mau dengan masuk latihan karate. Apa saya masih harus ikut perjodohan itu? Bahkan saya enggak mengenal siapa dia,” tunjuk Kevin pada Audry yang sekarang berhenti menyesap minumannya.

“Kevin!” bentak Galang dan siap menamparnya lagi. Namun, Rendra menahannya.

“Biarin dia pergi ke kamarnya, Lang. Jangan terlalu maksain dia,” ucap Renda merelai. Dia lalu menggiring Galang ke sofa dan mendudukkannya.

Dan, rencana makan malam itu harus batal karena Kevin mengacaukannya.

*

Saat pagi, Kevin tidak berinteraksi sama sekali dengan kedua orangtuanya. Dia pergi ke sekolah tanpa sarapan. Saat ibunya meneleponnya di jam istirahat, Kevin menolak panggilan itu dan mematikan ponselnya karena merasa tidak ingin memberikan alasan apa pun kepada Lesti.

Hari-hari di sekolahnya semakin buruk karena hal itu. Dia hanya bisa pergi ke ruang musik dan memainkan gitarnya sendirian sampai jam pelajaran terkahir usai. Kevin bolos lagi dan dia siap dipanggil ke ruang BK jika terus melakukannya.

Sepulang sekolah, Kevin menghubungi sopir pribadinya dan menyuruhnya menjemput ke sekolah agar bisa langsung berangkat ke tempat latihan karate. Sekarang dia akan pamer kepada Henry tentang betapa kaya dirinya. Itu bukan sombong, tapi Henry sendiri yang ragu dan ingin melihatnya diantar oleh sopir pribadi.

“Motornya bagaimana?” tanya sopirnya sambil menunjuk Scoopy milik Kevin yang teronggok di parkiran.

“Simpen aja di sana, Mang. Nanti pulang diambil.”

Saat sampai di tempat latihan, Kevin langsung mencari di mana lokasi Henry. Entah mengapa, dia menjadi begitu bersemangat jika sudah dekat dengan Henry. Kevin merasa orang itu adalah satu-satunya malaikat di neraka yang harus ditempatinya ini.

“Aden mau Mamang tunggu? Atau mau diantar sampai ke dalam?” tanya Mang Kardi sambil membukakan pintu untuknya.

“Enggak. Enggak usah. Saya cuma mau nunggu temen aja, Mang. Mamang tunggu di sini sebentar sampai orang itu datang, ya. Nanti saya suruh pulang, deh.”

Mang Kardi mengangguk paham dan masuk kembali ke mobilnya tanpa basa-basi lagi. Dia menunggu sesuai arahan tuannya. Sementara Kevin berdiri di trotoar dekat gerbang masuk sambil celingukan. Dia mencari sosok Henry yang biasanya datang belakangan.

Tepat saat dia akan menoleh kembali ke mobilnya, seseorang datang dan menepuk pundaknya pelan.

“Wah, kayaknya beneran dianter, nih,” kata Henry sambil menilik mobil starlet abu-abu milik Kevin dengan takjub. “Ini beneran mobil lo?” tanyanya.

“Secara teknis iya. Dan, itu di dalam sopir pribadi saya. Lihat, saya memang anak orang kaya kalau kamu masih enggak percaya ucapan saya kemarin,” jawab Kevin terkekeh-kekeh, merasa puas karena sudah membuat Henry takjub kepadanya.

“Oke, oke. Gue percaya sekarang. Mana bisa gue kayak begituan,” balas Henry sambil mengangguk.

Kevin menyuruh Mang Kardi pulang dan meminta agar tidak memberitahukan soal ini kepada kedua orangtuanya. Setelah sopir itu pergi, Kevin dan Henry masuk bersamaan ke area pelatihan.

Hari ini Henry memberitahu Kevin jika dia akan mengurusinya secara pribadi. Henry diberi tugas mengajarnya sampai bisa karena kemarin dia meminta izin pelatih untuk itu. Mendengar itu membuat Kevin semakin bersemangat berada di tempat latihan.

