Dua hari sudah berlalu sejak ayah Kevin memberitahu soal sekolah futsal kepadanya. Setelah hari itu, Kevin jadi banyak melamun. Bukan hanya karena beasiswa yang ditawarkan sahabat ayahnya itu, tapi juga karena ketidakjelasan orientasi seksualnya. Ternyata, ketidaksukaanya pada bidang olahraga ada kaitannya dengan rasa suka kepada sejenisnya. Itu yang dia asumsikan beberapa hari ini.
Kevin merasa, kecenderungan suka pada sesamanya, membuat dia menjadi lelaki yang tidak wajar. Dia menjadi lebih banyak diam, tidak senang bergaul dengan teman lelakinya dan menjauhi hal-hal yang membuatnya berkeringat. Mungkin memang wajar jika ada segelintir lelaki yang tidak suka main futsal. Namun, tidak banyak lelaki yang tidak menyukai olahraga.
Siang ini, dia sedang duduk di depan perpustakaan sambil membaca buku yang dia beli di toko buku beberapa waktu lalu. Jaket kuning kedodorannya tampak cerah di bawah cahaya matahari yang merambat melalui celah daun pohon mangga. Kevin anteng membalik halaman, sampai akhirnya tiga orang lelaki seumurannya menghampiri.
“Vin, kami kurang orang, nih. Lu mau gabung di tim?” tanya lelaki rambut cepak yang tubuhnya cukup tinggi sambil memegangi bola di tangan kirinya. Kevin menutup bukunya, mendengus, lalu menoleh ke arahnya.
“Maen futsal?” tanya Kevin sedikit meringis. Dua lelaki di samping si cepak mengangguk bersamaan.
“Yoi. Tim gue kurang orang. Si Faisal enggak masuk sekolah. Jadi, kami butuh kiper buat gantiin dia. Lo mau gabung?” tanya lelaki satunya. Dia melangkah mendekati Kevin, lalu duduk di sampingnya sambil merangkul tubuh kecil Kevin dengan tangan kirinya.
“Sori. Saya enggak bisa maen futsal. Kalian, kan tahu itu. Lagian, saya masih harus baca buku ini,” jawab Kevin sambil mengedikkan bahu pelan, lalu tidak lama setelahnya mengangkat buku yang dimaksud.
“Lo itu laki, Vin. Masa iya, sih enggak bisa maen futsal?”
Dua teman si cepak mengangguk. Salah satunya melenggang ke arah Kevin, lalu berdiri di hadapannya. “Lo diem aja di gawang, jagain bolanya biar enggak masuk.”
“Kenapa harus saya?”
“Lo kayak enggak tahu anak kelas aja. Lo pikir ada berapa cowok di kelas? Jumlah yang ada dibagi dua tim udah cukup tanpa lo. Tapi, si Faisal kagak hadir. Lo enggak mau bantu kami sebagai teman lo?”
“Tapi, kan kalian bisa maen seadanya.”
“Lo cowok bukan, sih?” tanya si cepak jengkel. Dia menurunkan bolanya ke kaki kiri, menahannya dengan alas sepatu hijaunya, lalu menendangnya pelan ke arah Kevin. “Buktiin kalau lo emang cowok, bukan banci yang bisanya cuma diem di depan perpus sambil baca novel,” katanya menyeringai.
Kevin meradang. Dia tidak terima dikatai banci seperti itu oleh si cepak. Dia lalu berdiri dengan mata memelotot. “Maksud kamu apaan ngatain saya banci?”
“Ya, kalau lo enggak ngerasa, ngapain sewot?” tanya si cepak santai, terkekeh-kekeh sambil menatap dua temannya bergantian.
“Saya emang enggak bisa maen futsal. Tapi, bukan berarti saya banci.”
“Terus, apaan, dong? Waria? Orang-orang yang suka mangkal tengah malam?” Tawa si cepak lolos setelah pertanyaan itu, membuat Kevin semakin kesal dibuatnya. Dia mengepalkan kedua tangannya erat-erat, menahan agar giginya tidak gemeretak.
“Terserah kalian, lah. Saya bukan banci. Dan, saya menolak diajak main futsal sama kalian,” balas Kevin, lalu meraih novelnya di atas meja dan berbalik untuk pergi meninggalkan tiga lelaki itu.
Akan tetapi, sebelum Kevin benar-benar pergi, si cepak mengatakan sesuatu yang tidak mengenakan, memaksa Kevin yang awalnya sudah tidak ingin meladeni tiga orang itu, kembali berbalik dan memelesat ke arah si cepak.
“Saya sudah bilang, jangan panggil saya banci,” ucap Kevin sambil mendaratkan tinjunya di wajah si cepak. Tinjunya memang tidak terlalu kuat, tapi cukup membuat lelaki itu terhuyung ke sebelah kanan.
“Anjing lo! Berani mukul gue?” Si cepak meradang setelah pipi kirinya berdenyut karena hantaman bogem mentah dari Kevin. Dia meludahkan darah, lalu memelesat ke arah Kevin dan balas menghantam wajah lelaki berkacamata itu dengan telak di bagian hidung. “Bangsat. Mati lo, Anjing!” katanya sambil terus menyerangnya bertubi-tubi.
