Candy Rebbeca Stain, nama perempuan cantik berusia dua puluh dua tahun yang akan menikah pagi ini. Muda memang, tapi kalian akan menarik kembali kata-kata itu jika tahu pada usia berapa calon ayah mertuanya memiliki anak. Umur tidak menjadi perkara, setidaknya itu adalah apa yang ada di dalam benak mereka yang sudah tidak sabar ingin menikah.
Gaun putih indah nan mewah dengan atasan bermodel sabrina melekat pada tubuh dia yang terduduk di depan meja rias. Rambut Candy digulung indah dan diberi hiasan bunga-bunga berbentuk mahkota. Namun …, sepertinya sang mempelai tidak dalam suasana hati yang bagus untuk bisa menampilkan senyuman yang akan memperindah semua riasan di wajah.
Gadis itu cemas memikirkan sang kekasih yang masih tak kunjung menampakkan diri padahal acara akan segera dimulai, kurang dari lima belas menit lagi. Sepi ruangan Candy menunggu membuatnya terdengar sangat hening, tidak ada apa pun yang terdengar kecuali suara AC. Sejuk benda itu menyapu area pundak Candy yang terekspost, sangat dingin sampai membuatnya sedikit menggigil.
Namun, itu bukanlah gemetaran ulah kedinginan. Candy tidak bisa berhenti takut mempertanyakan tentang keberadaan sang calon suami yang seharusnya tiba sedari setengah jam yang lalu.
Tok, tok, tok … suara gedoran pintu terdengar membuat Candy reflek mendongak. Gadis itu menantikan seseorang datang memanggil untuk memberi berita, sang calon suami telah tiba, tapi nyatanya … hal itu tidak terjadi. Ekpresi kesedihan yang tercetak di wajah siapa yang memasuki ruangan menghadirkan firasat buruk dalam hati.
Candy berpikir …, sesuatu telah menimpa sang calon, tapi ternyata apa yang terjadi melebihi hal itu.
“Candy,” panggil pria berusia 39tahunan, sangat maskulin dengan gaya rambut yang disisir rapi dan setelan formal berwarna hitam. Ada bunga menyelip di saku jasnya.
“Ayah,” panggil Candy tanpa bisa tersenyum. Lelaki tampan dengan kulit putih dan rahang tegas itu bernama Robert Wijaya, seseorang yang akan menjadi ayah mertuanya setelah pernikahan ini dinyatakan resmi. Sayangnya … Candy tidak berpikir hal itu akan terjadi karena sang mempelai hilang entah ke mana.
Ragu Candy bertanya, “Putra belum ditemukan, Ayah?” Candy bukan hanya mencemaskan pernikahan yang entahlah akan berlangsung atau batal, dia mencemaskan keadaan sang pria terkasih yang sudah bersamanya selama lima tahun.
Candy tahu betapa Putra Wijaya mencintai diri ini, itu adalah alasan mengapa pernikahan diadakan dini. Tapi … haruskah Candy akui bahwa sang kekasih berubah akhir-akhir ini? Satu minggu lalu, terhitung empat bulan semenjak melamar diri ini untuk dijadikan istri.
Candy tidak tahu apa yang telah terjadi karena Putra terlalu pendiam untuk mau bercerita. Sorot matanya kosong dan Candy benar-benar tidak bisa bertanya. Candy berpikir, semua itu hanya imajinasi saja sampai kemudian sang kekasih tidak hadir di hari pernikahan yang telah ditetapkan.
Tidakkah hari ini adalah hari yang sangat Putra nantikan? Candy yakin itu, Putra selalu mengatakannya. Tapi mengapa diri ini tidak dapat menghubunginya? Tidak bahkan sekali. Panggilan tidak diangkat, pesan tidak berbalas, tidak ada satu orang pun bisa menebak di mana keberadaannya termaksud sahabat karib yang juga telah menanti.
“Candy.” Suara Robert sukses menyadarkan Candy yang malah sibuk melamun, membuat gadis itu kembali mendongak dan mempertemukan kontak mata.
“Ada apa, Ayah?” tanya gadis itu, tampak penasaran dibuat raut wajah serius sang calon mertua.
