Kevin baru saja akan memunguti pecahan gelas di hadapannya, saat tiba-tiba dia terhenti karena kedatangan seseorang bersepatu hitam polos. Sosok itu berdiri tepat di hadapannya sambil berkacak pinggang. Kevin yang merasa bersalah, lalu mendongak dengan perlahan. Rasa bersalah menggerogoti dirinya begitu saja.
“Bagus. Lo pecahin gelas-gelas di kafe gue,” kata si lelaki sambil menurunkan kedua tangannya dari pinggang, lalu melipatnya di dada dengan tatapan sinis. Kevin meneguk ludahnya sekencang dia bisa sambil berusaha untuk tenang. “Dan, sekarang apa lo bakal tanggung jawab?” tanyanya. Ada senyum mengejek yang timbul di bibir merah tipisnya.
Gawat! Masalah lagi, batin Kevin sambil mencoba berdiri di hadapan lelaki itu. Dia sedikit mendongak karena perbedaan tinggi tubuh di antara keduanya.
“Maafkan saya,” ucap Kevin, kemudian dia menunduk. Sekarang, Kevin tidak berani menatap mata hitam arang lelaki itu. “Saya akan menggantinya dengan yang baru. Kalau masih kurang, say—“
Kevin tidak sempat menyelesaikan ucapannya, saat tiba-tiba lelaki itu terbahak dan menyentuh pundak kanan Kevin dengan lembut. “Sori, sori,” kata si lelaki itu sambil masih terbahak. Sekarang, suaranya yang nyaring malah tampak tidak sesuai dengan fostur tubuhnya yang tinggi dan besar. “Muka lo biasa aja kali. Enggak usah tegang begitu,” lanjutnya.
Kevin sedikit mengernyit. “Maaf? Apa ada yang aneh? Saya baru aja mecahin gelas di kafe ini. Kenapa Mas malah ketawa?” tanya Kevin heran, alis matanya yang hitam lebat terangkat sebelah. Beruntung, kafe itu tidak terlalu ramai, jadi hanya ada beberapa orang saja yang memerhatikan interaksi mereka.
Kedua orang tadi yang menjadi akar masalah ini sudah pergi meninggalkan kafe sambil bertengkar kecil. Mereka sama sekali tidak peduli pada keadaan gelas yang pecah, termasuk pada nasib Kevin yang sekarang berhadapan dengan seseorang yang meminta ganti rugi.
“Udah, enggak usah dipikirin soal gelas. Gue cuma pura-pura marah. Serem enggak?” Tawanya lolos di sela-sela pertanyaan konyolnya. “Kalau soal gelas, gue punya satu lemari gelas kayak begitu,” lanjut si lelaki yang kini Kevin sadari memiliki hidung mancung dengan dagu lancip dan wajah tegas. Tampak sangat tampan dan memesona dengan rambut hitam lebat disisir ke samping.
Lelaki itu berhenti tertawa saat melihat Kevin terbengong di hadapannya. Bukan hanya karena itu lelaki berwajah tegas itu berhenti tertawa, tapi karena kondisi wajah Kevin yang lebam, tidak luput dari perhatiannya. Lelaki itu berdeham, berusaha menyudahi tertawanya, lalu menoleh ke meja yang akan jadi tempat duduk Kevin tadi. “Kita bisa bicara sebentar?” tanyanya.
Sekarang, Kevin malah dibuat terkejut dengan keadaan yang sedang dihadapinya. Lelaki itu tampak maco dan gagah. Namun, memiliki suara yang nyaring. Sama sekali tidak cocok dengan fosturnya yang besar dan tinggi.
“Ehm, boleh. Saya juga harus minta maaf sama Mas soal gelasnya.”
Mereka duduk di kursi warna putih gading, tepat pada meja krem yang tampak elegan dan mewah. Lelaki itu menggeleng sambil menyingkirkan sekotak tisu di hadapannya ke sisi lain. “Enggak. Jangan panggil Mas. Panggil gue Steven. Gue baru dua puluh tiga tahun,” katanya.
Jika diperhatikan dengan saksama, Kevin jadi berasumsi bahwa lelaki itu adalah pemilik kafe asri modern ini. Namun, dari penampilannya yang juga mengenakan apron seperti pegawai lainnya, membuat Kevin beranggapan lelaki berwajah tampan itu juga turun tangan untuk masalah-masalah di kafenya.
Kevin mengangguk mengerti. “Saya Kevin,” jawabnya sambil mengulurkan tangannya. “Delapan belas tahun. Saya beneran minta maaf karena mecahin gelasnya. Saya ganti, ya? Enggak enak kalau cuma minta maaf kayak begitu,” tambahnya.
Steven terlihat menilik penampilan Kevin dari atas sampai ujung kakinya yang ada di bawah meja. Itu tindakan memalukan yang dilakukan oleh seorang lelaki tampan berpakaian rapi. Namun, Steven tampaknya tidak peduli. Dia lalu menggeleng saat menyadari kondisi wajah Kevin yang tampak tidak biasa.
