Perlahan Candy memberanikan mata untuk mengintip dan dia menyadari bahwa ada punggung seorang lelaki di depan mata. Lelaki itu menahan tangan yang tertuju padanya, mencengkram pergelangannya erat agar tidak bisa digerakan.
“Sudah cukup sampai di sana,” tegur pemuda itu dengan suara dingin. Candy mencoba mengintip, tapi posisi yang membelakangi membuatnya tidak bisa melihat bentuk wajahnya.
Dia yang dicengkram erat tangannya terus menarik, mencoba melepaskan diri, tapi hanya kegagalan yang diterima. “Lepas!” titah pemuda itu dan tangannya dilepas begitu saja. Cengkraman yang terlalu erat menyebabkan pergelangan tangan memerah meski tidak terasa sakit.
“Jangan membuat kekacauan, kau merusak suasana,” tambah sang penyelamat dengan senyuman. Kala mata memicing tajam, raut wajah berubah garang, dia yang diajak bicara mendadak terdominasi.
Haruskah sang lawan bicara itu katakan bahwa ia sering kali melihat lelaki tampan denga
Menyaksikan Candy menghilang di belokan, Marin menggaruk belakang kepala yang tidak gatal. Butuh beberapa menit mencerna keadaan sampai sepasang kaki mau bergerak membawanya kembali ke meja Robert. Lelaki itu dihadiahi tawa ngakak dari semua orang yang ada.Itu bukan tawa pertama, tapi tawa yang kembali lepas karena ekpresi menyedihkan yang gagal Marin sembunyikan. Marin mendengus, merasa dihina akan tawa-tawa yang dilepas tanpa ragu.“Berhenti tertawa.” Marin bisa merasakan pipi tersipu malu,itu adalah pertama kalinya seorang perempuan menolak jabat tangan darinya. Marin bukan pria mesum atau sejenisnya, ditolak perempuan bukan masalah besar, tapi tetap saja ia tersinggung. Bukan tersinggung karena ditolak Candy, tapi ditertawakan teman-teman.“Kau tidak bilang dia sombong,” celetuk Marin, menyalahkan Robert yang terduduk di sampingnya.Robert pun kesulitan menahan tawa menyaksikan syok wajah Marin saat ditinggal pergi begitu saja
“Akh!” Candy merintih, punggung yang membentur samping mobil sedikit terasa menyakitkan. Dua pundaknya dicengkram erat, wajah Robert begitu dekat sampai bau alkohol dan rokok yang melekat di mulut berhasil sampai di indra penciuman Candy.Candy pernah belajar menyetir, tapi ia jarang melakukannya karena tidak punya mobil dan ia takut kecelakaan. Tidak ada pilihan di sini jika ia ingin pulang, itu sebab Candy mengharapkan kunci mobil. Sayang sekali tidak mudah untuk mendapatkan benda kecil itu dari suami yang tengah mabuk.Haruskah Candy merasa lega karena tidak dikenal oleh Robert yang tengah mabuk? Robert membencinya, dia bisa saja menggila dan melukai Candy tanpa sadar kala teringat pada kebencian itu.“Jangan menyentuhku, kau tidak dengar, huh?” Lagi-lagi lelaki itu meracau, sesekali matanya terbuka untuk menatap wajah Candy yang buram. “Pergi dari rumahku,” usirnya.“Aku mencoba membawa kita pulang,” ter
“Astaga!” Tubuh Candy kembali jatuh karena gagal diangkat. Gadis itu ngos-ngosan, ada sedikit cemas memikirkan sang suami yang bisa saja tiba-tiba terbangun. Candy tidak mengharapkannya, Robert megamuk. Bisa-bisanya dia yang bahkan tidak bisa menjaga kesadaran sanggup mengeluarkan tenaga yang besar!“Ugh …!” Sekali lagi mencoba setelah tenaga berhasil di kumpulkan, Candy berakhir gagal. Gadis itu menyerah, tapi dua detik kemudian kembali mencemaskan Robert yang akan membuka mata. Tarikan nafas panjang diambil, Candy terdiam beberapa saat guna mengumpulkan ide yang cemerlang.Mengesot, itu adalah apa yang Candy pikirkan. Tubuh bergerak kanan dan kiri guna bergerak turun, tapi Robert malah berbalik. “Kyaaah!” Candy terpekik nyaring, kekar tangan Robert membuat tubuhnya yang menyamping terjepit di antara sandaran sofa. Beruntung karena luasnya dudukan, Robert tidak terjatuh.Namun, Candy kian terjepit tanpa bisa bergerak!