Robert tidak langsung menjawab. Dia menarik kursi plastik berwarna merah dan mengambil duduk di depan Candy. Dia kemudian mengeluarkan ponsel dan mengotak-atiknya sejenak. Robert … tidak tahu di mana anaknya berada kini, tapi ia punya sesuatu yang sangat penting yang harus Candy saksikan dengan mata kepala sendiri.
Rekaman video yang mengambarkan setiap pergerakkan Putra bercumbu bersama seorang perempuan di dalam mobil. Mata Candy melebar, dua telapak tangan berbalut sarung putih berenda reflek membekap mulut yang hendak menjerit.
Ludah yang ditelan setajam silet, menyangkut di bagian dada, sukses menusuk jantung membuatnya kesulitan untuk bernafas. Candy bisa melihat wajah sang calon suami dengan sangat jelas, sangat jelas sampai tidak ada keberanian mengklaim bahwa video hitam putih itu palsu.
“Putra berselingkuh dengan pacarku,” ungkap Robert.
Candy tidak tahu bahwa sang mertua memiliki seorang pacar, tapi selingkuh …? Candy tidak tahu kapan rekaman itu diambil, mata yang mendadak buram tidak mampu melihat tanggal dan waktu yang tercetak dengan jelas. Gadis itu … meneteskan air mata, tidak mampu berkata.
Ini adalah hari pernikahan mereka, haruskah ia bersyukur atau marah karena semua kebenaran yang terungkap? Haruskah Candy senang karena ia gagal menikahi seorang pria yang ternyata bajingan? Hati Candy sakit, sama sekali tidak mampu memutuskan.
“Apa … yang harus aku lakukan?” Gadis itu terbata, kepala sudah seperti akan meledak mengingat hari pernikahan sudah di depan mata, hanya tinggal menghitung menit!
Candy tidak berpikir memulangkan para tamu akan menjadi sebuah solusi bijak, ia dan keluarga mustahil bisa menahan rasa malu itu dan Robert pasti merasakan hal yang sama, Candy berpikir.
“Bagaimana bisa Putra tega …” Candy terisak, tidak mampu menahan rasa sakit yang semakin menjadi di bagian dada. Candy tidak menyangkal Putra bersikap lain akhir-akhir ini, tapi selingkuh …? Hal itu sama sekali tidak terpikirkan. Putra selalu bersikap seolah-olah hanya ada Candy di dalam hidupnya, mata tidak mungkin berbohong. Tapi … bukti sudah menggila di dalam kepala, bagaimana bisa Candy tidak percaya?
Raut wajah Robert sendu. Dia mengangkat tangan guna membantu menghapus air mata yang membasahi pipi. “Jangan menangis,” harap lelaki itu. Suaranya terkesan lembut tanpa menghilangkan kesan gagah, segagah tubuh kekar yang mengatakan sang empu sering berolahraga. “Kau akan menghancurkan riasanmu dengan air mata,” tambahnya.
“Riasan ini sudah tidak berguna!” seru gadis itu putus asa. “Hari pernikahanku hancur, aku tidak mungkin menikah dengan putramu!” Tidak setelah apa yang telah terjadi! Padahal Candy mencemaskan Putra setengah mati dan lelaki itu bahkan tidak berkabar, sungguhkah dia menghindari pernikahan ini demi sang selingkuhan?
Candy hanya sekedar menebak, tapi di satu sisi merasa sangat yakin. Putra tidak lagi mencintai diri ini. Tentu saja, karena jika dia masih menaruh hati, dia tidak akan pernah bermain dengan perempuan lain! Perempuan yang adalah kekasih ayahnya? Putra pasti sudah gila!
“Aku minta maaf karena harus memberitahumu berita menyakitkan ini,” kata Robert pelan.
Candy menggigit bibir bawah sembari menggeleng kecil. “Tidak,” jawabnya sembari menggelap air mata. “Aku senang karena aku tahu seperti apa Putra di belakangku.”
“Aku membencinya,” ungkap Robert tiba-tiba, sukses membuat Candy reflek mendongak dan kontak mata pun bertemu.
Tidak usah bertanya soal apa maksud dari ungkapan itu. Robert menjelaskan, “Setelah dia membuat aku kehilangan seorang istri, dia dengan berani mencuri kekasih yang aku cintai. Fakta bahwa dia adalah anakku jauh lebih menyakiti hatiku.”