“Lo keliatannya bukan anak nakal yang suka tawuran. Itu muka, kenapa?” tanyanya setelah merasa terganggu dengan kondisi wajah Kevin yang penuh lebam.
Kevin menelan ludahnya dengan cepat. Ada ganjalan yang terasa di kerongkongannya, membuat dia seolah-olah baru saja menelan biji kedondong dengan paksa. Tidak mungkin dia menceritakan kejadian aslinya kepada Steven—orang yang baru dikenalnya. Namun, Kevin juga tidak pandai jika harus berbohong.
Aneh, bukan jika dia harus blak-blakan kepada Steven tentang apa yang sudah terjadi? Tidak mungkin dia bilang kalau di sekolahnya tadi, dia baru saja mengintip seorang lelaki dan dipukuli karena hal itu.
Dia berdeham pelan. “Ini, saya dikeroyok sama temen-temenku,” jawabnya sambil memalingkan wajah ke sisi lain, merasa sangat malu karena harus berkata seperti itu di depan seorang lelaki tampan dan maco. Matanya bergerak gelisah. Dia sedang memikirkan alasan paling logis yang bisa dibuat oleh anak seusianya. “Saya enggak kasih mereka sontekan dan mereka hadang saya di jalan,” tambahnya.
Steven mengangguk pelan. “Oke. Masalah anak sekolahan. Gue paham,” kata Steven sambil menarik daftar menu yang tergeletak di samping kirinya. “Kalau begitu, lo mau pesen apa?” tanyanya.
“Tadinya saya ke sini cuma iseng karena lihat kafe baru. Saya juga mau nenangin diri karena enggak mungkin pulang ke rumah dengan kondisi muka begini. Tapi, karena sudah ada di sini dan bikin masalah, saya akan pesan teh tarik aja dengan bayaran double,” jawab Kevin, menunjuk nama menu yang ada di bagian paling bawah.
“Aih. Enggak usah bayar segitu juga kali. Kan, gue udah bilang, itu cuma gelas. Gue akan siapin tehnya sekarang. Lo tunggu di sini,” ucap Steven sambil beranjak. Namun, dia berhenti saat ucapan Kevin menahannya.
“Kamu pelayan di sini?”
Steven menggaruk tengkuknya pelan sambil cengengesan. “Sebenernya, gue owner di sini. Tapi, karena hobi gue racik minuman, gue juga ikut layanin pembeli. Lo bisa lihat ada berapa pelayan di kafe kecil gue ini? Itu karena gue enggak mau banyak pegawai, selama gue bisa turun tangan sendiri.”
“Di umur dua puluh tiga tahun, kamu udah bisa buka usaha sendiri? Apa saya juga bisa begitu?” tanya Kevin merasa iri sekaligus takjub kepada Steven. Padahal mereka baru saja ketemu, tapi sudah bisa berbincang hal yang bersifat pribadi.
“Selama lo mau dan ada usaha. Kenapa enggak?” Bahu Steven mengedik pelan.
“Apa ini semua keinginanmu?” tanyanya lagi. Kevin memainkan jemarinya di atas meja sambil menggigit bibir bawahnya yang mulai memutih dan wajahnya tampak gelisah.
“Maksud lo?” Steven masih belum mau berbalik dan beranjak untuk menyiapkan pesanan Kevin. Dia sekarang dibuat penasaran dengan pertanyaan Kevin barusan, seolah-olah itu adalah hal yang tidak wajar dilakukan oleh orang seusianya.
Kevin menggeleng. Dia lalu tersenyum dan mengangguk, membiarkan Steven kembali melakukan aktivitasnya. “Lupakan. Saya cuma iseng,” kata Kevin.
“Gue mulai menyukai sikap lo. Lo lucu,” ucap Steven sambil terbahak.
Kepergian Steven ke belakang minibar ditunggu oleh Kevin. Obrolan selanjutnya pun berubah ke sesi perkenalan secara pribadi dan semakin hangat sambil menyesap minuman masing-masing. Steven meluangkan waktunya sedikit karena kafenya masih sepi dari pembeli.
Percakapan itu sudah merambat ke mana-mana, sampai akhirnya, Kevin memutuskan untuk pamit pulang karena hari sudah mulai sore. Dia tidak ingin kedua orangtuanya menanyakan banyak hal tentangnya.
*
Bandung baru saja gelap saat Kevin sampai di depan rumahnya. Gerbangnya dibuka oleh satpam yang bekerja di rumahnya dan mempersilakan Kevin masuk tanpa banyak tanya. Lelaki tua itu juga memberitahu jika ayah Kevin masih belum pulang.
Kevin menyerahkan kunci motornya kepada lelaki tua yang jadi sopir pribadi di rumah itu dan masuk ke rumahnya dengan mengendap-endap. Walaupun ayahnya belum pulang, ibunya masih belum tidur sebelum jam delapan. Kevin lalu berlari ke kamarnya di lantai dua dan menutup pintu kamarnya rapat-rapat.
Saat tubuhnya yang terbalut seragam dan jaket hitam oversize-nya terlentang di atas ranjang empuk, pikirannya tentang dua lelaki di kolam renang itu kembali berputar di kepalanya. Ada rasa aneh yang menjalari tubuhnya setiap kali bayangan alat vital itu membayang di otaknya.