Candy terperanjat kala menyadari ada Putra yang tengah menatap, butuh beberapa saat untuknya mangamati sekitar dan mencerna keadaan. Bola mata melebar sempurna kala menyadari bahwa ia masih terlelap di dalam dekapan Robert, tangannya bersandar sangat nyaman di bagian perut sixpack lelaki itu.Panik, darah mendesir hebat dibuat rasa takut pada ruangan yang telah berubah terang, hal itu bisa saja menandakan Robert akan segera bangun.“Romantis sekali,” komentar Putra. Raut wajah boleh datar, tapi kalimatnya tetap terdengar sinis. Pemuda itu ingin tahu tentang apa yang telah terjadi pada mereka yang sangat manis sampai ketiduran bersama di atas sofa yang sempit.Candy tidak ada waktu untuk bertengkar ataupun menjelaskan keadaan. Toh Candy juga mustahil bisa menceritakan apa yang telah terjadi dan Robert yang membencinya. Candy mencoba bangkit, lagi-lagi ditahan oleh tubuh kekar Robert yang bisa-bisanya belum berggeser sama sekali!“Bantu ak
Tangan Putra yang terulur … rasanya seperti sudah lama sekali Candy tidak melihatnya. Dia membuat Candy berpikir pada jarak yang baru tercipta, tapi serasa seperti sudah lama sekali. Tidak ada waktu untuk bersedih. Candy menghela nafas setelah memutuskan kontak mata sesaat. Dia mengulurkan tangan dan menyambut erat tangan sang mantan kekasih.Sekali tarikan berhasil membuat gadis itu bangkit. Candy turun dari atas sofa, melewati tubuh Robert dengan bantuan Putra. Kontak mata lagi-lagi bertemu tanpa aba-aba, Candy lupa bagaimana cara berkedip hanya karena indah mata yang ia rindukan.“Jika ingin berduaan, kalian punya kamar.” Putra membuka mulut, membiarkan suara keluar guna memecah keheningan.Candy yang sebelumnya termenung sukses disadarkan. Dia menggeleng kecil menanggapi, “Kau juga punya kamar dan bisa menyewa hotel, untuk apa melakukan sesuatu yang tidak-tidak di dalam mobil?” Gadis itu mendorong Putra dan melewatinya begitu s
Robert meneguk habis air yang ia ambil sebelum menanggapi, “Kau?” Alisnya terangkat seolah-olah tidak mempercayai apa kata sang istri.“Iya,” jawab Candy lagi. “Temanmu pergi begitu saja dan kau pingsan di parkiran.”Robert tidak yakin hal itu benar terjadi. Tapi selama diri ini pulang dengan selamat, ia tidak berpikir untuk mau ambil pusing. Meninggalkan gelas di atas meja, Robert beranjak pergi begitu saja.“Kau tidak mau makan?” tanya Candy, suaranya berhasil menyita perhatian sang suami dan membuatnya berbalik. “Ini sudah siang, kau tidak makan sedari tadi pagi.” Bukan Candy mencoba bersikap perduli, ia hanya mencoba melakukan apa yang ia bisa. Entah merebut hati Robert atau menghilangan kebenciannya agar diri ini bisa tidur nyenyak pada malam hari.“Akan aku belikan obat pereda mabuk untukmu,” sambung Candy. “Kau sudah merasa lebih baik?”Robert mencurigai Cand
Entah makanan seperti apa yang menguncang Candy, Robert berpikir. Dia tersenyum penuh ejek, dalam hati mempertanyakan, apa Candy begitu yakin diri ini akan memberi jawaban yang dia mau?“Tidak usah sok bersikap baik di depanku, kau membuat perutku mual.” Robert pergi begitu saja setelah kalimatnya, meninggalkan Candy yang hanya bisa tersenyum kecut.‘Setidaknya aku telah berusaha.’ Itu adalah apa yang Candy pikirkan. Setelah pintu rumah tertutup dengan cara dibanting kasar, rasa kesepian menghantam hati. Rumah besar ini, tidak ada siapa pun selain dirinya sekarang.Netra tanpa perintah menyapu sekitar, hawa dingin yang menerpa membuat gadis itu memeluk diri sendiri. Daripada ke mana Robert, jujurnya Candy lebih ingin tahu pada ke mana Putra pergi. Pemuda itu tidak mengatakan sepatah kata pun saat meninggalkan rumah, Candy menyadari kepergiannya saat hendak bebersih kamar.“Menemui Bianca?” tebak Candy. “Mungkin iy
