Marta menuangkan minuman dalam gelas sang Raja, dapat dilihat jelas bagaimana raut wajah itu. Apalagi sesaat tadi sang Raja pun sempat menatap ke arahnya.
"Kau anak baru?" Suara bariton menggema, memenuhi gendang telinga. Mempercepat gerak jantung, jika tak diredam, bisa dipastikan meledak di tempat ini. Jika hal itu terjadi, ia menanggung malu. Dipecat, dan niat hanya tinggal niat belaka.
Maka, sebelum menjawab, nafas berat ia tarik dalam-dalam. "Benar, Baginda." Dengan beberapa tanya berseliweran dalam benak. Kenapa hanya dirinya yang ditanya, padahal ada dua orang teman mondar-mandir di meja itu. Juga anak baru. Mereka tak ditanya, hanya Marta saja.
Ia pikir, pertanyaan tadi hanya sekedar basa-basi sewajarnya saja. Namun, netra Baginda rupanya belum beralih dari wajah Marta, hingga gadis itu bingung hendak mengalihkan kemana.
"Kau tinggal di mana? Apa aku pernah mengenalmu?" Tanya sang Raja membuat Marta mendongak seketika.
"Maaf, Baginda. Mana mungkin baginda pernah melihat saya, yang hanya seorang gadis desa," Ucapnya membungkukkan badannya santun, seperti yang telah diajarkan oleh Bibi tadi.
Tak hanya Bibi, ajaran sopan santun telah kenyang ia dapat dari Kakek. Hanya saja untuk yang satu ini, untuk orang yang satu ini, mana mungkin ia bisa bersikap santun?
"Oh, benarkah?" Gumam Baginda, entah apa yang terjadi, tiba-tiba pria petinggi negeri ini menggeleng samar, seperti orang bingung.
"Kau kenal dia, suamiku?" Raja Danar kembali bingung saat sang Permaisuri bertanya, apalagi mimik wajah ratu itu mengernyit penuh curiga.
"Mungkin, aku hanya salah orang saja."
"Salah orang bagaimana, maksudnya?" Pertanyaan Permaisuri semakin serius, menunjukkan sikap cemburu yang bisa semakin menjadi jika tak segera diatasi.
Maka, mendengar pertanyaan sang istri, Baginda terhenyak panik. "Bukan begitu, istriku. Kau pasti berfikir negatif, kan? Sudah, ayo kita makan malam saja."
makan malam telah usai, semua pelayan kembali membawa alat makan ke tempatnya, sebagai anak baru, Marta dan keempat orang temannya harus tau diri. Mereka memilih ke kamar paling akhir, dengan terlebih dahulu membereskan dapur yang dirasa belum rapi.
"Marta, apa tujuanmu kerja di sini?" Ia terkejut saat mendengar pertanyaan dari salah seorang teman yang sejak tadi memang sering bersamanya.
"Maksudnya bagaimana, Puspa?" Tanya Marta heran saja. Memangnya ada yang tau bahwa ia berada di tempat ini memiliki tujuan khusus selain bekerja mencari uang?
"Kan biasanya, setiap orang yang bekerja itu karena dia punya sebuah tujuan yang ingin dicapai. Seperti aku ini contohnya," Gadis berkulit sawo matang itu berujar.
"Memang apa tujuanmu?" Tanya Marta ingin tau. Tak lantas menjawab, gadis di depan itu malah menerawang dan senyum-senyum sendiri seperti orang kasmaran.
"Selain mencari uang untuk membangun rumah, ada tujuan lain yang ingin kucapai di tempat ini." Kalimat itu malah terdengar ambigu, Marta makin memicing penasaran.
"Aku ingin bertemu dengan pangeran Mahendra."
"Pangeran Mahendra?" Marta bergumam, mengulang kalimat dari sang teman. "Memang di sini ada pangeran?" Tanyanya, karena selama ini ia memang tak pernah mendengar hal itu.
"Iya. Memang kau tidak tau? Tapi, katanya sudah beberapa tahun ini, pangeran berkelana untuk memperdalam keilmuannya." Kalimat itu terhenti, Puspa malah makin seperti orang kesengsem. Memainkan ujung rambut menggunakan jemari, dengan tatapan menerawang entah kemana.
"Aku tidak bisa membayangkan, betapa tampan dan gagah pria itu .... "
"Haha, mimpi kau!" Kelakar Marta menepuk pundak sang teman, hingga gadis itu mendengus kesal. "Awas saja, kau pasti akan kecanduan saat melihat wajah tampannya."
Tak menanggapi, Marta malah mencebik dan teringat beberapa bulan yang lalu. Saat ia hendak menombak ikan di sungai, tiba-tiba muncul tombak lain, yang ujungnya ada tiga ekor ikan gemuk menggelepar.
Entah siapa nama pendekar rupawan itu, ia bahkan tak sempat berkenalan. Marta menggeleng samar, menepis ingatan yang menurutnya tak mungkin itu.