Tidak mungkin dia menjadi seorang homoseksual. Kevin terus saja menyangkal fakta itu, mengabaikan semua hal yang sudah dilaluinya seharian ini. Padahal, itu semua sudah cukup untuk menjadi bukti jika dirinya mulai menyimpang.
“Enggak. Saya enggak mungkin homoseksual. Saya menyukai perempuan,” gumamnya sambil merentangkan kedua tangan bagai salib raksasa dan menatap plafon di atas kepalanya lamat-lamat. Bayangan alat vital tercetak jelas pada alas putih itu, membuatnya menggeleng dan meringis.
Kevin tahu itu, dia normal. Jika memang dirinya menyimpang, seharusnya ketika berbicara dengan Steven di kafe tadi, perasaan aneh dan semangat yang menggebu dalam dirinya akan muncul. Akan tetapi, Steven tidak memberikan tanda-tanda itu. Padahal, lelaki itu tampak sangat tampan dengan tubuhnya yang tinggi dan maco.
Buru-buru dia bangkit dari tidurnya, memelesat ke arah komputer yang ada di dekat jendela, lalu menghidupkannya untuk mencari artikel tentang penyimpangan seksual. Dia mencari-cari alasan yang membuat beberapa orang menjadi seperti dirinya di internet.
Tiga laman dibuka dalam waktu bersamaan, membuatnya fokus membaca. Beberapa dari laman yang didapatkannya, memberi informasi jika penyimpangan seksual diakibatkan oleh traumatik di masa lalu. Kevin mendadak menegang di tempatnya. Ada kilasan kejadian tidak mengenakan di kepalanya yang memaksa keluar tanpa diminta, membuatnya sakit kepala secara tiba-tiba. Akan tetapi, saat dia akan mengorek kejadian apa yang sudah dialaminya, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dan menampilkan sosok wanita paruh usia.
“Kevin,” ucap wanita itu. “Ayah udah pulang dan dia menunggumu di bawah buat makan malam,” lanjutnya. Dan, saat itu juga Kevin merasa seperti dihantam benda tumpul di bagian dada. Hatinya mencelus saat kedapati sedang mencari artikel penyimpangan seksual di kamarnya. Dia tidak sempat menutup laman itu saat menoleh pada ibunya yang sedang menatap layar komputer di belakangnya.
Kevin lalu cepat-cepat menutup laman yang sedang dibacanya, dia berdecak sebal dan bangkit dari duduknya. “Bu! Saya sudah bilang berkali-kali. Kalau masuk, ketuk pintu dulu! Kan, saya juga punya privasi.”
Wanita itu tampak tidak peduli pada kekesalan Kevin dan mulai mengangkat langkah pertamanya memasuki kamar bernuansa kuning itu. “Ibu udah panggil kamu dari tadi. Kamu enggak sendiri, tuh yang denger! Jangan salahin Ibu kalau masuk tanpa ketuk pintu dulu.”
“Ta-tapi, kan Ibu bisa ketuk dulu! Se-sekarang sa-saya mau ganti baju. Jadi, Ibu duluan saja. Saya menyusul, Bu.”
“Kamu lagi baca apa itu?” tanya wanita itu saat langkahnya semakin dalam dan ingin tahu apa yang sedang Kevin baca di internet. Namun, dengan cepat Kevin berlari dari duduknya dan mendorong wanita itu agar kembali keluar dari kamarnya.
“Enggak. Itu bukan apa-apa. Saya lagi mengerjakan tugas, Bu. Nanti saya menyusul!” ucapnya, lalu menutup kembali pintu kamarnya. Kevin sempat melihat tatapan curiga di mata ibunya sebelum pintu itu benar-benar ditutup.
“Jangan lama-lama. Kamu enggak mau, kan Ayah ngomel-ngomel?”
“Iya,” jawab Kevin. Dia lalu mengembuskan napas lega. “Duh. Hampir aja,” gumamnya sambil menyandarkan punggungnya di pintu kamar.
*
Acara makan malam keluarga Galang berlangsung dalam keheningan. Setelah Kevin turun dari kamarnya, dia langsung mengambil piring dan menyendok beberapa kali nasi ke atas piringnya. Tindakannya seakan-akan sedang menjauhi pertanyaan Galang perihal wajahnya yang babak belur.
Galang dan istrinya saling tatap, merasa aneh dengan tingkah Kevin yang mencurigakan. Mereka sama-sama tahu, jika Kevin bertindak tidak wajar dan gelisah, ada sesuatu yang sedang disembunyikannya.
“Bagaimana sekolahmu?” tanya Galang di sela makannya, dia menaruh sendok dan garpunya, lalu menatap Kevin yang sedang asik makan. Kevin sejak tadi hanya menunduk sambil terus mengunyah. Sang istri di sampingnya menoleh heran, lalu kembali menatap anaknya yang bersikap aneh.
“Key, Ayah tanya sama kamu. Gimana sekolahmu?” tanya ibunya.
