Gelas berbahan marmer yang ia bawa dari dapur tadi pecah. Berserakan di bawah meja. Belum sempat ia menutup gerakannya, Marta lebih dulu kaget. Nafas kacaunya makin kacau karena kedua tangan menutup mulut ternganga.
"Marta, apa yang terjadi?" Suara dari depan pintu kamar, membuat Marta tercengang seketika. Ia bingung, antara membuka pintu yang tergedor keras atau mengambil serpihan marmer di depan kakinya.
"Marta, apa yang terjadi? Buka pintunya!" Suara bibi kembali menggelegar di depan pintu, jika Marta tak segera membukanya, bisa dipastikan teman-teman sebelah kamar akan berhamburan keluar.
"Iya, Bibi. Sebentar," Ia ikut berteriak, mendekati pintu dan membukanya. Mendapati wajah Bibi yang menatap garang kepadanya, manik matanya bergerak-gerak penuh selidik.
"Ada apa, Bi?" Tanya Marta seolah tak terjadi apapun, ia menghalangi tengah pintu agar Bibi itu tak menerobos masuk ke kamarnya.
"Apa yang terjadi, saya tadi mendengar ada benda pecah dari kamarmu?" Tanya Bibi kian penasaran, Marta mengikuti ke arah mana saja badan Bibi yang melongok kesana kemari.
"Tidak apa-apa, Bi."
"Minggir! Pasti terjadi sesuatu di kamarmu, iya kan?" Desak Bibi berhasil menerobos masuk. Marta yang tak bisa menghalau, membiarkan saja wanita itu masuk.
Ia mendesah pasrah ketika bibi menatap kaget serpihan benda di permukaan lantai kamar. Menatap tajam, bergantian antara benda itu dan Marta. "Apa ini?" Tanya Bibi, dengan menunjuk arah pecahan gelas, sementara tatapannya menghunus ke arah Marta.
Gadis itu menggaruk kepala yang tak gatal, ia baru sadar, di tempat ini, kesalahan sedikit saja pasti akan ketahuan. "Hehe, maaf, Bi." Tawa jenaka ia suguhkan untuk meredam amarah Bibi. Namun ia malah dihadiahi ujung telunjuk di depan hidungnya.
"Kau benar-benar pegawai baru yang ceroboh, Marta!" Desis wanita itu, mungkin telah habis kata untuk mengekspresikan kekesalannya terhadap Marta. Sementara yang dituding itu malah senyam-senyum sendiri, seperti tak pernah merasa bersalah.
"Baru kali ini aku menemukan pegawai baru yang cengengesan sepertimu, Marta. Baru saja membuat kesalahan malah senyam-senyum tanpa dosa!" Rutuk Bibi meluapkan semua kekesalannya di tengah malam yang sunyi ini.
Di tengah malam yang semua orang telah terlelap dalam tidurnya. Marta pikir, tengah malam begini telah tak ada orang yang bangun. Rupanya ia salah. Kepala pelayan itu masih saja berkeliling di lorong-lorong ruangan, untuk memastikan semua pelayan tertidur tanpa membuat kegaduhan.
Marta kembali kaget saat melihat keluar kamar, di sana telah berjubel orang sedang memperhatikannya dan Bibi. Ah, tamatlah riwayatku! Rutuknya dalam hati.
Maka sesegera mungkin ia buat dirinya benar-benar merasa bersalah. Dan baru saja membuat kesalahan fatal.
"Ada apa ini?" Suara itu menghentikan riuh gumaman semua orang. Semua mata kemudian tertuju pada sosok yang baru datang, tak terkecuali Marta dan Bibi.
"Baginda?" Gumam bibi memerosotkan badannya ke tanah. Duduk bersimpuh saat melihat baginda masuk ke kamar sempit itu. Begitupun Marta, saat mengetahui ada sang raja masuk kamarnya, ia mengikuti Bibi di sana.
"Apa yang terjadi, Bibi?" Tanya Baginda dengan kedua tangan bersedekap di depan dada.
"Mohon maaf atas keteledoran saya, baginda. Ada pegawai baru yang baru saja memecahkan gelas istana, saya siap dihukum, baginda." Bibi menangkup kedua tangan ke depan dada. Kemudian samakin diangkat tinggi, seiring kepalanya yang makin menunduk dalam. Hampir bersujud di kaki sang raja.
