"Kalau kau, asalmu sebenarnya dari mana?" Tanya Baginda kemudian. "Saya sebenarnya dari wilayah dekat sungai itu, Baginda.""Apa?" Mendengar jawaban Marta barusan, entah kenapa Baginda terhenyak. Dan entah kenapa Marta harus mengatakan yang sebenarnya sekarang. "Jadi, kau tau tentang kelompok pemberontak itu?" Baginda menatap serius ke arah Marta, gadis itu sempat kaget menerima tatapan tak biasa. Bukan hanya tau, Baginda. Tapi saya termasuk salah satu korban pembantaian untuk para pemberontak itu. Tegas Marta, sayangnya hanya bisa ia katakan dalam hati saja untuk saat ini. "Saya memang pernah mendengar, Baginda. Karena masih kecil, jadi saya waktu itu belum paham tentang pemberontak. Bahkan, hingga kini pun kakek saya tidak pernah menceritakan tentang pemberontak itu," Jawab Marta, tatapannya pun serius ke arah Baginda, agar pria tua itu percaya. Suasana kembali hening meliputi, Baginda menyesap teh dengan tatapan menerawang ke atas sana. Pada bintang yang seakan kedinginan, ber
"Aku memang belum mendapatkan jawaban." Marta kembali bersuara. "Kau harus menjawab sekarang juga!""Pangeran." Sebuah suara mengejutkan keduanya. Mereka menoleh, menemukan sosok panglima berdiri di sana, menatap tak suka.Dalam hal ini, Marta yang paling kaget? Sebutan pangeran yang diucapkan panglima tadi, tertuju pada siapa? Batinnya bertanya, diiringi tatapan mengarah ke depan dan belakangnya. "Pangeran?" Gumam gadis itu, menatap panglima dan bagas secara bergantian. Sementara bagas hanya menghela nafas saja, berjalan melewati Marta, mendekati Panglima."Ada apa?" Suara tegas keluar dari pria tampan yang disebut Pangeran itu. Di sini, Marta masih memicing tak mengerti. "Maaf, telah mengganggu waktu Pangeran. Tapi, Baginda memanggil Anda," Ucap Panglima itu dengan punggung membungkuk menaruh hormat. Bagas masih belum menjawab, ia hanya menoleh Marta sekilas, lalu mengangguk ke arah pria di depannya. "Baiklah." Bagas pergi tanpa ada penjelasan apapun lagi pada Marta. Di tempat
Pagi ini, setelah mengurusi keperluan Baginda, dan orang nomor satu itu telah duduk di singgasananya, Marta bisa duduk bersantai di halaman belakang. Di dekat kolam ikan koi yang kiri kanannya terdapat tanaman hias indah sekali. Hanyut dalam keindahan suasana itu, ia mencelupkan jemari tangannya. Merasakan geli ketika puluhan ikan itu kesana-kemari melewati sela-sela jarinya. Marta mengikik seorang diri di tempat sunyi ini. Hingga romantismenya bersama ikan-ikan kecil terpecah oleh suara seseorang baru datang. Sosok itu tanpa menunggu jawaban Marta, langsung menjatuhkan badan di sebelah tak jauh. Sementara Marta, tak hanya merasakan gangguan, ia lebih merasa canggung dengan sosok yang ternyata seorang pangeran. "Sendirian saja. Kau sedang apa?" Tanya pria yang mengaku dirinya sebagai bagas, namun Panglima menyebutnya dengan pangeran. Tak langsung menjawab, Marta hanya melirik pria itu sekilas, lalu kembali menunduk ke arah kolam. "Saya sedang bersantai, pangeran."Bagas tersenyum