Namun, Kevin masih belum menjawab. Dia membalik sendoknya, lalu menaruh piring kotor yang sudah tidak menyisakan sebutir nasi pun di dekat piring yang masih bersih, lalu dia beranjak dan siap pergi. Akan tetapi, gebrakan di meja membuatnya terhenti mendadak.
“Kevin! Kembali ke kursi dan jawab pertanyaan Ayah!”
Kevin berdecak sebal, menaikkan posisi kacamatanya, kemudian menoleh. “Ayah, saya sudah selesai makan. Saya mau langsung mandi dan tidur,” jawab Kevin tanpa menatap mata ayahnya yang sudah nyalang sejak tadi. “Hari ini capek banget.”
“Belajar apa aja kamu di sekolah selama ini sampai berani melawan sama orang tua?” tanya Galang meradang, tapi sang istri terus mengelus punggung tangannya, berusaha menenangkan. “Duduk kamu!”
Walau berat hati, dia menurui perintah ayahnya dan duduk dengan gelisah.
“Sekolah saya baik-baik saja,” jawab Kevin masih menunduk.
“Tatap mata lawan bicaramu kalau lagi berbicara! Ayah enggak pernah ngajarin kamu bertindak enggak sopan begitu!” bentaknya, membuat Kevin mengangkat pandangan ke arah Galang.
“Sekarang Ayah puas lihat wajah saya?” tanyanya. Tangan-tangannya mengepal di bawah meja. Dia sudah sangat marah dan muak dengan perilaku ayahnya yang selalu saja banyak mengatur. Kevin ingin hidup sesuai apa yang dia sukai.
Galang tidak menjawab. Dia lalu mencabut sebatang rokok dari kotak emas di sampingnya, memencet kraket dan menyalakan api di ujung rokok itu. Tidak lama, kepulan asap muncul dari mulutnya yang dibuat monyong. “Mukamu kenapa?” tanyanya dengan lembut. Galang paham, dia harus bersikap ramah menghadapi Kevin. Jika mereka sama-sama keras kepala, tidak akan ada percakpan yang terjadi selain pertengkaran.
Pada awalnya, Galang memang berniat mengajak Kevin bicara aik-baik, dia ingin membahas perihal beasiswa sekolah futsal yang diajukan sahabatnya. Namun, mendapati respons tidak mengenakkan dari Kevin, membuatnya meradang dan marah-marah.
“Saya cuma kejedot meja. Tadi siang pembagian hasil ujian. Anak-anak merayakannya karena senang dan saya jatuh karena keadaan kelas kacau,” jawabnya, mata Kevin bergerak ke segala arah dengan gelisah. Meskipun tidak terlalu percaya, Galang tetap mengangguk.
Lelaki bertubuh tinggi berotot dengan rambut cepak warna cokelat itu kembali mengisap asap rokok di tangannya, lalu diembuskan seiring dengan pernyataan yang sudah disusunnya sejak tadi.
“Teman Ayah menawarkan sekolah futsal gratis selama satu tahun buat kamu. Dia merasa berutang budi karena Ayah menolong bisnisnya.”
“Jadi?” tanya Kevin. Dia sudah paham ke mana arah pembicaraan itu akan bermuara. Akan tetapi, dia ingin ayahnya menyelesaikan semua maksudnya secara langsung kepadanya.
“Ayah ingin kamu ambil beasiswa itu sebagai bentuk menghargai pemberiannya,” ucap Galang sambil mengembuskan lagi asap rokok ke udara. “Jangan menolak dan bikin malu Ayah!”
Kevin mendorong kursi yang didudukinya, lalu bangkit. “Saya pikir Ayah enggak lupa kalau saya enggak suka futsal.” Kevin lalu berbalik dan siap meninggalkan ruang makan. Namun, dia berhenti dan mengepalkan tangannya erat-erat. “Saya juga ingin Ayah enggak ikut campur apa yang saya sukai dan apa yang saya ingin pilih,” tambahnya, lalu benar-benar pergi ke kamarnya di lantai dua.
“Kevin!” bentak Galang sambil melempar rokok yang masih menyala di tangannya ke arah Kevin yang sudah hilang di telan mulut tangga. “Anak kurang ajar! Bisa-bisanya dia ngomong begitu di depan ayahnya.”
“Sayang, sudahlah. Biarin Kevin sendirian. Dia udah capek dari siang harus belajar.”
“Ini karena kamu terlalu manjain dia,” ucap Galang kesal. Dia lalu meremas bungkus rokok emas di sampingnya dan mengetukkannya berkali-kali di meja.
Ini bukan kali pertama Kevin menolak apa yang dia berikan. Anak lelakinya itu selalu saja tidak setuju dengan apa yang diharapkannya. Entah bagaimana, Kevin tampak berbeda dengan lelaki pada umumnya. Bukan satu kali ini saja Kevin tidak ingin dimasukkan ke sekolah olahraga.
“Anak itu mau jadi apa nantinya? Dia enggak bisa olahraga kayak anak cowok lainnya. Lihat badannya yang kurus begitu, beda jauh sama badanku yang gede berotot ini. Bikin malu aja!” kata Galang sambil menggeleng dan mengurut pangkal hidungnya.