"Hm. Kau tau Bibi, apapun kesalahan pegawai itu adalah tanggungjawabmu?" Baginda bertitah, membuat Bibi benar-benar bersujud di kaki rajanya. Hal itu tentu saja membuat hati Marta berteriak tak Terima.
"Tidak, Baginda." Marta ikut bersuara, mengangkat wajah dari sembah sujudnya. "Ini adalah kesalahan saya. Jadi saya yang harus bertanggungjawab, bukan Bibi." Ia kembali menegaskan. Membuat sang raja tertarik menatap gadis kecil pegawai baru itu.
Baginya, baru kali menemukan seorang pelayan istana yang tampil seberani ini. Apalagi gadis muda dari daerah pinggiran, bukankah itu merupakan poin tersendiri?
Maka tak hanya baginda yang memasang wajah kaget, Bibi justru lebih dari itu. Ia menyenggol kasar Marta, membisikkan kalimat yang baginda pun dapat mendengar. "Jaga sikapmu, Marta. Kau telah lancang di depan baginda!"
"Bibi, sudah. Biar pegawai barumu ini langsung menghadap saya." Kalimat tadi menjadi suara terakhir baginda sebelum pergi meninggalkan kamar yang dikerubungi banyak orang. Termasuk beberapa prajurit penjaga malam yang kebetulan mendengar kejadian itu.
Bibi sebenarnya ingin menyampaikan protes, karena selama ini ialah yang biasanya bertanggungjawab. Namun, saat ia mendongak, sosok berdiri tadi telah enyah dari tempatnya.
Wanita itu menatap nanar ke arah Marta. Dari tatapannya menyiratkan rasa terimakasih, juga kekhawatiran jika Marta sendiri yang akan dihukum dengan kesalahan tadi.
Marta tau itu, maka ia tersenyum hangat pada Bibi. Menepuk pundak untuk menenangkannya. "Bibi tidak perlu risau, saya akan menghadap baginda seorang diri."
"Tapi, Marta. Kau .... " Marta yang akan berdiri masih terhalang, karena kedua tangannya tiba-tiba digenggam Bibi dengan tatapan berlinang.
"Bibi jangan khawatir. Sudah sepantasnya saya yang bertanggung jawab atas kesalahan yang saya lakukan, bukan?" Dengan lembut Marta melepas belitan jemari yang menggenggam erat tangannya.
"Marta," Suara Bibi kembali menghentikan langkah Marta yang mendekati pintu, semua orang turut menatap penuh arti pada mereka berdua. "Terimakasih, telah membantu meringankan hukuman saya," Suara Bibi bergetar, terucap tulus dari sudut bibirnya.
Marta tak menjawab, hanya tersenyum sekilas dan mengangkat kakinya. Pergi dari tempat itu, menyibak kerumunan orang yang kemudian ikut bubar usai kepergian Marta.
Malam sunyi ini, seorang pegawai baru datang seorang diri ke ruang pribadi milik sang raja. Sepanjang jalan, Marta diliputi rasa penasaran dan cemas, menemani langkah demi langkah. Hingga ia tiba di depan pintu yang ditunggu dua orang penjaga berseragam, memegang perisai dan tongkat.
Saat tiba di depan dua orang itu, badan Marta meremang. Kembali teringat ratusan mayat bergelimpangan di depan rumah, dan rombongan berseragam seperti ini saling tertawa. Bangga atas pencapaiannya.
Jika tak ingat tempat dan tujuannya datang kemari, tangan yang mengepal sejak tadi itu sudah ia lepaskan untuk melumpuhkan keduanya. Namun, dengan segenap kekuatan, ia redam amarah itu dengan hembusan nafas berkali-kali.
"Tunggu di sini sebentar," Tegas salah satu, menghadang wajah Marta menggunakan ujung tombak. Sementara yang satunya lagi masuk ke dalam, mungkin memberitahu baginda, bahwa ada orang yang akan menghadap.
Ketika penjaga tadi keluar dan saling menganggukkan kepala, salah satu membukakan pintu. "Silahkan," Ucapnya. Marta melewati keduanya setelah mengangguk cepat.
Di dalam, Marta harus berjalan beberapa meter untuk menemui di mana sebenernya ruangan baginda. Ia bahkan masih melewati dua kali belokan membingungkan. Baru bisa melihat baginda berdiri tegap membelakangi meja.