Candy tidak dapat berkomentar pada mirisnya kalimat yang ayah Putra keluarkan. Robert mungkin sudah memiliki dua anak, tapi itu tidak mengartikan dia tidak pantas bertemu perempuan lain dan berbahagia. Terlepas dari penampilannya yang memang masih terlihat muda dan segar seperti berusia 25an, dia memiliki materi dan sikap yang baik. Setidaknya itu adalah apa yang Candy tahu.
“Candy, menikah denganku.” Satu kalimat pendek yang mendadak meluncur keluar dari mulut Robert sukses memukul jantung Candy bagaikan palu raksasa.
Candy terdiam seribu bahasa, meragukan apa yang baru saja sepasang telinganya dengar. Candy berpikir, diri ini pasti sedang dalam keadaan tidak sehat atau sejenisnya, itu sebab sembarang menangkap suara. Tapi … Robert membuktikan bahwa kalimat yang sampai di indera pendengarnya tidaklah salah.Robert bangkit dari duduk dan berlutut di depan Candy. Mengambil lembut tangannya mengulang, “Menikah denganku dan kita tidak harus memulangkan para tamu hari ini, kita bisa menghindari rasa malu,” tuturnya.Candy mungkin setuju pada kalimat yang sampai di telinga, tapi menikah dengan seseorang yang seharusnya menjadi ayah mertuanya? Membayangkan hal itu dengan mudah sudah menyantak jantung bagaikan alat kejut. Candy bangkit, mencoba mengatur nafas agar kembali mengalir dengan benar.Benar, menghindari malu …, tapi bobrok! Candy tidak mampu mencerna lamaran mendadak itu, sama sekali tidak bisa tidak perduli seberapa kuat berusaha.Robert me
Mengikat janji suci, pemilik punggung tegap tertutup jas hitam itu masih mengeluarkan suara berat khas Robert. Saat mencium sang mempelai, wajahnya masih tampak sangat mirip seperti Robert dan saat menghadap tamu dengan senyuman, dia masih saja Robert!Setelah acara usai, satu per satu tamu meninggalkan gereja dengan pertanyaan yang masih belum terjawab. Binggung dan aneh, dua hal itu mengantar kepergian mereka sampai kembali ke rumah.Akhirnya setelah lama menunggu, ibu Candy bisa menampakkan diri. Dia sudah menunggu sangat lama, terus bersabar karena tidak mungkin tiba-tiba mengacaukan acara. Wanita itu punya malu, jelas tidak akan melakukan hal seperti itu, tapi … anaknya baru saja menikahi seorang duda!Seorang duda dengan dua anak di saat dia seharusnya menikahi putra tunggalnya yang memiliki usia yang sama dan sudah menjalin hubungan selama lima tahun terakhir! Kegilaan apa ini? Candy tidak mengatakan sepatah kata pun dan tidak ada yang menyetujui p
Ya tuhanku! Apa yang baru saja keluar dari mulut seorang lelaki berusia 39 tahun yang baru saja menjadi menantunya? Sebutan itu membuat Keisya merasakan busa-busa putih keluar dari sudut bibir. Wanita itu merasa mati di saat paru-paru masih bekerja meski tidak dalam keadaan baik. Keisya oleng, tapi tidak jauh karena Robert sudah lebih dulu menahan tubuhnya. ‘Ibu?’ Nafas Keisya seperti akan putus dibuat panggilan yang terus menyalak layaknya anjing gila di dalam kepala. Tidak ada sesuatu menyangkut di tenggorokan, tapi Keisya kian kesulitan bernafas. Dia mengangkat tangan, memberi isyarat Robert agar tidak usah membantu saat sepasang kaki yang dibalut heel putih mencoba untuk berdiri sendiri. “Aku tahu kau sudah menikah dengan Candy.” Keisya sesak nafas mengungkap fakta itu. Beberapa saat menenangkan debaran jantung sampai dia bisa melanjutkan, “Tapi tolong jangan panggil aku begitu, aku tidak merasa nyaman.” Kesiya hanya tidak mampu tidak mengeluarkan kalimat
