Share

Srikandi Antara Dendam Dan Cinta
Srikandi Antara Dendam Dan Cinta
Author: Siti Marfuah

Amarah

Author: Siti Marfuah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Sepasang netra bening itu menatap nanar, pada daratan luas yang dipenuhi puing-puing berserakan. Reruntuhan perumahan menjadi pemandangan memilukan di sepanjang penglihatan. 

Menampilkan slide demi slide, rentetan kekejaman di masa lalu. Bagaimana puluhan orang berseragam prajurit, dengan tombak tajam di tangan kanannya, menyerbu tanpa ampun pemukiman itu. 

Langkah gadis dua puluh tahunan itu terhenti pada sebuah bekas rumah tak berbentuk. Sepasang netra menatap tajam, memerah, hingga tanpa terasa genangan mulai memenuhi pada sudut-sudutnya. 

Masih terlihat jelas orang-orang di rumah itu. Sepasang suami istri dengan segala upayanya, melindungi ke empat anak yang masih kecil. Masih terlihat jelas, bagaimana beberapa orang asing menerobos masuk, menghajar seorang pria hingga limbung. 

Nasib pria itu berakhir saat sebuah tombak terlempar kuat, dan menghujam tepat pada jantungnya. Ia ambruk dengan diiringi teriakan histeris dari istri dan ke empat anaknya. Ia menghembuskan nafas terakhir, dengan tangan terulur ke arah sang istri yang telah dicekal tiga orang asing. 

Dua orang anak telah berhasil dilumpuhkan, darah segar mengalir di leher dan mulutnya. Tak menunggu hitungan menit, tubuh mungil itu jatuh tak bergerak. Dua lainnya berteriak ketakutan, melihat sang ibu tanpa busana dan menjadi bulan-bulanan beberapa orang asing itu. 

Sang Ibu menjadi pemuas hasrat bejat, hingga tak sadarkan diri dan salah satu lantas membebaskannya dari siksaan kejam. Membebaskannya dengan cara memisahkan nyawa dari raga, setelah dirasakan telah mampu menuntaskan kehausan nafsu masing-masing orang. 

Tersisa dua orang anak, mereka berlari sekuat tenaga. Salah satu menyelinap di bawah rerimbunan, dan satu lagi menghembuskan nafas terakhir tak jauh darinya. 

Srikandi. 

Gadis enam tahunan itu membekap mulut kuat-kuat, dengan mata berair hingga terasa perih. Tetap berada di tempat tanpa berani menggerakkan badan sedikitpun, apalagi saat rombongan orang asing tadi mondar-mandir tak jauh darinya. 

Mereka pasti mencari anak yang kabur tadi, karena berdasarkan titah sang Raja, daerah ini harus luluh lantah. Tak boleh ada satupun yang tersisa, sebab bisa saja menumbuhkan benih baru sisa-sisa pemberontakan itu. 

Maka Srikandi pun tetap bertahan di sana, hingga mereka pergi dengan sumpah serapah. Saat di rasa telah aman, gadis kecil itu keluar dari tempat persembunyian, mendekati kakak lelakinya yang telah terbujur kaku. Rupanya, punggung sang kakak telah bersarang mata tombak, hingga menembus dada. 

"Kakak .... " Rintih sang gadis memeluk erat badan Lakak yang telah memayat.

Srikandi. 

Gadis kecil yang harus menyaksikan semua kejadian tak beradap itu. Ia tergugu seorang diri, di tengah wilayah penuh  genangan darah dan aroma kematian mencekam. 

Kesadarannya memulih pada waktu masa kini. Gadis dua puluh tahunan itu ambruk, kedua tangannya mencengkeram bumi. Dengan mata berair dan rahang mengeras, mewakili hasrat dendam yang kian membara. 

"Ayah, Ibu. Aku akan menuntut balas, atas ketidakadilan ini!" Lirihnya dengan tekad kuat menggelegak. 