Marta berdiri sejenak, bingung bagaimana caranya untuk memberikan salam pada orang paling dihormati di negeri ini. "Selamat malam, Baginda," Ucap Marta sebisanya. Memang ia tak tau bagaimana caranya saat bertamu pada orang besar.
Sosok yang tadi berdiri tegak tadi menoleh perlahan, tak segera menjawab, malah mengamati penampilan Marta dari atas ke bawah. "Gadis muda, siapa namamu?" Suara berat keluar dari mulut Baginda.
"Saya Marta, Baginda." Seperti yang diajarkan Bibi, ia menangkupkan kedua tangan dengan kepala menunduk penuh hormat.
"Duduklah." Ia pun lantas menurut titah sang baginda. Menunggu beberapa saat karena bingung sendiri harus berkata apa.
"Kau tau, sikapmu itu begitu menarik perhatianku?"
***
M
"Duduklah." Ia pun lantas menurut titah sang Baginda. Menunggu beberapa saat karena bingung sendiri harus berkata apa. "Kau tau, sikapmu itu begitu menarik perhatianku?" Entah pernyataan atau pertanyaan, karena Baginda hanya terdengar menggumam lirih, dan itu membuat Marta tertegun heran. Melihat gadis itu nampak bingung, Baginda tersenyum hangat. Entah kenapa, tak hanya kecantikannya saja yang begitu menarik dari pelayan baru yang satu ini. Tapi sikapnya, keberaniannya itulah yang lebih menarik hati baginda. Karena baru kali ini menemukan gadis desa seberani dia. "Baru kali ini aku melihat ada pelayan perempuan yang berani sepertimu. Siapa kau sebenarnya?" Tanya Baginda dengan tatapan tak beralih dari wajah Marta, hingga gadis itu merasa risih dipandangi demikian. Sebab sejak kecil, ia hanya dekat dengan lelaki dari keluarganya sendiri. Juga kakek yang merawatnya hingga dewasa. "Kenapa kau tadi dengan berani berkata jujur, dan membantu kepala pelayan itu?" Tanya Baginda lagi, kar
"Ada yang salah, Bi?" Tanya Marta heran sendiri, kemudian bibi mengerjap sambil menggeleng pelan. "Kau hari ini terlihat lebih segar," Bibi memberikan komentar. "Tentu saja, bertugas di depan orang nomor satu, masa iya masih disamakan dengan bertugas di dapur, Bi? Benarkan?" Marta berlalu, meninggalkan Bibi yang masih bengong seorang diri. "Marta, tunggu! Kau mau kemana?" Teriak Bibi menyusul pegawai barunya. Ia khawatir gadis muda itu masuk begitu saja ke kamar sang raja tanpa ucapan yang jelas. Beruntung ia masih menemukan Marta cukup jauh dari kamar sang raja. Langkah gadis itu terhentak cepat, menandakan ia tak sabar lagi ingin segera bertemu dengan baginda dan permaisuri di kamarnya. "Marta, tunggu dulu!" Bibi menangkap lengan Marta yang lantas berbalik cepat. Reflek ingin menangkis tangan penyusul, dan membuat bibi tercengang. Tercipta rasa takut seketika. "Oh, Bibi? Maaf, saya kira tadi siapa," Ucap gadis itu menata nafasnya. Sementara ia khawatir melihat raut wajah Bi
"Dia tadi mengamati tempat ini, seperti tertarik dengan proses latihan para prajurit.""Memangnya kenapa kalau dia tertarik?""Memangnya kenapa? Siapa tau saja memang dia bukan pelayan biasa.""Maksudmu?" Sang teman bertanya heran, mungkin belum paham tentang maksud panglima yang hingga kini masih menatap sosok pelayan. "Semoga saja ini hanya pikiranku sendiri." Panglima menggeleng. Pria itu sebenarnya curiga, tetapi belum berani untuk menyimpulkan apapun. "Kau curiga padanya?""Yah, tapi aku belum mendapatkan kepastian. Biar aku nanti bicara langsung dengan baginda. Mengusulkan padanya agar pelayan pribadi ditambah.""Ah, kau ini ada-ada saja. Masa menaruh curiga dengan seorang pelayan perempuan. Kalau dia memang bukan pelayan biasa, apa maksudnya pula? Benar, kan?" Yang satu menimpali. Panglima mengangguk membenarkan. "Kau benar. Tetapi jangan salah, posisi seperti baginda dan permaisuri itu banyak yang menginginkan. Banyak pula orang-orang di luar sana yang iri dengan mereka.""