“Seruisan kamu yang bakal ngajar aku ke depannya?” tanya Kevin antusias, Henry sampai bisa melihat kobaran api di matanya saking bersemangatnya.

“Kalau lo enggak suka, gue bisa balik ngurusin cewek-cewek kemarin,” balas Henry enteng sambil mengedikkan bahunya pelan. Mereka masih melenggang ke arah bangunan kotak itu sambil berbincang ringan.

“Saya seneng kalau kamu yang jadi pelatihnya. Kan, kamu beda dari mereka,” ucap Kevin, tersenyum mengejek.

“Gue bisa jadi lebih ganas dari mereka. Lo mau?” tanya Henry sambil merangkul Kevin dengan tangan kirinya, mendekatkan wajah Kevin ke dadanya, lalu Henry menggosok puncak kepalanya dengan kepalan tangan. Perlakuan itu membuat Kevin menahan napas dan menelan ludahnya dengan cepat karena merasa hantaman di dadanya terasa secara mendadak.

Aroma body spray NFM menguar dari tubuh Henry. Lelaki itu sangat wangi, membangkitkan gairah dalam diri Kevin. Dia lalu mendorong Henry menjauh dan bersikap senormal mungkin layaknya teman yang merasa keberatan dipeluk seperti itu.

“Le-lepasin. Gerah, tahu!” kata Kevin sambil membetulkan kerah bajunya yang acak-acakan. Sementara Henry hanya terbahak melihat Kevin merengut sebal ke arahnya.

Akhirnya mereka sampai dan masuk ke ruang ganti bersama-sama.

Henry mengajari banyak hal kepada Kevin. Dimulai dari sejarah karate, apa saja yang harus disiapkan oleh seorang karateka dan mengarahkan Kevin pada posisi kuda-kuda yang benar.  Meski lambat, tapi lama kelamaan Kevin mulai merasa nyaman dengan latihan itu.

Saat jam istirahat, Kevin melipir lagi ke belakang gedung karena teman-temannya tidak ada yang mau mengajaknya makan bersama. Dia lalu membuka kotak bekal berisi roti tawar dan selai nanasnya. Tepat saat dia akan menyantapnya, Henry datang dan menyambar roti di tangannya dengan cepat.

“Wah, enggak ngajak-ngajak, nih. Udah mulai belagu nih anak,” ucap Henry, lalu melahap roti itu dalam sekali suap, membuat Kevin merengut sebal dan melempar Henry dengan tutup kotak bekalnya.

“Aih. Kenapa kamu ambil jatah makan saya? Emang kamu enggak bawa bekal?” tanya Kevin kesal. Roti di kotaknya tinggal dua dan dia langsung menutup kotak itu dengan kedua tangannya. Takut kalau-kalau Henry akan menyambarnya lagi.

“Ya, bawa, sih. Tapi, kan gue juga pengin coba makanan orang kaya,” jawabnya sambil menjilati jemarinya yang terkena tetesan selai kuning tadi.

“Berhenti bawa-bawa status, deh. Saya enggak suka kalau harus dibanding-bandingin kayak begitu, Henry. Kita ini sama.”

“Oke, oke. Gue yang salah. Sori.”

Detik berikutnya Kevin mengangguk dan membuka kedua tangannya, lalu menaruh kotak itu di atas batu besar yang jadi alasnya duduk. Kevin lalu tersenyum dan menyuruh Henry duduk di sampingnya.

“Saya masih punya dua roti. Kamu habiskan satu dan sisanya buat saya. Sini,” ajaknya yang langsung diangguk setuju oleh Henry.

“Lo asik juga diajak ngobrol. Gue jadi heran, kenapa orang-orang pada malas deket sama lo,” ucap Henry dengan nada bertanya kepada dirinya sendiri, membuat Kevin yang tengah mengunyah rotinya menoleh dengan tatapan sedih.