__________________

"Srikandi, cah ayu. Kakek perhatikan dari tadi kau terus melamun," Ucap Kakek menyusul duduk di depan sang gadis. Srikandi, ia hanya melirik Kakek dengan seulas senyum tipis dipaksakan. "Ada apa?" Tanya Kakek. 

Tak lantas menjawab, Srikandi malah membuang tatapan ke arah persawahan luas membentang di bawah sana. Entah telah berapa tahun ia dibesarkan oleh Kakek baik hati, di rumah terpencil ini. 

Satu-satunya rumah di atas bukit, yang disuguhi pemandangan memanjakan pada kanan dan kirinya, di sepanjang mata memandang. Indah, nyaman dan tenang. Itulah kesan yang ia dapatkan selama berada di sini. Namun, sejak ia melihat bekas pembantaian di wilayah masa kecilnya, entah mengapa jiwa mudanya kian bergolak. 

"Kek, sampai kapan Srikandi akan tetap tinggal di rumah ini?" Tanya sang gadis, tatapannya masih menerawang ke pemandangan luas di bawah sana. Kakek, pria lima puluh tahunan itu tersenyum lembut, beliau paham apa maksud yang ditanyakan Srikandi. 

"Apa kau sudah bosan hidup di sini dengan kakek?" Tanyanya, Srikandi mendongak. Menemukan sepasang manik tegas menatap lembut, dari balik rambut memutih menjuntai di luar ikat kepala. Mengetahui sang Kakek menebak sangat tepat, gadis itu menurunkan sorot netra. 

"Srikandi ingin sekali melihat keadaan dunia luar, Kek." Ia mendongak, sepasang tangan kokoh yang mulai berkerut halus itu menyentuh pundaknya. Kedua tangan itulah yang sejak kecil merawat, juga memberikan bekal hidup berupa ilmu bela diri. 

"Srikandi, cucuku. Ingatlah, jangan sekali-kali berniat mengembara hanya karena menyimpan dendam. Akan sia-sia semua ilmu yang Kakek ajarkan padamu selama ini," Pesan sang Kakek seraya menatap lekat sepasang netra bening berwarna hitam kehijauan. Srikandi menunduk, menyimpan wajah yang bisa saja berubah akibat pesan Kakek barusan. Ia mengangguk takzim. 

"Jadikan pengalaman memilukan itu sebagai cambuk kekuatan, untuk tetap kuat melangkah di bumi fana ini. Jangan sekalipun terbersit dalam pikiranmu, untuk balas dendam, cah ayu. Ingat itu."

"Iya, Kek. Saya tau." Hanya itu jawaban singkat yang keluar dari mulut sang gadis. Maka Kakek tersenyum bangga, menepuk lembut pundak yang dulu ringkih dan pilu itu. 

"Kakek percaya padamu," Ucap Kakek. "Memang telah waktunya kau pergi mengembara, cucuku. Kau pasti ingin seperti Kupu-kupu di luar sana, yang bebas mengepakkan sayap kemanapun sesuai kata hati."

"Bukankah telah waktunya saya untuk  mengamalkan ilmu yang Kakek ajarkan pada saya selama ini," Sang gadis bersurai panjang menimpali. Kakek mengangguk tegas, membenarkan ucapan murid yang telah dianggap seperti anak sendiri. 

"Asalkan kau mau berjanji dengan Kakek."

"Apa itu, Kek?" Tanya Srikandi penasaran. 

"Pergunakan ilmu yang kau miliki itu hanya pada jalan yang benar. Kakek khawatir, masih ada setitik amarah dalam dirimu." Pesan sang kakek, Lagi-lagi membuat mata bening berhias bulu lentik itu mengerjap. 

Sepak terjang Kakek yang telah puas dengan kejamnya dunia persilatan, membuat pria tua itu tau,  hati mana saja yang tulus dan palsu. 