"Apa mungkin rombongan pemberontak itu mengirimkan mata-mata dan membunuh istri saya?" Gumam Baginda hanya dengan menatap nanar hidangan di atas meja. "Apa Baginda tidak menaruh curiga pada salah satu orang dalam istana ini?" Panglima angkat bicara, membuat semua yang duduk di depan meja itu mendongak heran. Pun dengan Marta yang duduk tak jauh dari mereka. "Curiga? Apa maksudmu, panglima?" Tanya Baginda tentu saja, lelah dengan tugas sebagai petinggi negara, pria berumur itu mungkin tak sempat menaruh rasa curiga pada siapapun dalam istana. Yang ada dalam benaknya selama ini adalah rumor tentang sisa rombongan pemberontak waktu itu, kini masih bertahan dan semakin menghimpun kekuatan. Negeri ini sedang dalam ancaman, itulah yang selama ini Baginda pikirkan. Tak hanya Baginda yang menaruh heran pada pertanyaan Panglima tadi, tetapi semua yang ada di tempat itu. Mereka menatap penuh tanya. Sementara Panglima menggeleng samar, dalam hati pun ikut meredam rasa curiga tanpa dasar i
Bahkan menunggui saat Marta meracik teh pesanan baginda. "Ada apa, Panglima? Apa anda memesan teh juga?" Tanya Marta berniat mencairkan suasana. Namun pria itu memberikan jawab menusuk. "Aku hanya sedang memastikan, kau tak memberikan sesuatu pada minuman itu.""Ah, panglima ini. Ada-ada saja," Ucap Marta mengerling genit yang dibuat-buat. Ia bahkan hendak menyentuh lengan berotot panglima yang tercetak dari balik baju panjang. Namun, saat belum tiba tangan itu, panglima telah menyingkir sambil mendengus kesal. "Kau ini licik, juga pandai merayu laki-laki!" Desis pria itu menatap jijik. Bukannya tak nyaman dengan kalimat ketus itu, Marta justru terkekeh tak habis pikir. Dalam hatinya mengatakan, pandai juga orang ini membaca gerak-gerik orang lain. "Benarkan, coba Anda pikirkan. Kalau aku yang bertindak atas semua ini, apa tujuanku, hm? Seorang gadis Desa yang tak punya apapun dan dukungan dari manapun di tempat ini.""Lagipula, kenapa anda curiga sekali padaku? Apa anda punya bukt
Setelah melayani sang Raja sejak sore tadi, kini saatnya Marta duduk seorang diri di teras belakang. Menikmati semilir angin malam, yang kadang mengharuskannya memeluk diri. "Kau sendirian saja di sini?" Seseorang bertanya, membuat Marta menoleh kaget. Apalagi saat menemukan sosok berdiri tegak di depan dengan jarak beberapa meter, seorang pria yang menolongnya pagi itu di pasar. "Kau, di sini?" Gumamnya seraya bangkit dari duduk, ia mengerjap saat pria yang katanya memiliki nama bagas itu mendekat. "Kenapa bisa di sini?" Belum mendapatkan jawaban, Marta mencecar pria itu karena rasa penasarannya. "Ceritanya panjang," Ucap bagas menyusul Marta duduk di sebelahnya. Pria berwajah tampan itu terlihat semakin rupawan saat berbicara sambil tersenyum. "Tapi yang jelas, saat ini aku juga mendapatkan pekerjaan di sini. Jadi, kita bisa bisa bertemu setiap hari." Bagas mengerling nakal, sementara Marta menyipit heran. Ia berdecak, tetapi rasa penasaran mendorongnya kembali bertanya. "Kau be
"Aman, kan? Silahkan diminum." Marta berseru, tetapi pria tadi malah membalikkan badan dan pergi sambil menggerutu. Meninggalkan gadis pelayan yang kemudian mengedikkan bahu tak peduli, kejab kemudian Marta tersenyum geli. Baru menyadari kesalahan kecil yang ia lakukan pada Panglima tadi. Memang siapa yang tak langsung melarikan diri setelah diberikan minuman sisa? Ia mengikik sendiri, membawa gelas itu berjalan melewati pintu dapur. Langkahnya pelan, seperti sedang memberikan keseimbangan badan badan agar gelas yang ia bawa isinya tidak beriak. Saat melangkah keluar pintu, Marta dibuat kaget oleh sosok yang ternyata masih menungguinya di pinggiran pintu sebelah luar. Saking kagetnya, ia nyaris menjatuhkan gelas di tangan. Untungnya, sosok itu segera membantunya memegangi gelas. Marta tersenyum nyengir. "Panglima masih di sini?" Gumam gadis itu yang tak lantas dijawab oleh panglima, melainkan hanya dengusan kecil dengan wajah berpaling, dan tangan menjauh dari gelas Marta. Namun d