Kevin menelan rotinya dengan cepat, lalu menaruh sisanya di kotak. “Mungkin karena saya berpenampilan culun dan enggak bisa bersikap kayak cowok normal lainnya.”

Henry mengernyit. “Lo enggak normal?”

Pukulan kencang mendarat di bahu Henry, lalu Kevin menggeleng dan menjawab lagi. “Bukan begitu maksudnya. Saya enggak gagah dan maco kayak kamu. Lihat saya,” pinta Kevin sambil mulai berdiri dan menunjukkan penampilan dari atas sampai bawahnya dengan tangan. “Mana ada orang yang mau maen sama cowok cupu kayak saya? Udah enggak bisa olahraga, pakai kacamata pula.”

Henry menggeleng, lalu ikut berdiri. “Buktinya gue mau,” balasnya. “Fisik bukan jadi penentu buat gue cari temen. Selama doi asik dan bisa bikin gue nyaman, kenapa enggak? Lagian, lo enggak jadi masalah buat gue dengan penampilan kayak begitu,” lanjutnya sambil mengedikkan bahu enteng dan menilik penampilan Kevin dari atas sampai bawah.

Mendenagr itu membuat hati Kevin terenyuh. Baru kali ini ada orang yang berkata seperti itu kepadanya. Dia sudah tahu, sejak awal Henry itu memang orang yang baik. Sekarang, dia semakin yakin akan hal itu.

“Lagi-lagi kamu bikin saya merasa aman,” ucap Kevin pelan.

“Bagus. So, kita bisa jadi teman ke depannya. Kalau ada apa-apa, lo bisa bilang sama gue. Jangan sungkan hanya karena lo harus andalin gue di setiap masalah lo!” seru Henry sambil merangkul Kevin. Mereka berdua berdiri di atas batu besar di belakang bangunan. Angin sore itu berembus pelan di sela-sela helai rambut mereka.

“Tapi, kita baru aja kenal dan jadi teman. Kenapa kamu begitu peduli?”

Henry melepas rangkulannya, memutar bola matanya cepat, lalu menjitak Kevin dengan kepalan tangan kirinya kencang. “Lo masih tanya aja soal itu. Gue udah bilang karena lo asik orangnya dan bisa bikin gue nyaman deket bareng lo.”

Rasanya pipi Kevin memerah sekarang. Entah kenapa, perkataan Henry barusan membuatnya salah tingkah. Dia merasa perlakuan Henry dan Steven kepadanya sama saja. Namun, Henry memberikan sesuatu yang lain untuknya. Rasa aneh yang menjalar di seluruh tubuhnya membangkitkan lagi gairah yang selama ini di tahan kuat-kuat.

“Trims,” ucap Kevin.

“Malam ini lo enggak ada acara, kan? Kalau gue ajak ke kost-an gue buat nginep, lo mau?” tanya Henry sambil mulai duduk lagi di atas batu dan memghabiskan sisa roti milik Kevin.

Sejenak Kevin terdiam, tampak menimbang. Namun, sedetik kemudian dia mengangguk. “Oke. Saya mau. Kita bisa ngobrol banyak hal, kan di sana?”

“Lo mau ngobrol sampe mulut lo berbusa, gue layanin. Oke, ya. Jadi, sore ini lo pulang bareng gue ke kost-an,” kata Henry sambil tersenyum yang diangguki oleh Kevin pelan.