Dua teman si cepak tersenyum, lalu keduanya bergegas memegangi tubuh Kevin, membiarkan si cepak terus meninju wajah Kevin. Akan tetapi, sebelum mereka benar-benar membuat Kevin babak belur, seorang guru datang dari arah ruang guru dan memarahi si cepak.
Kevin sudah dibuat tidak berdaya, bahkan nyaris tidak bisa berdiri dengan kedua kakinya yang bergetar.
“Kalian ngapain berantem begitu?” tanya guru itu, lalu menjewer telinga ketiga lelaki itu bergantian. “Kalian semua pergi ke ruang BK. Sekarang!” bentak guru lelaki berambut purih itu sambil mendorong tubuh si cepak kencang. Setelahnya, dia membawa Kevin ke ruang UKS.
*
Saat kedua matanya terbuka, Kevin merasakan sakit yang terus berdenyut di bagian pipi dan hidungnya. Hal yang dia lihat pertama kali, seorang guru berambut putih yang sedang duduk di sisi ranjang sambil melipat kedua tangannya di dada.
“Pak, kenapa saya bisa ada di sini?” tanya Kevin, melontarkan pertanyaan klise untuk orang-orang bingung yang terbangun di tempat asing.
“Tadi kamu dikeroyok Salman CS,” jawab lelaki itu. Kevin tiba-tiba merasakan sakit di dadanya saat lelaki itu menyebut nama Salman. Mendadak ingatan tentang perkataan Salman berputar di kepalanya. Apakah benar aku banci?
“Oh. Terima kasih sudah urus saya,” ucap Kevin.
“Kalian ada masalah apa sampai berantem seperti itu?” tanya guru itu sambil melepaskan kedua tangannya, lalu berbalik menatap Kevin.
Kevin menelan ludahnya pelan, menaikkan posisi kacamatanya yang melorot karena dia menunduk, lalu menoleh ke sisi lain ruang UKS. “Mereka memaksa saya ikut main futsal. Tapi ….” Kevin menjeda ucapannya, merasa ragu jika harus mengatakan yang sebenarnya. “Saya menolak. Saya ma-masih harus menyelesaikan novel yang saya beli kemarin.”
Setelah penjelasan itu, sang guru mengangguk paham dan membiarkan Kevin kembali ke kelasnya. Dia melangkah gontai ke arah kelasnya. Dan, apa yang dia dapatkan, tatapan dingin dari teman-temannya. Ternyata, Salman sudah ada di kelas dan sedang menceritakan semuanya kepada teman-temannya, ditambah dengan hal yang dia karang sendiri.
Dua jam pelajaran terakhir rasanya selamanya bagi Kevin. Dia terus duduk dengan perasaan gelisah dan tidak enak saat tatapan dingin mengintimidasinya dari berbagai arah. Teman-teman di kelasnya sekarang menjauhinya.
Sepulang sekolah, dia melangkah lesu ke arah parkiran. Sayangnya, dia harus bertemu lagi dengan dua lelaki yang hari itu berurusan dengannya.
“Tuh, si gay muncul,” ucap lelaki rambut belah dua sambil menunjuk ke arah Kevin yang tampak lesu berjalan ke arah mereka. Dua lelaki itu lalu berlarian mendekat dan menghadang jalan Kevin dengan merentangkan kedua tangan.
“Kalian mau apa?” tanya Kevin kesal.
“Lo mau gue bayar?” tanya si lelaki rambut belah dua itu sambil terkekeh-kekeh. Dia masih berdiri di hadapan Kevin dengan kedua tangan terbuka, menahan langkahnya. “Gue ada cowok yang haus sama sex. Kalau lo mau, gue bisa bayarin buat lo. Ya, enggak?” tanyanya pada temannya yang dulu jadi korban mengintip Kevin.
“Yoi. Tapi lo harus pakai pengaman biar tai lo enggak nempel di doi,” jawabnya sambil terbahak.
Kepala Kevin rasanya panas, bukan hanya karena sinar matahari siang hari, tapi juga karena ucapan dua lelaki di hadapannya yang mengatainya sebagai seorang gay yang haus akan hubungan seks.
“Kalian udah puas ngatain saya? Sekarang apa yang kalian mau dari saya?” tanya Kevin berusaha untuk tidak terpancing. Dia tidak ingin kasusnya berakhir sama seperti saat dengan Salman tadi. Selain itu, mereka berdua lebih kuat dam lebih tinggi darinya. Alih-alih melawan, dia akan kembali babak belur.
Dua lelaki itu mengedikkan bahunya bersamaan, merasa tidak tertarik untuk meminta apa pun dari Kevin. Mereka hanya ingin mengatainya dan membuat Kevin semakin merasa tidak tenang di sekolah.
“Kalau gitu, tolong jangan ganggu saya lagi. Saya sudah minta maaf karena perbuatan saya kemarin,” ucap Kevin.
“Gue udah maafin lo. Gue cuma risi, di sekolah kita ini ternyata ada seorang gay,” ucap si lelaki yang jadi korban itu dengan tatapan menusuk. Dia memandang rendah Kevin, lalu berbalik meninggalkannya.
