“Anak kurang ajar! Enggak tahu terima kasih!” Galang menyeret Kevin ke kamarnya, lalu mendorongnya kencang hingga tubuh Kevin terjerembab di dekat ranjang. Kacamatanya jatuh, tapi tidak sampai pecah.
“Ayah enggak pernah denger apa yang saya mau. Tapi, Ayah mau saya denger apa yang Ayah mau. Itu enggak adil!” ucap Kevin dengan nada tinggi. Dia tidak sadar sudah membentak ayahnya sendiri karena sudah kesal dengan sikap ayahnya yang selalu saja mengaturnya.
“Tutup mulutmu!” Galang mondar-mandir di pintu masuk, sesekali mengurut batang hidungnya sambil tangan satunya ditaruh di pinggangnya. “Kamu jadi cowok terlalu lembek. Masa maen futsal aja enggak bisa? Kamu udah nolak kesempatan dan bikin malu. Jangan malu-maluin Ayah begitu. Mau ditaruh di mana muka Ayah?” tanyanya.
Kevin menarik napas dalam-dalam. Ada rasa sakit yang terus menggerogoti hatinya saat Galang mengatainya ‘cowok lembek’. Dia memang sadar diri, kok tidak suka olahraga dan menyukai hal-hal yang tidak biasa disukai lelaki pada umumnya. Namun, jika dikatakan lembek, dia tidak terima.
“Ayah cuma perlu denger apa yang saya mau. Saya hobi nyanyi, saya hobi membaca. Itu enggak bikin kita rugi, kok. Apa itu salah?” tanya Kevin, lalu dia berdiri dan duduk di ranjangnya dengan mengepalkan kedua tangan erat-erat.
Galang tidak menjawab, merasa tidak mendapat jawaban apa pun untuk membalas pertanyaan Kevin barusan. Dia hanya mendengus kesal, lalu menutup pintu kamarnya dan dikunci dari luar.
“Kamu dihukum dua hari di kamar!” katanya sambil menutup pintu dengan kencang.
“Ayah enggak adil!” teriak Kevin.
*
“Sebenernya, apa yang salah sama anak kita?” tanya Galang sambil mengurut pelipisnya yang terasa berdenyut. Lesti duduk di sampingnya sambil mengelus tangannya lembut.
Setelah pulang dari acara makan malam itu, mereka memutuskan untuk membahas soal anaknya yang terlihat semakin tidak wajar. Galang memerhatikan gerak-gerik Kevin yang tidak biasa. Anak lelakinya itu malah cenderung melakukan hal-hal yang biasa dilakukan anak perempuan.
Galang pikir, anak lelaki tidak membaca novel, tidak menulis cerita, tidak menyanyi dan lebih parahnya, Galang berpikir jika memainkan gitar sambil menyanyi tampak seperti seorang lelaki lembek.
“Biarin Kevin tumbuh sesuai bakatnya, Yah. Jangan paksa dia. Kan, Ibu sudah pernah bilang soal itu,” ucap Lesti. Dia sama seperti Galang, ingin yang terbaik untuk anak satu-satunya. Akan tetapi, memaksakan kehendak Kevin bukan apa yang diinginkannya. Dia juga tidak bisa menentang keputusan Galang.
“Itu karena kamu terlalu manjain dia. Sekarang dia malah susah diatur. Kamu lihat, kan di acara makan malam dia ngapain? Mau ditaruh di mana mukaku ini?” Galang menggeleng, merasa kepalanya semakin sakit.
“Tapi, Kevin benar, Yah. Dia bisa hidup sesuai apa yang dia sukai. Biarkan dia mengembangkan bakatnya.” Lesti mencoba berkata selembut mungkin, tidak ingin menambah rasa sakit di kepala Galang karena tingkah Kevin yang terus saja menolak apa yang dia pinta.
“Bakat apa? Apa yang dia bisa?” tanya Galang geram. Tangannya tidak bisa dia buat lemas, rasanya ingin menghantam sesuatu karena marah.
“Kevin punya suara bagus. Dia bisa menjadi penyanyi,” jawab Lesti.
“Aku akan masukkan dia ke pelatihan karate biar jadi lelaki tulen yang bisa jaga dirinya sendiri,” kata Galang. “Seharusnya dia masuk sekolah futsal.Tapi, itu enggak cukup bikin dia jadi lelaki yang bisa mejnaga dirinya sendiri. Kamu tahu sendiri, kan apa yang dia lakukan di kam—”
“Saya enggak mau,” sambar Kevin dari arah kamarnya. Dia keluar dengan mencungkil kunci menggunakan alat pribadinya. “Cukup Ayah atur saya untuk sekolah di sekolah yang Ayah mau. Saya enggak mau melakukan apa yang Ayah atur,” tambahnya sambil berjalan ke arah ayah dan ibunya.
“Denger, Kevin. Hidup kamu sudah Ayah atur sejak kamu kecil, bahkan sampai jodoh. Kami sudah menyiapkan seorang gadis buat kamu. Kamu sudah enggak bisa menolak. Ini semua demi kebaikan kamu. Ayah sama Ibu sayang sama kamu,” kata Galang, lalu berdiri dan siap mendekat ke arah Kevin. Namun, Kevin menahannya dengan lima jari yang dia angkat ke depan.