Tas yang Bianca inginkan tidak murah, Bianca merasa itu adalah pertukaran yang tidak terlalu buruk. Tapi ada bisikan kecil berkata, permintaan Robert agak berlebihan. “Kau ingin aku membawa Putra ke kamarnya dan pastikan Candy untuk tahu?” tanya Bianca memastikan dan Robert mengganguk sebagai jawaban.“Kau ingin aku dilabrak olehnya?” ketus Bianca, protes tanpa mampu menolak.“Dia tidak akan berani,” jawab Robert dan Bianca setuju. Tujuan Robert hanya untuk memanaskan hati Candy, gadis itu jelas tidak akan berani melakukan apa pun setelah berpikir ia dan Putra memiliki hubungan.Namun, tidak … Bianca mengingatkan, “Terakhir kali aku mengantar Putra pulang, dia menamparku. Aku tidak ingin mengalaminya lagi!” Bianca menjauh dua langkah dari Robert dan memunggungi, mendengus sebel sembari melipat dua tangan di depan dada.“Itu bukan masalah,” jawab Robert tak acuh. “Kunci saja pintunya.
“Memanfaatkan keadaan?” Candy bergumam dan tenggelam dalam pikiran satu detik setelahnya. Candy tidak yakin bahwa saran dari Putra adalah apa yang ia butuhkan karena bagaimana caranya memanfaatkan keadaan setelah diperlakukan seperti badut?Candy bahkan berpikir akan lebih baik menggambar wajahnya agar terlihat seperti badut sungguhan daripada mempertimbangkan saran dari Putra. Tapi apa yang harus dikatakan? Candy kehabisan kata-kata untuk dicerna, dia hanya bangkit dari duduk dan pergi begitu saja meninggalkan Putra.Putra melihat Candy melewati pintu masuk dan dia pergi menyusulnya. “Ke mana kau akan pergi?” tanya Putra, berhasil menyita perhatian Candy dan membuat dia menoleh.“Aku tidak tahu,” jawab Candy sesuai dengan apa yang terpikirkan. Tidak, Candy bahkan tidak memikirkan apa pun, dia hanya tidak ingin berdebat dengan Putra atau mendengar lebih banyak pendapat darinya.“Pulang ke rumah, Candy,” kata Putra, tampak jelas bahwa dia bermaksud dengan kalimatnya tapi Candy tidak pa
“Ck!” Mandu tidak punya alasan tapi rasanya tidak menyenangkan disamakan dengan siapa pun. Meski begitu, Mandu tidak menanggapi. Dia mengeluarkan ponsel dari saku jas dan berhasil menyita perhatian Candy.“Apa yang kau lakukan?” tanya Candy penasaran.Mandu memberitahu, “Aku akan menelepon Robert dan meminta dia untuk menjemputmu pulang saja.” Jawaban itu menyentak Candy yang enggan berurusan dengan Robert, dia bergegas menghampiri dan menyambar ponsel dari tangan Mandu. Candy tidak mendapatkannya karena Mandu terlebih dulu menarik ponselnya menjauh.“Jangan menelepon Robert!” pinta Candy.“Tidak akan aku lakukan kalau kau masuk ke dalam mobil sekarang juga,” kata Mandu penuh penekanan, memberi Candy tidak ada pilihan lain selain menurut. Candy berpikir menuruti apa mau Mandu akan lebih baik daripada dia menelepon Robert dan membuat lelaki itu mengangkatnya pulang ke rumah seperti karung beras.“Baik, baik,” ketus Candy, dia memasuki mobil dan duduk di samping Mandu.Mandu tersenyum p