___

Ketika langit mendatangkan kelam malam, menggilas terang menjadi gulita. Lalu menghamparkan benda berpijar, berserakan di angkasa raya. Menggiring angin lembut beraura mistis, menuntun sebagian makhluk melepas lelah dalam peraduan masing-masing. 

Namun, hal itu tak berlaku bagi seorang gadis muda. Tak peduli pekatnya malam kian mencekam, burung hantu dan longlongan hewan buas terdengar pada setiap sudut hutan. 

Tak peduli dengan badan bersimbah peluh, Srikandi terus bergerak. Mengayun pedang, menebas ruang kosong, mencipta keseimbangan seperti yang telah diajarkan dari sang Maha guru. 

Bayangan darah segar memuncrat dari mulut Ayah, membuat gerakannya semakin membabi buta. Tak peduli apapun di depan, tangannya terus menebas. Bayangan Ibu yang berteriak memilukan, digilir beberapa orang prajurit istana, membuat badan Srikandi melenting ke udara. 

Satu teriakan tertahan, dibawanya kembali. Sebuah pohon besar menjadi sasarannya, hanya dengan sekali tebasan ia tinggalkan dengan menjejak bumi. Pohon besar itu patah dan terjatuh ke tanah, menyisakan nafas memburu dalam dada yang masih bergolak. 

Samar suara tepukan tangan mengembalikan kesadarannya. Ada Kakek berdiri di hadapan dengan memasang kuda-kuda. Tanpa aba-aba, pria tua yang telah kenyang asam garam dunia persilatan itu melancarkan serangan bertubi. 

Srikandi yang masih menata nafas, ia kehilangan keseimbangan. Pedang ditangan malah tertangkis sang kakek, dan terlempar entah kemana. Beberapa kali hendak menangkis tangan Kakek yang bergerak seperti angin, ia tak kuasa. 

Satu pukulan Kakek mengenai punggung, membelit kedua tangan dari belakang. Srikandi tak dapat bergerak. 

"Amarah masih menutup logikamu, anak manis."

----***----

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sipik Rusli
ingin ikut baca tapi takut kecewa ceritanya takut tidak tamat juga. thor kira kira sampai tamat dak nulis novel ini?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Penyamaran

    Satu pukulan Kakek mengenai punggung, membelit kedua tangan dari belakang. Srikandi tak dapat bergerak. "Amarah masih menutup logikamu, anak manis." Tegas Kakek mengurai belitan tangannya pada kedua lengan sang cucu. Merasa tercambuk jiwa raga, Srikandi melepaskan diri, bergerak menjauh dengan kembali memasang kuda-kudanya. Bersiap menyerang Kakek. Serangan kedua pun gagal, kakek masih dengan mudahnya mematahkan pukulan dan tendangan dari sang gadis. Hingga Srikandi menyerah, melarikan diri dan duduk kesal di atas batu melebar. Suara terkekeh, membuatnya melepas nafas kasar. Biar bagaimanapun, ia masih belum bisa menandingi Kakek yang tingkat keilmuannya telah menggunung. Tak hanya itu, pengalaman lebih banyak mengajarkan segalanya. "Sampai kapanpun, penyerang tak akan pernah menang saat dibarengi dengan amarah. Amarah hanya akan menghilangkan konsentrasimu, nak." Kakek menyusul duduk di sebelah Srikandi. "Pikiran apa yang sedang mengganggu benakmu, cucuku?" Tanya Kakek menatap s

