Candy sudah terlanjur emosi, tidak dapat menahan mulut tetap terkatup rapat. Gadis itu mencubit tangan Robert, sangat kuat meski tidak berefek apa-apa untuk tangan kekar itu. “Lepaskan aku!” pinta Candy, dia mendorong dada bidang sang suami dengan tangan pendeknya.
Candy terlihat seperti anak lima tahun yang mencoba merebut permennya kembali. Robert tertawa geli dibuatnya, tapi tawa itu tidak bertahan lama. Menarik lengan sang istri, gadis itu diseret menuju ruangan tak pakai yang terletak di dekat pintu balkon belakang.
Gudang, lampu di tempat itu padam sedari satu bulan yang lalu dan Robert sama sekali tidak ragu untuk mendorong Candy masuk ke dalamnya. Candy hampir menabrak tumpukkan barang yang ada, beruntung hal itu tidak terjadi karena keseimbangan yang berhasil diambil alih.
“Apa yang kau lakukan?” Candy cemas dengan apa yang melintasi benak. Gadis itu menerobos, tapi tubuh besar yang suami di ambang pintu tidak mengizinkannya untu
Seandainya bisa menarik perempuan cantik nan seksi itu mendekat, Robert dihalang oleh ingatan di mana dirinya terlelap. Rumah ini mungkin sepi karena tidak ada maid dan Candy tengah terkurung, tapi tidak menutup kemungkinan Putra bisa saja mendadak menampakkan diri.Robert bangkit untuk duduk, diikuti oleh Bianca. Lelaki itu berbalik menghadap Bianca mengatakan, “Tidak usah mencemaskan dia, untuk apa kau kemari?”“Aku tidak mencemaskan istrimu itu!” sunggut Bianca, tidak menyukai kalimat Robert. Perempuan itu mendekat, mengakhiri dekapan manja untuk Robert. “Aku … sudah melakukan apa maumu,” kata perempuan itu sembari memainkan jari di bagian dada Robert yang tertutup piyama berbahan kain halus. “Kau tidak melupakan janjimu, bukan?”Robert tersenyum miring menanggapi, “Tentu, akan aku kirim hadiahmu ke rumah nanti siang.”Kalimat seperti itu menyebabkan Bianca tersenyum girang dan penuh se
Sementara itu, siapa yang dikunci di dalam gudang baru terbangun. Apa yang menguncang kesadaran adalah suara kunci yang terdengar, Candy bergegas bangkit dan menatap pintu yang terbuka.Silau cahaya lampu menerobos, netra perlu beberapa saat untuk menyesuaikan sampai ia bisa melihat siapa yang membuka pintu itu. Satu langkah maju diambil, Candy bisa melihat seorang pria. Tidak setinggi Robert, tapi dia memiliki warna kulit yang sangat putih dan bersih. Wajahnya manis ditambah dengan bibir merah alami. Tampak muda, sepertinya usianya sama seperti Candy atau Putra.“Kau siapa …?” tanya Candy saat tidak ada pembicaraan, ia sedikit takut menyaksikan betapa ramah dan manis pemuda itu bertahan dengan senyuman sedari tadi.“Mandu Arkasa,” jawab pemuda itu seadanya.Tidak, Candy berpikir ia telah salah melontarkan pertanyaan karena nama atau siapa dia tidaklah penting dari bagaimana bisa dia ada di sini. “Bagaimana kau tahu ak
“Sepertinya ini adalah pertama kali kita bertemu secara langsung,” tutur Mandu. “Aku sering mendengar namamu.”“Aku pikir aku cukup terkenal …” Sindiran bernada kikuk itu terarah pada diri sendiri, Candy mengelus tengkuk yang tak gatal. “Senang bertemu denganmu, sampai jumpa.” Gadis itu kabur begitu saja setelah kalimatnya, meninggalkan Mandu yang belum sempat memanggil.Sejujurnya Candy takut diamuk karena telah keluar dari gudang yang tidak dibukakan pintunya oleh siapa yang mengunci, tapi Candy mustahil mau kembali ke sana dan menunggu Robert datang untuk membukakan pintu. Karena itu, Candy berpura-pura sibuk di dalam dapur dengan berbagai masakkan.“Aku tidak boleh menyerah,” kata gadis itu pada diri sendiri. “Aku harus mengambil hatinya agar hidupku bisa kembali tenang.” Sebut saja memperbaiki kesalahan, Candy menganggap memenangkan hati Robert adalah hal yang paling logis mengin
