Pria nomor satu itu, biasanya akan membutuhkan sesuatu sebelum makan siang tiba. Benar saja, ia diminta menyiapkan pakaian ganti dan aksesoris seorang raja. "Marta, apa kau tidak ingin segera menikah?" Pertanyaan Baginda membuat Marta mengerjap tak mengerti. "Menikah?" Gumamnya. "Iya. Seperti sudah cukup umur, apa kau tidak ingin segera menikah? Atau, memang belum ada calon?" Entah kenapa Baginda menanyakan demikian, tetapi yang jelas Marta terhenyak mendengar pertanyaan itu. Beberapa pertanyaan melintas bebas dalam benak. Teringat Baginda yang pernah memiliki anak dengan seorang pelayan, ia khawatir pria itu masih memiliki niat. "Saya, saya belum siap untuk menikah, Baginda," Jawab Marta apa adanya. "Kenapa?""Saya ingin mencari pengalaman dulu, Baginda.""Pengalaman bisa dicari sembari berjalan, Marta. Kau ini memiliki wajah yang sangat cantik, aku yakin, kau pasti akan menjadi incaran beberapa pria."Termasuk dirinya? Mungkin saja. Karena pria itu selain berambisi untuk menjad
"Tunggu, Marta!" Gadis yang akan memegang gagang pintu itu berhenti, menoleh ke belakang. "Apa lagi?" Tanyanya tanpa embel-embel Baginda lagi. "Jika Baginda. Tetap memaksa, saya akan keluar dari pekerjaan ini." Marta menegaskan, kemudian membuka pintu tanpa peduli dengan tatapan tajam dari Baginda lagi. Tak ada rasa takut meski dirinya berhadapan dengan orang nomor satu di negeri ini. Gadis itu menggerakkan langkah panjang, cepat dan tergesa-gesa. Seperti khawatir jika pria tua tadi tiba-tiba berada di belakangnya. Langkahnya kini tertuju ke halaman belakang, menepati ajakan bagas tadi. Bahkan, ia terlambat beberapa saat. Pria muda bernama bagas telah menunggu di sana, di pinggir kolam bersama ikan-ikan kecil warna-warni. Menyadari Marta datang, pria itu bangkit, menyambut gadis itu dengan menggenggam kedua tangannya. "Kenapa lama sekali, apa baginda berbuat sesuatu padamu?" Cecar Bagas, nampak sekali kekhawatiran dalam wajahnya. Bagaimana tidak, saat ini ia harus bersaing ketat d
"Saya tidak butuh itu?" Setiap jawaban Marta terdengar tegas, tanpa ketakutan sama sekali. " Lalu, apa yang kau butuhkan?" Baginda masih bertanya jengkel. Yang saya butuhkan adalah, kematian Anda! Ingin sekali Marta mengatakan langsung, tetapi harus ditahan kuat-kuat. Ia tak boleh gegabah jika belum ada persiapan lagi. Maka, yang bisa dilakukan saat ini adalah menggeleng tegas. "Pertama, saya memang belum siap menikah. Yang kedua adalah, saya telah berjanji pada kakek saya untuk kembali dan menemaninya menghabiskan sisa hidup. Jadi, saya tidak bisa selamanya berada di tempat ini. Saya mohon baginda mengerti."Tak segera menjawab, baginda hanya melepas nafas berat, kembali duduk seperti kehilangan semangat. "Jadi begitu?" Gumamnya kemudian. "Lagipula, Anda ini sudah berumur, Baginda. Kenapa masih berambisi untuk menikah lagi? Bukannya Anda sudah waktunya untuk menggendong cucu." Tak peduli pada siapapun yang ia ajak bicara saat ini, Marta menegaskan layaknya pada seseorang di bawa