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Pembagian Tugas

    "Baiklah, saya akan mengumumkan hasil tes tadi. Seperti yang dibutuhkan yaitu sebanyak lima orang." Kepala pelayan itu mulai mengumumkan. Satu persatu nama telah disebut, hingga genap empat orang. Tinggal seorang lagi, Srikandi mendongak penasaran. "Nama yang terakhir adalah, Tirta Amarta." Srikandi tersenyum sumringah. Nama yang baru saja ia gunakan untuk mendaftar tadi, rupanya lolos juga. Maka, mulai saat ini dan seterusnya, namanya adalah Tirta Amarta. "Yang merasa namanya saya panggil tadi, silahkan ikut saya," Kepala pelayan itu menegaskan, membuat sebagian besar gerombolan gadis desa itu mendesah gelisah. Bubar dengan langkah lunglai. Rata-rata mereka adalah berasal dari kalangan petani, yang benar-benar sangat menginginkan pekerjaan ini. Menurut mereka, gajinya cukup besar. Sementara lima orang dengan nama terpanggil, menyusul wanita gempal memasuki lorong ruang panjang hingga tiba di ujungnya. Wanita tadi berhenti di depan pintu berjajar menyerupai deretan kamar. "Ini k

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Anak Baru

    "Yang ini, Permaisuri. Dia yang akan menggantikan pelayan lama, untuk menjadi pelayan pribadi permaisuri dan Baginda Raja." Hanya anggukan samar, lalu kembali pada posisi semula. Mungkin memang begitulah sikap seorang ningrat pada kasta rendah. Amarta meremang di tempatnya, tak sabar ingin menggantikan temannya itu untuk bisa bekerja di kamar luas ini. apalagi saat ia sempat beradu pandang dengan wanita yang memiliki derajat paling tinggi di negeri ini. Mendadak fokus untuk mendengarkan penjelasan Bibi menghilang, tergantikan oleh bayangan pembantaian pada penduduk satu wilayah saat itu. Mendadak pula, amarahnya kembali bergejolak. Teringat atas kejadian tak manusiawi, yang telah perintahkan oleh sang Raja. Raja ataupun permaisuri, mereka sama saja. Sama-sama pembunuh yang harus dibunuh. Mereka harus dibunuh! Mereka harus dibunuh! "Amarta, kau ini kenapa?" Deg! Ia tersadar, dan entah sejak kapan kedua tangannya itu mengepal di samping pahanya. Meremas pakaian yang ia kenakan. S

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Bertemu Baginda

    Marta menuangkan minuman dalam gelas sang Raja, dapat dilihat jelas bagaimana raut wajah itu. Apalagi sesaat tadi sang Raja pun sempat menatap ke arahnya. "Kau anak baru?" Suara bariton menggema, memenuhi gendang telinga. Mempercepat gerak jantung, jika tak diredam, bisa dipastikan meledak di tempat ini. Jika hal itu terjadi, ia menanggung malu. Dipecat, dan niat hanya tinggal niat belaka. Maka, sebelum menjawab, nafas berat ia tarik dalam-dalam. "Benar, Baginda." Dengan beberapa tanya berseliweran dalam benak. Kenapa hanya dirinya yang ditanya, padahal ada dua orang teman mondar-mandir di meja itu. Juga anak baru. Mereka tak ditanya, hanya Marta saja. Ia pikir, pertanyaan tadi hanya sekedar basa-basi sewajarnya saja. Namun, netra Baginda rupanya belum beralih dari wajah Marta, hingga gadis itu bingung hendak mengalihkan kemana. "Kau tinggal di mana? Apa aku pernah mengenalmu?" Tanya sang Raja membuat Marta mendongak seketika. "Maaf, Baginda. Mana mungkin baginda pernah melihat s

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Menghadap Baginda

    Gelas berbahan marmer yang ia bawa dari dapur tadi pecah. Berserakan di bawah meja. Belum sempat ia menutup gerakannya, Marta lebih dulu kaget. Nafas kacaunya makin kacau karena kedua tangan menutup mulut ternganga."Marta, apa yang terjadi?" Suara dari depan pintu kamar, membuat Marta tercengang seketika. Ia bingung, antara membuka pintu yang tergedor keras atau mengambil serpihan marmer di depan kakinya."Marta, apa yang terjadi? Buka pintunya!" Suara bibi kembali menggelegar di depan pintu, jika Marta tak segera membukanya, bisa dipastikan teman-teman sebelah kamar akan berhamburan keluar."Iya, Bibi. Sebentar," Ia ikut berteriak, mendekati pintu dan membukanya. Mendapati wajah Bibi yang menatap garang kepadanya, manik matanya bergerak-gerak penuh selidik."Ada apa, Bi?" Tanya Marta seolah tak terjadi apapun, ia menghalangi tengah pintu agar Bibi itu tak menerobos masuk ke kamarnya."Apa yang terjadi, saya tadi mendengar ada benda pecah dari kamarmu?" Tanya Bibi kian penasaran, Mar