Lelaki rambut belah dua menaruh satu tangannya di telinga dengan pose menelepon dan menggoyangkannya berkali-kali. “Kalau lo tertarik, bisa hubungi gue. Kapan pun itu,” ucapnya dengan nada mengejek, lalu berlari menyusul temannya.
Rasanya dada Kevin sesak bukan main. Ada sesuatu yang terus mencuat di hatinya, memaksa air mata di pelupuk matanya penuh. Namun, sebisa mungkin dia tidak menangis karena tidak ingin memperburuk suasana.
Gejolak dalam hatinya semakin besar setelah kejadian barusan. Pertanyaan tentang orientasi seksualnya yang menyimpang semakin membuatnya gelisah. Apa yang harus dilakukannya? Apa benar dirinya tidak normal?
Kevin menggeleng selama di perjalanan. Dia berusaha untuk fokus mengendarai motor Scoopy-nya dan berhenti di tempat parkir depan kafe Steven yang asri. Dia lalu menaruh helm kuningnya di stang motor dan masuk dengan lesu.
“Hai, Kevin. Muka lo kenapa lagi?” tanyanya. “Lo enggak kapok-kapoknya jadi orang pelit?” Steven melepas apronnya, lalu melenggang menghampiri Kevin.
“Kali ini bukan soal sontekan,” jawab Kevin sambil menarik kursi di hadapannya, lalu duduk pelan-pelan.
“Apa setiap lo ke sini muka lo bakal dalam kondisi kayak begitu terus? Kayaknya setiap hari orang-orang itu suka banget bikin lo babak belur,” kata Steven terkekeh-kekeh. Namun, itu sama sekali tidak lucu untuk Kevin.
“Saya hargai leluconnya. Tapi, suasana hati saya lagi enggak baik buat ikut ketawa sama kamu,” ucap Kevin, lalu mengembuskan napasnya kasar. Dia menempelkan wajahnya di meja, memainkan jemarinya di atasnya, lalu menoleh pada Steven yang tampak bingung.
“Oh, sori. Jadi, kali ini lo kenapa bisa babak belur begitu?”
Kevin menggeleng. “Steve, apa kamu suka olahraga?” tanya Kevin, melemparkan pertanyaan baru kepadanya. “Kalau cowok enggak suka olahraga. Apa itu wajar?”
Steven tampak tertarik, dia lalu menarik satu kursi, mendudukkan pantatnya di samping Kevin, lalu melipat kedua tangannya di meja. “Gue enggak terlalu suka olahraga, tuh. Tapi, gue masih sering jaga kondisi tubuh biar sehat. Apa lo enggak suka olahraga?”
Kevin mengangguk sebagai jawaban.
“Hubungannya sama muka lo yang babak belur begitu, apaan?”
Kevin kembali mengembuskan napasnya, lalu mengangkat kepalanya agar tegap dan bisa berbicara dengan normal. “Saya enggak suka olahraga. Dan, saya enggak bisa maen futsal,” jelasnya. “Anak-anak di kelas memaksa saya gabung dalam tim, tapi karena saya enggak bisa, mereka mengatai saya banci. Dan—“
“Karena lo enggak terima dikatain banci, lo serang mereka dan mereka balas melawan lo dengan cara keroyokan?” tanya Steven, memotong penjelasan Kevin barusan.
Steven termasuk cerdas untuk bisa memahami apa yang terjadi. Itu membuat Kevin mengangguk mengiakan sekaligus kagum kepadanya.
“Saya merasa benci sama diri sendiri. Kenapa saya enggak suka olahraga? Saya malah lebih suka diem di perpus dan baca buku. Bukannya itu kayak cewek banget, ya?” gumamnya sambil menggeleng beberapa kali.
“Siapa bilang suka baca buku dibilang kayak cewek? Pemikirannya kuno banget, tuh!” Steven tampak tidak terima. Dia merengut sebal sambil mengetukkan jemarinya di meja. “Lo tahu, kan kalau manusia itu enggak bisa disamaratakan?” tanyanya.
“Maksud kamu?” balas Kevin bingung.
“Ya, hanya karena lo enggak bisa olahraga, mereka cap lo banci. Seakan-akan lo harus jadi kayak mereka, enggak peduli apa pun konsekuensinya. Itu enggak adil, kan? Manusia punya pilihannya sendiri. Mereka bisa lakukan apa yang mereka sukai,” jelas Steven, beberapa kali mengedikkan bahu. Sekaan-akan hal yang diucapkannya bukan sesuatu yang besar.
“Kalau aja saya bisa hidup kayak kamu, Steve,” ucap Kevin tersenyum, lalu menoleh ke sekeliling kafe yang tampak sepi. Dia benar-benar mengagumi lelaki itu sebagai orang yang hebat.
“Maksud lo?”
“Kamu bisa hidup sesuai apa yang kamu sukai. Di usia muda, kamu udah bisa buka bisnis sendiri. Dan, pemikiran kamu soal dunia terbuka banget.”
“Hanya karena lo kagum sama apa yang gue lakukan, bukan berarti lo bisa melakukan apa yang lagi gue lakukan. Manusia punya batas kemampuan. Lo aja yang enggak tahu gimana pusingnya gue urus ini semua.”
