"Duduklah." Ia pun lantas menurut titah sang Baginda. Menunggu beberapa saat karena bingung sendiri harus berkata apa.
"Kau tau, sikapmu itu begitu menarik perhatianku?" Entah pernyataan atau pertanyaan, karena Baginda hanya terdengar menggumam lirih, dan itu membuat Marta tertegun heran.
Melihat gadis itu nampak bingung, Baginda tersenyum hangat. Entah kenapa, tak hanya kecantikannya saja yang begitu menarik dari pelayan baru yang satu ini. Tapi sikapnya, keberaniannya itulah yang lebih menarik hati baginda. Karena baru kali ini menemukan gadis desa seberani dia.
"Baru kali ini aku melihat ada pelayan perempuan yang berani sepertimu. Siapa kau sebenarnya?" Tanya Baginda dengan tatapan tak beralih dari wajah Marta, hingga gadis itu merasa risih dipandangi demikian. Sebab sejak kecil, ia hanya dekat dengan lelaki dari keluarganya sendiri. Juga kakek yang merawatnya hingga dewasa.
"Kenapa kau tadi dengan berani berkata jujur, dan membantu kepala pelayan itu?" Tanya Baginda lagi, karena sejak tadi gadis itu masih tertunduk diam. Namun, mendengar pertanyaan kali ini, Marta mengulas senyum tipis yang sungguh memikat siapapun. Bahkan Baginda pun ikut tersenyum melihatnya.
"Apalagi yang bisa saya lakukan, Baginda? Karena kesalahan itu memang saya yang melakukan, bukan Bibi Ratih."
"Nah, itulah yang saya suka darimu." Baginda menatap penuh kekaguman. Sementara ada hawa kekhawatiran menelusup dalam hati Amarta, apalagi maksud Baginda itu. Jangan sampai rasa simpati dari Raja itu perlahan mengikis niat Amarta hingga bisa berada di tempat megah ini.
"Seribu satu gadis desa yang punya keberanian sepertimu. Oh, iya. Siapa namamu?"
"Saya Marta, Baginda. Tirta Amarta."
"Hm, tirta Amarta? Nama yang bagus. Dimana tempat tinggalmu? Apa aku bisa bertemu dengan orangtuamu?" Pertanyaan Baginda yang satu ini membuat Marta mendongak kaget. Ingin bertemu orang tua, katanya?
Mendengar kata-kata itu saja mendadak membuka kembali lembaran hitam kala itu. Dadanya kembali bergolak, seiring detak jantung berpacu tak menentu. Namun ia segera menyadari.
Menghirup udara banyak-banyak, untuk mengisi ruang dalam paru-paru. Jika ia biarkan rasa menggebu itu, sudah bisa dipastikan, rencananya terkubur sampai di sini.
"Apa pertanyaan saya salah?"
"Oh, tidak, Baginda." Marta mendongak cepat, tak akan membiarkan sedikit saja celah penyamarannya terendus oleh siapapun di tempat ini.
"Lalu?" Raja itu mengejar, seperti telah menaruh sedikit kecurigaan. Namun sesegera mungkin Marta mengalihkannya, ia tersenyum miris penuh rencana.
"Saya hanya tinggal bersama kakek di pinggir hutan, Baginda. Kedua orang tua saya telah meninggal sejak saya masih kecil," Jawab Marta.
"Kenapa orang tuamu meninggal? Sakit, atau yang lain?"
"Ada kecelakaan ketika bekerja di sawah, baginda," Jawab Marta mengarang dengan kehati-hatian. Ia mendesah lega, melihat baginda terangguk paham.
"Kenapa kau bekerja di sini?" Entah kenapa, Raja itu masih saja bertanya.
"Ingin mencari penghasilan, Baginda. Karena kakek saya telah memasuki usia senja," Jawabnya, dan Baginda kembali mengangguk.
"Kau ditugaskan di dapur, ya?"
"Benar, Baginda."
"Kenapa?"
"Menurut Bibi Ratih, saya terlalu ceroboh, seperti tadi contohnya."
"Padahal saya suka sikapmu itu." Baginda tersenyum geli, karena pernyataan tadi membuat gadis itu mendongak tak percaya. Padahal tadi ia telah menyiapkan mental untuk menerima hukuman apapun. Tak disangka, setibanya di ruang ini hanya diinterogasi tentang siapa dirinya.