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Tugas Baru

    "Duduklah." Ia pun lantas menurut titah sang Baginda. Menunggu beberapa saat karena bingung sendiri harus berkata apa. "Kau tau, sikapmu itu begitu menarik perhatianku?" Entah pernyataan atau pertanyaan, karena Baginda hanya terdengar menggumam lirih, dan itu membuat Marta tertegun heran. Melihat gadis itu nampak bingung, Baginda tersenyum hangat. Entah kenapa, tak hanya kecantikannya saja yang begitu menarik dari pelayan baru yang satu ini. Tapi sikapnya, keberaniannya itulah yang lebih menarik hati baginda. Karena baru kali ini menemukan gadis desa seberani dia. "Baru kali ini aku melihat ada pelayan perempuan yang berani sepertimu. Siapa kau sebenarnya?" Tanya Baginda dengan tatapan tak beralih dari wajah Marta, hingga gadis itu merasa risih dipandangi demikian. Sebab sejak kecil, ia hanya dekat dengan lelaki dari keluarganya sendiri. Juga kakek yang merawatnya hingga dewasa. "Kenapa kau tadi dengan berani berkata jujur, dan membantu kepala pelayan itu?" Tanya Baginda lagi, kar

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Menemani Permaisuri

    "Ada yang salah, Bi?" Tanya Marta heran sendiri, kemudian bibi mengerjap sambil menggeleng pelan. "Kau hari ini terlihat lebih segar," Bibi memberikan komentar. "Tentu saja, bertugas di depan orang nomor satu, masa iya masih disamakan dengan bertugas di dapur, Bi? Benarkan?" Marta berlalu, meninggalkan Bibi yang masih bengong seorang diri. "Marta, tunggu! Kau mau kemana?" Teriak Bibi menyusul pegawai barunya. Ia khawatir gadis muda itu masuk begitu saja ke kamar sang raja tanpa ucapan yang jelas. Beruntung ia masih menemukan Marta cukup jauh dari kamar sang raja. Langkah gadis itu terhentak cepat, menandakan ia tak sabar lagi ingin segera bertemu dengan baginda dan permaisuri di kamarnya. "Marta, tunggu dulu!" Bibi menangkap lengan Marta yang lantas berbalik cepat. Reflek ingin menangkis tangan penyusul, dan membuat bibi tercengang. Tercipta rasa takut seketika. "Oh, Bibi? Maaf, saya kira tadi siapa," Ucap gadis itu menata nafasnya. Sementara ia khawatir melihat raut wajah Bi

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Curiga

    "Dia tadi mengamati tempat ini, seperti tertarik dengan proses latihan para prajurit.""Memangnya kenapa kalau dia tertarik?""Memangnya kenapa? Siapa tau saja memang dia bukan pelayan biasa.""Maksudmu?" Sang teman bertanya heran, mungkin belum paham tentang maksud panglima yang hingga kini masih menatap sosok pelayan. "Semoga saja ini hanya pikiranku sendiri." Panglima menggeleng. Pria itu sebenarnya curiga, tetapi belum berani untuk menyimpulkan apapun. "Kau curiga padanya?""Yah, tapi aku belum mendapatkan kepastian. Biar aku nanti bicara langsung dengan baginda. Mengusulkan padanya agar pelayan pribadi ditambah.""Ah, kau ini ada-ada saja. Masa menaruh curiga dengan seorang pelayan perempuan. Kalau dia memang bukan pelayan biasa, apa maksudnya pula? Benar, kan?" Yang satu menimpali. Panglima mengangguk membenarkan. "Kau benar. Tetapi jangan salah, posisi seperti baginda dan permaisuri itu banyak yang menginginkan. Banyak pula orang-orang di luar sana yang iri dengan mereka.""