“Kevin punya sesuatu yang dia sukai sendiri, Sayang. Jangan terlalu memaksanya. Biarkan dia jadi apa yang diinginkannya selama itu baik buat dia,” ucap istrinya.
“Lagi-lagi kamu terlalu manjain dia,” balasnya. “Sekarang lihat apa yang terjadi? Dia terlalu lembek dan banyak menentang.”
Wanita itu mengembuskan napas pelan, lalu mengelus punggung tangan suaminya lembut. “Kita akan pikirkan apa yang terbaik untuknya. Jangan terlalu memaksanya,” kata wanita itu, lalu berpindah mengelus pundak suaminya. “Dan, Sayang, aku ingin membahas apa yang Kevin lakukan di kamarnya tadi,” tambahnya.
Percakapan pun berlanjut pada kejadian di kamar tadi. Istrinya bilang, dia melihat Kevin membuka sebuah laman tentang homoseksual yang membuatnya khawatir akan kondisi anaknya.
Dua hari sudah berlalu sejak ayah Kevin memberitahu soal sekolah futsal kepadanya. Setelah hari itu, Kevin jadi banyak melamun. Bukan hanya karena beasiswa yang ditawarkan sahabat ayahnya itu, tapi juga karena ketidakjelasan orientasi seksualnya. Ternyata, ketidaksukaanya pada bidang olahraga ada kaitannya dengan rasa suka kepada sejenisnya. Itu yang dia asumsikan beberapa hari ini.Kevin merasa, kecenderungan suka pada sesamanya, membuat dia menjadi lelaki yang tidak wajar. Dia menjadi lebih banyak diam, tidak senang bergaul dengan teman lelakinya dan menjauhi hal-hal yang membuatnya berkeringat. Mungkin memang wajar jika ada segelintir lelaki yang tidak suka main futsal. Namun, tidak banyak lelaki yang tidak menyukai olahraga.Siang ini, dia sedang duduk di depan perpustakaan sambil membaca buku yang dia beli di toko buku beberapa waktu lalu. Jaket kuning kedodorannya tampak cerah di bawah cahaya matahari yang merambat melalui celah daun pohon mangga. Kevin anteng me
“Anak kurang ajar! Enggak tahu terima kasih!” Galang menyeret Kevin ke kamarnya, lalu mendorongnya kencang hingga tubuh Kevin terjerembab di dekat ranjang. Kacamatanya jatuh, tapi tidak sampai pecah.“Ayah enggak pernah denger apa yang saya mau. Tapi, Ayah mau saya denger apa yang Ayah mau. Itu enggak adil!” ucap Kevin dengan nada tinggi. Dia tidak sadar sudah membentak ayahnya sendiri karena sudah kesal dengan sikap ayahnya yang selalu saja mengaturnya.“Tutup mulutmu!” Galang mondar-mandir di pintu masuk, sesekali mengurut batang hidungnya sambil tangan satunya ditaruh di pinggangnya. “Kamu jadi cowok terlalu lembek. Masa maen futsal aja enggak bisa? Kamu udah nolak kesempatan dan bikin malu. Jangan malu-maluin Ayah begitu. Mau ditaruh di mana muka Ayah?” tanyanya.Kevin menarik napas dalam-dalam. Ada rasa sakit yang terus menggerogoti hatinya saat Galang mengatainya ‘cowok lembek’. Dia memang sadar d
Kevin datang sendiri ke tempat pelatihan di hari pertamanya. Awalnya Galang ingin menemaninya, tapi dia masih harus ke luar kota untuk mengurusi sesuatu. Jadi, sore ini setelah pulang sekolah, dia melakukan latihan pertamanya sendirian.“Makin banyak aja cowok ganteng di sini,” ucap Kevin sambil berjalan di koridor. Tempat latihan itu berupa gedung olahraga serbaguna. Kevin mengendap-endap di balik pilar hijau sepanjang koridor sambil melihat satu-dua lelaki sepulang dari ruang latihan.Di sisi kanan koridor terdapat lapangan hijau yang luas, di sana terdapat banyak anak yang sedang latihan. Mungkin karena terlalu banyak murid, jadi mereka latihan di luar ruangan. Itu yang Kevin pikirkan saat pertama kali melihatnya.Dia tersentak saat melihat pemandangan yang tidak disangka-sangka di depannya. Darah di tubuhnya kembali memanas saat melihat laki-laki yang datang melewatinya hanya mengenakan celana boxer tanpa pakaian, menampilkan tubuh indah penuh ot
Hari-hari di sekolah menjadi sangat menyebalkan bagi Kevin belakangan ini. Dia semakin merasa tidak nyaman berada di kelas karena tatapan dingin teman-temannya. Setiap perbuatan rasanya diperhatikan, membuat dia selalu melakukan kesalahan.Di jam olahraga, teman laki-lakinya mengolok-olok dan menyuruhnya memakai rok. Selama di kelas, dia hanya duduk di kursi belakang sambil tidur selama jam pelajaran. Teman-temannya tidak ada yang membangunkannya sampai jam pelajaran terakhir berakhir.Kevin baru pulang saat satpam keliling kelas untuk mengecek dan mengunci pintu. Dia lalu mampir ke kafe milik Steven karena hari ini tidak ada latihan karate. Kevin hanya ingin berbagi harinya yang buruk kepada sahabatnya itu.Bunyi lonceng terdengar saat pintu kaca didorong, membuat Steven yang sedang melayani pelanggang menoleh dan tersenyum, menyambut Kevin yang datang lagi ke kafenya.“Masih kusut aja itu muka. Bukannya lo udah ikut latihan karate, ya? Udah bisa b