Mereka kembali berlarian di sana. Suara gelak tawanya memang teredam oleh riuh prajurit berlatih, namun ada yang mengamatinya dengan wajah tak suka. "Ehmmm!!" Sebuah deheman berat, menghentikan aksi mereka. Baik Bagas maupun Marta, sama-sama menoleh ke arah yang sama. Keduanya melihat ada panglima berdiri angkuh sambil bersedekap tangan, membuang wajah sinis dari arah mereka. "Oh, rupanya kau, Panglima? Sudah lama anda berada di sini?" Tanya bagas, membimbing lengan Marta untuk mendekat. Tak lantas menjawab, sosok angkuh itu hanya melirik sekilas. Berdecih. Terlihat sekali sikap itu tak menunjukkan rasa hormat sedikitpun pada pangeran Mahendra. Sama seperti Baginda, sikap panglima itu pun sama. Sama-sama senang merendahkan sesama, juga ambisius. Wajar jika panglima itu bertahan lama di istana ini, sebab banyak kecocokan antara dirinya dan Baginda. "Pangeran Mahendra yang terhormat, anda tidak pantas bersikap layaknya anak kecil bersama pelayan di istana ini!" Desis Panglima bernad
"Apa baginda meminta saya untuk mencari kakak?" Bagas bangkit dari duduknya, mendekati sang Ayah yang terlihat benar-benar sedang dirundung nestapa. "Apa kau bersedia?" Tanya Baginda, melirik sekilas anaknya yang belum lama dianggap itu. "Kalau memang dibutuhkan, saya akan sangat bersedia, Baginda." Hingga saat ini bagas memang masih canggung untuk memanggil Baginda dengan, Ayah. Itulah mengapa ia lebih senang berada di luar istana, juga lebih senang disebut dirinya sebagai Bagas. Bukan pangeran Mahendra. "Biar saya saja, Baginda." Dua orang anak dan bapak itu serentak menoleh, terdengar suara panglima muncul entah darimana. "Kau?" Baginda bergumam. "Benar, Baginda. Apa tidak lebih baik saya saja daripada Pangeran Mahendra?""Ah, iya. Kau benar juga." Baginda menyahut, membenarkan usulan Panglima yang baru datang itu. "Baginda. Pangeran Mahesa tetap akan menjadi seorang Raja, bukan?" Tiba-tiba Panglima bertanya entah kenapa. "Kenapa tidak? Aku bahkan sudah menetapkan untuknya s
"Kau akan kaget saat bertemu dengannya nanti.""Pangeran! Pangeran!"Marta bingung, sebab semua orang bubar dari tempat duduknya. Termasuk perempuan yang sejak tadi mengajaknya berdebat. Saat menyadari, rupanya mereka semua berlari ke satu arah yang sama. Menuju ke arah sosok baru datang.Marta pun ikut terhenyak saat melihat seseorang yang datang, yang ia saja bahkan belum pernah melihat sebelumnya. Sosok berdiri di sana, yang terlihat tinggi, gagah, dan seperti pusat magnet pada semua pelayan yang ada di tempat ini. Termasuk Bibi Ratih. Hanya Marta saja yang tertinggal, sebab gadis itu masih sibuk mengamati apa yang sedang terjadi.Beberapa saat setelah melihat kerumunan itu, ia baru sadar. Orang yang tadi sedang dibicarakan kini telah datang. Marta tercengang dengan jemari menutup mulutnya."Benarkah itu pangeran Mahesa?" Gumamnya sangat lirih, dan meskipun ia suarakan agak keras, pasti teredam oleh riuh yang lain.Di sana, terlihat seperti pria rupawan sedang mengamati wajah para
Tak sempat ia melihat siapa pelakunya, tetapi langkah panjang itu telah membawanya menuju tempat yang lebih lapang dan terang. Marta kaget, apalagi kini badannya dihempaskan ke bangku ujung lorong tadi."Pangeran?" Gumamnya, menatap tak habis pikir ke arah Bagas yang menyorot tajam. "Ada apa ini?" Ia masih bertanya."Aku yang harusnya bertanya, kenapa kau berada di depan kamar Putra mahkota?" Nada suara Bagas terdengar sinis, Marta bangkit menghela nafas. Menyadari pria di depan itu sedang berada dalam keadaan salah paham."Bagas, kau salah paham. Aku kemari karena Pangeran yang memintaku.""Aku tidak salah paham. Dan kau tidak boleh masuk ke kamar itu.""Kenapa? Kakakmu itu hanya meminta pelayanan seperti Baginda. Dan sudah jadi tugasku, bukan?""Apa kau yakin, di dalam nanti kau hanya akan diminta melayaninya? Sementara Putra Mahkota itu .... " Tak sanggup melanjutkan kalimatnya, bagas menggeleng miris dengan tangan menyentuh lembut pundak sang gadis."Marta, kau tidak tau siapa Mah