"Bagaimana jika kau menjadi pelayan pribadi saya dan permaisuri?" Marta tak bisa berkata kali ini. Rencana yang menggebu dalam hati, dan harus tertunda karena aturan pelayan baru. Tak disangka dirinya akan mendapatkan perlakuan seistimewa ini dari pemilik istana.
Selain tugas itu menghasilkan upah lebih besar, menjadi pelayan pribadi Raja adalah mimpinya. "Apa saya tidak salah dengar, baginda?" Tanya Marta dengan wajah berbinar.
"Tentu saja, bahkan kalau mau, kau bisa bekerja mulai detik ini juga."
"Ah, jangan, Baginda."
"Kenapa?" Baginda bertanya penuh selidik.
"Tugas ini impian setiap pelayan, saya tidak ingin dianggap berbuat curang, karena tiba-tiba beralih tugas sebelum waktunya." Dan jawaban itu menumbuhkan senyum lebar di wajah baginda yang tak muda lagi.
"Kau tidak perlu khawatir, aku akan katakan langsung pada Bibi Ratih."
"Terimakasih, Baginda."
"Baik. Kau boleh kembali ke kamarmu."
Marta berjalan cepat, kembali menuju kamarnya. Ia pikir orang-orang tadi telah bubar, ternyata saat ia tiba di depan kamar, suara riuh mereka masih terdengar. Mereka serentak menoleh ke arah Marta, dan Bibi Ratih yang pertama kali menyerbu kedatangannya.
Wanita itu merangkul badan Marta, memegangi kedua tangan dan mengamatinya. Seperti memastikan bahwa gadis itu masih baik-baik saja.
"Bagaimana, kau baik-baik saja?" Tanya bibi, mendadak sikap judes sebagai atasan pada anak barunya kemarin, kali ini sirna entah kemana.
"Kau tadi mendapat hukuman apa?" Cecar bibi seakan tak memberi kesempatan Marta untuk berfikir. Disusul suara riuh dari teman-teman, menanyakan keadaannya.
"Tidak apa-apa, bi. Bibi tidak perlu khawatir, saya telah menjalani hukuman dengan cepat." Marta mengedarkan tatapan pada orang-orang di sekelilingnya. "Karena malam telah larut, lebih baik kita tidur saja. Karena esok hari rutinitas harian telah menunggu kita."
Kali ini bibi menatap Marta penuh rasa kagum. Tak seperti sebelumnya, tatapan itu kini seperti seseorang kepada atasan.
"Marta benar. Ayo kita bubar, ayo kembali ke kamar masing-masing."
"Baik, bibi." Suara serentak menggiring mereka semua pergi dari depan kamar Marta. Gadis itu tersenyum cerah, tak percaya dengan kejadian yang baru saja ia alami.
Rupanya, kesalahan yang dibuatnya secara tak sengaja itu cukup menguntungkan. Kini, ia tak lagi menunggu keputusan bibi untuk bisa berpindah tugas menjadi pelayan raja.
Namun, ia tak boleh gegabah. Karena di tempat ini ia seorang diri yang nekat akan membunuh raja dan permaisuri. Salah langkah sedikit saja, tamatlah riwayatnya. Apalagi ia seorang pendekar baru di dunia persilatan, yang baru keluar dari sangkar ternyaman. Ia bahkan belum pernah bertemu dengan lawan tanding selain kakek.
Marta menutup pintu kamar yang telah sepi. Dipandanginya lantai yang telah bersih dari sisa serpihan gelas tadi, pasti bibi dan lainnya yang telah membersihkan kamar ini. Ia tersenyum penuh arti, merebahkan badan di atas tempat tidur hangat.
Samar suara kokok ayam jantan menandakan, bahwa langit malam tak lama lagi akan bergeser. Rasanya belum lama ia dapat pejamkan mata, ketukan pintu kamar kembali membuatnya membuka mata berat.
Belum sempat membuka pintu, Bibi Ratih telah berdiri di depannya. "Kau ini lama sekali. Katanya tugas sudah menunggu, kau malah masih tidur."
"Maaf, Bibi. Aku benar-benar ngantuk," Jawab Marta apa adanya, kedua tangan masih mengucek mata berat dan memerah.