Bab terkait

  • Struggle Of Love   7. Perjanjian

    Saat sampai di indekos Henry, Kevin dibuat menggeleng beberapa kali. Ternyata tempat tinggalnya selama ini tidak lebih dari ruangan kecil memanjang yang disekat tiga, terbagi dari ruang depan, kamar dan dapur. Kevin pikir Henry hidup bermewah-mewahan seperti dirinya. Ketika Henry bilang dia tinggal di indekos, Kevin sempat mengira tempatnya mewah seperti dalam bayangannya.Kevin kemudian masuk sambil masih memakai sepatunya, tapi Henry mencegahnya, membuatnya malu setengah mati. Dia terkekeh-kekeh sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal.“Ini kost-an gue, bukan rumah mewah di tempat lu yang bisa lo masukin pake sepatu,” kata Henry sambil menggeleng, tapi Kevin hanya cengengesan merasa tidak berdosa, lalu melepas sepatu dan menaruhnya di samping pintu.Indekos itu berupa bangunan memanjang dari kiri sampai kanan, terdiri dari sembilan pintu. Ruangan Henry berada di paling ujung, dekat dengan pagar pembatas antara rawa dan pemukiman. Kevin sempat mel

  • Struggle Of Love   8. Tidak Bisa Dikenalikan

    “Kevin?” tanya Henry, dia menghampiri Kevin diikuti gadis tadi di belakangnya yang masih saja mengunyah jagung dari bungkus di tangan Henry. “Gue enggak tahu kalau lo maen ke sini. Tadi lo bilang lagi cari makan. Di sini, toh?”Kevin membatu. Rasanya dia sebal pada Henry tanpa alasan yang jelas. Dia hanya mengangguk sambil berusaha untuk tersenyum, lalu kedua matanya yang cokelat madu menoleh pada gadis di samping Henry.“Siapa dia?” tanya Audry, menilik penampilan Henry yang keren dan kekinian. Mata gadis itu teralihkan pada gadis di sampingnya yang terlihat cantik dan modis. “Kalian saling kenal?”“Gue temen latihan karate Kevin.” Henry mengulurkan tangannya pada Audry dan dibalas dengan lembut. “Karena kebetulan ketemu kalian di sini, kenapa enggak gabung aja nonton bareng sama kami?” tanya Henry, membuat gadis di sampingnya merengut tidak suka.“Bol—“&ldq

  • Struggle Of Love   9. Menjauh

    Kevin duduk di belakang rumahnya sambil bermain gitar. Telinganya ditutup dengan earphone berukuran cukup besar, mendengarkan musik bervolume tinggi. Alunan musik dari Getsunova berjudul The Loudest Silence menjadi teman rasa sakit yang menjalari hatinya.Dia sedang dilanda gundah-gulana. Ternyata mencintai diam-diam adalah hal yang menyakitkan. Seseorang pernah menulis ini dalam sosial media dan Kevin sempat membacanya sekilas. Mencintai adalah seni paling sederhana menyakiti diri sendiri. Dan, Kevin benar-benar setuju pada pendapat itu. Sekarang dia memang sedang tersakiti saat mencintai seseorang.Tidak habis pikir, padahal dia belum lama mengenal Henry. Namun, hatinya sudah tertambat dengan cepat. Hati terdalamnya terus berteriak, menyebut nama Henry yang tidak bisa digapai dan direngkuhnya. Akan tetapi, akal sehatnya menyadarkannya dari semua ketidakwarasan. Henry adalah kemustahilan yang selalu diaminkan olehnya belakangan ini.S

  • Struggle Of Love   10. Bersama

    Henry menggeleng sambil masih mengejar Kevin di belakang. Dia sempat terkejut saat tahu jika Kevin memiliki sifat seperti itu saat berhadapan dengan ayahnya. Henry kira, lelaki selugu dan sepolos Kevin tidak akan punya tindakan melawan kepada orangtuanya.“Eits!” ucap Henry saat menahan daun pintu yang melayang ke arah wajahnya karena Kevin menutupnya dengan keras tanpa melihat ke belakang. “Pelan-pelan, dong! Kalau muka kena pintu, bisa berubah, nih,” katanya, membuat Kevin yang tadinya merengut kesal jadi tersenyum.“Lah, salah siapa ngikutin saya?” balas Kevin sambil kembali menarik pintu, membiarkan Henry masuk dan menutupnya dengan pelan untuk kali ini. Dia lalu melangkah ke arah ranjang dan duduk di sampingnya sambil melihat Henry yang tampak takjub.“Sekarang gue enggak bakal ragu lagi kalau lo emang keturunan ningrat yang kayanya tujuh turunan, Vin,” ucap Henry, dia menyentuh lemari putih yang tampak mengil