Namun, di tempat lain terdengar suara pria sedang memaki seseorang. Dan ia kenal suara itu, Baginda. Saat menoleh, memang benar. Di sana ada Baginda sedang berbicara dengan bagas. Marta yang penasaran menajamkan pendengaran. "Jangan berharap lebih, Mahendra. Semua yang ada di sini adalah milik pangeran Mahesa!" Marta mengernyit mendengar pernyataan tegas dari Baginda. Ia yang tak mengerti, mendorong rasa penasarannya lebih tinggi. "Atau kau memang berniat ingin merebut tahta itu dari putra mahkota?" Terlihat jelas, bagaimana Baginda menatap tajam putra bungsunya. Sementara Bagas, yang katanya seorang pangeran itu hanya diam tanpa kata. "Aku peringatkan padamu sekali lagi, Mahendra!" Telunjuk Baginda teracung tegas ke arah bagas, persis di depan mata elang pria muda itu. "Jangan pernah lagi mengungkit tentang anakku!" Setelah itu, sang Raja meninggalkan jejak di dada Mahendra. Memukulkan telunjuk itu di sana, kemudian beranjak pergi. Membiarkan sang pangeran bergelut dengan pikira
Pria nomor satu itu, biasanya akan membutuhkan sesuatu sebelum makan siang tiba. Benar saja, ia diminta menyiapkan pakaian ganti dan aksesoris seorang raja. "Marta, apa kau tidak ingin segera menikah?" Pertanyaan Baginda membuat Marta mengerjap tak mengerti. "Menikah?" Gumamnya. "Iya. Seperti sudah cukup umur, apa kau tidak ingin segera menikah? Atau, memang belum ada calon?" Entah kenapa Baginda menanyakan demikian, tetapi yang jelas Marta terhenyak mendengar pertanyaan itu. Beberapa pertanyaan melintas bebas dalam benak. Teringat Baginda yang pernah memiliki anak dengan seorang pelayan, ia khawatir pria itu masih memiliki niat. "Saya, saya belum siap untuk menikah, Baginda," Jawab Marta apa adanya. "Kenapa?""Saya ingin mencari pengalaman dulu, Baginda.""Pengalaman bisa dicari sembari berjalan, Marta. Kau ini memiliki wajah yang sangat cantik, aku yakin, kau pasti akan menjadi incaran beberapa pria."Termasuk dirinya? Mungkin saja. Karena pria itu selain berambisi untuk menjad
"Tunggu, Marta!" Gadis yang akan memegang gagang pintu itu berhenti, menoleh ke belakang. "Apa lagi?" Tanyanya tanpa embel-embel Baginda lagi. "Jika Baginda. Tetap memaksa, saya akan keluar dari pekerjaan ini." Marta menegaskan, kemudian membuka pintu tanpa peduli dengan tatapan tajam dari Baginda lagi. Tak ada rasa takut meski dirinya berhadapan dengan orang nomor satu di negeri ini. Gadis itu menggerakkan langkah panjang, cepat dan tergesa-gesa. Seperti khawatir jika pria tua tadi tiba-tiba berada di belakangnya. Langkahnya kini tertuju ke halaman belakang, menepati ajakan bagas tadi. Bahkan, ia terlambat beberapa saat. Pria muda bernama bagas telah menunggu di sana, di pinggir kolam bersama ikan-ikan kecil warna-warni. Menyadari Marta datang, pria itu bangkit, menyambut gadis itu dengan menggenggam kedua tangannya. "Kenapa lama sekali, apa baginda berbuat sesuatu padamu?" Cecar Bagas, nampak sekali kekhawatiran dalam wajahnya. Bagaimana tidak, saat ini ia harus bersaing ketat d
"Saya tidak butuh itu?" Setiap jawaban Marta terdengar tegas, tanpa ketakutan sama sekali. " Lalu, apa yang kau butuhkan?" Baginda masih bertanya jengkel. Yang saya butuhkan adalah, kematian Anda! Ingin sekali Marta mengatakan langsung, tetapi harus ditahan kuat-kuat. Ia tak boleh gegabah jika belum ada persiapan lagi. Maka, yang bisa dilakukan saat ini adalah menggeleng tegas. "Pertama, saya memang belum siap menikah. Yang kedua adalah, saya telah berjanji pada kakek saya untuk kembali dan menemaninya menghabiskan sisa hidup. Jadi, saya tidak bisa selamanya berada di tempat ini. Saya mohon baginda mengerti."Tak segera menjawab, baginda hanya melepas nafas berat, kembali duduk seperti kehilangan semangat. "Jadi begitu?" Gumamnya kemudian. "Lagipula, Anda ini sudah berumur, Baginda. Kenapa masih berambisi untuk menikah lagi? Bukannya Anda sudah waktunya untuk menggendong cucu." Tak peduli pada siapapun yang ia ajak bicara saat ini, Marta menegaskan layaknya pada seseorang di bawa