"Ya sudah, persiapkan dirimu. Baginda telah menunggu," Kalimat Bibi yang ini mendadak membuat Marta melebarkan mata. Rasa kantuk hilang seketika, teringat mulai hari ini tugasnya telah berganti ke ruangan Baginda dan permaisuri.
"Iya, Bibi. Aku akan segera bersiap." Tanpa menunggu jawaban dari Bibi, Marta langsung berlari menuju tempat mandi. Cepat saja, tanpa perlu berlama-lama, Marta telah siap di depan Bibi.
Hari yang istimewa ini, disambut Marta dengan dandanan yang lebih cantik dari sebelumnya. Bahkan membuat Bibi tercengang saat mengamati penampilannya, dari atas ke bawah.
"Ada yang salah, Bi?" Tanya Marta heran sendiri, kemudian Bibi mengerjap sambil menggeleng pelan. "Kau hari ini terlihat lebih segar," Bibi memberikan komentar.
"Tentu saja, bertugas di depan orang nomor satu, masa iya masih disamakan dengan bertugas di dapur, Bi? Benarkan?" Marta berlalu, meninggalkan Bibi yang masih bengong seorang diri.
***
"Ada yang salah, Bi?" Tanya Marta heran sendiri, kemudian bibi mengerjap sambil menggeleng pelan. "Kau hari ini terlihat lebih segar," Bibi memberikan komentar. "Tentu saja, bertugas di depan orang nomor satu, masa iya masih disamakan dengan bertugas di dapur, Bi? Benarkan?" Marta berlalu, meninggalkan Bibi yang masih bengong seorang diri. "Marta, tunggu! Kau mau kemana?" Teriak Bibi menyusul pegawai barunya. Ia khawatir gadis muda itu masuk begitu saja ke kamar sang raja tanpa ucapan yang jelas. Beruntung ia masih menemukan Marta cukup jauh dari kamar sang raja. Langkah gadis itu terhentak cepat, menandakan ia tak sabar lagi ingin segera bertemu dengan baginda dan permaisuri di kamarnya. "Marta, tunggu dulu!" Bibi menangkap lengan Marta yang lantas berbalik cepat. Reflek ingin menangkis tangan penyusul, dan membuat bibi tercengang. Tercipta rasa takut seketika. "Oh, Bibi? Maaf, saya kira tadi siapa," Ucap gadis itu menata nafasnya. Sementara ia khawatir melihat raut wajah Bi
"Dia tadi mengamati tempat ini, seperti tertarik dengan proses latihan para prajurit.""Memangnya kenapa kalau dia tertarik?""Memangnya kenapa? Siapa tau saja memang dia bukan pelayan biasa.""Maksudmu?" Sang teman bertanya heran, mungkin belum paham tentang maksud panglima yang hingga kini masih menatap sosok pelayan. "Semoga saja ini hanya pikiranku sendiri." Panglima menggeleng. Pria itu sebenarnya curiga, tetapi belum berani untuk menyimpulkan apapun. "Kau curiga padanya?""Yah, tapi aku belum mendapatkan kepastian. Biar aku nanti bicara langsung dengan baginda. Mengusulkan padanya agar pelayan pribadi ditambah.""Ah, kau ini ada-ada saja. Masa menaruh curiga dengan seorang pelayan perempuan. Kalau dia memang bukan pelayan biasa, apa maksudnya pula? Benar, kan?" Yang satu menimpali. Panglima mengangguk membenarkan. "Kau benar. Tetapi jangan salah, posisi seperti baginda dan permaisuri itu banyak yang menginginkan. Banyak pula orang-orang di luar sana yang iri dengan mereka.""