  • Struggle Of Love   10. Bersama

    Henry menggeleng sambil masih mengejar Kevin di belakang. Dia sempat terkejut saat tahu jika Kevin memiliki sifat seperti itu saat berhadapan dengan ayahnya. Henry kira, lelaki selugu dan sepolos Kevin tidak akan punya tindakan melawan kepada orangtuanya.“Eits!” ucap Henry saat menahan daun pintu yang melayang ke arah wajahnya karena Kevin menutupnya dengan keras tanpa melihat ke belakang. “Pelan-pelan, dong! Kalau muka kena pintu, bisa berubah, nih,” katanya, membuat Kevin yang tadinya merengut kesal jadi tersenyum.“Lah, salah siapa ngikutin saya?” balas Kevin sambil kembali menarik pintu, membiarkan Henry masuk dan menutupnya dengan pelan untuk kali ini. Dia lalu melangkah ke arah ranjang dan duduk di sampingnya sambil melihat Henry yang tampak takjub.“Sekarang gue enggak bakal ragu lagi kalau lo emang keturunan ningrat yang kayanya tujuh turunan, Vin,” ucap Henry, dia menyentuh lemari putih yang tampak mengil

  • Struggle Of Love   11. Senjata Makan Tuan

    “Vin, ada yang mau gue omongin sama lo,” kata Henry, membuat Kevin yang tadi sudah ingin masuk ke kamar harus berhenti dan menoleh ke arahnya dengan tatapan penasaran. Di koridor itu tidak ada suara apa pun, sunyi seperti tidak ada kehidupan.“Apa, Henry? Ini udah malam. Kalau mau ngo—““Gue sebenernya,” potong Henry sambil berusaha berjalan mendekat, memaksa otot-otot di leher Kevin menegang. Dia lalu menoleh pada pintu kamar yang sudah terbuka sedikit, berkedip beberapa kali dan menatap wajah Kevin lagi dengan serius.Namun, saat Henry akan kembali berkata, seseorang datang dari arah tangga dengan wajah penuh tanda tanya, yang ternyata adalah sosok Lesti berpakaian tidur warna biru muda. Dia menatap Kevin dan Henry bergantian.“Kalian belum tidur?” tanya Lesti, berjalan ke samping Henry, lalu berdiri antara mereka sambil sesekali menarik tali pakaian tidurnya lebih kencang.“Ibu? Kenapa

  • Struggle Of Love   12. Melarikan Diri

    “Kalau rencana pertama gagal, lo bisa lanjut ke rencana kedua. Gue punya sesuatu di sini,” ucap Steven sambil menggerakkan kedua tangannya di depan dada, seolah-olah dirinya adalah seorang pesulap yang sedang merapalkan mantra. Tepat ketika Kevin berkedip, di tangan Steven ada sebuah botol yang tidak Kevin kenali bentuk dan mereknya.“Minuman? Saya harus minum itu biar dia mau sama saya? Semacam pelet cinta?” tanya Kevin polos. Wajahnya yang putih bersih tanpa bekas jerawat semakin bersinar saat cahaya matahari menerpanya dari arah jendela. Namun, Steven yang kesal dengan reaksi Kevin barusan hanya menggeleng.“No. Lo kira kita hidup di zaman apaan? Pakai pelet segala. Udah enggak zaman kali, Mas Bro. Gue punya koktail.”“Hah? Apa itu? Cock tail? Buntut ayam?” tanya Kevin, mencoba mengartikan per kata ucapan Steven barusan. Pikirannya mengacu pada cock berarti ayam dan tail