Latest chapter

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Akan Menikah

    Ia kini dihadapkan kembali dengan persiapan serangan yang lebih dari sebelumnya. Namun, sebelum itu, Tiba-tiba ada sosok lain yang datang membantu. Melemparkan satu tendangan dan membuat mereka bertiga langsung terjatuh bersamaan. Sosok itu beberapa detik masih berdiri membelakangi Marta, hingga ia tak bisa melihat siapa. Apalagi di malam gelap seperti ini. Ia hanya bisa melihat, bahwa tiga orang jahat tadi saling menarik satu sama lain.Mereka berlari tunggang-langgang, meninggalkan Marta tercengang seorang diri. Dalam kepalanya mulai disinggahi rasa khawatir akan sosok yang tak juga membalikkan badan. Ia perlahan mendekat, dan semakin diamati, postur badan itu seperti tidak asing. Namun Marta tak berani menyimpulkan terlalu cepat. "Terimakasih, tuan. Telah membantu saya," Ucapnya pada sosok pria yang masih menyembunyikan wajah. Marta bisa melihat sosok itu, dari ujung kaki hingga ujung kepala yang mengenakan topi bambu. Pria itu, perlahan membalikkan badan. Marta tercengang. Tak

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Malam Dingin

    "Memang, apa kau tidak ingin terbuka dengan orang lain? Jangan hanya menutup diri seperti kemarin." Gading tak segera menjawab, pria itu malah menatapnya lekat-lekat, dengan pandangan yang tak bisa dimengerti."Kalau aku membuka hati, apa kau mau menerimanya?" Marta tercengang, baru menyadari bahwa pertanyaan tadi telah menjebak dirinya sendiri.Tak tau harus menjawab apa, kini Marta hanya menahan nafas dengan mengalihkan pandangannya. "Jadi bagaimana, Marta?" Tanya gading lagi, sebab belum mendapatkan jawaban. Sementara sang gadis seperti tak paham bahwa yang diajak bicara sangat mengharapkan jawaban."Aku, aku tidak paham dengan arah pembicaraanmu, Gading. Sebenarnya bagaimana?" Untuk lebih jelasnya, ia memang membutuhkan itu."Apa kau tidak paham juga, Marta? Saat ini aku sangat membutuhkan seorang teman yang bisa membuat hatiku kembali hidup seperti dulu." Marta belum berani menyahut, sebab dari sinipun sebenarnya ia telah mengerti."Tolong berikan hatimu padaku, Marta." Tiba-tiba

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Meluluhkan Gading

    Keduanya berhenti akibat berpapasan dengan pohon besar, dengan posisi Marta berada di bawah badan Gading yang sama-sama membelalak kaget.Satu detik, dua detik. Marta bisa merasakan detak jantung Gading yang memacu cepat. Secepat pria itu membawanya berlari tadi. Setelah beberapa saat lamanya saling menatap, dan mengagumi dalam hati, Gading tersadar."Maaf." Pria itu spontan berdiri, tanpa menghiraukan Marta yang kepayahan menegakkan badan akibat tertindih olehnya.Dan sesaat setelah ia berhasil berdiri di depan Gading, Marta membelalak. Tak jauh di belakang pria itu, kucing besar tadi menyusul. Ia langsung menghunus anak panah di punggung gading, dan melemparkan tanpa perhitungan.Namun, ketika Gading menoleh, hewan itu telah menggelepar kesakitan. Tak lama, nafas terakhirnya pun menghembus panjang, kemudian badannya tak bergerak lagi."Dia ... Kau, membunuhnya?" Gading bergumam, wajahnya setengah tak percaya."Dia sangat berbahaya. Jadi biarkan saja mati," Jawab Marta berlalu dari h