"Apa mungkin rombongan pemberontak itu mengirimkan mata-mata dan membunuh istri saya?" Gumam Baginda hanya dengan menatap nanar hidangan di atas meja. "Apa Baginda tidak menaruh curiga pada salah satu orang dalam istana ini?" Panglima angkat bicara, membuat semua yang duduk di depan meja itu mendongak heran. Pun dengan Marta yang duduk tak jauh dari mereka. "Curiga? Apa maksudmu, panglima?" Tanya Baginda tentu saja, lelah dengan tugas sebagai petinggi negara, pria berumur itu mungkin tak sempat menaruh rasa curiga pada siapapun dalam istana. Yang ada dalam benaknya selama ini adalah rumor tentang sisa rombongan pemberontak waktu itu, kini masih bertahan dan semakin menghimpun kekuatan. Negeri ini sedang dalam ancaman, itulah yang selama ini Baginda pikirkan. Tak hanya Baginda yang menaruh heran pada pertanyaan Panglima tadi, tetapi semua yang ada di tempat itu. Mereka menatap penuh tanya. Sementara Panglima menggeleng samar, dalam hati pun ikut meredam rasa curiga tanpa dasar i
Bahkan menunggui saat Marta meracik teh pesanan baginda. "Ada apa, Panglima? Apa anda memesan teh juga?" Tanya Marta berniat mencairkan suasana. Namun pria itu memberikan jawab menusuk. "Aku hanya sedang memastikan, kau tak memberikan sesuatu pada minuman itu.""Ah, panglima ini. Ada-ada saja," Ucap Marta mengerling genit yang dibuat-buat. Ia bahkan hendak menyentuh lengan berotot panglima yang tercetak dari balik baju panjang. Namun, saat belum tiba tangan itu, panglima telah menyingkir sambil mendengus kesal. "Kau ini licik, juga pandai merayu laki-laki!" Desis pria itu menatap jijik. Bukannya tak nyaman dengan kalimat ketus itu, Marta justru terkekeh tak habis pikir. Dalam hatinya mengatakan, pandai juga orang ini membaca gerak-gerik orang lain. "Benarkan, coba Anda pikirkan. Kalau aku yang bertindak atas semua ini, apa tujuanku, hm? Seorang gadis Desa yang tak punya apapun dan dukungan dari manapun di tempat ini.""Lagipula, kenapa anda curiga sekali padaku? Apa anda punya bukt
Setelah melayani sang Raja sejak sore tadi, kini saatnya Marta duduk seorang diri di teras belakang. Menikmati semilir angin malam, yang kadang mengharuskannya memeluk diri. "Kau sendirian saja di sini?" Seseorang bertanya, membuat Marta menoleh kaget. Apalagi saat menemukan sosok berdiri tegak di depan dengan jarak beberapa meter, seorang pria yang menolongnya pagi itu di pasar. "Kau, di sini?" Gumamnya seraya bangkit dari duduk, ia mengerjap saat pria yang katanya memiliki nama bagas itu mendekat. "Kenapa bisa di sini?" Belum mendapatkan jawaban, Marta mencecar pria itu karena rasa penasarannya. "Ceritanya panjang," Ucap bagas menyusul Marta duduk di sebelahnya. Pria berwajah tampan itu terlihat semakin rupawan saat berbicara sambil tersenyum. "Tapi yang jelas, saat ini aku juga mendapatkan pekerjaan di sini. Jadi, kita bisa bisa bertemu setiap hari." Bagas mengerling nakal, sementara Marta menyipit heran. Ia berdecak, tetapi rasa penasaran mendorongnya kembali bertanya. "Kau be
"Aman, kan? Silahkan diminum." Marta berseru, tetapi pria tadi malah membalikkan badan dan pergi sambil menggerutu. Meninggalkan gadis pelayan yang kemudian mengedikkan bahu tak peduli, kejab kemudian Marta tersenyum geli. Baru menyadari kesalahan kecil yang ia lakukan pada Panglima tadi. Memang siapa yang tak langsung melarikan diri setelah diberikan minuman sisa? Ia mengikik sendiri, membawa gelas itu berjalan melewati pintu dapur. Langkahnya pelan, seperti sedang memberikan keseimbangan badan badan agar gelas yang ia bawa isinya tidak beriak. Saat melangkah keluar pintu, Marta dibuat kaget oleh sosok yang ternyata masih menungguinya di pinggiran pintu sebelah luar. Saking kagetnya, ia nyaris menjatuhkan gelas di tangan. Untungnya, sosok itu segera membantunya memegangi gelas. Marta tersenyum nyengir. "Panglima masih di sini?" Gumam gadis itu yang tak lantas dijawab oleh panglima, melainkan hanya dengusan kecil dengan wajah berpaling, dan tangan menjauh dari gelas Marta. Namun d