Mulut Candy terbuka tanpa perintah, air mata kembali memasuki bawah mata karena sang mantan yang sepertinya bermain victim dan mulai menyalahkan. Putra bersikap layaknya apa yang telah terjadi adalah salah Candy, tidak ada keraguan di wajahnya sama sekali.Bagaimana bisa dia bersikap seperti itu? Candy tak habis pikir. “Kau berubah akhir-akhir ini, kau selingkuh, meninggalkan aku di hari pernikahan dan kau terduduk sangat tenang di rumah layaknya tidak ada yang terjadi dan kau menyalahkan aku atas keputusan yang aku ambil?” Belum puas mencerca, Candy melanjutkan, “Kau bisa saja membatalkan pernikahan dari awal jika kau sudah tidak mencintaiku. Kau tahu lari bukan solusi, tapi kau melakukannya!”Candy mengingat apa yang terjadi dengan jelas sampai mengapa diri ini mengambil keputusan bobrok untuk menikahi dia yang seharusnya dipanggil ayah mertua dan semua itu karena Putra! Candy menyalahkan putra atas keputusan yang ia ambil hari ini.Asa
Salah satu aula luas terdekor simpel dan nyaman dipandang mata. Banyak cahaya bolham menyala, tidak menyisihkan satu sisi gelap pun. Ruangan yang terdapat di lantai sepuluh suatu hotel itu ramai, dipenuhi oleh berbagai macam tamu dengan pakaian mewah khas masing-masing. Tepatnya di salah satu meja, Keisya malang terduduk dengan mata yang hanya tertuju pada piring kosong, tak berani bergerak sama sekali. “Jeng, kau berkata anakmu menikahi seorang pemuda tampan, pewaris tunggal keluarga Wijaya.” Duh! Tidakkah wanita itu menyadari malang Keisya yang sudah sedari tadi tersenyum paksa dan menutup wajah menggunakan tangan? Keisya mencoba menghindar dari banyaknya pertanyaan yang ingin diketahui para tamu, sialnya ia duduk bersama orang-orang itu. Sekumpulan ibu-ibu yang terdiri dari saudara dan ibu-ibu arisan. Tujuh wanita di atas meja bulat yang sama kompak menoleh, menatap dua pemilik acara yang sibuk menyapa para tamu di meja masing-masing. Mereka kemudi
Kontak mata diputus oleh Robert yang sudah kembali duduk. Dia menyodorkan tangan untuk meminta jari lentik Candy dan gadis itu memberinya. ‘Apakah diri ini tengah dihukum?’ Itu adalah apa yang baru saja Putra pikirkan. Maksudnya, tadi pagi diri ini melewatkan pernikahan ayahnya dan Candy—dengan sengaja dan sekarang ia malah harus menyaksikan cincin disematkan di jari manis Candy yang pernah menjadi kekasihnya, menyaksikan mereka berdua saling melempar senyum layaknya pasangan berbahagia pada umumnya. Putra tidak bisa mengakui, tapi ada denyutan menyakitkan di dalam dada. Sangat tidak menyenangkan membuat pemuda itu bergegas menggeleng guna membuang semua yang ada di dalam benak. Candy dan Robert memamerkan status hubungan sangat jelas sampai Putra tidak mampu menepis. Putra harus bisa menghapus Candy dari hidup dan hati mulai detik ini, harus menegaskan kepada diri sendiri bahwa hubungannya benar-benar sudah usai dengan Candy. Acara berlangsung meriah
“Bukan seperti aku yang mau datang!” timpal Putra tidak mau kalah, hati panas dibuat Candy yang melontarkan amarah sesuka hati tanpa mau meminta penjelasan lebih dulu. Putra tidak mau berbangga diri, tapi ia berkelahi karena membela Candy dari mulut-mulut keparat teman ayahnya! “Aku tidak mungkin datang kalau kau tidak memaksa,” imbuhnya.“Kalau begitu pergi!” usir Candy, murka dibuat jawaban pemuda itu. Sudah terlambat untuk mengusir karena acara sudah selesai, tapi itu tidak mengartikan Putra tidak bisa angkat kaki. Pemuda itu beranjak setelah mata puas melototi Candy.Putra menuju mobil yang terparkir di bagian samping hotel, pergi begitu saja dan membiarkan Candy serta yang lainnya menyaksikan.Keisya adalah salah satu penonton yang setia. Menghela nafas frustasi, tak habis mempertanyakan soal apa yang sebetulnya terjadi di antara Candy dan Putra. Sebelumnya dua orang itu bersikap layaknya pasangan tak terpisahkan dan hari