Saat sampai di indekos Henry, Kevin dibuat menggeleng beberapa kali. Ternyata tempat tinggalnya selama ini tidak lebih dari ruangan kecil memanjang yang disekat tiga, terbagi dari ruang depan, kamar dan dapur. Kevin pikir Henry hidup bermewah-mewahan seperti dirinya. Ketika Henry bilang dia tinggal di indekos, Kevin sempat mengira tempatnya mewah seperti dalam bayangannya.Kevin kemudian masuk sambil masih memakai sepatunya, tapi Henry mencegahnya, membuatnya malu setengah mati. Dia terkekeh-kekeh sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal.“Ini kost-an gue, bukan rumah mewah di tempat lu yang bisa lo masukin pake sepatu,” kata Henry sambil menggeleng, tapi Kevin hanya cengengesan merasa tidak berdosa, lalu melepas sepatu dan menaruhnya di samping pintu.Indekos itu berupa bangunan memanjang dari kiri sampai kanan, terdiri dari sembilan pintu. Ruangan Henry berada di paling ujung, dekat dengan pagar pembatas antara rawa dan pemukiman. Kevin sempat mel
“Kevin?” tanya Henry, dia menghampiri Kevin diikuti gadis tadi di belakangnya yang masih saja mengunyah jagung dari bungkus di tangan Henry. “Gue enggak tahu kalau lo maen ke sini. Tadi lo bilang lagi cari makan. Di sini, toh?”Kevin membatu. Rasanya dia sebal pada Henry tanpa alasan yang jelas. Dia hanya mengangguk sambil berusaha untuk tersenyum, lalu kedua matanya yang cokelat madu menoleh pada gadis di samping Henry.“Siapa dia?” tanya Audry, menilik penampilan Henry yang keren dan kekinian. Mata gadis itu teralihkan pada gadis di sampingnya yang terlihat cantik dan modis. “Kalian saling kenal?”“Gue temen latihan karate Kevin.” Henry mengulurkan tangannya pada Audry dan dibalas dengan lembut. “Karena kebetulan ketemu kalian di sini, kenapa enggak gabung aja nonton bareng sama kami?” tanya Henry, membuat gadis di sampingnya merengut tidak suka.“Bol—“&ldq
Kevin duduk di belakang rumahnya sambil bermain gitar. Telinganya ditutup dengan earphone berukuran cukup besar, mendengarkan musik bervolume tinggi. Alunan musik dari Getsunova berjudul The Loudest Silence menjadi teman rasa sakit yang menjalari hatinya.Dia sedang dilanda gundah-gulana. Ternyata mencintai diam-diam adalah hal yang menyakitkan. Seseorang pernah menulis ini dalam sosial media dan Kevin sempat membacanya sekilas. Mencintai adalah seni paling sederhana menyakiti diri sendiri. Dan, Kevin benar-benar setuju pada pendapat itu. Sekarang dia memang sedang tersakiti saat mencintai seseorang.Tidak habis pikir, padahal dia belum lama mengenal Henry. Namun, hatinya sudah tertambat dengan cepat. Hati terdalamnya terus berteriak, menyebut nama Henry yang tidak bisa digapai dan direngkuhnya. Akan tetapi, akal sehatnya menyadarkannya dari semua ketidakwarasan. Henry adalah kemustahilan yang selalu diaminkan olehnya belakangan ini.S
Henry menggeleng sambil masih mengejar Kevin di belakang. Dia sempat terkejut saat tahu jika Kevin memiliki sifat seperti itu saat berhadapan dengan ayahnya. Henry kira, lelaki selugu dan sepolos Kevin tidak akan punya tindakan melawan kepada orangtuanya.“Eits!” ucap Henry saat menahan daun pintu yang melayang ke arah wajahnya karena Kevin menutupnya dengan keras tanpa melihat ke belakang. “Pelan-pelan, dong! Kalau muka kena pintu, bisa berubah, nih,” katanya, membuat Kevin yang tadinya merengut kesal jadi tersenyum.“Lah, salah siapa ngikutin saya?” balas Kevin sambil kembali menarik pintu, membiarkan Henry masuk dan menutupnya dengan pelan untuk kali ini. Dia lalu melangkah ke arah ranjang dan duduk di sampingnya sambil melihat Henry yang tampak takjub.“Sekarang gue enggak bakal ragu lagi kalau lo emang keturunan ningrat yang kayanya tujuh turunan, Vin,” ucap Henry, dia menyentuh lemari putih yang tampak mengil