Mereka kembali berlarian di sana. Suara gelak tawanya memang teredam oleh riuh prajurit berlatih, namun ada yang mengamatinya dengan wajah tak suka. "Ehmmm!!" Sebuah deheman berat, menghentikan aksi mereka. Baik Bagas maupun Marta, sama-sama menoleh ke arah yang sama. Keduanya melihat ada panglima berdiri angkuh sambil bersedekap tangan, membuang wajah sinis dari arah mereka. "Oh, rupanya kau, Panglima? Sudah lama anda berada di sini?" Tanya bagas, membimbing lengan Marta untuk mendekat. Tak lantas menjawab, sosok angkuh itu hanya melirik sekilas. Berdecih. Terlihat sekali sikap itu tak menunjukkan rasa hormat sedikitpun pada pangeran Mahendra. Sama seperti Baginda, sikap panglima itu pun sama. Sama-sama senang merendahkan sesama, juga ambisius. Wajar jika panglima itu bertahan lama di istana ini, sebab banyak kecocokan antara dirinya dan Baginda. "Pangeran Mahendra yang terhormat, anda tidak pantas bersikap layaknya anak kecil bersama pelayan di istana ini!" Desis Panglima bernad
Ia kini dihadapkan kembali dengan persiapan serangan yang lebih dari sebelumnya. Namun, sebelum itu, Tiba-tiba ada sosok lain yang datang membantu. Melemparkan satu tendangan dan membuat mereka bertiga langsung terjatuh bersamaan. Sosok itu beberapa detik masih berdiri membelakangi Marta, hingga ia tak bisa melihat siapa. Apalagi di malam gelap seperti ini. Ia hanya bisa melihat, bahwa tiga orang jahat tadi saling menarik satu sama lain.Mereka berlari tunggang-langgang, meninggalkan Marta tercengang seorang diri. Dalam kepalanya mulai disinggahi rasa khawatir akan sosok yang tak juga membalikkan badan. Ia perlahan mendekat, dan semakin diamati, postur badan itu seperti tidak asing. Namun Marta tak berani menyimpulkan terlalu cepat. "Terimakasih, tuan. Telah membantu saya," Ucapnya pada sosok pria yang masih menyembunyikan wajah. Marta bisa melihat sosok itu, dari ujung kaki hingga ujung kepala yang mengenakan topi bambu. Pria itu, perlahan membalikkan badan. Marta tercengang. Tak
"Memang, apa kau tidak ingin terbuka dengan orang lain? Jangan hanya menutup diri seperti kemarin." Gading tak segera menjawab, pria itu malah menatapnya lekat-lekat, dengan pandangan yang tak bisa dimengerti."Kalau aku membuka hati, apa kau mau menerimanya?" Marta tercengang, baru menyadari bahwa pertanyaan tadi telah menjebak dirinya sendiri.Tak tau harus menjawab apa, kini Marta hanya menahan nafas dengan mengalihkan pandangannya. "Jadi bagaimana, Marta?" Tanya gading lagi, sebab belum mendapatkan jawaban. Sementara sang gadis seperti tak paham bahwa yang diajak bicara sangat mengharapkan jawaban."Aku, aku tidak paham dengan arah pembicaraanmu, Gading. Sebenarnya bagaimana?" Untuk lebih jelasnya, ia memang membutuhkan itu."Apa kau tidak paham juga, Marta? Saat ini aku sangat membutuhkan seorang teman yang bisa membuat hatiku kembali hidup seperti dulu." Marta belum berani menyahut, sebab dari sinipun sebenarnya ia telah mengerti."Tolong berikan hatimu padaku, Marta." Tiba-tiba