“Bu, saya sudah besar. Saya kelas sebelas dan udah bisa nentuin apa yang saya mau lakukan,” ucap Kevin lesu. Tatapannya tertuju pada Lesti yang juga menatapnya dengan sedih. “Ayah juga. Seharusnya Ayah paham apa yang saya inginkan. Kita sama-sama laki-laki.”
“Ayah akan denger apa yang kamu mau. Tapi, selama kamu bisa buktikan sama Ayah kalau kamu bisa menjadi lelaki yang bisa diandalkan.” Galang mendelik ke arah luka-luka yang ada di wajah Kevin. Lebam dan merahnya masih ada di beberapa bagian wajah Kevin. “Ayah tahu kamu bukan anak lelaki yang biasa berantem. Luka itu,” katanya sambil menunjuk.. “Bukti kalau kamu terlalu lembek jadi anak laki-laki. Kamu kalah dan dipukuli, kan?”
Hati Kevin seperti mencelus begitu saja. Perkataan Galang memang ada benarnya. Selama ini dia hanya bisa diam saat dikeroyok dan dihina oleh teman-temannya. Jika pun dia melawan, alih-alih memberikan balas dendam, dia habis dipukuli. Sekarang, memikirkannya membuat dia membenci dirinya sendiri.
Otaknya berputar sangat keras, mencari kata apa yang pas untuk membalas perkataan Galang barusan. Akan tetapi, sampai jarum jam di dinding rumahnya melewati angka sepuluh dua kali, dia masih belum menemukan apa pun.
“Itu enggak adil!” bentak Kevin, lalu dia kembali ke kamarnya.
“Apa kita enggak terlalu memaksanya?” tanya Lesti cemas. Akan tetapi, Galang hanya terdiam sambil mengurut pelipisnya yang terus berdenyut.
*
Beberapa hari Kevin tidak masuk sekolah. Dia merasa sangat frustrasi dengan keadaan. Teman-teman di sekolahnya memusuhinya dan anak-anak senior selalu mengatainya gay dan banci. Tidak ada satu pun pilihan yang membuatnya merasa harus kembali ke sekolah.
Lesti sudah berkali-kali membujuk Kevin untuk keluar kamar dan bertanya apa yang salah dengannya. Pagi ini, dia diizinkan masuk oleh Kevin dan memanfaatkan kesempatan itu untuk mengobrol dengannya.
“Key, kamu ada masalah apa? Cerita sama Ibu,” kata Lesti lembut. Tangannya mengelus kepala Kevin yang tersandar pada bantal di ranjang. Kevin memejamkan matanya rapat-rapat, berpura-pura tidur. Namun, Kevin juga tahu jika ibunya tidak sebodoh itu. Kan, yang membukakan pintu untuk ibunya adalah dirinya.
Lesti mengembuskan napasnya pelan, lalu mengubah posisi duduknya agar lebih nyaman, sebelum melanjutkan percakapan yang menurutnya sangat sensitif itu. “Kamu bisa cerita sama Ibu. Apa ini semua karena keputusan Ayah?”
Kevin terdengar mendengkur, tapi Lesti tidak percaya Kevin tidur begitu saja. Dia lalu menyuruh Kevin bangkit dan duduk bersamanya.
“Saya cuma sedih, Bu. Saya ngerasa semuanya enggak bisa dikontrol dan bikin saya ngerasa benci saya diri sendiri. Ayah juga benci saya karena enggak bisa jadi apa yang dia mau. Dan, saya ngerasa terlalu cengeng.” Kevin nyaris terisak karena rasa sakit yang terus berdenyut di dadanya.
Lesti menggeleng. “Enggak. Kamu jagoan Ibu. Kamu anak yang selalu Ibu bangga-banggakan. Siapa yang bilang kalau kamu cengeng?”
“Ayah,” jawab Kevin.
“Ayah bilang kamu lembek, kan? Bukan cengeng,” kata Lesti sambil terkekeh-kekeh, membuat Kevin merengut sebal.
“Ibu! Kalau Ibu datang cuma buat ngatain juga, mending Ibu keluar, deh!” seru Kevin sambil menaruh tangannya di pelipis, merasa kedutan di kepalanya semakin kencang.
“Iya, deh Ibu minta maaf. Tapi, Ibu serius. Sebenernya kamu ada masalah apa sampai enggak mau berangkat ke sekolah?”
Kevin mengdengus, lalu bangkit, mengubah posisinya senyaman mungkin agar bisa bercerita kepada Lesti tentang apa yang terjadi kepadanya.
“Saya kesel sama diri sendiri. Ayah bener, saya cuma lelaki lembek. Anak-anak di kelas ngatain saya banci hanya karena enggak bisa maen futsal. Apa itu masalah, Bu?” Tepat setelah perkataan itu, Kevin mendadak teringat soal orientasi seksualnya yang menyimpang. Apa dia juga harus mengatakan itu kepada ibunya? Bukankah ibu selalu bisa menerima kondisi anaknya?
“Banci menurut kamu, itu apa?” tanya Lesti sambil mengelus rambut Kevin.
Kevin menggeleng. Dia tidak bisa membedakannya. “Menurut Ibu?”