Pijatan berhenti, dan Mahesa tak lagi menuntut untuk itu. Kini, pria itu malah tak berani menatap Marta seperti sebelumnya, malah gadis itu yang menatap tegas. "Baginda kan juga seperti itu." Meski menunduk, tetapi kalimat protes masih terdengar lirih. "Baginda bahkan lebih parah dariku. Dulu, setiap pelayan yang masuk pasti harus menginap di kamarnya. Selain itu juga, kepemimpinannya pun sewenang-wenang.""Dan karena itu, apa menurutmu rakyat di luar sana senang dengan kepemimpinan Baginda? Kenapa dari dulu hingga kini selalu saja ada gerakan pemberontak?" Marta menyerang pria itu dengan beberapa pertanyaan sekaligus, berharap agar Pangeran yang akan menduduki tahta itu mampu melihat kebenaran. Tak disangka, Pangeran Mahesa kini menatap lekat wajah Marta. Tanpa berkedip, bahkan sampai mengernyit seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kenapa kau berkata begitu?" Gumamnya mungkin tak habis pikir, sama seperti yang lain. "Memang benar, kan?" Marta tak boleh terpengaruh, apalagi kini pri
Ia kini dihadapkan kembali dengan persiapan serangan yang lebih dari sebelumnya. Namun, sebelum itu, Tiba-tiba ada sosok lain yang datang membantu. Melemparkan satu tendangan dan membuat mereka bertiga langsung terjatuh bersamaan. Sosok itu beberapa detik masih berdiri membelakangi Marta, hingga ia tak bisa melihat siapa. Apalagi di malam gelap seperti ini. Ia hanya bisa melihat, bahwa tiga orang jahat tadi saling menarik satu sama lain.Mereka berlari tunggang-langgang, meninggalkan Marta tercengang seorang diri. Dalam kepalanya mulai disinggahi rasa khawatir akan sosok yang tak juga membalikkan badan. Ia perlahan mendekat, dan semakin diamati, postur badan itu seperti tidak asing. Namun Marta tak berani menyimpulkan terlalu cepat. "Terimakasih, tuan. Telah membantu saya," Ucapnya pada sosok pria yang masih menyembunyikan wajah. Marta bisa melihat sosok itu, dari ujung kaki hingga ujung kepala yang mengenakan topi bambu. Pria itu, perlahan membalikkan badan. Marta tercengang. Tak
"Memang, apa kau tidak ingin terbuka dengan orang lain? Jangan hanya menutup diri seperti kemarin." Gading tak segera menjawab, pria itu malah menatapnya lekat-lekat, dengan pandangan yang tak bisa dimengerti."Kalau aku membuka hati, apa kau mau menerimanya?" Marta tercengang, baru menyadari bahwa pertanyaan tadi telah menjebak dirinya sendiri.Tak tau harus menjawab apa, kini Marta hanya menahan nafas dengan mengalihkan pandangannya. "Jadi bagaimana, Marta?" Tanya gading lagi, sebab belum mendapatkan jawaban. Sementara sang gadis seperti tak paham bahwa yang diajak bicara sangat mengharapkan jawaban."Aku, aku tidak paham dengan arah pembicaraanmu, Gading. Sebenarnya bagaimana?" Untuk lebih jelasnya, ia memang membutuhkan itu."Apa kau tidak paham juga, Marta? Saat ini aku sangat membutuhkan seorang teman yang bisa membuat hatiku kembali hidup seperti dulu." Marta belum berani menyahut, sebab dari sinipun sebenarnya ia telah mengerti."Tolong berikan hatimu padaku, Marta." Tiba-tiba