"Tidak apa. Apa kau punya masalah dengan orang itu?" Tanya Bagas, Marta hanya menggeleng. "Sepertinya, dia juga menyukaimu.""Hah?" Pria yang mengaku sebagai Bagaskara itu terkekeh melihat respon Marta. Sementara gadis itu memang merasakan hal aneh dari Panglima yang sejak awal sering membuntuti. "Kenapa kaget?" Tanya bagas memicing, menemukan sepasang mata indah yang saat ini diarahkan ke lantai. Gadis itu hanya menggeleng dengan senyuman tipis. "Maaf, tuan Bagas. Saya harus segera menemui Baginda," Marta berpamitan, dan ia berlalu cepat, bahkan sebelum Bagas menjawabnya. Marta tergesa-gesa menemui Baginda di kamar, karena biasanya ia yang akan menyiapkan keperluan Raja itu sebelum makan pagi. Namun, karena lagi ini ia begitu lama di belakang, sang raja telah tak ada di kamarnya. "Baginda telah pergi? Ini pasti karena dua orang pria yang dengan sengaja memperlambat pekerjaanku," Rutuknya tak habis pikir. Biar saja jika mereka mengatakan suka padanya. Toh ke tempat ini, ia tak be
"Kalau kau, asalmu sebenarnya dari mana?" Tanya Baginda kemudian. "Saya sebenarnya dari wilayah dekat sungai itu, Baginda.""Apa?" Mendengar jawaban Marta barusan, entah kenapa Baginda terhenyak. Dan entah kenapa Marta harus mengatakan yang sebenarnya sekarang. "Jadi, kau tau tentang kelompok pemberontak itu?" Baginda menatap serius ke arah Marta, gadis itu sempat kaget menerima tatapan tak biasa. Bukan hanya tau, Baginda. Tapi saya termasuk salah satu korban pembantaian untuk para pemberontak itu. Tegas Marta, sayangnya hanya bisa ia katakan dalam hati saja untuk saat ini. "Saya memang pernah mendengar, Baginda. Karena masih kecil, jadi saya waktu itu belum paham tentang pemberontak. Bahkan, hingga kini pun kakek saya tidak pernah menceritakan tentang pemberontak itu," Jawab Marta, tatapannya pun serius ke arah Baginda, agar pria tua itu percaya. Suasana kembali hening meliputi, Baginda menyesap teh dengan tatapan menerawang ke atas sana. Pada bintang yang seakan kedinginan, ber
Ia kini dihadapkan kembali dengan persiapan serangan yang lebih dari sebelumnya. Namun, sebelum itu, Tiba-tiba ada sosok lain yang datang membantu. Melemparkan satu tendangan dan membuat mereka bertiga langsung terjatuh bersamaan. Sosok itu beberapa detik masih berdiri membelakangi Marta, hingga ia tak bisa melihat siapa. Apalagi di malam gelap seperti ini. Ia hanya bisa melihat, bahwa tiga orang jahat tadi saling menarik satu sama lain.Mereka berlari tunggang-langgang, meninggalkan Marta tercengang seorang diri. Dalam kepalanya mulai disinggahi rasa khawatir akan sosok yang tak juga membalikkan badan. Ia perlahan mendekat, dan semakin diamati, postur badan itu seperti tidak asing. Namun Marta tak berani menyimpulkan terlalu cepat. "Terimakasih, tuan. Telah membantu saya," Ucapnya pada sosok pria yang masih menyembunyikan wajah. Marta bisa melihat sosok itu, dari ujung kaki hingga ujung kepala yang mengenakan topi bambu. Pria itu, perlahan membalikkan badan. Marta tercengang. Tak
"Memang, apa kau tidak ingin terbuka dengan orang lain? Jangan hanya menutup diri seperti kemarin." Gading tak segera menjawab, pria itu malah menatapnya lekat-lekat, dengan pandangan yang tak bisa dimengerti."Kalau aku membuka hati, apa kau mau menerimanya?" Marta tercengang, baru menyadari bahwa pertanyaan tadi telah menjebak dirinya sendiri.Tak tau harus menjawab apa, kini Marta hanya menahan nafas dengan mengalihkan pandangannya. "Jadi bagaimana, Marta?" Tanya gading lagi, sebab belum mendapatkan jawaban. Sementara sang gadis seperti tak paham bahwa yang diajak bicara sangat mengharapkan jawaban."Aku, aku tidak paham dengan arah pembicaraanmu, Gading. Sebenarnya bagaimana?" Untuk lebih jelasnya, ia memang membutuhkan itu."Apa kau tidak paham juga, Marta? Saat ini aku sangat membutuhkan seorang teman yang bisa membuat hatiku kembali hidup seperti dulu." Marta belum berani menyahut, sebab dari sinipun sebenarnya ia telah mengerti."Tolong berikan hatimu padaku, Marta." Tiba-tiba