  • Struggle Of Love   13. Mencari Kebenaran

    Kevin bolos sekolah karena dia tidak bawa seragamnya saat kabur dari rumah kemarin. Beruntungnya, masih ada rumah yang mau menampungnya untuk bermalam saat hujan mengguyur Bandung malam hari. Siapa lagi kalau bukan Henry, sosok penyelamat yang jadi tempat pulang satu-satunya di saat rumah aslinya menjadi sebuah ancaman.Saat kedatangan Kevin malam-malam di indekosnya, Henry jelas kaget. Namun, dia tidak banyak bertanya karena sudah tahu apa yang menjadi akar masalah di kehidupan Kevin. Jika bukan soal perjodohan, pasti perihal bisnis, pikir Henry.Sayangnya, Henry tidak tahu jika masalah sebenarnya, perihal kedekatan dirinya dengan Kevin yang membuat Galang risi.Pagi harinya, saat Henry akan berangkat kerja di tempat disain grafisnya, Kevin masih terlelap dengan tenang di kasur tipis indekos. Lelaki bermata cokelat madu itu tampak damai berada di tempat tinggal keduanya. Henry diam-diam meraih ponsel Kevin yang tergeletak di sampingnya.“Hidup lo e

Bab terbaru

  • Struggle Of Love   Extra Part

    Kevin baru saja turun dari mobilnya ketika tiba-tiba seorang anak lelaki mencengkram ujung kemeja kuningnya dengan kencang, membuatnya terkejut dan nyaris memarahi anak itu. Namun, ketika dia akan melakukannya, kedua matanya terhenti pada sosok lelaki yang sekarang berdiri di ujung jalan.“Om, Om, kata Ayah, Om teman sekolahnya Ayah dulu, ya?” tanya anak lelaki berumur lima tahun itu sambil menarik ujung kemeja Kevin terus-menerus. Kevin yang tadinya kesal menjadi melunak dan berjongkok di hadapannya.“Emang begitu, Dek? Siapa yang bilang kalau Om temen sekolahnya ayahmu?” tanya Kevin sambil mencubit pipi tembem anak itu dengan gemas.“Ayah. Tadi Ayah bilang, Om yang baru turun dari mobil kuning itu temannya. Apa emang bener?” balas si anak lelaki itu sambil menggaruk bawah dagunya karena bingung. Dia lalu menoleh pada mobil kuning di belakang Kevin dengan mata berbinar. “Itu Bumble Bee, kan, Om?”Kevin terb

  • Struggle Of Love   20. Air Mata

    Kepergian Kevin membuat semua orang yang ada di mobil itu terdiam. Mereka sama-sama kaget dengan reaksi Kevin setelah Henry mengatakan putus kepadanya. Sementara itu, Audry yang masih penasaran terus mendesak Henry untuk menjawab.“Itu karena gue bener-bener butuh duit. Sebenarnya hidup gue berantakan. Hutang gue di mana-mana. Selama ini gue cuma bisa lari dan minta waktu sama mereka, tapi belakangan ini penagih hutang itu enggak memberi gue kesempatan lagi.”“Buat apa lo ngutang ke mana-mana, Bro?” tanya Rendi, dia penasaran dengan kehidupan Henry yang baru saja diketahuinya itu. Dia mengira selama ini Henry baik-baik saja dengan kehidupannya.Untuk ukuran anak yang berbakat macam Henry, akan mudah menjalani hidup dengan semua kemampuannya, apalagi menjadi seorang pelatih karate di pusat pelatihan besar. Namun, semua perkiraan itu tidak membuktikan apa pun. Faktanya, Henry hidup sengsara.“Gue kena tipu. Selama ini,