Keduanya berhenti akibat berpapasan dengan pohon besar, dengan posisi Marta berada di bawah badan Gading yang sama-sama membelalak kaget.Satu detik, dua detik. Marta bisa merasakan detak jantung Gading yang memacu cepat. Secepat pria itu membawanya berlari tadi. Setelah beberapa saat lamanya saling menatap, dan mengagumi dalam hati, Gading tersadar."Maaf." Pria itu spontan berdiri, tanpa menghiraukan Marta yang kepayahan menegakkan badan akibat tertindih olehnya.Dan sesaat setelah ia berhasil berdiri di depan Gading, Marta membelalak. Tak jauh di belakang pria itu, kucing besar tadi menyusul. Ia langsung menghunus anak panah di punggung gading, dan melemparkan tanpa perhitungan.Namun, ketika Gading menoleh, hewan itu telah menggelepar kesakitan. Tak lama, nafas terakhirnya pun menghembus panjang, kemudian badannya tak bergerak lagi."Dia ... Kau, membunuhnya?" Gading bergumam, wajahnya setengah tak percaya."Dia sangat berbahaya. Jadi biarkan saja mati," Jawab Marta berlalu dari h
Hanya Marta sesekali melirik, memperhatikan tangan kekar itu. Yang ternyata begitu telaten membersihkan kelinci, hingga memotong-motongnya menjadi beberapa bagian kecil yang siap dimasak. "Ambilkan panci itu." Suara gading terdengar, dan Marta sengaja acuh. Tetap fokus dengan sayuran di kedua tangannya. Dalam hati ingin melihat, bagaimana reaksi pria itu jika diperlakukan demikian. "Kau dengar, tidak?""Aku?" Marta malah bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Sementara yang tadi bertanya itu, kini berdecak kesal. "Mau menantang, kau rupanya?" Entah apa yang akan dilakukan, tangan Gading mendekati kepala Marta, dan tanpa ia sadari tiba-tiba lengannya terhempas kasar. Pria itu mendongak kaget, tak menyangka Marta gadis ini memiliki kecepatan luar biasa. Bahkan di saat ia belum sempat mengedipkan mata. Penasaran, gading kembali menggerakkan tangan, dan tangkisan Marta lebih tegas dari sebelumnya. Ia kini membelalak, apalagi melihat gadis cantik itu berdiri. Menatapnya dengan senyu
"Siapa suruh tidak makan," Celetuk Gading benar-benar membuat hati sakit. Andai saja kondisinya sehat, akan ia semprot dengan kalimat serupa. Dasar! Marta kini hanya bisa mengumpat dalam hati.Hanya ada sisa nasi beberapa butir, karena perut yang tak bisa lagi diajak bersabar, ia jumput nasi itu, dan makan. Aktifitas itu, sebenarnya tak luput dari pandangan aneh gading yang tak bisa dideskripsikan.Pria itu, sebenarnya sempat tertegun melihat sosok di depannya. Namun, tak ingin terlalu lama, Gading membuang wajah ke arah pintu.Sementara di sana, Marta tak menyadari. Setelah minum air dingin beberapa teguk, ia akan kembali ke kamar. Dengan langkah gontainya tadi, ia kadang jadi kehilangan keseimbangan, yang menyebabkan badannya oleng. Hampir ambruk, tetapi untung ia segera bisa membenahi posisi.Akan semakin kesal pria itu, jika ia harus merepotkan. Marta kembali ke kamar dan merebah lelah.Di luar kamar itu, gading mungkin penasaran tentang apa yang terjadi pada tamu perempuannya. Ia
Marta kesal, ia lemparkan daging tadi ke sebelah Gading yang kemudian mendongak kaget. "Dasar, manusia batu!" Umpat Marta berlari ke kamarnya. Sementara pria yang dikatakan manusia batu itu hanya melirik ke arah pintu yang masih bergerak akibat ditutup keras. Setelahnya, gading mengalihkan sorot mata pada beberapa tusuk daging, yang mungkin memang sengaja diperuntukkan baginya. Ia ambil tusukan mirip sate itu, menghirupnya sekilas dan menarik satu potong paling ujung menggunakan giginya. Gading menikmati, ia bergumam dalam hati, ternyata, gadis yang baginya cerewet itu pintar memasak. Gading membaringkan badan setelah menghabiskan semua sate tadi, dan membiarkan tusuknya tetap berserakan di samping badan. Bahkan hingga pagi, hingga Marta terbangun oleh hawa dingin tak biasa. Gadis itu mendekati tungku dan menyalakannya, di saat semua orang di rumah ini belum terdengar bangun. Marta memilih menghangatkan badannya di depan tungku. "Wah, wah. Kau rupanya sudah bangun, ya?" Suara Ibu