"Tidak apa. Apa kau punya masalah dengan orang itu?" Tanya Bagas, Marta hanya menggeleng. "Sepertinya, dia juga menyukaimu.""Hah?" Pria yang mengaku sebagai Bagaskara itu terkekeh melihat respon Marta. Sementara gadis itu memang merasakan hal aneh dari Panglima yang sejak awal sering membuntuti. "Kenapa kaget?" Tanya bagas memicing, menemukan sepasang mata indah yang saat ini diarahkan ke lantai. Gadis itu hanya menggeleng dengan senyuman tipis. "Maaf, tuan Bagas. Saya harus segera menemui Baginda," Marta berpamitan, dan ia berlalu cepat, bahkan sebelum Bagas menjawabnya. Marta tergesa-gesa menemui Baginda di kamar, karena biasanya ia yang akan menyiapkan keperluan Raja itu sebelum makan pagi. Namun, karena lagi ini ia begitu lama di belakang, sang raja telah tak ada di kamarnya. "Baginda telah pergi? Ini pasti karena dua orang pria yang dengan sengaja memperlambat pekerjaanku," Rutuknya tak habis pikir. Biar saja jika mereka mengatakan suka padanya. Toh ke tempat ini, ia tak be
Ia kini dihadapkan kembali dengan persiapan serangan yang lebih dari sebelumnya. Namun, sebelum itu, Tiba-tiba ada sosok lain yang datang membantu. Melemparkan satu tendangan dan membuat mereka bertiga langsung terjatuh bersamaan. Sosok itu beberapa detik masih berdiri membelakangi Marta, hingga ia tak bisa melihat siapa. Apalagi di malam gelap seperti ini. Ia hanya bisa melihat, bahwa tiga orang jahat tadi saling menarik satu sama lain.Mereka berlari tunggang-langgang, meninggalkan Marta tercengang seorang diri. Dalam kepalanya mulai disinggahi rasa khawatir akan sosok yang tak juga membalikkan badan. Ia perlahan mendekat, dan semakin diamati, postur badan itu seperti tidak asing. Namun Marta tak berani menyimpulkan terlalu cepat. "Terimakasih, tuan. Telah membantu saya," Ucapnya pada sosok pria yang masih menyembunyikan wajah. Marta bisa melihat sosok itu, dari ujung kaki hingga ujung kepala yang mengenakan topi bambu. Pria itu, perlahan membalikkan badan. Marta tercengang. Tak
"Memang, apa kau tidak ingin terbuka dengan orang lain? Jangan hanya menutup diri seperti kemarin." Gading tak segera menjawab, pria itu malah menatapnya lekat-lekat, dengan pandangan yang tak bisa dimengerti."Kalau aku membuka hati, apa kau mau menerimanya?" Marta tercengang, baru menyadari bahwa pertanyaan tadi telah menjebak dirinya sendiri.Tak tau harus menjawab apa, kini Marta hanya menahan nafas dengan mengalihkan pandangannya. "Jadi bagaimana, Marta?" Tanya gading lagi, sebab belum mendapatkan jawaban. Sementara sang gadis seperti tak paham bahwa yang diajak bicara sangat mengharapkan jawaban."Aku, aku tidak paham dengan arah pembicaraanmu, Gading. Sebenarnya bagaimana?" Untuk lebih jelasnya, ia memang membutuhkan itu."Apa kau tidak paham juga, Marta? Saat ini aku sangat membutuhkan seorang teman yang bisa membuat hatiku kembali hidup seperti dulu." Marta belum berani menyahut, sebab dari sinipun sebenarnya ia telah mengerti."Tolong berikan hatimu padaku, Marta." Tiba-tiba