Keduanya berhenti akibat berpapasan dengan pohon besar, dengan posisi Marta berada di bawah badan Gading yang sama-sama membelalak kaget.Satu detik, dua detik. Marta bisa merasakan detak jantung Gading yang memacu cepat. Secepat pria itu membawanya berlari tadi. Setelah beberapa saat lamanya saling menatap, dan mengagumi dalam hati, Gading tersadar."Maaf." Pria itu spontan berdiri, tanpa menghiraukan Marta yang kepayahan menegakkan badan akibat tertindih olehnya.Dan sesaat setelah ia berhasil berdiri di depan Gading, Marta membelalak. Tak jauh di belakang pria itu, kucing besar tadi menyusul. Ia langsung menghunus anak panah di punggung gading, dan melemparkan tanpa perhitungan.Namun, ketika Gading menoleh, hewan itu telah menggelepar kesakitan. Tak lama, nafas terakhirnya pun menghembus panjang, kemudian badannya tak bergerak lagi."Dia ... Kau, membunuhnya?" Gading bergumam, wajahnya setengah tak percaya."Dia sangat berbahaya. Jadi biarkan saja mati," Jawab Marta berlalu dari h
Hanya Marta sesekali melirik, memperhatikan tangan kekar itu. Yang ternyata begitu telaten membersihkan kelinci, hingga memotong-motongnya menjadi beberapa bagian kecil yang siap dimasak. "Ambilkan panci itu." Suara gading terdengar, dan Marta sengaja acuh. Tetap fokus dengan sayuran di kedua tangannya. Dalam hati ingin melihat, bagaimana reaksi pria itu jika diperlakukan demikian. "Kau dengar, tidak?""Aku?" Marta malah bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Sementara yang tadi bertanya itu, kini berdecak kesal. "Mau menantang, kau rupanya?" Entah apa yang akan dilakukan, tangan Gading mendekati kepala Marta, dan tanpa ia sadari tiba-tiba lengannya terhempas kasar. Pria itu mendongak kaget, tak menyangka Marta gadis ini memiliki kecepatan luar biasa. Bahkan di saat ia belum sempat mengedipkan mata. Penasaran, gading kembali menggerakkan tangan, dan tangkisan Marta lebih tegas dari sebelumnya. Ia kini membelalak, apalagi melihat gadis cantik itu berdiri. Menatapnya dengan senyu
"Siapa suruh tidak makan," Celetuk Gading benar-benar membuat hati sakit. Andai saja kondisinya sehat, akan ia semprot dengan kalimat serupa. Dasar! Marta kini hanya bisa mengumpat dalam hati.Hanya ada sisa nasi beberapa butir, karena perut yang tak bisa lagi diajak bersabar, ia jumput nasi itu, dan makan. Aktifitas itu, sebenarnya tak luput dari pandangan aneh gading yang tak bisa dideskripsikan.Pria itu, sebenarnya sempat tertegun melihat sosok di depannya. Namun, tak ingin terlalu lama, Gading membuang wajah ke arah pintu.Sementara di sana, Marta tak menyadari. Setelah minum air dingin beberapa teguk, ia akan kembali ke kamar. Dengan langkah gontainya tadi, ia kadang jadi kehilangan keseimbangan, yang menyebabkan badannya oleng. Hampir ambruk, tetapi untung ia segera bisa membenahi posisi.Akan semakin kesal pria itu, jika ia harus merepotkan. Marta kembali ke kamar dan merebah lelah.Di luar kamar itu, gading mungkin penasaran tentang apa yang terjadi pada tamu perempuannya. Ia
Marta kesal, ia lemparkan daging tadi ke sebelah Gading yang kemudian mendongak kaget. "Dasar, manusia batu!" Umpat Marta berlari ke kamarnya. Sementara pria yang dikatakan manusia batu itu hanya melirik ke arah pintu yang masih bergerak akibat ditutup keras. Setelahnya, gading mengalihkan sorot mata pada beberapa tusuk daging, yang mungkin memang sengaja diperuntukkan baginya. Ia ambil tusukan mirip sate itu, menghirupnya sekilas dan menarik satu potong paling ujung menggunakan giginya. Gading menikmati, ia bergumam dalam hati, ternyata, gadis yang baginya cerewet itu pintar memasak. Gading membaringkan badan setelah menghabiskan semua sate tadi, dan membiarkan tusuknya tetap berserakan di samping badan. Bahkan hingga pagi, hingga Marta terbangun oleh hawa dingin tak biasa. Gadis itu mendekati tungku dan menyalakannya, di saat semua orang di rumah ini belum terdengar bangun. Marta memilih menghangatkan badannya di depan tungku. "Wah, wah. Kau rupanya sudah bangun, ya?" Suara Ibu