Kevin baru saja turun dari mobilnya ketika tiba-tiba seorang anak lelaki mencengkram ujung kemeja kuningnya dengan kencang, membuatnya terkejut dan nyaris memarahi anak itu. Namun, ketika dia akan melakukannya, kedua matanya terhenti pada sosok lelaki yang sekarang berdiri di ujung jalan.“Om, Om, kata Ayah, Om teman sekolahnya Ayah dulu, ya?” tanya anak lelaki berumur lima tahun itu sambil menarik ujung kemeja Kevin terus-menerus. Kevin yang tadinya kesal menjadi melunak dan berjongkok di hadapannya.“Emang begitu, Dek? Siapa yang bilang kalau Om temen sekolahnya ayahmu?” tanya Kevin sambil mencubit pipi tembem anak itu dengan gemas.“Ayah. Tadi Ayah bilang, Om yang baru turun dari mobil kuning itu temannya. Apa emang bener?” balas si anak lelaki itu sambil menggaruk bawah dagunya karena bingung. Dia lalu menoleh pada mobil kuning di belakang Kevin dengan mata berbinar. “Itu Bumble Bee, kan, Om?”Kevin terb
Kepergian Kevin membuat semua orang yang ada di mobil itu terdiam. Mereka sama-sama kaget dengan reaksi Kevin setelah Henry mengatakan putus kepadanya. Sementara itu, Audry yang masih penasaran terus mendesak Henry untuk menjawab.“Itu karena gue bener-bener butuh duit. Sebenarnya hidup gue berantakan. Hutang gue di mana-mana. Selama ini gue cuma bisa lari dan minta waktu sama mereka, tapi belakangan ini penagih hutang itu enggak memberi gue kesempatan lagi.”“Buat apa lo ngutang ke mana-mana, Bro?” tanya Rendi, dia penasaran dengan kehidupan Henry yang baru saja diketahuinya itu. Dia mengira selama ini Henry baik-baik saja dengan kehidupannya.Untuk ukuran anak yang berbakat macam Henry, akan mudah menjalani hidup dengan semua kemampuannya, apalagi menjadi seorang pelatih karate di pusat pelatihan besar. Namun, semua perkiraan itu tidak membuktikan apa pun. Faktanya, Henry hidup sengsara.“Gue kena tipu. Selama ini,
Percakapan mereka terhenti saat seseorang mendorong pintu kaca, membuat semua menoleh ke arah pintu dan mendapati seseorang berdiri di sana. Kevin mengernyit heran saat orang itu masuk.“Kirain kafenya tutup,” ucap orang itu sambil mendekat, lalu berdiri di depan mereka berempat. Orang itu adalah pelanggan yang datang sepulang kerja dan ingin menikmati minuman di kafe Steven.“Kafenya buka, Kak. Silakan pilih meja yang mana, pelayan kami akan menyiapkan semuanya,” balas Steven sambil menepuk tangannya satu kali, membuat seorang pelayan datang menyerahkan menu ke orang itu.Rendi, lelaki vokalis itu berdeham, membuat semua orang kembali menoleh kepadanya. “Jadi, kita bisa lanjut soal Henry?” tanyanya.“Bawa kami ke sana sekarang,” kata Steven, lalu berdiri dari duduknya untuk mendatangi salah satu pelayan dan memberitahukan sesuatu soal penjagaan kafe selama dirinya tidak ada.Audry dan Kevin ikut berd
Mendadak saja Kevin merasakan kesedihan yang mendalam. Dadanya yang semula terasa ringan, tiba-tiba menjadi sesak dan penuh. Dia bahkan sampai tidak kuasa mengendarai motornya, Sepanjang jalan, dia hanya menatapi aspal yang terus tergilas roda motor kuningnya.Pikirannya terbang pada Henry yang sekarang menghilang tanpa jejak. Ada rasa sakit yang menjalar di dadanya ketika dia ingat kenangan bersamanya. Tentang bagaimana mereka memulai semuanya, menjalani hari-hari sulit di tempat pelatihan, sampai menjadi sepasang kekasih yang singkat.Ketika Audry mengajaknya bicara, Kevin tanpa sadar menitikan air matanya. Entah karena debu jalanan atau angin dari udara kota yang kotor, tapi matanya terasa sangat perih.“Kamu yakin orang itu tahu sesuatu?” tanya Audry sambil menoleh pada kaca spion kiri, menatap Kevin yang masih saja melamun. Dia mengembuskan napasnya pelan, lalu menurunkan kecepatan motornya dan menepi.Menyadari kendaraan yang dinaikinya
“Bantu saya cari Henry, Audry. Saya mohon. Banyak hal yang harus saya katakan kepadanya,” ucap Kevin, tampak sangat sedih. Kehilangan Henry memberi dampak yang jauh lebih menyakitkan di dalam hatinya. Meskipun dia tahu, kedua orangtuanya sangat kecewa dan lebih sakit hati olehnya.“Kita bisa bicarakan itu besok, Key. Sekarang, aku mau kamu datangi Om Galang dan bilang semuanya sama dia.”“Saya takut, Audry.” Kevin menggeleng.“Apa yang bikin kamu takut?” tanya Audry sambil mengernyitkan dahi. Mereka masih berdiri di koridor, tepat di depan pintu kamar Kevin. Sejak kepergian Lesti tadi, wanita itu masih belum kembali.“Ayah kecewa banget sama saya, begitu juga Ibu. Saya enggak mau bikin mereka makin sakit hati dengan—““Itu, kan cuma pikiran kamu aja. Mereka itu orangtuamu. Baik-buruknya kamu, mereka akan menerima. Percayalah,” potong Audry kesal. Baginya, Kevin terl