“Aku juga harus kembali ke sana, mau kuantar?” kata dan tawar Mandu.“Uhm … kau tidak keberatan?” tanya gadis itu ragu, takut merepotkan.Mandu menatap rantang yang mengantung di tangan Candy sebelum melempari secarik senyuman tipis. “Aku memang mau kembali ke sana kok, tidak apa-apa,” jawabnya.“Uhm, bagaimana dengan Viola?” tanya Candy yang mendadak tersita netranya oleh sang gadis cilik yang hanya diam dan mendengarkan pembicaraan.“Ah …” Mandu memikirkan hal yang sama. “Omong-omong, mengapa rumah ini kosong?” Itu adalah apa yang mau dia tanyakan sedari awal kepulangan. Viola memiliki seorang babysister, perempuan itu libur sampai kemudian ia kembali. Tapi babysister itu tidak datang seperti yang telah dijanjikan, Mandu malah mendapatkan fakta bahwa tidak ada satu orang maid pun di dalam rumah.“Itu … uhm … Robert memecat mereka,” ungk
“Sttt …” Robert meletak ibu jari di depan bibir, memberi isyarat untuk jangan bersuara. Bianca memutar bola mata 180 derajat saat tangan Robert melakukan gaya memanggil.“Sial,” gerutu perempuan itu sembari memperbaiki beberapa kancing kemeja yang terlepas. Dia mendekat, membiarkan Robert mendorongnya ke bawah meja. ‘Ini bahkan lebih buruk dari tertangkap,’ pikir perempuan itu.Robert bangkit guna membuka pintu yang terkunci, sedikit dikejutkan oleh Candy yang menampakkan diri. Kehadiran itu tidak diharapkan, Robert bertanya, “Untuk apa kau kemari?”Betapa garang reaksi sang suami menyapa, Candy menanggapinya dengan senyuman manis. “Aku bawakan makan siang, kau sudah makan?” Candy sudah berbicara sangat baik, tapi malah ditanggapi tajam oleh sang suami.“Aku lebih baik mati kelaparan daripada harus makan masakanmu,” ketus lelaki itu. Dia kembali ke meja setelah menutup pintu. K
Seandainya Robert bisa menelepon security dan meminta mereka untuk menyeret Candy keluar, Robert tidak mau diri ini dicap buruk karena orang-orang kantor tahu perempuan cantik itu miliknya.“Robert, aku-“ Lagi-lagi kalimat Candy disela oleh sang suami.“Aku harus mengulangi kalimatku sebelumnya?”Betapa tegas kalimat sang suami, dengan mudah menyebabkan kedua kaki Candy tidak berani terus berdiri tegap. Gadis itu kesulitan menelan ludah, menahan rasa sakit yang menyayat hati. Kepala tertunduk guna memutuskan kontak mata dan mau tak mau dia pergi meninggalkan ruangan.Ada air mata di pelupuk, cairan bening itu mencoba menjelaskan rasa sakit yang menggangu, tapi Candy tidak mau membiarkannya mengalir. “Mengapa aku menyedihkan sekali,” eluh gadis itu dengan pandangan mengarah pada langit-langit. Berkali-kali dia menghela nafas sampai air mata kembali memasuki bawah mata.“Candy?” Nama yang dipanggil meng
Silau cahaya dari langit-langit kamar begitu mengusik mata yang masih bersembunyi di kelopak yang terpejam. Pemuda bernama Putra itu menggeliat tak nyaman sebelum mengangkat kedua tangan untuk meregangkan otot-otot tubuh yang kaku.Butuh beberapa saat mencerna sampai mata mau terpejam, dia mendudukan diri dan mulai menyapu sekitar. Entah apa yang hendak Putra pikirkan, perhatiannya disita oleh keberadaan seorang gadis cilik di tengah-tengah ruangan. Gadis yang sangat ia kenali itu sibuk dengan beberapa mainan masak-masak.“Viola, kapan kau duduk di sana?” tanya Putra, suaranya berhasil merebut perhatian sang pemilik nama.“Kakak, Kakak sudah bangun!” seru Viola dengan penuh semengat. Dia bangkit, meninggalkan semua mainannya untuk memanjati kasur. “Aku membangunkan Kakak sedari tadi,” ungkap gadis manis itu setelah terduduk di depan Putra dengan kaki berbentuk W.“Sungguh?” Putra sedikit tersentak mendengarn
Candy sepertinya marah pada dirinya, tapi … Putra tidak yakin mengapa. Ia baru saja bangun, tapi sang mantan sudah mengatainya seburuk itu. “Ayo Vio,” ajak Putra, memutuskan untuk mengakhiri topik pembicaraan.“Ayo, Kak Candy ikut kami,” ajak Viola kembali.“Vio, kau harus panggil dia ‘Mom’ mulai dari sekarang.” Sindiran Putra terlalu kentara, lihat betapa tajam matanya mendelik. Putra yang seperti itu mengingatkan Candy pada Robert.“Mom?” heran Viola, tak paham pada maksud dari kalimat sang kakak.“Candy bukan lagi kakakmu, dia ibumu,” terang Putra seadanya.Candy menghela nafas panjang, jari memijit-mijit kepala yang berdenyut dibuat dingin suara Putra. “Pergi makan, Putra, jangan buat aku mengulangi kalimatku lagi,” harap gadis itu putus asa.“Baik, Mom,” jawab pemuda itu sinis.“Hei!” jerit Candy, geram dibuat Putra