Keduanya berhenti akibat berpapasan dengan pohon besar, dengan posisi Marta berada di bawah badan Gading yang sama-sama membelalak kaget.Satu detik, dua detik. Marta bisa merasakan detak jantung Gading yang memacu cepat. Secepat pria itu membawanya berlari tadi. Setelah beberapa saat lamanya saling menatap, dan mengagumi dalam hati, Gading tersadar."Maaf." Pria itu spontan berdiri, tanpa menghiraukan Marta yang kepayahan menegakkan badan akibat tertindih olehnya.Dan sesaat setelah ia berhasil berdiri di depan Gading, Marta membelalak. Tak jauh di belakang pria itu, kucing besar tadi menyusul. Ia langsung menghunus anak panah di punggung gading, dan melemparkan tanpa perhitungan.Namun, ketika Gading menoleh, hewan itu telah menggelepar kesakitan. Tak lama, nafas terakhirnya pun menghembus panjang, kemudian badannya tak bergerak lagi."Dia ... Kau, membunuhnya?" Gading bergumam, wajahnya setengah tak percaya."Dia sangat berbahaya. Jadi biarkan saja mati," Jawab Marta berlalu dari h
Hanya Marta sesekali melirik, memperhatikan tangan kekar itu. Yang ternyata begitu telaten membersihkan kelinci, hingga memotong-motongnya menjadi beberapa bagian kecil yang siap dimasak. "Ambilkan panci itu." Suara gading terdengar, dan Marta sengaja acuh. Tetap fokus dengan sayuran di kedua tangannya. Dalam hati ingin melihat, bagaimana reaksi pria itu jika diperlakukan demikian. "Kau dengar, tidak?""Aku?" Marta malah bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Sementara yang tadi bertanya itu, kini berdecak kesal. "Mau menantang, kau rupanya?" Entah apa yang akan dilakukan, tangan Gading mendekati kepala Marta, dan tanpa ia sadari tiba-tiba lengannya terhempas kasar. Pria itu mendongak kaget, tak menyangka Marta gadis ini memiliki kecepatan luar biasa. Bahkan di saat ia belum sempat mengedipkan mata. Penasaran, gading kembali menggerakkan tangan, dan tangkisan Marta lebih tegas dari sebelumnya. Ia kini membelalak, apalagi melihat gadis cantik itu berdiri. Menatapnya dengan senyu
"Siapa suruh tidak makan," Celetuk Gading benar-benar membuat hati sakit. Andai saja kondisinya sehat, akan ia semprot dengan kalimat serupa. Dasar! Marta kini hanya bisa mengumpat dalam hati.Hanya ada sisa nasi beberapa butir, karena perut yang tak bisa lagi diajak bersabar, ia jumput nasi itu, dan makan. Aktifitas itu, sebenarnya tak luput dari pandangan aneh gading yang tak bisa dideskripsikan.Pria itu, sebenarnya sempat tertegun melihat sosok di depannya. Namun, tak ingin terlalu lama, Gading membuang wajah ke arah pintu.Sementara di sana, Marta tak menyadari. Setelah minum air dingin beberapa teguk, ia akan kembali ke kamar. Dengan langkah gontainya tadi, ia kadang jadi kehilangan keseimbangan, yang menyebabkan badannya oleng. Hampir ambruk, tetapi untung ia segera bisa membenahi posisi.Akan semakin kesal pria itu, jika ia harus merepotkan. Marta kembali ke kamar dan merebah lelah.Di luar kamar itu, gading mungkin penasaran tentang apa yang terjadi pada tamu perempuannya. Ia