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Berburu Dengan Gading

    Hanya Marta sesekali melirik, memperhatikan tangan kekar itu. Yang ternyata begitu telaten membersihkan kelinci, hingga memotong-motongnya menjadi beberapa bagian kecil yang siap dimasak. "Ambilkan panci itu." Suara gading terdengar, dan Marta sengaja acuh. Tetap fokus dengan sayuran di kedua tangannya. Dalam hati ingin melihat, bagaimana reaksi pria itu jika diperlakukan demikian. "Kau dengar, tidak?""Aku?" Marta malah bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Sementara yang tadi bertanya itu, kini berdecak kesal. "Mau menantang, kau rupanya?" Entah apa yang akan dilakukan, tangan Gading mendekati kepala Marta, dan tanpa ia sadari tiba-tiba lengannya terhempas kasar. Pria itu mendongak kaget, tak menyangka Marta gadis ini memiliki kecepatan luar biasa. Bahkan di saat ia belum sempat mengedipkan mata. Penasaran, gading kembali menggerakkan tangan, dan tangkisan Marta lebih tegas dari sebelumnya. Ia kini membelalak, apalagi melihat gadis cantik itu berdiri. Menatapnya dengan senyu

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Teman Untuk Gading

    "Siapa suruh tidak makan," Celetuk Gading benar-benar membuat hati sakit. Andai saja kondisinya sehat, akan ia semprot dengan kalimat serupa. Dasar! Marta kini hanya bisa mengumpat dalam hati.Hanya ada sisa nasi beberapa butir, karena perut yang tak bisa lagi diajak bersabar, ia jumput nasi itu, dan makan. Aktifitas itu, sebenarnya tak luput dari pandangan aneh gading yang tak bisa dideskripsikan.Pria itu, sebenarnya sempat tertegun melihat sosok di depannya. Namun, tak ingin terlalu lama, Gading membuang wajah ke arah pintu.Sementara di sana, Marta tak menyadari. Setelah minum air dingin beberapa teguk, ia akan kembali ke kamar. Dengan langkah gontainya tadi, ia kadang jadi kehilangan keseimbangan, yang menyebabkan badannya oleng. Hampir ambruk, tetapi untung ia segera bisa membenahi posisi.Akan semakin kesal pria itu, jika ia harus merepotkan. Marta kembali ke kamar dan merebah lelah.Di luar kamar itu, gading mungkin penasaran tentang apa yang terjadi pada tamu perempuannya. Ia

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Demam

    Marta kesal, ia lemparkan daging tadi ke sebelah Gading yang kemudian mendongak kaget. "Dasar, manusia batu!" Umpat Marta berlari ke kamarnya. Sementara pria yang dikatakan manusia batu itu hanya melirik ke arah pintu yang masih bergerak akibat ditutup keras. Setelahnya, gading mengalihkan sorot mata pada beberapa tusuk daging, yang mungkin memang sengaja diperuntukkan baginya. Ia ambil tusukan mirip sate itu, menghirupnya sekilas dan menarik satu potong paling ujung menggunakan giginya. Gading menikmati, ia bergumam dalam hati, ternyata, gadis yang baginya cerewet itu pintar memasak. Gading membaringkan badan setelah menghabiskan semua sate tadi, dan membiarkan tusuknya tetap berserakan di samping badan. Bahkan hingga pagi, hingga Marta terbangun oleh hawa dingin tak biasa. Gadis itu mendekati tungku dan menyalakannya, di saat semua orang di rumah ini belum terdengar bangun. Marta memilih menghangatkan badannya di depan tungku. "Wah, wah. Kau rupanya sudah bangun, ya?" Suara Ibu

