Entah makanan seperti apa yang menguncang Candy, Robert berpikir. Dia tersenyum penuh ejek, dalam hati mempertanyakan, apa Candy begitu yakin diri ini akan memberi jawaban yang dia mau?
“Tidak usah sok bersikap baik di depanku, kau membuat perutku mual.” Robert pergi begitu saja setelah kalimatnya, meninggalkan Candy yang hanya bisa tersenyum kecut.
‘Setidaknya aku telah berusaha.’ Itu adalah apa yang Candy pikirkan. Setelah pintu rumah tertutup dengan cara dibanting kasar, rasa kesepian menghantam hati. Rumah besar ini, tidak ada siapa pun selain dirinya sekarang.
Netra tanpa perintah menyapu sekitar, hawa dingin yang menerpa membuat gadis itu memeluk diri sendiri. Daripada ke mana Robert, jujurnya Candy lebih ingin tahu pada ke mana Putra pergi. Pemuda itu tidak mengatakan sepatah kata pun saat meninggalkan rumah, Candy menyadari kepergiannya saat hendak bebersih kamar.
“Menemui Bianca?” tebak Candy. “Mungkin iy
Tas yang Bianca inginkan tidak murah, Bianca merasa itu adalah pertukaran yang tidak terlalu buruk. Tapi ada bisikan kecil berkata, permintaan Robert agak berlebihan. “Kau ingin aku membawa Putra ke kamarnya dan pastikan Candy untuk tahu?” tanya Bianca memastikan dan Robert mengganguk sebagai jawaban.“Kau ingin aku dilabrak olehnya?” ketus Bianca, protes tanpa mampu menolak.“Dia tidak akan berani,” jawab Robert dan Bianca setuju. Tujuan Robert hanya untuk memanaskan hati Candy, gadis itu jelas tidak akan berani melakukan apa pun setelah berpikir ia dan Putra memiliki hubungan.Namun, tidak … Bianca mengingatkan, “Terakhir kali aku mengantar Putra pulang, dia menamparku. Aku tidak ingin mengalaminya lagi!” Bianca menjauh dua langkah dari Robert dan memunggungi, mendengus sebel sembari melipat dua tangan di depan dada.“Itu bukan masalah,” jawab Robert tak acuh. “Kunci saja pintunya.
Jam delapan malam, semua lauk yang ada di atas meja terpaksa berakhir di dalam tong sampah karena sang tuan rumah yang tidak mau makan berseru, tidak boleh ada makanan sisa di dalam kulkas! Seruan seperti itu membuat Candy tidak lagi paham pada apa gunanya kulkas.Candy berharap untuk bisa menunda waktu bebersih sampai Putra pulang, tapi kemudian ia teringat untuk apa diri ini memperhatikan pemuda pengkhianat itu? Candy menghela nafas panjang, gadis itu memilih untuk terduduk di atas sofa ruang tamu dengan TV menyala daripada harus mengurung diri di dalam kamar, tempat sang suami berada.Candy tidak memiliki nyali, ia terbiasa memasuki kamar setalah lampu padam yang artinya Robert sudah tidur. Omong-omong soal waktu malam, sepertinya sang suami tidak akan pergi ke club. Sebaiknya begitu karena Candy akan sangat memohon untuknya, Candy takut lelaki itu akan menyeretnya kembali ke tempat terkutuk yang menyeramkan itu.Sementara itu, Putra dalam perjalanan pulang d
Kode diberi dengan sangat-sangat jelas, setidaknya itu adalah apa yang Bianca yakini. Dia berpikir, pria mana saja sudah pasti akan mencari kesempatan dan tanpa ragu membawanya ke kamar, tapi Putra malah terkekeh geli.“Kau mabuk, itu sebabnya merasa lelah,” tuturnya.Bianca mengangkat kepala. Dia tersenyum kecut, mata sayup-sayup menatap. “Kau tahu aku tidak mabuk semudah itu,” cetusnya dan Putra mengganguk setuju.“Aku tahu, tetap saja kau tampak seperti orang mabuk sekarang.” Putra mengulang, “Kau yakin tidak mabuk?AKU TIDAK MABUK! Ingin rasa Bianca meneriaki hal itu. ‘Aku hanya berpura-pura menatapmu dengan pandangan nakal agar kau mau membawaku ke kamar!’ Kalimat itu juga sudah menunggu di ujung lidah, lagi-lagi Bianca tidak bisa mengatakannya.“Sebenarnya, ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu,” ungkap Bianca yang sudah dipastikan berdusta.“Tentu, katakan saj
Sedotan sudah menempel di antara bibir, jus juga sudah seperempat jalan, tapi bisa-bisanya perhatian Putra dialihkan oleh suara tapak alas kaki yang terdengar! Berapa kali lagi Bianca harus menggerutu? Perhatian pada Putra ikut teralih pada seorang pelayan lelaki yang menghampiri dengan segelas air di atas nampan kecil.Ini bukan film dan Bianca tidak mau berada di posisi antagois, jadi situasi ini benar-benar menyebalkan untuknya.“Aku mengantuk,” komentar Putra setelah pelayan tadi pergi. Dia mendekatkan sedotan ke bibir, tapi lagi-lagi perhatiannya teralihkan.Tegap punggung Bianca mendadak tak bertulang, kesal dan sangat kesal tanpa bisa berkata-kata. Ingin rasa menyumbat minuman lengkap dengan gelasnya ke dalam mulut Putra agar recananya bisa dinyatakan sukses sesegera mungkin.Putra tersenyum geli menatap Bianca bertanya, “Mengapa menatapku begitu?” Bianca menatap terlalu intens, bahkan tanpa berkedip. Itu mengapa perhatian P