“Lelaki yang enggak bisa menjaga kehormatan wanita, lelaki yang hanya berani melawan wanita dan lelaki yang enggak tahu diri yang selalu mementingkan dirinya sendiri di atas penderitaan wanita. Semua itu adalah banci menurut Ibu,” jelas Lesti tersenyum, lalu mengelus lagi puncak kepala Kevin/ “Jadi, apa semua itu ada di kamu?”
Kevin kembali menggeleng. “Tapi, Ayah mau saya masuk pelatihan karate cuma gara-gara saya cowok lembek. Saya enggak pandai olahraga. Itu bukan yang Ayah mau,” kata Kevin.
Perkataan Kevin memang tidak salah. Lesti tahu betul apa yang diinginkan Galang dari rencananya memasukkan Kevin ke pelatihan karate. Akan tetapi, bukan berarti dia setuju jika Kevin adalah lelaki yang lembek.
“Sekarang, kamu pikirkan apa sisi baik dari rencana Ayah buat kamu?”
“Saya enggak tahu, Bu. Saya enggak suka sama keputusan Ayah.”
“Key,” ucap Lesti, lalu meraih kepala Kevin dan membiarkannya tertidur di pahanya. “Ini bukan soal apa yang kamu suka atau enggak suka. Tapi, ini semua soal apa yang kamu butuhkan. Ayah memberikanmu semua ini karena dia ingin apa yang terbaik buat kamu.”
Kevin tidak bisa berkata apa pun untuk merespons. Dia terpejam di atas paha Lesti sambil menarik napasnya dalam-dalam. Ingatan soal dua lelaki yang selalu mengejeknya terbayang di kepalanya. Ucapan Lesti barusan menyadarkannya dari sesuatu.
Jika dia masuk pelatihan karate, artinya Kevin bisa menjaga dirinya sendiri. Dia tidak akan diganggu lagi oleh senior atau teman-temannya. Dan, itu artinya dia tidak akan dikatai banci lagi. Mendadak saja Kevin tersenyum senang. Benar, ini adalah apa yang dibutuhkannya.
Ada rasa ingin memiliki yang tumbuh dalam diri Kevin. Ya, dia ingin memiliki semua kemampuan dan sanjungan itu mulai dari sekarang. Kevin tidak ingin dikatai banci lagi.
“Iya, Bu. Saya membutuhkannya,” ucap Kevin, dia lalu menegakkan tubuhnya dan mengepalkan satu tangannya sambil tersenyum senang. “Bantu saya bicara sama Ayah soal ini, Bu. Saya ingin masuk pelatihan karate,” lanjutnya.
Sekarang, Kevin bertekad ingin menjadi sosok yang bisa diandalkan. Perkataan ayahnya terngiang di kepalanya. Galang bilang akan mendengarkan apa pun yang dikatakannya, selama Kevin sudah menjadi lelaki yang bisa diandalkan.
Siapa yang tahu, bukan, setelah dia masuk pelatihan, orientasi seksualnya akan kembali seperti semula. Dia akan menjadi lelaki maco yang menyukai gadis berpayudara besar. Bukan malah lelaki yang memiliki batang seperti dirinya.
Lesti mengangguk, lalu menyuruh Kevin untuk istirahat.
*
Kevin merasa sangat bahagia karena bisa melakukan makan malam bersama lagi dengan kedua orangtuanya. Itu adalah momen yang langka karena Galang selalu sibuk dengan urusan kerjanya. Terakhir mereka makan malam bersama pun saat acara bertemu dengan teman bisnis Galang malam itu.
Steik yang sudah dihidangkan di piring putih itu masih belum disantap oleh Kevin, dia hanya memotongnya kecil-kecil, lalu memainkannya. Matanya yang cokelat madu terus mengerjap di balik kacamata beninnya.
Sejak tadi, Galan seperti mengabaikannya, membuat Kevin semakin merasa canggung. Malam ini dia ingin membicarakan soal pelatihan karate yang waktu pernah dibahas oleh ibunya.
Kevin berdeham pelan, membuat kedua orangtuanya menoleh bersamaan kepadanya. “Ayah, terima kasih karena mau meluangkan waktu bersama kami,” ucap Kevin, lalu menaruh kedua alat makannya. “Saya senang.”
Galang belum menjawab, dia meraih gelas dan meneguk airnya dalam sekali napas. “Makanlah yang banyak. Kita jarang-jarang punya waktu kayak begini,” katanya. Kevin mengangguk setuju, lalu menoleh pada Lesti yang tersenyum ke arahnya.
“Ayah, ada yang ingin saya bicarakan,” ucap Kevin canggung. Dia merasakan atmosfer kecanggungan yang pekat di seklilingnya. “Ini soal pelatihan karate. Setelah dipikir-pikir, enggak ada salahnya saya ikut pelatihan itu. Ayah bener, saya butuh itu buat kehidupan saya,” lanjutnya sambil meraih sendok dan garpunya lagi.
Mendengar itu Galang tersenyum, lalu menaruh dua alat makannya dan menarik selembar tisu. “Besok kita langsung datang ke pelatihan. Ayah akan temani kamu daftar,” ucapnya.
“Terima kasih, Ayah.”
Galang menoleh pada ponselnya yang berkedip dan berbunyi. Dia lalu mengangkat sebuah panggilan, tampak serius berbicara dengan seseorang di seberang telepon. Itu membuat Kevin merasa kesal karena siapa pun yang menelepon, telah menginterupsi momen kebersamaan keluarganya.