Sebut saja Flora, nama dari mendiang istri Robert dan Candy sangat mengenalnya. Ia, Putra dan Flora memiliki hubungan yang sangat baik selayaknya anak dan ibu sungguhan. Candy ingat Robert selalu melempar senyuman kala menyaksikan tiga orang ini bermain bersama, tapi kejadian itu berakhir setelah kematian Flora. Robert menjadi lebih pendiam dan Candy atau putra tidak pernah bertanya. Mereka hanya menebak bahwa Robert masih merasa kehilangan dan menjadi pendiam adalah hal yang wajar sampai kemudian Candy tahu bahwa Robert menyalahkan Putra atas kematian istrinya. Pagi itu, Candy terlalu dilanda amarah untuk menyadari sebuah keanehan dari cara bicara atau semua kalimat yang Robert lontarkan. Kini, Candy merasakannya dengan jelas, sorot mata Robert yang memancarkan sesuatu yang lain. Sangat menggerikan, mendominasi sampai-sampai Candy tidak berani membuka mulut apalagi berbicara. Raut wajah berubah kesakitan karena pundak yang dicengkram semakin kuat, tapi rinti
“Memanfaatkan keadaan?” Candy bergumam dan tenggelam dalam pikiran satu detik setelahnya. Candy tidak yakin bahwa saran dari Putra adalah apa yang ia butuhkan karena bagaimana caranya memanfaatkan keadaan setelah diperlakukan seperti badut?Candy bahkan berpikir akan lebih baik menggambar wajahnya agar terlihat seperti badut sungguhan daripada mempertimbangkan saran dari Putra. Tapi apa yang harus dikatakan? Candy kehabisan kata-kata untuk dicerna, dia hanya bangkit dari duduk dan pergi begitu saja meninggalkan Putra.Putra melihat Candy melewati pintu masuk dan dia pergi menyusulnya. “Ke mana kau akan pergi?” tanya Putra, berhasil menyita perhatian Candy dan membuat dia menoleh.“Aku tidak tahu,” jawab Candy sesuai dengan apa yang terpikirkan. Tidak, Candy bahkan tidak memikirkan apa pun, dia hanya tidak ingin berdebat dengan Putra atau mendengar lebih banyak pendapat darinya.“Pulang ke rumah, Candy,” kata Putra, tampak jelas bahwa dia bermaksud dengan kalimatnya tapi Candy tidak pa
“Ck!” Mandu tidak punya alasan tapi rasanya tidak menyenangkan disamakan dengan siapa pun. Meski begitu, Mandu tidak menanggapi. Dia mengeluarkan ponsel dari saku jas dan berhasil menyita perhatian Candy.“Apa yang kau lakukan?” tanya Candy penasaran.Mandu memberitahu, “Aku akan menelepon Robert dan meminta dia untuk menjemputmu pulang saja.” Jawaban itu menyentak Candy yang enggan berurusan dengan Robert, dia bergegas menghampiri dan menyambar ponsel dari tangan Mandu. Candy tidak mendapatkannya karena Mandu terlebih dulu menarik ponselnya menjauh.“Jangan menelepon Robert!” pinta Candy.“Tidak akan aku lakukan kalau kau masuk ke dalam mobil sekarang juga,” kata Mandu penuh penekanan, memberi Candy tidak ada pilihan lain selain menurut. Candy berpikir menuruti apa mau Mandu akan lebih baik daripada dia menelepon Robert dan membuat lelaki itu mengangkatnya pulang ke rumah seperti karung beras.“Baik, baik,” ketus Candy, dia memasuki mobil dan duduk di samping Mandu.Mandu tersenyum p