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Manusia Batu

    "Makanan masih ada, Gading.""Pasti perempuan tak diundang ini, yang telah menghabiskannya!" Mendengar suara sengit, Marta mendongak kesal."Maaf, tuan gading. Makanan masih ada. Jika anda belum kenyang dengan nasi ini, nanti akan saya buatkan untuk Anda," Marta menyahut. Gading tak menjawab, hanya mendengus kesal sambil menarik kasar bakul nasi yang berada di depan Marta.Dalam bakul itu, memang hanya tinggal seporsi nasi, dan pas untuk satu orang saja. Mungkin, bagi Gading yang baru saja pulang dari berburu, porsi itu masih kurang.Orang tua gading tak ikut bersuara, sebab mereka sibuk menyiapkan entah. Hanya saja si ibu kemudian duduk di dekat anaknya, dan bertanya. "Gading. Nanti, kau tidur di sini, ya. Biar Marta yang tidur di kamarmu.""Apa? Enak saja. Sudah numpang, masih mengganggu kamarku? Tidak, bu. Aku tidak mau!" Gading menjawab sengit. Nampaknya, pemuda itu memang angkuh dan egois. Terlihat sekali bahwa sosok itu susah diajak bekerjasama."Bu, tidak apa-apa. Biar saya yan

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Bertemu Orang Baik

    Bagas berhenti, menyandarkan punggung di tembok sambil memegangi keningnya. "Tuan bagas. Anda baik-baik saja?" Suara Bibi mendekat. Ia mengangguk lemah, ini pasti akibar dari perutnya yang kosong sejak pagi."Tidak apa-apa, Bibi. Aku hanya lapar," Jawabnya."Ya ampun, tuan. Kenapa tidak makan dulu, mari saya antar ke tempat makan." Bagas menurut, mengikuti langkah wanita itu di belakangnya.Hingga tiba di tempat biasa bagas makan bersama baginda, Mahesa dan semua penduduk istana. Kini, Bagas duduk di depan meja yang di atasnya terdapat banyak sekali menu makanan lezat.Ia membiarkan beberapa pelayan mengisi piring dan gelasnya, lalu memintanya makan seperti biasa. Namun, ada yang tak biasa sore ini. Bagas enggan makan, meski rasa perut keroncongan sejak tadi.Suasana sunyi, terasa lebih mencekam, apalagi di hatinya kehilangan dua orang sekaligus. Bukan segera makan, ia hanya memainkan nasi dengan jemarinya.Marta, nama itu masih berputar cepat dalam ingatan. Meski rasa benci, memaksan

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Semua Terungkap

    Kini, ia kembali ke istana. Dan menghembus berat saat melihat semua orang istana berkumpul di tempat yang sama. Hatinya menyimpulkan sesuatu yang buruk tentang Baginda. Ia berlari mendekati Mahesa yang berada di pinggir, pria yang tersedu-sedu, dengan sesekali menyeka air mata. "Pangeran?" Teriaknya, menyentuh bahu sang Kakak yang kemudian menatap tajam. "Kemana saja kau?" Tanya Mahesa kesal, "lihatlah, Wyah kita telah tiada."Tak menjawab, Bagas menoleh ke arah yang ditunjukkan Mahesa. Nafasnya kemudian memberat. "Siapa yang telah melakukan semua ini, Bagas?" Pertanyaan yang tak mungkin ia jawab. Bagas malah menjauhi, berjalan mendekati jenazah Baginda yang telah selesai dimandikan. "Hey!" Mahesa menyusul, menyentuh kasar pundak Bagas yang mengabaikan pertanyaaia nnya. Ia menoleh, menatap lembut wajah Lakak yang penuh duka. "Kakak, untuk saat ini, kita urus dulu jenazah Ayah, ya. Baru setelah itu, kita bahas kejadiannya. Menurut, Mahesa mengangguk lemah. Menyusul Bagas berjalan m

DMCA.com Protection Status