"Makanan masih ada, Gading.""Pasti perempuan tak diundang ini, yang telah menghabiskannya!" Mendengar suara sengit, Marta mendongak kesal."Maaf, tuan gading. Makanan masih ada. Jika anda belum kenyang dengan nasi ini, nanti akan saya buatkan untuk Anda," Marta menyahut. Gading tak menjawab, hanya mendengus kesal sambil menarik kasar bakul nasi yang berada di depan Marta.Dalam bakul itu, memang hanya tinggal seporsi nasi, dan pas untuk satu orang saja. Mungkin, bagi Gading yang baru saja pulang dari berburu, porsi itu masih kurang.Orang tua gading tak ikut bersuara, sebab mereka sibuk menyiapkan entah. Hanya saja si ibu kemudian duduk di dekat anaknya, dan bertanya. "Gading. Nanti, kau tidur di sini, ya. Biar Marta yang tidur di kamarmu.""Apa? Enak saja. Sudah numpang, masih mengganggu kamarku? Tidak, bu. Aku tidak mau!" Gading menjawab sengit. Nampaknya, pemuda itu memang angkuh dan egois. Terlihat sekali bahwa sosok itu susah diajak bekerjasama."Bu, tidak apa-apa. Biar saya yan
Bagas berhenti, menyandarkan punggung di tembok sambil memegangi keningnya. "Tuan bagas. Anda baik-baik saja?" Suara Bibi mendekat. Ia mengangguk lemah, ini pasti akibar dari perutnya yang kosong sejak pagi."Tidak apa-apa, Bibi. Aku hanya lapar," Jawabnya."Ya ampun, tuan. Kenapa tidak makan dulu, mari saya antar ke tempat makan." Bagas menurut, mengikuti langkah wanita itu di belakangnya.Hingga tiba di tempat biasa bagas makan bersama baginda, Mahesa dan semua penduduk istana. Kini, Bagas duduk di depan meja yang di atasnya terdapat banyak sekali menu makanan lezat.Ia membiarkan beberapa pelayan mengisi piring dan gelasnya, lalu memintanya makan seperti biasa. Namun, ada yang tak biasa sore ini. Bagas enggan makan, meski rasa perut keroncongan sejak tadi.Suasana sunyi, terasa lebih mencekam, apalagi di hatinya kehilangan dua orang sekaligus. Bukan segera makan, ia hanya memainkan nasi dengan jemarinya.Marta, nama itu masih berputar cepat dalam ingatan. Meski rasa benci, memaksan
Kini, ia kembali ke istana. Dan menghembus berat saat melihat semua orang istana berkumpul di tempat yang sama. Hatinya menyimpulkan sesuatu yang buruk tentang Baginda. Ia berlari mendekati Mahesa yang berada di pinggir, pria yang tersedu-sedu, dengan sesekali menyeka air mata. "Pangeran?" Teriaknya, menyentuh bahu sang Kakak yang kemudian menatap tajam. "Kemana saja kau?" Tanya Mahesa kesal, "lihatlah, Wyah kita telah tiada."Tak menjawab, Bagas menoleh ke arah yang ditunjukkan Mahesa. Nafasnya kemudian memberat. "Siapa yang telah melakukan semua ini, Bagas?" Pertanyaan yang tak mungkin ia jawab. Bagas malah menjauhi, berjalan mendekati jenazah Baginda yang telah selesai dimandikan. "Hey!" Mahesa menyusul, menyentuh kasar pundak Bagas yang mengabaikan pertanyaaia nnya. Ia menoleh, menatap lembut wajah Lakak yang penuh duka. "Kakak, untuk saat ini, kita urus dulu jenazah Ayah, ya. Baru setelah itu, kita bahas kejadiannya. Menurut, Mahesa mengangguk lemah. Menyusul Bagas berjalan m