Keduanya berhenti akibat berpapasan dengan pohon besar, dengan posisi Marta berada di bawah badan Gading yang sama-sama membelalak kaget.Satu detik, dua detik. Marta bisa merasakan detak jantung Gading yang memacu cepat. Secepat pria itu membawanya berlari tadi. Setelah beberapa saat lamanya saling menatap, dan mengagumi dalam hati, Gading tersadar."Maaf." Pria itu spontan berdiri, tanpa menghiraukan Marta yang kepayahan menegakkan badan akibat tertindih olehnya.Dan sesaat setelah ia berhasil berdiri di depan Gading, Marta membelalak. Tak jauh di belakang pria itu, kucing besar tadi menyusul. Ia langsung menghunus anak panah di punggung gading, dan melemparkan tanpa perhitungan.Namun, ketika Gading menoleh, hewan itu telah menggelepar kesakitan. Tak lama, nafas terakhirnya pun menghembus panjang, kemudian badannya tak bergerak lagi."Dia ... Kau, membunuhnya?" Gading bergumam, wajahnya setengah tak percaya."Dia sangat berbahaya. Jadi biarkan saja mati," Jawab Marta berlalu dari h
Hanya Marta sesekali melirik, memperhatikan tangan kekar itu. Yang ternyata begitu telaten membersihkan kelinci, hingga memotong-motongnya menjadi beberapa bagian kecil yang siap dimasak. "Ambilkan panci itu." Suara gading terdengar, dan Marta sengaja acuh. Tetap fokus dengan sayuran di kedua tangannya. Dalam hati ingin melihat, bagaimana reaksi pria itu jika diperlakukan demikian. "Kau dengar, tidak?""Aku?" Marta malah bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Sementara yang tadi bertanya itu, kini berdecak kesal. "Mau menantang, kau rupanya?" Entah apa yang akan dilakukan, tangan Gading mendekati kepala Marta, dan tanpa ia sadari tiba-tiba lengannya terhempas kasar. Pria itu mendongak kaget, tak menyangka Marta gadis ini memiliki kecepatan luar biasa. Bahkan di saat ia belum sempat mengedipkan mata. Penasaran, gading kembali menggerakkan tangan, dan tangkisan Marta lebih tegas dari sebelumnya. Ia kini membelalak, apalagi melihat gadis cantik itu berdiri. Menatapnya dengan senyu
"Siapa suruh tidak makan," Celetuk Gading benar-benar membuat hati sakit. Andai saja kondisinya sehat, akan ia semprot dengan kalimat serupa. Dasar! Marta kini hanya bisa mengumpat dalam hati.Hanya ada sisa nasi beberapa butir, karena perut yang tak bisa lagi diajak bersabar, ia jumput nasi itu, dan makan. Aktifitas itu, sebenarnya tak luput dari pandangan aneh gading yang tak bisa dideskripsikan.Pria itu, sebenarnya sempat tertegun melihat sosok di depannya. Namun, tak ingin terlalu lama, Gading membuang wajah ke arah pintu.Sementara di sana, Marta tak menyadari. Setelah minum air dingin beberapa teguk, ia akan kembali ke kamar. Dengan langkah gontainya tadi, ia kadang jadi kehilangan keseimbangan, yang menyebabkan badannya oleng. Hampir ambruk, tetapi untung ia segera bisa membenahi posisi.Akan semakin kesal pria itu, jika ia harus merepotkan. Marta kembali ke kamar dan merebah lelah.Di luar kamar itu, gading mungkin penasaran tentang apa yang terjadi pada tamu perempuannya. Ia