  • Struggle Of Love   19. Pergi Hilang dan Lupakan

    Percakapan mereka terhenti saat seseorang mendorong pintu kaca, membuat semua menoleh ke arah pintu dan mendapati seseorang berdiri di sana. Kevin mengernyit heran saat orang itu masuk.“Kirain kafenya tutup,” ucap orang itu sambil mendekat, lalu berdiri di depan mereka berempat. Orang itu adalah pelanggan yang datang sepulang kerja dan ingin menikmati minuman di kafe Steven.“Kafenya buka, Kak. Silakan pilih meja yang mana, pelayan kami akan menyiapkan semuanya,” balas Steven sambil menepuk tangannya satu kali, membuat seorang pelayan datang menyerahkan menu ke orang itu.Rendi, lelaki vokalis itu berdeham, membuat semua orang kembali menoleh kepadanya. “Jadi, kita bisa lanjut soal Henry?” tanyanya.“Bawa kami ke sana sekarang,” kata Steven, lalu berdiri dari duduknya untuk mendatangi salah satu pelayan dan memberitahukan sesuatu soal penjagaan kafe selama dirinya tidak ada.Audry dan Kevin ikut berd

  • Struggle Of Love   18. Mengungkap Sesuatu

    Mendadak saja Kevin merasakan kesedihan yang mendalam. Dadanya yang semula terasa ringan, tiba-tiba menjadi sesak dan penuh. Dia bahkan sampai tidak kuasa mengendarai motornya, Sepanjang jalan, dia hanya menatapi aspal yang terus tergilas roda motor kuningnya.Pikirannya terbang pada Henry yang sekarang menghilang tanpa jejak. Ada rasa sakit yang menjalar di dadanya ketika dia ingat kenangan bersamanya. Tentang bagaimana mereka memulai semuanya, menjalani hari-hari sulit di tempat pelatihan, sampai menjadi sepasang kekasih yang singkat.Ketika Audry mengajaknya bicara, Kevin tanpa sadar menitikan air matanya. Entah karena debu jalanan atau angin dari udara kota yang kotor, tapi matanya terasa sangat perih.“Kamu yakin orang itu tahu sesuatu?” tanya Audry sambil menoleh pada kaca spion kiri, menatap Kevin yang masih saja melamun. Dia mengembuskan napasnya pelan, lalu menurunkan kecepatan motornya dan menepi.Menyadari kendaraan yang dinaikinya

  • Struggle Of Love   17. Penyesalan

    “Bantu saya cari Henry, Audry. Saya mohon. Banyak hal yang harus saya katakan kepadanya,” ucap Kevin, tampak sangat sedih. Kehilangan Henry memberi dampak yang jauh lebih menyakitkan di dalam hatinya. Meskipun dia tahu, kedua orangtuanya sangat kecewa dan lebih sakit hati olehnya.“Kita bisa bicarakan itu besok, Key. Sekarang, aku mau kamu datangi Om Galang dan bilang semuanya sama dia.”“Saya takut, Audry.” Kevin menggeleng.“Apa yang bikin kamu takut?” tanya Audry sambil mengernyitkan dahi. Mereka masih berdiri di koridor, tepat di depan pintu kamar Kevin. Sejak kepergian Lesti tadi, wanita itu masih belum kembali.“Ayah kecewa banget sama saya, begitu juga Ibu. Saya enggak mau bikin mereka makin sakit hati dengan—““Itu, kan cuma pikiran kamu aja. Mereka itu orangtuamu. Baik-buruknya kamu, mereka akan menerima. Percayalah,” potong Audry kesal. Baginya, Kevin terl

  • Struggle Of Love   16. Cerita Pendek

    Beberapa menit setelah kepergian Audry, Kevin tidak merasakan lagi keberadaanya di balik pintu itu. Setelah merasa semua kembali sunyi, dia memutuskan untuk pindah ke ranjang, mengistirahatkan tubuhnya yang semakin terasa lemas.Namun, ketika dia akan melangkah, matanya tertuju pada secarik kertas yang tergeletak di bawah pintu, bersisian dengan barang-barang yang dia lempar secara acak kemarin. Dia mulai penasaran dengan kertas itu dan berjalan menghampirinya.“Kertas? Surat dari Audry?” gumamnya sambil meraih kertas itu dengan tangan kirinya, lalu matanya yang cokelat memindai tulisan tangan di dalamnya. “Hah? Ini cerpen?” katanya lagi semakin bingung.Tulisan itu berisi seperti ini :Kevin, aku bukan penulis. Jadi, maaf kalau tulisanku ini berantakan. Kamu pasti enggak akan kuat bacanya, tapi aku mohon baca sampai akhir. Oke, jadi begini.Di suatu tempat yang enggak jauh-jauh amat, ada seorang anak kecil yang