"Makanan masih ada, Gading.""Pasti perempuan tak diundang ini, yang telah menghabiskannya!" Mendengar suara sengit, Marta mendongak kesal."Maaf, tuan gading. Makanan masih ada. Jika anda belum kenyang dengan nasi ini, nanti akan saya buatkan untuk Anda," Marta menyahut. Gading tak menjawab, hanya mendengus kesal sambil menarik kasar bakul nasi yang berada di depan Marta.Dalam bakul itu, memang hanya tinggal seporsi nasi, dan pas untuk satu orang saja. Mungkin, bagi Gading yang baru saja pulang dari berburu, porsi itu masih kurang.Orang tua gading tak ikut bersuara, sebab mereka sibuk menyiapkan entah. Hanya saja si ibu kemudian duduk di dekat anaknya, dan bertanya. "Gading. Nanti, kau tidur di sini, ya. Biar Marta yang tidur di kamarmu.""Apa? Enak saja. Sudah numpang, masih mengganggu kamarku? Tidak, bu. Aku tidak mau!" Gading menjawab sengit. Nampaknya, pemuda itu memang angkuh dan egois. Terlihat sekali bahwa sosok itu susah diajak bekerjasama."Bu, tidak apa-apa. Biar saya yan
Bagas berhenti, menyandarkan punggung di tembok sambil memegangi keningnya. "Tuan bagas. Anda baik-baik saja?" Suara Bibi mendekat. Ia mengangguk lemah, ini pasti akibar dari perutnya yang kosong sejak pagi."Tidak apa-apa, Bibi. Aku hanya lapar," Jawabnya."Ya ampun, tuan. Kenapa tidak makan dulu, mari saya antar ke tempat makan." Bagas menurut, mengikuti langkah wanita itu di belakangnya.Hingga tiba di tempat biasa bagas makan bersama baginda, Mahesa dan semua penduduk istana. Kini, Bagas duduk di depan meja yang di atasnya terdapat banyak sekali menu makanan lezat.Ia membiarkan beberapa pelayan mengisi piring dan gelasnya, lalu memintanya makan seperti biasa. Namun, ada yang tak biasa sore ini. Bagas enggan makan, meski rasa perut keroncongan sejak tadi.Suasana sunyi, terasa lebih mencekam, apalagi di hatinya kehilangan dua orang sekaligus. Bukan segera makan, ia hanya memainkan nasi dengan jemarinya.Marta, nama itu masih berputar cepat dalam ingatan. Meski rasa benci, memaksan
Kini, ia kembali ke istana. Dan menghembus berat saat melihat semua orang istana berkumpul di tempat yang sama. Hatinya menyimpulkan sesuatu yang buruk tentang Baginda. Ia berlari mendekati Mahesa yang berada di pinggir, pria yang tersedu-sedu, dengan sesekali menyeka air mata. "Pangeran?" Teriaknya, menyentuh bahu sang Kakak yang kemudian menatap tajam. "Kemana saja kau?" Tanya Mahesa kesal, "lihatlah, Wyah kita telah tiada."Tak menjawab, Bagas menoleh ke arah yang ditunjukkan Mahesa. Nafasnya kemudian memberat. "Siapa yang telah melakukan semua ini, Bagas?" Pertanyaan yang tak mungkin ia jawab. Bagas malah menjauhi, berjalan mendekati jenazah Baginda yang telah selesai dimandikan. "Hey!" Mahesa menyusul, menyentuh kasar pundak Bagas yang mengabaikan pertanyaaia nnya. Ia menoleh, menatap lembut wajah Lakak yang penuh duka. "Kakak, untuk saat ini, kita urus dulu jenazah Ayah, ya. Baru setelah itu, kita bahas kejadiannya. Menurut, Mahesa mengangguk lemah. Menyusul Bagas berjalan m