Kevin terkekeh-kekeh. Sekarang dia merasa beban pikirannya menguap sedikit demi sedikit. Mungkin Steven adalah orang yang tepat untuk diajak berbagi. Apa ke depannya Kevin harus terbuka kepadanya dan menanyakan apa solusi untuk masalah oreintasi seksualnya? Membayangkan itu, Kevin menggeleng pelan.
“Kalau begitu, lo hidup sesuai pilihan lo. Jalani apa yang lo sukai dan hargai apa yang sedang lakukan dan terima lapang dada.” Steven beranjak dari duduknya, lalu membungkuk. “Baik, Tuan. Anda mau pesan apa?” tanyanya. Kevin kembali terkekeh-kekeh, lalu menunjuk teh tarik lagi.
*
Kelas sebelas memang masih jauh menghadapi masa-masa ujian. Namun, bagi Kevin, setiap detik dalam setiap malamnya adalah waktu untuk belajar. Malam ini dia sedang membaca kembali pelajaran yang terlewatkannya.
Beberapa hari ini, pikirannya tidak bisa fokus saat belajar di kelas. Kevin semakin gelisah saja menghadapi kenyataan jika dirinya menyimpang. Semangat dan gairahnya selalu bangkit saat dihadapkan dengan lelaki telanjang dada. Otaknya membayangkan hal-hal aneh yang membuat dirinya stres sendiri.
Kevin lalu meraih setumpuk buku di bawah mejanya, membuka setiap halaman dan menemukan dua foto gadis memakai bikini. Dia berusaha mengagumi tiap lekuk tubuh gadis-gadis itu sambil membayangkan hal aneh. Akan tetapi, tidak ada reaksi apa pun.
“Ah! Kenapa saya enggak bisa merangsang lihat foto ini?” tanyanya sambil menaruh dua foto itu di meja. Kevin meneguk ludahnya dengan paksa saat membayangkan tubuh lelaki rambut belah dua yang dia temui di kolem renang waktu itu. “Saya malah merasa terangsang sama cowok itu. Gila!” teriaknya frustrasi.
Saat Kevin akan membuka celananya di kursi belajar, seseorang membuka pintu, membuatnya terlonjak dan membetulkan posisi resletingnya yang sudah turun setengah.
“Ibu! Kenapa enggak ketuk pintu dulu?” tanya Kevin kesal. Dia nyaris saja ketahuan melakukan hal yang tidak pantas.
“Cepet ganti bajumu. Malam ini Ayah mau ajak kamu ketemu temen bisnisnya, sekalian kenalin kamu sama pekerjaan Ayah,” ucap Lesti sambil menoleh ke arah dua foto di atas meja. “Ibu tunggu kamu di bawah dalam dua menit,” tambahnya.
Sesuai apa yang dikatakan Lesti, mereka bertiga mengadakan acara makan malam di sebuah restoran. Galang mengenalkan keluarganya kepada teman bisnisnya. Acara itu malah terkesan seperti acara perjodohan dua keluarga di ruang makan. Kevin jadi kikuk sendiri memikirkannya.
Percakapan berlangsung ke sana-kemari, membahas banyak hal. Fanny Fardianto, teman Galang lalu bertanya perihal Kevin yang banyak diam dan memilih menyantap makanannya.
“Mau disekolahin ke mana, tuh si Kevin?” tanya lelaki berkacamata kotak berjas abu-abu itu sambil menunjuk Kevin dengan dagunya.
“Managemen. Dia harus bisa urus bisnis. Lo tahu sendiri, kan keadaan bisnis di masa depan bakal kayak gimana? Kita semua butuh otak yang fresh buat urusi bidang beginian,” jawab Galang, diiringi tawa di sela ucapannya. Kevin meringis. Sikap dan cara bicara ayahnya benar-benar berubah di saat seperti ini, berbeda sekali ketika dia berada di rumah.
“Lo emang perfectionis banget, Lang.”
“Kevin, gimana tanggapan kamu?” tanya Fanny, membuyarkan lamunan Kevin yang sejak tadi memotong steik-nya sambil bengong. Dia terbatuk beberapa kali, lalu meminum airnya dalam sekali napas.
“Ma-maksud Om?” tanya Kevin.
“Galang mau kamu masuk managemen. Menurutmu gimana?”
“Enggak gimana-gimana, Om. Saya enggak tahu harus jawab apa,” jawabnya, yang malah mengundang tawa semua orang. Galang menekan gigi gerahamnya sambil berusaha untuk tidak memarahi Kevin.
“Polos banget anak lo, Lang,” ucap Fanny. “Jadi, Galang sudah bilang sama kamu soal sekolah futsal yang mau Om tawarin ke kamu?” lanjutnya.
Kevin tampak gelisah. Dia menoleh ke arah Galang yang sedang memelotot ke arahnya, lalu melempar tatapan pada Fanny dan anak-istrinya yang juga balas menatapnya.
“Saya enggak suka futsal. Saya enggak bisa terima tawaran itu, Om. Terima kasih karena sudah memberi saya kesempatan, “ ucap Kevin pelan sambil mengangguk sopan.
“Oh? Begitu, ya?” Fanny mengangguk paham. “Terus, kamu maunya apa?”
“Saya lebih suka bermain musik, Om. Saya pengin jadi penyanyi solo,” jawab Kevin.