Bianca mendekat, menyentuh pelan pundak Putra. Dengan lekat menatap, dia mengulang, “Putra, kau baik-baik saja?”Putra tidak yakin. Dia merasa mabuk dan seolah bergairah. “Sebaiknya biar aku yang menyetir,” kata Bianca.Putra tidak menolak karena meragukan bahwa ia bisa menyetir dalam keadaan yang tidak terkontrol. Membuka pintu mobil, dia berakhir duduk di dalamnya. Bianca tersenyum penuh kemenangan, sedikit meloncat-loncat menuju bangku setir yang terdapat di samping Putra.Sesekali Bianca menoleh, menyaksikan Putra yang tak henti mencoba mengumpulkan kesadaran dengan terus menggeleng. Itu sia-sia karena obat yang Bianca beri cukup kuat dan akan mencapai titik tertinggi dalam beberapa menit lagi.Apa yang perlu Bianca lakukan hanyalah cepat tiba sebelum Putra tidak bisa lagi menahan diri dan menyerangnya di dalam mobil.Tidak diperlukan waktu lama untuk tiba. Putra bisa berjalan sendiri meski sempoyang, Bianca ada untuk me
Candy tidak seharusnya menangis, tapi hati sakit bagai ditusuk duri tajam. Sangat menyakitkan sampai tubuh mulai gemetaran. Perasaan yang dirasa sulit dijabar, Candy tak henti menghapus air mata yang tidak mau berhenti mengalir. Hanya dengan cairan bening, mulut tidak harus berbicara dan orang-orang sudah tahu seperti apa rasa sakit yang menghantam hati.Seharusnya Candy tidak bereaksi menyedihkan, ini tidak seperti pertama kalinya tahu bahwa Putra memang memiliki hubungan dengan perempuan lain. Sepasang kaki bagai terpaku, Candy termenung tidak bisa bergerak di saat benak tak henti menjerit memintanya untuk bergegas pergi.Suara itu lagi … suara Bianca yang menusuk gedang telinga dan hati. Kaki Candy tak bertulang, menyebabkan tubuh oleng. Jika saja tidak ada tarikan yang kuat pada lengan, tubuh pasti sudah terjatuh.Candy terkesiap, mata reflek mengarah pada siapa yang muncul di depan mata. Lelaki itu tinggi, Candy harus mendongak agar bisa mempertemuka
Candy sudah terlanjur emosi, tidak dapat menahan mulut tetap terkatup rapat. Gadis itu mencubit tangan Robert, sangat kuat meski tidak berefek apa-apa untuk tangan kekar itu. “Lepaskan aku!” pinta Candy, dia mendorong dada bidang sang suami dengan tangan pendeknya.Candy terlihat seperti anak lima tahun yang mencoba merebut permennya kembali. Robert tertawa geli dibuatnya, tapi tawa itu tidak bertahan lama. Menarik lengan sang istri, gadis itu diseret menuju ruangan tak pakai yang terletak di dekat pintu balkon belakang.Gudang, lampu di tempat itu padam sedari satu bulan yang lalu dan Robert sama sekali tidak ragu untuk mendorong Candy masuk ke dalamnya. Candy hampir menabrak tumpukkan barang yang ada, beruntung hal itu tidak terjadi karena keseimbangan yang berhasil diambil alih.“Apa yang kau lakukan?” Candy cemas dengan apa yang melintasi benak. Gadis itu menerobos, tapi tubuh besar yang suami di ambang pintu tidak mengizinkannya untu
Seandainya bisa menarik perempuan cantik nan seksi itu mendekat, Robert dihalang oleh ingatan di mana dirinya terlelap. Rumah ini mungkin sepi karena tidak ada maid dan Candy tengah terkurung, tapi tidak menutup kemungkinan Putra bisa saja mendadak menampakkan diri.Robert bangkit untuk duduk, diikuti oleh Bianca. Lelaki itu berbalik menghadap Bianca mengatakan, “Tidak usah mencemaskan dia, untuk apa kau kemari?”“Aku tidak mencemaskan istrimu itu!” sunggut Bianca, tidak menyukai kalimat Robert. Perempuan itu mendekat, mengakhiri dekapan manja untuk Robert. “Aku … sudah melakukan apa maumu,” kata perempuan itu sembari memainkan jari di bagian dada Robert yang tertutup piyama berbahan kain halus. “Kau tidak melupakan janjimu, bukan?”Robert tersenyum miring menanggapi, “Tentu, akan aku kirim hadiahmu ke rumah nanti siang.”Kalimat seperti itu menyebabkan Bianca tersenyum girang dan penuh se