Beberapa menit setelah kepergian Audry, Kevin tidak merasakan lagi keberadaanya di balik pintu itu. Setelah merasa semua kembali sunyi, dia memutuskan untuk pindah ke ranjang, mengistirahatkan tubuhnya yang semakin terasa lemas.Namun, ketika dia akan melangkah, matanya tertuju pada secarik kertas yang tergeletak di bawah pintu, bersisian dengan barang-barang yang dia lempar secara acak kemarin. Dia mulai penasaran dengan kertas itu dan berjalan menghampirinya.“Kertas? Surat dari Audry?” gumamnya sambil meraih kertas itu dengan tangan kirinya, lalu matanya yang cokelat memindai tulisan tangan di dalamnya. “Hah? Ini cerpen?” katanya lagi semakin bingung.Tulisan itu berisi seperti ini :Kevin, aku bukan penulis. Jadi, maaf kalau tulisanku ini berantakan. Kamu pasti enggak akan kuat bacanya, tapi aku mohon baca sampai akhir. Oke, jadi begini.Di suatu tempat yang enggak jauh-jauh amat, ada seorang anak kecil yang
Kevin tidak pernah menyangka jika semua akan menjadi seperti ini. Dia pikir, dengan pulangnya dia ke rumah akan membuat suasana menjadi lebih baik. Ayahnya tidak akan membahas perihal larangannya berteman dengan Henry.Dia mendorong pintu kamarnya dengan kencang, membuat daun pintu itu membentur dinding di belakangnya, menghasilkan suara yang bergema di lorong lantai dua. Kevin marah sekali kepada Galang. Kekuatan pada otot-ototnya sekarang sudah jauh lebih kuat untuk dia gunakan sebagai alat perusak lemari di kamarnya.“Saya enggak pernah dapat kebebasan!” teriaknya sambil meninju cermin berukuran besar yang ada di lemari itu dengan sekali tarikan napas. Kevin sedikit meringis ketika serpihan kaca melukai punggung tangannya, menggoreskan luka yang tidak sebanding dengan sakit di hatinya yang terus terasa menyakitkan.“Kevin!” teriak Henry, membuat Kevin menoleh dengan wajah yang sudah habis disapu air mata. Lelaki berkacamata itu menundu
Kevin benar-benar kesal kepada Audry karena sudah membawanya ke tempat terkutuk seperti itu. Dia nyaris saja kehilangan ciuman pertamanya oleh orang yang bahkan baru dikenalnya beberapa menit di pesta ulang tahun orang lain.Dia tidak mengatakan sepatah kata pun sampai Audry turun dari taksi daring. Kevin lalu turun setelahnya ketika mobil sewaan itu sampai di indekos Henry tepat jam sepuluh malam. Malam ini dia masih akan tidur di sana sampai setidaknya beberapa hari ke depan.Seketika saja saat dia mencapai gerbang indekos, rasa bersalah mulai muncul. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Henry ketika dirinya menjemput Kevin di alun-alun tadi sore, tapi dia tidak ada di sana menunggunya.Kevin mengendap-endap di depan indekos yang lain, lalu berhenti ketika tepat berdiri di depan indekos Henry. Lampunya mati dan pintunya dikunci.“Apa Henry belum pulang? Tapi, ke mana dia malam-malam begini?” gumamnya. Pesan WA-nya masih belum dibalas
Kevin bolos sekolah karena dia tidak bawa seragamnya saat kabur dari rumah kemarin. Beruntungnya, masih ada rumah yang mau menampungnya untuk bermalam saat hujan mengguyur Bandung malam hari. Siapa lagi kalau bukan Henry, sosok penyelamat yang jadi tempat pulang satu-satunya di saat rumah aslinya menjadi sebuah ancaman.Saat kedatangan Kevin malam-malam di indekosnya, Henry jelas kaget. Namun, dia tidak banyak bertanya karena sudah tahu apa yang menjadi akar masalah di kehidupan Kevin. Jika bukan soal perjodohan, pasti perihal bisnis, pikir Henry.Sayangnya, Henry tidak tahu jika masalah sebenarnya, perihal kedekatan dirinya dengan Kevin yang membuat Galang risi.Pagi harinya, saat Henry akan berangkat kerja di tempat disain grafisnya, Kevin masih terlelap dengan tenang di kasur tipis indekos. Lelaki bermata cokelat madu itu tampak damai berada di tempat tinggal keduanya. Henry diam-diam meraih ponsel Kevin yang tergeletak di sampingnya.“Hidup lo e