Fanny dan anak-istrinya tertawa menanggapi hal itu, mengabaikan tatapan Galang yang sudah nyalang ke arah Kevin dengan wajah memerah karena malu.
“Kamu yakin sama pilihan kamu?”
“Lo enggak nyesel nolak tawaran bokap gue?” tanya anak Fanny sambil menatapnya dengan tatapan mengejek. Namun, Kevin hanya menggeleng pelan, tampak yakin dengan piliannya.
“Manusia punya kebebasan memilih, Om. Saya juga harus hidup sesuai apa yang saya sukai, kan?” tanya Kevin sambil tersenyum. Dia mendadak ingat ucapan Steven di kafe waktu itu.
Sayangnya, pilihan Kevin barusan telah membangunkan singa tidur. Galang yang sudah malu karena perkataan Kevin hanya bisa diam sepanjang acara makan malam. Anaknya sudah mempermalukannya, menginjak-injak harga dirinya di depan teman bisnis.
“Mau kamu apa, sih? Anak enggak tahu terima kasih,” ucap Galang meradang saat sampai di rumah.
“Ayah enggak pernah denger apa yang saya mau. Ayah cuma mau saya jadi apa yang Ayah mau. Bukan apa yang saya sukai,” jawab Kevin merasa harus menyampaikan ketidaksukaanya kepada Galang.
Akan tetapi, jawaban itu malah menyebabkan Kevin ditampar oleh Galang.
“Kurang ajar kamu! Belajar dari mana kata-kata itu! Emangnya kamu bisa apa tanpa Ayah sama Ibu?” tanya Galang, lalu menyeret Kevin ke kamarnya.
“Kunci dia!” titahnya, lalu melempar Kevin masuk ke kamar.
“Anak kurang ajar! Enggak tahu terima kasih!” Galang menyeret Kevin ke kamarnya, lalu mendorongnya kencang hingga tubuh Kevin terjerembab di dekat ranjang. Kacamatanya jatuh, tapi tidak sampai pecah.“Ayah enggak pernah denger apa yang saya mau. Tapi, Ayah mau saya denger apa yang Ayah mau. Itu enggak adil!” ucap Kevin dengan nada tinggi. Dia tidak sadar sudah membentak ayahnya sendiri karena sudah kesal dengan sikap ayahnya yang selalu saja mengaturnya.“Tutup mulutmu!” Galang mondar-mandir di pintu masuk, sesekali mengurut batang hidungnya sambil tangan satunya ditaruh di pinggangnya. “Kamu jadi cowok terlalu lembek. Masa maen futsal aja enggak bisa? Kamu udah nolak kesempatan dan bikin malu. Jangan malu-maluin Ayah begitu. Mau ditaruh di mana muka Ayah?” tanyanya.Kevin menarik napas dalam-dalam. Ada rasa sakit yang terus menggerogoti hatinya saat Galang mengatainya ‘cowok lembek’. Dia memang sadar d
Kevin datang sendiri ke tempat pelatihan di hari pertamanya. Awalnya Galang ingin menemaninya, tapi dia masih harus ke luar kota untuk mengurusi sesuatu. Jadi, sore ini setelah pulang sekolah, dia melakukan latihan pertamanya sendirian.“Makin banyak aja cowok ganteng di sini,” ucap Kevin sambil berjalan di koridor. Tempat latihan itu berupa gedung olahraga serbaguna. Kevin mengendap-endap di balik pilar hijau sepanjang koridor sambil melihat satu-dua lelaki sepulang dari ruang latihan.Di sisi kanan koridor terdapat lapangan hijau yang luas, di sana terdapat banyak anak yang sedang latihan. Mungkin karena terlalu banyak murid, jadi mereka latihan di luar ruangan. Itu yang Kevin pikirkan saat pertama kali melihatnya.Dia tersentak saat melihat pemandangan yang tidak disangka-sangka di depannya. Darah di tubuhnya kembali memanas saat melihat laki-laki yang datang melewatinya hanya mengenakan celana boxer tanpa pakaian, menampilkan tubuh indah penuh ot
Hari-hari di sekolah menjadi sangat menyebalkan bagi Kevin belakangan ini. Dia semakin merasa tidak nyaman berada di kelas karena tatapan dingin teman-temannya. Setiap perbuatan rasanya diperhatikan, membuat dia selalu melakukan kesalahan.Di jam olahraga, teman laki-lakinya mengolok-olok dan menyuruhnya memakai rok. Selama di kelas, dia hanya duduk di kursi belakang sambil tidur selama jam pelajaran. Teman-temannya tidak ada yang membangunkannya sampai jam pelajaran terakhir berakhir.Kevin baru pulang saat satpam keliling kelas untuk mengecek dan mengunci pintu. Dia lalu mampir ke kafe milik Steven karena hari ini tidak ada latihan karate. Kevin hanya ingin berbagi harinya yang buruk kepada sahabatnya itu.Bunyi lonceng terdengar saat pintu kaca didorong, membuat Steven yang sedang melayani pelanggang menoleh dan tersenyum, menyambut Kevin yang datang lagi ke kafenya.“Masih kusut aja itu muka. Bukannya lo udah ikut latihan karate, ya? Udah bisa b