“Teman Ayah sudah di jalan,” kata Galang, lalu menaruh ponselnya di meja.
“Mereka jadi datang, Yah?” tanya Lesti. Seakan-akan dia sudah tahu soal itu, membuat Kevin seperti orang tolol yang tidak tahu apa-apa.
“Mereka siapa, Bu?”
“Teman Ayah. Mereka datang sebentar lagi dan bergabung bersama kita.”
“Bukannya ini acara keluarga kita, Bu?”
Lesti menggeleng. “Ini memang acara keluarga, tapi melibatkan dua keluarga. Harusnya mereka datang sejak tadi. Tapi, teman Ayah harus mengurusi sesuatu dulu. Jadi, mereka telat.”
Selama menunggu, hati Kevin semakin dibuat dongkol. Dia pikir, acara makan malam ini khusus untuk keluarga kecilnya. Akan tetapi, ayah dan ibunya sudah merencanakan ini di belakangnya. Entah apalagi yang akan mereka bahas kali ini.
Kevin lalu pamit untuk bermain ponsel lebih dulu, dia melipir ke dekat pagar yang menjadi pembatas restauran dan jurang yag menampilkan pemandangan kota malam hari. Ada begitu banyak cahaya yang membuat malam semakin indah dan tampak romantis.
Dia meraih ponselnya dan menelepon Steven. Kedekatan mereka sudah mulai terjalin. Hari itu, sebelum pulang Kevin meminta kontak Steven untuk jaga-jaga jika dirinya membutuhkan Steven sebagai penasihatnya. Ternyata, kontak itu memang berguna sekarang.
Telepon tersambung dalam beberapa detik, lalu Steven mengangkat panggilannya.
“Yo, Kevin. Ada apa malam-malam nelepon? Jangan bilang lo kangen gue?” tanyanya terkekeh-kekeh.
“Enggak. Dih, malas banget saya harus kangen kamu,” jawab Kevin, dia juga sama terkekeh-kekeh, lalu menyudahinya dengan cepat. “Ada yang mau saya bahas. Sori kalau saya selalu bikin kamu repot,” kata Kevin.
“Basa-basi aja, deh lo. Kan, gue udah bilang, kalau ada apa-apa terbuka aja. Kita udah jadi temen kali, Vin.”
Kevin mengangguk, meskipun Steven tidak bisa melihatnya. Dia lalu menarik napasnya pelan sambil menatap pemandangan di hadapannya. “Ini soal sesuatu yang enggak saya sukai waktu itu. Maksudnya, saya baru aja mengambil keputusan buat ikut ke pelatihan karate. Gimana menurut kamu?”
“Ngapain lo masuk karate? Mau balas dendam sama mereka yang suka bikin muka lo babak belur?”
“Enggak ada salahnya, kan?” tanya Kevin, merasa itu memang tidak salah.
“Apa keputusan ini sesuai hati lo? Gue cuma enggak mau lo ambil keputusan karena terpaksa, Vin.”
“Awalnya, sih. Tapi, saya mulai mikir ini yang terbaik. Kan, kalau saya bisa jaga diri sendiri, enggak akan nyusahin orang lain juga. Selain itu ….” Kevin menjeda ucapannya, lalu menelan ludahnya pelan. “Saya pengin jadi sepertimu. Kamu gagah dan pemberani, Steve.”
Steven malah terbahak mendengarnya, menganggap jika Kevin terlalu polos dan lucu. Dia lalu mengatakan apa pun keputusannya, selama itu muncul dari hati sendiri tidak akan masalah. Percakapan pun dihentikan karena Kevin harus kembali ke kedua orangtuanya.
Saat kembali, dia disuguhkan pemandangan mengejutkan. Teman ayahnya ternyata membawa seorang gadis cantik seusianya. Mendadak saja Kevin merasa tidak enak hati. Tadi ibunya bilang pertemuan ini melibatkan dua keluarga.
“Kevin, duduk di situ!” pinta Lesti sambil menunjuk kursi di dekat gadis berambut pirang panjang bergelombang. Tanpa basa-basi Kevin duduk dan bungkam.
“Maaf karena kami terlambat,” kata lelaki berjas biru tua sambil menoleh kepada Kevin. “Anakmu ganteng juga, Lang. Dulu Kevin masih sering ingusan.”
“Iya. Sekarang dia udah gagang mirip ayahnya,” timpal Galang berbasa-basi, membuat Kevin muak. Padahal selama ini Galang menganggap Kevin lelaki lembek. Mana ada gagah seperti dirinya?
Percakapan pun berlanjut pada hal-hal kecil sambil menyantap hidangan kedua yang diantar pelayan. Kevin duduk sambil terus berbalas pesan dengan Steven. Dia sama sekali tidak menghiraukan kehadiran gadis di sampingnya.
Gadis itu mengernyit. “Hai. Dady sering cerita soal kamu. Namaku Audry. Salam kenal, Kevin.” Audry menyodorkan tangannya, mengajak bersalaman. Namun, Kevin mengabaikannya.
“Kamu udah tahu soal itu?” tanya Audry lagi, berusaha memancing obrolan dengan Kevin. Tampaknya pertanyaan barusan sukses membuat Kevin penasaran dan bertanya balik.