“Aku tidak berpikir kita punya hal lain lagi untuk dibicarakan,” tolak Candy. Robert bahkan tidak menyangkal apa pun setelah semua yang ia katakan, jadi Candy menggangap semuanya telah jelas.“Meski begitu aku tidak izinkan kau pergi begitu saja,” tegas Robert. Dia meletak tangannya di pintu, menutupnya sebelum Candy membukanya lebih lebar. Candy menarik ganggang pintu, dia berbalik menatap Robert saat lelah mengharapkan Roberet untuk menyingkir. Robert menambahkan, “Lagipula kau tetap adalah istriku. Jika aku bilang jangan pergi, kau tidak akan pergi.”Lagi-lagi sikap memerintah seperti itu seolah-olah Candy tidak adalah anak anjing yang patuh. “Suami atau istri, status kita tidak lebih dari itu. Lalu, apa gunanya?”Robert tidak bisa menjawab yang satu itu tapi tetap saja menolak untuk membiarkan Candy pergi begitu saja. Ini bukan soal harga diri atau sejenisnya, Robert hanya tidak ingin perempuan itu pergi. “Aku tidak akan menemui Bianca lagi jika itu maumu,” tawar Robert tapi sungg
“Aku segera ke sana,” kata Robert sebelum mematikan panggilan secara sepihak. Seharusnya Robert tak lakukan ini tapi rasanya sungguh menjengkelkan, ia ingin tahu apa yang sebenarnya Candy lakukan dengan menemui Putra.Lelaki itu menyambar jas hitamnya dari gantungan di sudut ruangan dan berlari keluar meninggalkan ruangan. Robert mengendarai mobil dan tiba di lokasi yang Putra sebutkan dalam waktu lima belas menit.Masih di dalam café yang sama, bedanya adalah Candy tidak ada di sana. Robert menghampiri Putra dan menemukannya terduduk sendirian. Lelaki itu menatap sekitar, menemukan keadaan café yang lumayan sepi dengan hanya beberapa meja terisi tapi masih tidak ada Candy yang terlihat.Robert menatap Putra sebelum bertanya, “Di mana Candy?”Putra tidak menjawab pertanyaan Robert untuk memberitahunya di mana Candy, dia bangkit dari duduk dan melayangkan tinju keras di pipi Robert. Robert terhuyung dan terjatuh karena tidak siap menerima serangan tiba-tiba itu. Sontak mata semua pelan
FLASHBACKHari itu saat Candy melihat Putra memasuki kamar bersama Bianca, gadis itu pergi karena hati yang berdenyut menyakitkan, karena dia tidak bisa mendengar lebih lama lagi tapi apa yang terjadi tidak seperti yang dia duga.Putra yang sedang tidak sadar sepenuhnya mendorong Bianca tanpa sadar dan meracau, “Aku tidak akan melakukannya.” Tiba-tiba wajah Candy hadir di wajah Putra di saat matanya bahkan tidak bisa lagi terbuka untuk dua watt.Putra mengingat kembali mereka yang seharusnya sudah menikah dan semua itu gagal. Candy melihatnya sebagai seorang pengkhianat dan satu kali saja sudah cukup. Lelaki itu terhuyung, beruntung dia berhasil mencapai pinggir ranjang sebelum terjatuh. “Aku tidak mau … aku berharap aku tidak pernah menyakitinya.”Lelaki itu terus meracau, setelahnya tak sadarkan diri, sama sekali tidak mengingat keberadaan Bianca yang masih menatapnya.FLASHBACK ENDCandy tidak pernah ingin tahu sebelumnya tapi tiba-tiba dia kemari dengan hal yang seharusnya dia tan
Siang hari tiba, jarum pendek menunjuk tepat dua belas dan Candy masih tidak terlihat. Robert menghentikan pekerjaan dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi sebelum mendengus sebel.Padahal aku sudah mengizinkan dia untuk memasak dan mengantarkan aku makan siang tapi dia malah tidak datang, dasar tidak tahu diuntung, pikir Robert. Meminggirkan apakah Robert memakan masakan dari Candy atau tidak, Robert penasaran dengan apa yang sedang Candy lakukan. Daripada terus bertanya-tanya, Robert mengeluarkan ponsel dari saku jas dan melakukan panggilan telepon.Suara sistem terdengar, mengatakan bahwa nomor Candy sedang dalam panggilan lain. “Dengan siapa dia berbicara?” gumam lelaki itu penasaran sembari menatap layar ponsel.Namun, Candy tidak sedang berbicara dengan siapa pun. Panggilan yang Candy lakukan berakhir dengan tidak terjawab. Candy menatap layar ponselnya dan nama Putra yang tercetak. Sebelumnya, Candy sudah memblokir nomor itu tapi dia membatalkannya untuk suatu alasan.“Aku