Saat sampai di indekos Henry, Kevin dibuat menggeleng beberapa kali. Ternyata tempat tinggalnya selama ini tidak lebih dari ruangan kecil memanjang yang disekat tiga, terbagi dari ruang depan, kamar dan dapur. Kevin pikir Henry hidup bermewah-mewahan seperti dirinya. Ketika Henry bilang dia tinggal di indekos, Kevin sempat mengira tempatnya mewah seperti dalam bayangannya.Kevin kemudian masuk sambil masih memakai sepatunya, tapi Henry mencegahnya, membuatnya malu setengah mati. Dia terkekeh-kekeh sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal.“Ini kost-an gue, bukan rumah mewah di tempat lu yang bisa lo masukin pake sepatu,” kata Henry sambil menggeleng, tapi Kevin hanya cengengesan merasa tidak berdosa, lalu melepas sepatu dan menaruhnya di samping pintu.Indekos itu berupa bangunan memanjang dari kiri sampai kanan, terdiri dari sembilan pintu. Ruangan Henry berada di paling ujung, dekat dengan pagar pembatas antara rawa dan pemukiman. Kevin sempat mel
“Kevin?” tanya Henry, dia menghampiri Kevin diikuti gadis tadi di belakangnya yang masih saja mengunyah jagung dari bungkus di tangan Henry. “Gue enggak tahu kalau lo maen ke sini. Tadi lo bilang lagi cari makan. Di sini, toh?”Kevin membatu. Rasanya dia sebal pada Henry tanpa alasan yang jelas. Dia hanya mengangguk sambil berusaha untuk tersenyum, lalu kedua matanya yang cokelat madu menoleh pada gadis di samping Henry.“Siapa dia?” tanya Audry, menilik penampilan Henry yang keren dan kekinian. Mata gadis itu teralihkan pada gadis di sampingnya yang terlihat cantik dan modis. “Kalian saling kenal?”“Gue temen latihan karate Kevin.” Henry mengulurkan tangannya pada Audry dan dibalas dengan lembut. “Karena kebetulan ketemu kalian di sini, kenapa enggak gabung aja nonton bareng sama kami?” tanya Henry, membuat gadis di sampingnya merengut tidak suka.“Bol—“&ldq
Kevin duduk di belakang rumahnya sambil bermain gitar. Telinganya ditutup dengan earphone berukuran cukup besar, mendengarkan musik bervolume tinggi. Alunan musik dari Getsunova berjudul The Loudest Silence menjadi teman rasa sakit yang menjalari hatinya.Dia sedang dilanda gundah-gulana. Ternyata mencintai diam-diam adalah hal yang menyakitkan. Seseorang pernah menulis ini dalam sosial media dan Kevin sempat membacanya sekilas. Mencintai adalah seni paling sederhana menyakiti diri sendiri. Dan, Kevin benar-benar setuju pada pendapat itu. Sekarang dia memang sedang tersakiti saat mencintai seseorang.Tidak habis pikir, padahal dia belum lama mengenal Henry. Namun, hatinya sudah tertambat dengan cepat. Hati terdalamnya terus berteriak, menyebut nama Henry yang tidak bisa digapai dan direngkuhnya. Akan tetapi, akal sehatnya menyadarkannya dari semua ketidakwarasan. Henry adalah kemustahilan yang selalu diaminkan olehnya belakangan ini.S
Henry menggeleng sambil masih mengejar Kevin di belakang. Dia sempat terkejut saat tahu jika Kevin memiliki sifat seperti itu saat berhadapan dengan ayahnya. Henry kira, lelaki selugu dan sepolos Kevin tidak akan punya tindakan melawan kepada orangtuanya.“Eits!” ucap Henry saat menahan daun pintu yang melayang ke arah wajahnya karena Kevin menutupnya dengan keras tanpa melihat ke belakang. “Pelan-pelan, dong! Kalau muka kena pintu, bisa berubah, nih,” katanya, membuat Kevin yang tadinya merengut kesal jadi tersenyum.“Lah, salah siapa ngikutin saya?” balas Kevin sambil kembali menarik pintu, membiarkan Henry masuk dan menutupnya dengan pelan untuk kali ini. Dia lalu melangkah ke arah ranjang dan duduk di sampingnya sambil melihat Henry yang tampak takjub.“Sekarang gue enggak bakal ragu lagi kalau lo emang keturunan ningrat yang kayanya tujuh turunan, Vin,” ucap Henry, dia menyentuh lemari putih yang tampak mengil
Henry menggeleng sambil masih mengejar Kevin di belakang. Dia sempat terkejut saat tahu jika Kevin memiliki sifat seperti itu saat berhadapan dengan ayahnya. Henry kira, lelaki selugu dan sepolos Kevin tidak akan punya tindakan melawan kepada orangtuanya.“Eits!” ucap Henry saat menahan daun pintu yang melayang ke arah wajahnya karena Kevin menutupnya dengan keras tanpa melihat ke belakang. “Pelan-pelan, dong! Kalau muka kena pintu, bisa berubah, nih,” katanya, membuat Kevin yang tadinya merengut kesal jadi tersenyum.“Lah, salah siapa ngikutin saya?” balas Kevin sambil kembali menarik pintu, membiarkan Henry masuk dan menutupnya dengan pelan untuk kali ini. Dia lalu melangkah ke arah ranjang dan duduk di sampingnya sambil melihat Henry yang tampak takjub.“Sekarang gue enggak bakal ragu lagi kalau lo emang keturunan ningrat yang kayanya tujuh turunan, Vin,” ucap Henry, dia menyentuh lemari putih yang tampak mengil