“Itu apa?”
“Mau ngobrol sebentar sambil kenalan? Kita di sini udah kayak nyamuk yang enggak dianggap. Aku mau ajak kamu ke sana,” kata Audry sambil menunjuk ke arah pagar yang tadi Kevin datangi. “Kita bisa ngobrol santai.”
“Oke.”
“Jadi, mereka punya rencana sendiri,” kata Audry saat mereka berjalan menjauh setelah pamit kepada orangtua masing-masing. Gadis bermata hitam bulat besar itu menaruh kedua tangannya di belakang sambil terus menggoyangkan kepalanya ke kanan-ke kiri.
“Saya enggak paham apa yang kamu bicarakan sejak tadi. Kamu pikir aku detektif yang bisa cari tahu kode-kode cewek?” ucap Kevin jengkel.
“Ya, maaf. Aku pikir kedua orangtua kamu udah kasih tahu kamu.”
“Nah, kan. Kamu mulai lagi. Jadi, soal apa?”
“Ke sini, deh.” Audry mengajak Kevin ke pagar pembatas, lalu menunjuk pemandangan di hadapannya. “Mereka berniat menjodohkan kita. Dady bilang, ini semua demi bisnis mereka. Ayahmu dan Dady-ku mau perusahaan mereka semakin besar dengan menjalin pernikahan politik.”
“Hah? Apa?” Kevin seperti tersedak ludahnya sendiri setelah mendengar ucapan Audry barusan.
“Awalnya aku enggak terima, sih. Tapi, setelah lihat kamu, aku pikir hidupku akan bahagia. Aku jadi mau dijodohin sama kamu,” kata Audry terkekeh-kekeh. Matanya yang bulat besar tertutup rapat oleh selaput matanya yang menyipit.
“Gila!” ucap Kevin, lalu berbalik dan mendatangi kedua orangtuanya.
Kevin datang sendiri ke tempat pelatihan di hari pertamanya. Awalnya Galang ingin menemaninya, tapi dia masih harus ke luar kota untuk mengurusi sesuatu. Jadi, sore ini setelah pulang sekolah, dia melakukan latihan pertamanya sendirian.“Makin banyak aja cowok ganteng di sini,” ucap Kevin sambil berjalan di koridor. Tempat latihan itu berupa gedung olahraga serbaguna. Kevin mengendap-endap di balik pilar hijau sepanjang koridor sambil melihat satu-dua lelaki sepulang dari ruang latihan.Di sisi kanan koridor terdapat lapangan hijau yang luas, di sana terdapat banyak anak yang sedang latihan. Mungkin karena terlalu banyak murid, jadi mereka latihan di luar ruangan. Itu yang Kevin pikirkan saat pertama kali melihatnya.Dia tersentak saat melihat pemandangan yang tidak disangka-sangka di depannya. Darah di tubuhnya kembali memanas saat melihat laki-laki yang datang melewatinya hanya mengenakan celana boxer tanpa pakaian, menampilkan tubuh indah penuh ot
Hari-hari di sekolah menjadi sangat menyebalkan bagi Kevin belakangan ini. Dia semakin merasa tidak nyaman berada di kelas karena tatapan dingin teman-temannya. Setiap perbuatan rasanya diperhatikan, membuat dia selalu melakukan kesalahan.Di jam olahraga, teman laki-lakinya mengolok-olok dan menyuruhnya memakai rok. Selama di kelas, dia hanya duduk di kursi belakang sambil tidur selama jam pelajaran. Teman-temannya tidak ada yang membangunkannya sampai jam pelajaran terakhir berakhir.Kevin baru pulang saat satpam keliling kelas untuk mengecek dan mengunci pintu. Dia lalu mampir ke kafe milik Steven karena hari ini tidak ada latihan karate. Kevin hanya ingin berbagi harinya yang buruk kepada sahabatnya itu.Bunyi lonceng terdengar saat pintu kaca didorong, membuat Steven yang sedang melayani pelanggang menoleh dan tersenyum, menyambut Kevin yang datang lagi ke kafenya.“Masih kusut aja itu muka. Bukannya lo udah ikut latihan karate, ya? Udah bisa b
Saat sampai di indekos Henry, Kevin dibuat menggeleng beberapa kali. Ternyata tempat tinggalnya selama ini tidak lebih dari ruangan kecil memanjang yang disekat tiga, terbagi dari ruang depan, kamar dan dapur. Kevin pikir Henry hidup bermewah-mewahan seperti dirinya. Ketika Henry bilang dia tinggal di indekos, Kevin sempat mengira tempatnya mewah seperti dalam bayangannya.Kevin kemudian masuk sambil masih memakai sepatunya, tapi Henry mencegahnya, membuatnya malu setengah mati. Dia terkekeh-kekeh sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal.“Ini kost-an gue, bukan rumah mewah di tempat lu yang bisa lo masukin pake sepatu,” kata Henry sambil menggeleng, tapi Kevin hanya cengengesan merasa tidak berdosa, lalu melepas sepatu dan menaruhnya di samping pintu.Indekos itu berupa bangunan memanjang dari kiri sampai kanan, terdiri dari sembilan pintu. Ruangan Henry berada di paling ujung, dekat dengan pagar pembatas antara rawa dan pemukiman. Kevin sempat mel