Marta kesal, ia lemparkan daging tadi ke sebelah Gading yang kemudian mendongak kaget. "Dasar, manusia batu!" Umpat Marta berlari ke kamarnya. Sementara pria yang dikatakan manusia batu itu hanya melirik ke arah pintu yang masih bergerak akibat ditutup keras. Setelahnya, gading mengalihkan sorot mata pada beberapa tusuk daging, yang mungkin memang sengaja diperuntukkan baginya. Ia ambil tusukan mirip sate itu, menghirupnya sekilas dan menarik satu potong paling ujung menggunakan giginya. Gading menikmati, ia bergumam dalam hati, ternyata, gadis yang baginya cerewet itu pintar memasak. Gading membaringkan badan setelah menghabiskan semua sate tadi, dan membiarkan tusuknya tetap berserakan di samping badan. Bahkan hingga pagi, hingga Marta terbangun oleh hawa dingin tak biasa. Gadis itu mendekati tungku dan menyalakannya, di saat semua orang di rumah ini belum terdengar bangun. Marta memilih menghangatkan badannya di depan tungku. "Wah, wah. Kau rupanya sudah bangun, ya?" Suara Ibu
"Makanan masih ada, Gading.""Pasti perempuan tak diundang ini, yang telah menghabiskannya!" Mendengar suara sengit, Marta mendongak kesal."Maaf, tuan gading. Makanan masih ada. Jika anda belum kenyang dengan nasi ini, nanti akan saya buatkan untuk Anda," Marta menyahut. Gading tak menjawab, hanya mendengus kesal sambil menarik kasar bakul nasi yang berada di depan Marta.Dalam bakul itu, memang hanya tinggal seporsi nasi, dan pas untuk satu orang saja. Mungkin, bagi Gading yang baru saja pulang dari berburu, porsi itu masih kurang.Orang tua gading tak ikut bersuara, sebab mereka sibuk menyiapkan entah. Hanya saja si ibu kemudian duduk di dekat anaknya, dan bertanya. "Gading. Nanti, kau tidur di sini, ya. Biar Marta yang tidur di kamarmu.""Apa? Enak saja. Sudah numpang, masih mengganggu kamarku? Tidak, bu. Aku tidak mau!" Gading menjawab sengit. Nampaknya, pemuda itu memang angkuh dan egois. Terlihat sekali bahwa sosok itu susah diajak bekerjasama."Bu, tidak apa-apa. Biar saya yan
Bagas berhenti, menyandarkan punggung di tembok sambil memegangi keningnya. "Tuan bagas. Anda baik-baik saja?" Suara Bibi mendekat. Ia mengangguk lemah, ini pasti akibar dari perutnya yang kosong sejak pagi."Tidak apa-apa, Bibi. Aku hanya lapar," Jawabnya."Ya ampun, tuan. Kenapa tidak makan dulu, mari saya antar ke tempat makan." Bagas menurut, mengikuti langkah wanita itu di belakangnya.Hingga tiba di tempat biasa bagas makan bersama baginda, Mahesa dan semua penduduk istana. Kini, Bagas duduk di depan meja yang di atasnya terdapat banyak sekali menu makanan lezat.Ia membiarkan beberapa pelayan mengisi piring dan gelasnya, lalu memintanya makan seperti biasa. Namun, ada yang tak biasa sore ini. Bagas enggan makan, meski rasa perut keroncongan sejak tadi.Suasana sunyi, terasa lebih mencekam, apalagi di hatinya kehilangan dua orang sekaligus. Bukan segera makan, ia hanya memainkan nasi dengan jemarinya.Marta, nama itu masih berputar cepat dalam ingatan. Meski rasa benci, memaksan
Kini, ia kembali ke istana. Dan menghembus berat saat melihat semua orang istana berkumpul di tempat yang sama. Hatinya menyimpulkan sesuatu yang buruk tentang Baginda. Ia berlari mendekati Mahesa yang berada di pinggir, pria yang tersedu-sedu, dengan sesekali menyeka air mata. "Pangeran?" Teriaknya, menyentuh bahu sang Kakak yang kemudian menatap tajam. "Kemana saja kau?" Tanya Mahesa kesal, "lihatlah, Wyah kita telah tiada."Tak menjawab, Bagas menoleh ke arah yang ditunjukkan Mahesa. Nafasnya kemudian memberat. "Siapa yang telah melakukan semua ini, Bagas?" Pertanyaan yang tak mungkin ia jawab. Bagas malah menjauhi, berjalan mendekati jenazah Baginda yang telah selesai dimandikan. "Hey!" Mahesa menyusul, menyentuh kasar pundak Bagas yang mengabaikan pertanyaaia nnya. Ia menoleh, menatap lembut wajah Lakak yang penuh duka. "Kakak, untuk saat ini, kita urus dulu jenazah Ayah, ya. Baru setelah itu, kita bahas kejadiannya. Menurut, Mahesa mengangguk lemah. Menyusul Bagas berjalan m