“Aku tidak berpikir kita punya hal lain lagi untuk dibicarakan,” tolak Candy. Robert bahkan tidak menyangkal apa pun setelah semua yang ia katakan, jadi Candy menggangap semuanya telah jelas.“Meski begitu aku tidak izinkan kau pergi begitu saja,” tegas Robert. Dia meletak tangannya di pintu, menutupnya sebelum Candy membukanya lebih lebar. Candy menarik ganggang pintu, dia berbalik menatap Robert saat lelah mengharapkan Roberet untuk menyingkir. Robert menambahkan, “Lagipula kau tetap adalah istriku. Jika aku bilang jangan pergi, kau tidak akan pergi.”Lagi-lagi sikap memerintah seperti itu seolah-olah Candy tidak adalah anak anjing yang patuh. “Suami atau istri, status kita tidak lebih dari itu. Lalu, apa gunanya?”Robert tidak bisa menjawab yang satu itu tapi tetap saja menolak untuk membiarkan Candy pergi begitu saja. Ini bukan soal harga diri atau sejenisnya, Robert hanya tidak ingin perempuan itu pergi. “Aku tidak akan menemui Bianca lagi jika itu maumu,” tawar Robert tapi sungg
“Aku segera ke sana,” kata Robert sebelum mematikan panggilan secara sepihak. Seharusnya Robert tak lakukan ini tapi rasanya sungguh menjengkelkan, ia ingin tahu apa yang sebenarnya Candy lakukan dengan menemui Putra.Lelaki itu menyambar jas hitamnya dari gantungan di sudut ruangan dan berlari keluar meninggalkan ruangan. Robert mengendarai mobil dan tiba di lokasi yang Putra sebutkan dalam waktu lima belas menit.Masih di dalam café yang sama, bedanya adalah Candy tidak ada di sana. Robert menghampiri Putra dan menemukannya terduduk sendirian. Lelaki itu menatap sekitar, menemukan keadaan café yang lumayan sepi dengan hanya beberapa meja terisi tapi masih tidak ada Candy yang terlihat.Robert menatap Putra sebelum bertanya, “Di mana Candy?”Putra tidak menjawab pertanyaan Robert untuk memberitahunya di mana Candy, dia bangkit dari duduk dan melayangkan tinju keras di pipi Robert. Robert terhuyung dan terjatuh karena tidak siap menerima serangan tiba-tiba itu. Sontak mata semua pelan
FLASHBACKHari itu saat Candy melihat Putra memasuki kamar bersama Bianca, gadis itu pergi karena hati yang berdenyut menyakitkan, karena dia tidak bisa mendengar lebih lama lagi tapi apa yang terjadi tidak seperti yang dia duga.Putra yang sedang tidak sadar sepenuhnya mendorong Bianca tanpa sadar dan meracau, “Aku tidak akan melakukannya.” Tiba-tiba wajah Candy hadir di wajah Putra di saat matanya bahkan tidak bisa lagi terbuka untuk dua watt.Putra mengingat kembali mereka yang seharusnya sudah menikah dan semua itu gagal. Candy melihatnya sebagai seorang pengkhianat dan satu kali saja sudah cukup. Lelaki itu terhuyung, beruntung dia berhasil mencapai pinggir ranjang sebelum terjatuh. “Aku tidak mau … aku berharap aku tidak pernah menyakitinya.”Lelaki itu terus meracau, setelahnya tak sadarkan diri, sama sekali tidak mengingat keberadaan Bianca yang masih menatapnya.FLASHBACK ENDCandy tidak pernah ingin tahu sebelumnya tapi tiba-tiba dia kemari dengan hal yang seharusnya dia tan
Siang hari tiba, jarum pendek menunjuk tepat dua belas dan Candy masih tidak terlihat. Robert menghentikan pekerjaan dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi sebelum mendengus sebel.Padahal aku sudah mengizinkan dia untuk memasak dan mengantarkan aku makan siang tapi dia malah tidak datang, dasar tidak tahu diuntung, pikir Robert. Meminggirkan apakah Robert memakan masakan dari Candy atau tidak, Robert penasaran dengan apa yang sedang Candy lakukan. Daripada terus bertanya-tanya, Robert mengeluarkan ponsel dari saku jas dan melakukan panggilan telepon.Suara sistem terdengar, mengatakan bahwa nomor Candy sedang dalam panggilan lain. “Dengan siapa dia berbicara?” gumam lelaki itu penasaran sembari menatap layar ponsel.Namun, Candy tidak sedang berbicara dengan siapa pun. Panggilan yang Candy lakukan berakhir dengan tidak terjawab. Candy menatap layar ponselnya dan nama Putra yang tercetak. Sebelumnya, Candy sudah memblokir nomor itu tapi dia membatalkannya untuk suatu alasan.“Aku