“Kevin?” tanya Henry, dia menghampiri Kevin diikuti gadis tadi di belakangnya yang masih saja mengunyah jagung dari bungkus di tangan Henry. “Gue enggak tahu kalau lo maen ke sini. Tadi lo bilang lagi cari makan. Di sini, toh?”Kevin membatu. Rasanya dia sebal pada Henry tanpa alasan yang jelas. Dia hanya mengangguk sambil berusaha untuk tersenyum, lalu kedua matanya yang cokelat madu menoleh pada gadis di samping Henry.“Siapa dia?” tanya Audry, menilik penampilan Henry yang keren dan kekinian. Mata gadis itu teralihkan pada gadis di sampingnya yang terlihat cantik dan modis. “Kalian saling kenal?”“Gue temen latihan karate Kevin.” Henry mengulurkan tangannya pada Audry dan dibalas dengan lembut. “Karena kebetulan ketemu kalian di sini, kenapa enggak gabung aja nonton bareng sama kami?” tanya Henry, membuat gadis di sampingnya merengut tidak suka.“Bol—“&ldq
Kevin duduk di belakang rumahnya sambil bermain gitar. Telinganya ditutup dengan earphone berukuran cukup besar, mendengarkan musik bervolume tinggi. Alunan musik dari Getsunova berjudul The Loudest Silence menjadi teman rasa sakit yang menjalari hatinya.Dia sedang dilanda gundah-gulana. Ternyata mencintai diam-diam adalah hal yang menyakitkan. Seseorang pernah menulis ini dalam sosial media dan Kevin sempat membacanya sekilas. Mencintai adalah seni paling sederhana menyakiti diri sendiri. Dan, Kevin benar-benar setuju pada pendapat itu. Sekarang dia memang sedang tersakiti saat mencintai seseorang.Tidak habis pikir, padahal dia belum lama mengenal Henry. Namun, hatinya sudah tertambat dengan cepat. Hati terdalamnya terus berteriak, menyebut nama Henry yang tidak bisa digapai dan direngkuhnya. Akan tetapi, akal sehatnya menyadarkannya dari semua ketidakwarasan. Henry adalah kemustahilan yang selalu diaminkan olehnya belakangan ini.S
Henry menggeleng sambil masih mengejar Kevin di belakang. Dia sempat terkejut saat tahu jika Kevin memiliki sifat seperti itu saat berhadapan dengan ayahnya. Henry kira, lelaki selugu dan sepolos Kevin tidak akan punya tindakan melawan kepada orangtuanya.“Eits!” ucap Henry saat menahan daun pintu yang melayang ke arah wajahnya karena Kevin menutupnya dengan keras tanpa melihat ke belakang. “Pelan-pelan, dong! Kalau muka kena pintu, bisa berubah, nih,” katanya, membuat Kevin yang tadinya merengut kesal jadi tersenyum.“Lah, salah siapa ngikutin saya?” balas Kevin sambil kembali menarik pintu, membiarkan Henry masuk dan menutupnya dengan pelan untuk kali ini. Dia lalu melangkah ke arah ranjang dan duduk di sampingnya sambil melihat Henry yang tampak takjub.“Sekarang gue enggak bakal ragu lagi kalau lo emang keturunan ningrat yang kayanya tujuh turunan, Vin,” ucap Henry, dia menyentuh lemari putih yang tampak mengil
Henry menggeleng sambil masih mengejar Kevin di belakang. Dia sempat terkejut saat tahu jika Kevin memiliki sifat seperti itu saat berhadapan dengan ayahnya. Henry kira, lelaki selugu dan sepolos Kevin tidak akan punya tindakan melawan kepada orangtuanya.“Eits!” ucap Henry saat menahan daun pintu yang melayang ke arah wajahnya karena Kevin menutupnya dengan keras tanpa melihat ke belakang. “Pelan-pelan, dong! Kalau muka kena pintu, bisa berubah, nih,” katanya, membuat Kevin yang tadinya merengut kesal jadi tersenyum.“Lah, salah siapa ngikutin saya?” balas Kevin sambil kembali menarik pintu, membiarkan Henry masuk dan menutupnya dengan pelan untuk kali ini. Dia lalu melangkah ke arah ranjang dan duduk di sampingnya sambil melihat Henry yang tampak takjub.“Sekarang gue enggak bakal ragu lagi kalau lo emang keturunan ningrat yang kayanya tujuh turunan, Vin,” ucap Henry, dia menyentuh lemari putih yang tampak mengil
“Vin, ada yang mau gue omongin sama lo,” kata Henry, membuat Kevin yang tadi sudah ingin masuk ke kamar harus berhenti dan menoleh ke arahnya dengan tatapan penasaran. Di koridor itu tidak ada suara apa pun, sunyi seperti tidak ada kehidupan.“Apa, Henry? Ini udah malam. Kalau mau ngo—““Gue sebenernya,” potong Henry sambil berusaha berjalan mendekat, memaksa otot-otot di leher Kevin menegang. Dia lalu menoleh pada pintu kamar yang sudah terbuka sedikit, berkedip beberapa kali dan menatap wajah Kevin lagi dengan serius.Namun, saat Henry akan kembali berkata, seseorang datang dari arah tangga dengan wajah penuh tanda tanya, yang ternyata adalah sosok Lesti berpakaian tidur warna biru muda. Dia menatap Kevin dan Henry bergantian.“Kalian belum tidur?” tanya Lesti, berjalan ke samping Henry, lalu berdiri antara mereka sambil sesekali menarik tali pakaian tidurnya lebih kencang.“Ibu? Kenapa