Kevin baru saja turun dari mobilnya ketika tiba-tiba seorang anak lelaki mencengkram ujung kemeja kuningnya dengan kencang, membuatnya terkejut dan nyaris memarahi anak itu. Namun, ketika dia akan melakukannya, kedua matanya terhenti pada sosok lelaki yang sekarang berdiri di ujung jalan.“Om, Om, kata Ayah, Om teman sekolahnya Ayah dulu, ya?” tanya anak lelaki berumur lima tahun itu sambil menarik ujung kemeja Kevin terus-menerus. Kevin yang tadinya kesal menjadi melunak dan berjongkok di hadapannya.“Emang begitu, Dek? Siapa yang bilang kalau Om temen sekolahnya ayahmu?” tanya Kevin sambil mencubit pipi tembem anak itu dengan gemas.“Ayah. Tadi Ayah bilang, Om yang baru turun dari mobil kuning itu temannya. Apa emang bener?” balas si anak lelaki itu sambil menggaruk bawah dagunya karena bingung. Dia lalu menoleh pada mobil kuning di belakang Kevin dengan mata berbinar. “Itu Bumble Bee, kan, Om?”Kevin terb
Kepergian Kevin membuat semua orang yang ada di mobil itu terdiam. Mereka sama-sama kaget dengan reaksi Kevin setelah Henry mengatakan putus kepadanya. Sementara itu, Audry yang masih penasaran terus mendesak Henry untuk menjawab.“Itu karena gue bener-bener butuh duit. Sebenarnya hidup gue berantakan. Hutang gue di mana-mana. Selama ini gue cuma bisa lari dan minta waktu sama mereka, tapi belakangan ini penagih hutang itu enggak memberi gue kesempatan lagi.”“Buat apa lo ngutang ke mana-mana, Bro?” tanya Rendi, dia penasaran dengan kehidupan Henry yang baru saja diketahuinya itu. Dia mengira selama ini Henry baik-baik saja dengan kehidupannya.Untuk ukuran anak yang berbakat macam Henry, akan mudah menjalani hidup dengan semua kemampuannya, apalagi menjadi seorang pelatih karate di pusat pelatihan besar. Namun, semua perkiraan itu tidak membuktikan apa pun. Faktanya, Henry hidup sengsara.“Gue kena tipu. Selama ini,
Percakapan mereka terhenti saat seseorang mendorong pintu kaca, membuat semua menoleh ke arah pintu dan mendapati seseorang berdiri di sana. Kevin mengernyit heran saat orang itu masuk.“Kirain kafenya tutup,” ucap orang itu sambil mendekat, lalu berdiri di depan mereka berempat. Orang itu adalah pelanggan yang datang sepulang kerja dan ingin menikmati minuman di kafe Steven.“Kafenya buka, Kak. Silakan pilih meja yang mana, pelayan kami akan menyiapkan semuanya,” balas Steven sambil menepuk tangannya satu kali, membuat seorang pelayan datang menyerahkan menu ke orang itu.Rendi, lelaki vokalis itu berdeham, membuat semua orang kembali menoleh kepadanya. “Jadi, kita bisa lanjut soal Henry?” tanyanya.“Bawa kami ke sana sekarang,” kata Steven, lalu berdiri dari duduknya untuk mendatangi salah satu pelayan dan memberitahukan sesuatu soal penjagaan kafe selama dirinya tidak ada.Audry dan Kevin ikut berd
Mendadak saja Kevin merasakan kesedihan yang mendalam. Dadanya yang semula terasa ringan, tiba-tiba menjadi sesak dan penuh. Dia bahkan sampai tidak kuasa mengendarai motornya, Sepanjang jalan, dia hanya menatapi aspal yang terus tergilas roda motor kuningnya.Pikirannya terbang pada Henry yang sekarang menghilang tanpa jejak. Ada rasa sakit yang menjalar di dadanya ketika dia ingat kenangan bersamanya. Tentang bagaimana mereka memulai semuanya, menjalani hari-hari sulit di tempat pelatihan, sampai menjadi sepasang kekasih yang singkat.Ketika Audry mengajaknya bicara, Kevin tanpa sadar menitikan air matanya. Entah karena debu jalanan atau angin dari udara kota yang kotor, tapi matanya terasa sangat perih.“Kamu yakin orang itu tahu sesuatu?” tanya Audry sambil menoleh pada kaca spion kiri, menatap Kevin yang masih saja melamun. Dia mengembuskan napasnya pelan, lalu menurunkan kecepatan motornya dan menepi.Menyadari kendaraan yang dinaikinya