Candy berdecih sinis, tatapan matanya merendahkan. “Aku tidak butuh kau,” katanya. “Aku bisa naik taxi atau apa pun itu.” Lagipula apa yang Candy harapkan dari Mandu? Gadis itu pergi begitu saja setelahnya, tapi dihentikan oleh Mandu.“Tunggu aku!” pinta lelaki itu sembari menarik pergelangan tangan Candy. Candy menepisnya sebelum berbalik menatap. “Kau sangat tidak sabaran,” ketus lelaki itu, bete. “Biarkan aku menemanimu. Lagipula kau tidak tahu di rumah Bianca.”Candy tidak menolak karena benar kata Mandu bahwa ia tidak tahu di mana Bianca tinggal. Akan menyusahkan jika ia kehilangan jejak Robert dan berakhir tersesat. “Ayo cepat,” pinta Candy, dia meninggalkan rumah terlebih dulu dan disusul oleh Mandu.Mandu menyusul dengan tenang, ada secarik senyuman di wajah yang menunjukkan betapa dia bersemangat. Mandu penasaran, ingin melihat akan seperti apa ekpresi wajah Candy kala dia mengetahui yang sebenarnya. Apakah dia akan menangis atau beranikah dia pergi ke Robert dan memarahinya.
Candy menggerucutkan bibir, menoleh untuk menatap Mandu. Tidak ada yang dia katakan membuat Mandu menatapnya guna mencari tahu ekpresi wajah seperti apa yang dia gunakan. Mandu tidak yakin, perempuan itu tampak marah dan di saat bersamaan, meragukannya. “Hahaha!” Mandu tertawa canggung sebelum berkata, “Sepertinya aku sudah terlalu banyak bicara.” Dia melakukan gerakkan menutup resleting di depan bibirnya dan menambahkan, “Aku sebaiknya diam.”Benar, Mandu sebaiknya diam. Sial, dia seharusnya diam lebih awal karena Candy tidak bisa mengabaikan semua yang telah ia dengar. “Bagaimana jika Mandu tidak membual?” Pertanyaan itu hadir di dalam kepala Candy dan tidak meninggalkannya sama sekali.Mandu dan Candy tiba di rumah tiga menit lebih cepat dari Robert. Saat Candy berdiri di depan meja rias, pintu kamar terbuka. Robert menampakkan diri, mengangkat plastik putih untuk dipamerkan sebelum memberitahu, “Aku beli makanan, kau sudah makan?”Alih-alih heran akan perbuatan baik Robert yang ti
“Membela Candy?” Reaksi Robert syok. Dia tidak tahu apa maksud dari ucapannya sendiri tapi ia menolak kalimat yang Bianca keluarkan. “Kau sudah gila!” hardiknya. “Tentu saja aku tidak.”Melihat reaksi marah Robert tidak menghadirkan keraguan, Bianca percaya padanya meski masih merasa jengkel. Bianca mengembungkan pipi dan melipat kedua tangan di depan dada sebelum berkata, “Yasudahlah kalau begitu, aku tidak ingin ribut denganmu.” Itu adalah hal membosankan yang tidak ingin Bianca lakukan, oleh sebab itu dia memutuskan untuk mengakhiri perdebatan. “Tapi sebagai ganti, aku ingin makan malam bersamamu, besok.”“Tidak bisa,” tolak Robert segera, dia bahkan tidak mencoba mempertimbangkan tawaran Bianca. “Aku sibuk,” ungkapnya.“Kau sibuk?!” Bianca tidak bisa terima alasan itu, berkata, “Biasanya kau tidak sibuk untukku! Lagipula besok sabtu, kau tidak harus pergi bekerja. Jadi, apa salahnya menghabiskan dua jam untuk makan bersamaku?” Bianca tidak berpikir permintaannya sangat sulit, ia c