Kevin baru saja turun dari mobilnya ketika tiba-tiba seorang anak lelaki mencengkram ujung kemeja kuningnya dengan kencang, membuatnya terkejut dan nyaris memarahi anak itu. Namun, ketika dia akan melakukannya, kedua matanya terhenti pada sosok lelaki yang sekarang berdiri di ujung jalan.“Om, Om, kata Ayah, Om teman sekolahnya Ayah dulu, ya?” tanya anak lelaki berumur lima tahun itu sambil menarik ujung kemeja Kevin terus-menerus. Kevin yang tadinya kesal menjadi melunak dan berjongkok di hadapannya.“Emang begitu, Dek? Siapa yang bilang kalau Om temen sekolahnya ayahmu?” tanya Kevin sambil mencubit pipi tembem anak itu dengan gemas.“Ayah. Tadi Ayah bilang, Om yang baru turun dari mobil kuning itu temannya. Apa emang bener?” balas si anak lelaki itu sambil menggaruk bawah dagunya karena bingung. Dia lalu menoleh pada mobil kuning di belakang Kevin dengan mata berbinar. “Itu Bumble Bee, kan, Om?”Kevin terb
Kepergian Kevin membuat semua orang yang ada di mobil itu terdiam. Mereka sama-sama kaget dengan reaksi Kevin setelah Henry mengatakan putus kepadanya. Sementara itu, Audry yang masih penasaran terus mendesak Henry untuk menjawab.“Itu karena gue bener-bener butuh duit. Sebenarnya hidup gue berantakan. Hutang gue di mana-mana. Selama ini gue cuma bisa lari dan minta waktu sama mereka, tapi belakangan ini penagih hutang itu enggak memberi gue kesempatan lagi.”“Buat apa lo ngutang ke mana-mana, Bro?” tanya Rendi, dia penasaran dengan kehidupan Henry yang baru saja diketahuinya itu. Dia mengira selama ini Henry baik-baik saja dengan kehidupannya.Untuk ukuran anak yang berbakat macam Henry, akan mudah menjalani hidup dengan semua kemampuannya, apalagi menjadi seorang pelatih karate di pusat pelatihan besar. Namun, semua perkiraan itu tidak membuktikan apa pun. Faktanya, Henry hidup sengsara.“Gue kena tipu. Selama ini,
Percakapan mereka terhenti saat seseorang mendorong pintu kaca, membuat semua menoleh ke arah pintu dan mendapati seseorang berdiri di sana. Kevin mengernyit heran saat orang itu masuk.“Kirain kafenya tutup,” ucap orang itu sambil mendekat, lalu berdiri di depan mereka berempat. Orang itu adalah pelanggan yang datang sepulang kerja dan ingin menikmati minuman di kafe Steven.“Kafenya buka, Kak. Silakan pilih meja yang mana, pelayan kami akan menyiapkan semuanya,” balas Steven sambil menepuk tangannya satu kali, membuat seorang pelayan datang menyerahkan menu ke orang itu.Rendi, lelaki vokalis itu berdeham, membuat semua orang kembali menoleh kepadanya. “Jadi, kita bisa lanjut soal Henry?” tanyanya.“Bawa kami ke sana sekarang,” kata Steven, lalu berdiri dari duduknya untuk mendatangi salah satu pelayan dan memberitahukan sesuatu soal penjagaan kafe selama dirinya tidak ada.Audry dan Kevin ikut berd
Mendadak saja Kevin merasakan kesedihan yang mendalam. Dadanya yang semula terasa ringan, tiba-tiba menjadi sesak dan penuh. Dia bahkan sampai tidak kuasa mengendarai motornya, Sepanjang jalan, dia hanya menatapi aspal yang terus tergilas roda motor kuningnya.Pikirannya terbang pada Henry yang sekarang menghilang tanpa jejak. Ada rasa sakit yang menjalar di dadanya ketika dia ingat kenangan bersamanya. Tentang bagaimana mereka memulai semuanya, menjalani hari-hari sulit di tempat pelatihan, sampai menjadi sepasang kekasih yang singkat.Ketika Audry mengajaknya bicara, Kevin tanpa sadar menitikan air matanya. Entah karena debu jalanan atau angin dari udara kota yang kotor, tapi matanya terasa sangat perih.“Kamu yakin orang itu tahu sesuatu?” tanya Audry sambil menoleh pada kaca spion kiri, menatap Kevin yang masih saja melamun. Dia mengembuskan napasnya pelan, lalu menurunkan kecepatan motornya dan menepi.Menyadari kendaraan yang dinaikinya