  • Struggle Of Love   15. Hancur

    Kevin tidak pernah menyangka jika semua akan menjadi seperti ini. Dia pikir, dengan pulangnya dia ke rumah akan membuat suasana menjadi lebih baik. Ayahnya tidak akan membahas perihal larangannya berteman dengan Henry.Dia mendorong pintu kamarnya dengan kencang, membuat daun pintu itu membentur dinding di belakangnya, menghasilkan suara yang bergema di lorong lantai dua. Kevin marah sekali kepada Galang. Kekuatan pada otot-ototnya sekarang sudah jauh lebih kuat untuk dia gunakan sebagai alat perusak lemari di kamarnya.“Saya enggak pernah dapat kebebasan!” teriaknya sambil meninju cermin berukuran besar yang ada di lemari itu dengan sekali tarikan napas. Kevin sedikit meringis ketika serpihan kaca melukai punggung tangannya, menggoreskan luka yang tidak sebanding dengan sakit di hatinya yang terus terasa menyakitkan.“Kevin!” teriak Henry, membuat Kevin menoleh dengan wajah yang sudah habis disapu air mata. Lelaki berkacamata itu menundu

  • Struggle Of Love   14. Kembali

    Kevin benar-benar kesal kepada Audry karena sudah membawanya ke tempat terkutuk seperti itu. Dia nyaris saja kehilangan ciuman pertamanya oleh orang yang bahkan baru dikenalnya beberapa menit di pesta ulang tahun orang lain.Dia tidak mengatakan sepatah kata pun sampai Audry turun dari taksi daring. Kevin lalu turun setelahnya ketika mobil sewaan itu sampai di indekos Henry tepat jam sepuluh malam. Malam ini dia masih akan tidur di sana sampai setidaknya beberapa hari ke depan.Seketika saja saat dia mencapai gerbang indekos, rasa bersalah mulai muncul. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Henry ketika dirinya menjemput Kevin di alun-alun tadi sore, tapi dia tidak ada di sana menunggunya.Kevin mengendap-endap di depan indekos yang lain, lalu berhenti ketika tepat berdiri di depan indekos Henry. Lampunya mati dan pintunya dikunci.“Apa Henry belum pulang? Tapi, ke mana dia malam-malam begini?” gumamnya. Pesan WA-nya masih belum dibalas

  • Struggle Of Love   13. Mencari Kebenaran

    Kevin bolos sekolah karena dia tidak bawa seragamnya saat kabur dari rumah kemarin. Beruntungnya, masih ada rumah yang mau menampungnya untuk bermalam saat hujan mengguyur Bandung malam hari. Siapa lagi kalau bukan Henry, sosok penyelamat yang jadi tempat pulang satu-satunya di saat rumah aslinya menjadi sebuah ancaman.Saat kedatangan Kevin malam-malam di indekosnya, Henry jelas kaget. Namun, dia tidak banyak bertanya karena sudah tahu apa yang menjadi akar masalah di kehidupan Kevin. Jika bukan soal perjodohan, pasti perihal bisnis, pikir Henry.Sayangnya, Henry tidak tahu jika masalah sebenarnya, perihal kedekatan dirinya dengan Kevin yang membuat Galang risi.Pagi harinya, saat Henry akan berangkat kerja di tempat disain grafisnya, Kevin masih terlelap dengan tenang di kasur tipis indekos. Lelaki bermata cokelat madu itu tampak damai berada di tempat tinggal keduanya. Henry diam-diam meraih ponsel Kevin yang tergeletak di sampingnya.“Hidup lo e

DMCA.com Protection Status