Marta kesal, ia lemparkan daging tadi ke sebelah Gading yang kemudian mendongak kaget. "Dasar, manusia batu!" Umpat Marta berlari ke kamarnya. Sementara pria yang dikatakan manusia batu itu hanya melirik ke arah pintu yang masih bergerak akibat ditutup keras. Setelahnya, gading mengalihkan sorot mata pada beberapa tusuk daging, yang mungkin memang sengaja diperuntukkan baginya. Ia ambil tusukan mirip sate itu, menghirupnya sekilas dan menarik satu potong paling ujung menggunakan giginya. Gading menikmati, ia bergumam dalam hati, ternyata, gadis yang baginya cerewet itu pintar memasak. Gading membaringkan badan setelah menghabiskan semua sate tadi, dan membiarkan tusuknya tetap berserakan di samping badan. Bahkan hingga pagi, hingga Marta terbangun oleh hawa dingin tak biasa. Gadis itu mendekati tungku dan menyalakannya, di saat semua orang di rumah ini belum terdengar bangun. Marta memilih menghangatkan badannya di depan tungku. "Wah, wah. Kau rupanya sudah bangun, ya?" Suara Ibu
"Makanan masih ada, Gading.""Pasti perempuan tak diundang ini, yang telah menghabiskannya!" Mendengar suara sengit, Marta mendongak kesal."Maaf, tuan gading. Makanan masih ada. Jika anda belum kenyang dengan nasi ini, nanti akan saya buatkan untuk Anda," Marta menyahut. Gading tak menjawab, hanya mendengus kesal sambil menarik kasar bakul nasi yang berada di depan Marta.Dalam bakul itu, memang hanya tinggal seporsi nasi, dan pas untuk satu orang saja. Mungkin, bagi Gading yang baru saja pulang dari berburu, porsi itu masih kurang.Orang tua gading tak ikut bersuara, sebab mereka sibuk menyiapkan entah. Hanya saja si ibu kemudian duduk di dekat anaknya, dan bertanya. "Gading. Nanti, kau tidur di sini, ya. Biar Marta yang tidur di kamarmu.""Apa? Enak saja. Sudah numpang, masih mengganggu kamarku? Tidak, bu. Aku tidak mau!" Gading menjawab sengit. Nampaknya, pemuda itu memang angkuh dan egois. Terlihat sekali bahwa sosok itu susah diajak bekerjasama."Bu, tidak apa-apa. Biar saya yan
Bagas berhenti, menyandarkan punggung di tembok sambil memegangi keningnya. "Tuan bagas. Anda baik-baik saja?" Suara Bibi mendekat. Ia mengangguk lemah, ini pasti akibar dari perutnya yang kosong sejak pagi."Tidak apa-apa, Bibi. Aku hanya lapar," Jawabnya."Ya ampun, tuan. Kenapa tidak makan dulu, mari saya antar ke tempat makan." Bagas menurut, mengikuti langkah wanita itu di belakangnya.Hingga tiba di tempat biasa bagas makan bersama baginda, Mahesa dan semua penduduk istana. Kini, Bagas duduk di depan meja yang di atasnya terdapat banyak sekali menu makanan lezat.Ia membiarkan beberapa pelayan mengisi piring dan gelasnya, lalu memintanya makan seperti biasa. Namun, ada yang tak biasa sore ini. Bagas enggan makan, meski rasa perut keroncongan sejak tadi.Suasana sunyi, terasa lebih mencekam, apalagi di hatinya kehilangan dua orang sekaligus. Bukan segera makan, ia hanya memainkan nasi dengan jemarinya.Marta, nama itu masih berputar cepat dalam ingatan. Meski rasa benci, memaksan
Kini, ia kembali ke istana. Dan menghembus berat saat melihat semua orang istana berkumpul di tempat yang sama. Hatinya menyimpulkan sesuatu yang buruk tentang Baginda. Ia berlari mendekati Mahesa yang berada di pinggir, pria yang tersedu-sedu, dengan sesekali menyeka air mata. "Pangeran?" Teriaknya, menyentuh bahu sang Kakak yang kemudian menatap tajam. "Kemana saja kau?" Tanya Mahesa kesal, "lihatlah, Wyah kita telah tiada."Tak menjawab, Bagas menoleh ke arah yang ditunjukkan Mahesa. Nafasnya kemudian memberat. "Siapa yang telah melakukan semua ini, Bagas?" Pertanyaan yang tak mungkin ia jawab. Bagas malah menjauhi, berjalan mendekati jenazah Baginda yang telah selesai dimandikan. "Hey!" Mahesa menyusul, menyentuh kasar pundak Bagas yang mengabaikan pertanyaaia nnya. Ia menoleh, menatap lembut wajah Lakak yang penuh duka. "Kakak, untuk saat ini, kita urus dulu jenazah Ayah, ya. Baru setelah itu, kita bahas kejadiannya. Menurut, Mahesa mengangguk lemah. Menyusul Bagas berjalan m