“Bantu saya cari Henry, Audry. Saya mohon. Banyak hal yang harus saya katakan kepadanya,” ucap Kevin, tampak sangat sedih. Kehilangan Henry memberi dampak yang jauh lebih menyakitkan di dalam hatinya. Meskipun dia tahu, kedua orangtuanya sangat kecewa dan lebih sakit hati olehnya.“Kita bisa bicarakan itu besok, Key. Sekarang, aku mau kamu datangi Om Galang dan bilang semuanya sama dia.”“Saya takut, Audry.” Kevin menggeleng.“Apa yang bikin kamu takut?” tanya Audry sambil mengernyitkan dahi. Mereka masih berdiri di koridor, tepat di depan pintu kamar Kevin. Sejak kepergian Lesti tadi, wanita itu masih belum kembali.“Ayah kecewa banget sama saya, begitu juga Ibu. Saya enggak mau bikin mereka makin sakit hati dengan—““Itu, kan cuma pikiran kamu aja. Mereka itu orangtuamu. Baik-buruknya kamu, mereka akan menerima. Percayalah,” potong Audry kesal. Baginya, Kevin terl
Beberapa menit setelah kepergian Audry, Kevin tidak merasakan lagi keberadaanya di balik pintu itu. Setelah merasa semua kembali sunyi, dia memutuskan untuk pindah ke ranjang, mengistirahatkan tubuhnya yang semakin terasa lemas.Namun, ketika dia akan melangkah, matanya tertuju pada secarik kertas yang tergeletak di bawah pintu, bersisian dengan barang-barang yang dia lempar secara acak kemarin. Dia mulai penasaran dengan kertas itu dan berjalan menghampirinya.“Kertas? Surat dari Audry?” gumamnya sambil meraih kertas itu dengan tangan kirinya, lalu matanya yang cokelat memindai tulisan tangan di dalamnya. “Hah? Ini cerpen?” katanya lagi semakin bingung.Tulisan itu berisi seperti ini :Kevin, aku bukan penulis. Jadi, maaf kalau tulisanku ini berantakan. Kamu pasti enggak akan kuat bacanya, tapi aku mohon baca sampai akhir. Oke, jadi begini.Di suatu tempat yang enggak jauh-jauh amat, ada seorang anak kecil yang
Kevin tidak pernah menyangka jika semua akan menjadi seperti ini. Dia pikir, dengan pulangnya dia ke rumah akan membuat suasana menjadi lebih baik. Ayahnya tidak akan membahas perihal larangannya berteman dengan Henry.Dia mendorong pintu kamarnya dengan kencang, membuat daun pintu itu membentur dinding di belakangnya, menghasilkan suara yang bergema di lorong lantai dua. Kevin marah sekali kepada Galang. Kekuatan pada otot-ototnya sekarang sudah jauh lebih kuat untuk dia gunakan sebagai alat perusak lemari di kamarnya.“Saya enggak pernah dapat kebebasan!” teriaknya sambil meninju cermin berukuran besar yang ada di lemari itu dengan sekali tarikan napas. Kevin sedikit meringis ketika serpihan kaca melukai punggung tangannya, menggoreskan luka yang tidak sebanding dengan sakit di hatinya yang terus terasa menyakitkan.“Kevin!” teriak Henry, membuat Kevin menoleh dengan wajah yang sudah habis disapu air mata. Lelaki berkacamata itu menundu
Kevin benar-benar kesal kepada Audry karena sudah membawanya ke tempat terkutuk seperti itu. Dia nyaris saja kehilangan ciuman pertamanya oleh orang yang bahkan baru dikenalnya beberapa menit di pesta ulang tahun orang lain.Dia tidak mengatakan sepatah kata pun sampai Audry turun dari taksi daring. Kevin lalu turun setelahnya ketika mobil sewaan itu sampai di indekos Henry tepat jam sepuluh malam. Malam ini dia masih akan tidur di sana sampai setidaknya beberapa hari ke depan.Seketika saja saat dia mencapai gerbang indekos, rasa bersalah mulai muncul. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Henry ketika dirinya menjemput Kevin di alun-alun tadi sore, tapi dia tidak ada di sana menunggunya.Kevin mengendap-endap di depan indekos yang lain, lalu berhenti ketika tepat berdiri di depan indekos Henry. Lampunya mati dan pintunya dikunci.“Apa Henry belum pulang? Tapi, ke mana dia malam-malam begini?” gumamnya. Pesan WA-nya masih belum dibalas
Kevin bolos sekolah karena dia tidak bawa seragamnya saat kabur dari rumah kemarin. Beruntungnya, masih ada rumah yang mau menampungnya untuk bermalam saat hujan mengguyur Bandung malam hari. Siapa lagi kalau bukan Henry, sosok penyelamat yang jadi tempat pulang satu-satunya di saat rumah aslinya menjadi sebuah ancaman.Saat kedatangan Kevin malam-malam di indekosnya, Henry jelas kaget. Namun, dia tidak banyak bertanya karena sudah tahu apa yang menjadi akar masalah di kehidupan Kevin. Jika bukan soal perjodohan, pasti perihal bisnis, pikir Henry.Sayangnya, Henry tidak tahu jika masalah sebenarnya, perihal kedekatan dirinya dengan Kevin yang membuat Galang risi.Pagi harinya, saat Henry akan berangkat kerja di tempat disain grafisnya, Kevin masih terlelap dengan tenang di kasur tipis indekos. Lelaki bermata cokelat madu itu tampak damai berada di tempat tinggal keduanya. Henry diam-diam meraih ponsel Kevin yang tergeletak di sampingnya.“Hidup lo e