“Bantu saya cari Henry, Audry. Saya mohon. Banyak hal yang harus saya katakan kepadanya,” ucap Kevin, tampak sangat sedih. Kehilangan Henry memberi dampak yang jauh lebih menyakitkan di dalam hatinya. Meskipun dia tahu, kedua orangtuanya sangat kecewa dan lebih sakit hati olehnya.“Kita bisa bicarakan itu besok, Key. Sekarang, aku mau kamu datangi Om Galang dan bilang semuanya sama dia.”“Saya takut, Audry.” Kevin menggeleng.“Apa yang bikin kamu takut?” tanya Audry sambil mengernyitkan dahi. Mereka masih berdiri di koridor, tepat di depan pintu kamar Kevin. Sejak kepergian Lesti tadi, wanita itu masih belum kembali.“Ayah kecewa banget sama saya, begitu juga Ibu. Saya enggak mau bikin mereka makin sakit hati dengan—““Itu, kan cuma pikiran kamu aja. Mereka itu orangtuamu. Baik-buruknya kamu, mereka akan menerima. Percayalah,” potong Audry kesal. Baginya, Kevin terl
Beberapa menit setelah kepergian Audry, Kevin tidak merasakan lagi keberadaanya di balik pintu itu. Setelah merasa semua kembali sunyi, dia memutuskan untuk pindah ke ranjang, mengistirahatkan tubuhnya yang semakin terasa lemas.Namun, ketika dia akan melangkah, matanya tertuju pada secarik kertas yang tergeletak di bawah pintu, bersisian dengan barang-barang yang dia lempar secara acak kemarin. Dia mulai penasaran dengan kertas itu dan berjalan menghampirinya.“Kertas? Surat dari Audry?” gumamnya sambil meraih kertas itu dengan tangan kirinya, lalu matanya yang cokelat memindai tulisan tangan di dalamnya. “Hah? Ini cerpen?” katanya lagi semakin bingung.Tulisan itu berisi seperti ini :Kevin, aku bukan penulis. Jadi, maaf kalau tulisanku ini berantakan. Kamu pasti enggak akan kuat bacanya, tapi aku mohon baca sampai akhir. Oke, jadi begini.Di suatu tempat yang enggak jauh-jauh amat, ada seorang anak kecil yang
Kevin tidak pernah menyangka jika semua akan menjadi seperti ini. Dia pikir, dengan pulangnya dia ke rumah akan membuat suasana menjadi lebih baik. Ayahnya tidak akan membahas perihal larangannya berteman dengan Henry.Dia mendorong pintu kamarnya dengan kencang, membuat daun pintu itu membentur dinding di belakangnya, menghasilkan suara yang bergema di lorong lantai dua. Kevin marah sekali kepada Galang. Kekuatan pada otot-ototnya sekarang sudah jauh lebih kuat untuk dia gunakan sebagai alat perusak lemari di kamarnya.“Saya enggak pernah dapat kebebasan!” teriaknya sambil meninju cermin berukuran besar yang ada di lemari itu dengan sekali tarikan napas. Kevin sedikit meringis ketika serpihan kaca melukai punggung tangannya, menggoreskan luka yang tidak sebanding dengan sakit di hatinya yang terus terasa menyakitkan.“Kevin!” teriak Henry, membuat Kevin menoleh dengan wajah yang sudah habis disapu air mata. Lelaki berkacamata itu menundu
Kevin benar-benar kesal kepada Audry karena sudah membawanya ke tempat terkutuk seperti itu. Dia nyaris saja kehilangan ciuman pertamanya oleh orang yang bahkan baru dikenalnya beberapa menit di pesta ulang tahun orang lain.Dia tidak mengatakan sepatah kata pun sampai Audry turun dari taksi daring. Kevin lalu turun setelahnya ketika mobil sewaan itu sampai di indekos Henry tepat jam sepuluh malam. Malam ini dia masih akan tidur di sana sampai setidaknya beberapa hari ke depan.Seketika saja saat dia mencapai gerbang indekos, rasa bersalah mulai muncul. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Henry ketika dirinya menjemput Kevin di alun-alun tadi sore, tapi dia tidak ada di sana menunggunya.Kevin mengendap-endap di depan indekos yang lain, lalu berhenti ketika tepat berdiri di depan indekos Henry. Lampunya mati dan pintunya dikunci.“Apa Henry belum pulang? Tapi, ke mana dia malam-malam begini?” gumamnya. Pesan WA-nya masih belum dibalas
Kevin bolos sekolah karena dia tidak bawa seragamnya saat kabur dari rumah kemarin. Beruntungnya, masih ada rumah yang mau menampungnya untuk bermalam saat hujan mengguyur Bandung malam hari. Siapa lagi kalau bukan Henry, sosok penyelamat yang jadi tempat pulang satu-satunya di saat rumah aslinya menjadi sebuah ancaman.Saat kedatangan Kevin malam-malam di indekosnya, Henry jelas kaget. Namun, dia tidak banyak bertanya karena sudah tahu apa yang menjadi akar masalah di kehidupan Kevin. Jika bukan soal perjodohan, pasti perihal bisnis, pikir Henry.Sayangnya, Henry tidak tahu jika masalah sebenarnya, perihal kedekatan dirinya dengan Kevin yang membuat Galang risi.Pagi harinya, saat Henry akan berangkat kerja di tempat disain grafisnya, Kevin masih terlelap dengan tenang di kasur tipis indekos. Lelaki bermata cokelat madu itu tampak damai berada di tempat tinggal keduanya. Henry diam-diam meraih ponsel Kevin yang tergeletak di sampingnya.“Hidup lo e