Candy berdecih sinis, tatapan matanya merendahkan. “Aku tidak butuh kau,” katanya. “Aku bisa naik taxi atau apa pun itu.” Lagipula apa yang Candy harapkan dari Mandu? Gadis itu pergi begitu saja setelahnya, tapi dihentikan oleh Mandu.“Tunggu aku!” pinta lelaki itu sembari menarik pergelangan tangan Candy. Candy menepisnya sebelum berbalik menatap. “Kau sangat tidak sabaran,” ketus lelaki itu, bete. “Biarkan aku menemanimu. Lagipula kau tidak tahu di rumah Bianca.”Candy tidak menolak karena benar kata Mandu bahwa ia tidak tahu di mana Bianca tinggal. Akan menyusahkan jika ia kehilangan jejak Robert dan berakhir tersesat. “Ayo cepat,” pinta Candy, dia meninggalkan rumah terlebih dulu dan disusul oleh Mandu.Mandu menyusul dengan tenang, ada secarik senyuman di wajah yang menunjukkan betapa dia bersemangat. Mandu penasaran, ingin melihat akan seperti apa ekpresi wajah Candy kala dia mengetahui yang sebenarnya. Apakah dia akan menangis atau beranikah dia pergi ke Robert dan memarahinya.
Candy menggerucutkan bibir, menoleh untuk menatap Mandu. Tidak ada yang dia katakan membuat Mandu menatapnya guna mencari tahu ekpresi wajah seperti apa yang dia gunakan. Mandu tidak yakin, perempuan itu tampak marah dan di saat bersamaan, meragukannya. “Hahaha!” Mandu tertawa canggung sebelum berkata, “Sepertinya aku sudah terlalu banyak bicara.” Dia melakukan gerakkan menutup resleting di depan bibirnya dan menambahkan, “Aku sebaiknya diam.”Benar, Mandu sebaiknya diam. Sial, dia seharusnya diam lebih awal karena Candy tidak bisa mengabaikan semua yang telah ia dengar. “Bagaimana jika Mandu tidak membual?” Pertanyaan itu hadir di dalam kepala Candy dan tidak meninggalkannya sama sekali.Mandu dan Candy tiba di rumah tiga menit lebih cepat dari Robert. Saat Candy berdiri di depan meja rias, pintu kamar terbuka. Robert menampakkan diri, mengangkat plastik putih untuk dipamerkan sebelum memberitahu, “Aku beli makanan, kau sudah makan?”Alih-alih heran akan perbuatan baik Robert yang ti
“Membela Candy?” Reaksi Robert syok. Dia tidak tahu apa maksud dari ucapannya sendiri tapi ia menolak kalimat yang Bianca keluarkan. “Kau sudah gila!” hardiknya. “Tentu saja aku tidak.”Melihat reaksi marah Robert tidak menghadirkan keraguan, Bianca percaya padanya meski masih merasa jengkel. Bianca mengembungkan pipi dan melipat kedua tangan di depan dada sebelum berkata, “Yasudahlah kalau begitu, aku tidak ingin ribut denganmu.” Itu adalah hal membosankan yang tidak ingin Bianca lakukan, oleh sebab itu dia memutuskan untuk mengakhiri perdebatan. “Tapi sebagai ganti, aku ingin makan malam bersamamu, besok.”“Tidak bisa,” tolak Robert segera, dia bahkan tidak mencoba mempertimbangkan tawaran Bianca. “Aku sibuk,” ungkapnya.“Kau sibuk?!” Bianca tidak bisa terima alasan itu, berkata, “Biasanya kau tidak sibuk untukku! Lagipula besok sabtu, kau tidak harus pergi bekerja. Jadi, apa salahnya menghabiskan dua jam untuk makan bersamaku?” Bianca tidak berpikir permintaannya sangat sulit, ia c