"Hey, apa yang terjadi padamu?" Sebuah tepukan dipundak kemudian membangunkan Marta dari lamunan tentang masa lalu. Ia menggeleng santai.
"Kalau kau, apa tujuanmu bekerja di sini?" Ditanya lagi, Marta melirik ke arah sang teman. Ia pikir tak akan ada lagi pembahasan itu, rupanya masih berlanjut. Namun, mana mungkin ia dapat jelaskan yang sesungguhnya.
Sementara saat ini telah semua orang ia bohongi. Termasuk kakek yang sejak kecil telah merawat dan membesarkan dirinya.
"Tujuanku, ya?"
"Iya. Apa tujuanmu?"
"Aku .... " Marta mengerjap ragu, juga sepintas ingin menertawakan diri sendiri. Memang ada seorang pelayan yang ingin membunuh majikannya karena sebuah dendam. Apalagi jika majikan itu bukan orang sembarangan. Melainkan seorang Raja, aneh!
"Apa tujuanmu? Jangan katakan punya tujuan yang sama denganku, ya. Aku tidak mau lagi berteman denganmu!" Belum sempat Marta menjelaskan, gadis bernama Puspa itu telah berceloteh panjang. Membuat Marta terkekeh sendiri.
"Jangan asal bicara, ya. Aku tidak ada tujuan lain, selain mencari uang," Jawabnya berusaha meyakinkan yang bertanya.
"Halah, aku tidak percaya!" Puspa berdecak, menimbulkan gelenyar kekhawatiran di hatinya. Yang ia khawatirkan adalah, mana mungkin sikap itu menimbulkan keanehan? Atau bahkan raut wajahnya memang menunjukkan kebohongan itu.
"Jauh-jauh dari pinggir sawah ke kota Raja begini, masa iya cuma mau cari uang? Padahal di sini banyak sekali hal baru yang di tempat kita tidak ada," Ucap Puspa mencebik tak percaya. Marta yang tadinya agak tegang, kini mendesah lega. Rupanya cuma itu? Gumamnya kemudian.
"Memang kau tidak ingin mencari pasangan orang kota? Yah, untuk memperbaiki keturunan misalnya."
"Hahaha, ada-ada saja bicaramu ini. Sudah malam, ayo kembali. Besok segunung tugas pasti menunggu kita, kan?" Tak ingin terlihat lebih jauh dalam curahan hati. Karena bisa saja ia tanpa sadar membeberkan diri yang sebenarnya.
Ah, tidak. Itu tidak boleh terjadi!
Sudah tiga malam ia tidur di tempat hangat ini. Selama itu pula, karena tempat yang terlalu nyaman, membuatnya lupa dengan kebiasaan olah tubuh di malam hari. Bahkan ia selalu dibangunkan Bibi karena selalu bangun terlambat.
Bahkan, ia tiba di dapur saat semua orang telah berkumpul di sana. Maka hal itu tak boleh dibiarkan begitu saja. Terlalu lama malas, akan membuat fisiknya semakin lemah saja. Ibarat sebuah pisau, ia akan semakin tajam saat setiap hari diasah dan digunakan. Lain halnya jika pisau itu didiamkan begitu saja, yang ada akan semakin berkarat. Bahkan rusak.
Belum lama ia masuk kamar, sebelum terlanjur nyaman di tempat duduk, Marta memilih untuk duduk di bawah. Merenung beberapa saat untuk menentukan langkah apa yang akan ia jalankan selanjutnya.
Benak diamnya itu, lantas menghadirkan sosok wajah serakah yang terlihat dari sang Raja. Betapa tidak, sudah dua puluh tahun lebih, pria itu duduk manis di singgasananya. Hingga saat ini belum ada yang menggantikan.
Belum ada, atau memang tak boleh ada. Mengingat saat ada sedikit saja kelompok pemberontak, maka semua yang ada di wilayah itu harus rata dengan tanah. Seperti yang dialami Marta beserta seluruh keluarga. Juga tetangga dekat, yang sama sekali tak terlibat dalam gerakan pemberontak itu.
Meski di dalam ruangan tertutup, ia perlahan menegakkan badan. Membawanya berdiri tegak, mengangkat tangan untuk memulai kuda-kuda.
Satu pukulan tangan ia lepaskan ke ruang kosong di depan mata. Disusul kemudian tendangan kaki. Selanjutnya bergantian antara keduanya, susul menyusul. Pukulan dan tendangan ia lepaskan bergantian, hingga hawa panas dalam tubuh membuatnya tak terkendali.
Satu pukulan tanpa sengaja membuat kesalahan, dan prank!!
Gelas berbahan marmer yang ia bawa dari dapur tadi pecah. Berserakan di bawah meja. Belum sempat ia menutup gerakannya, Marta lebih dulu kaget. Nafas memburu makin kacau karena kedua tangan menutup mulut ternganga.
"Marta, apa yang terjadi?"
***
Gelas berbahan marmer yang ia bawa dari dapur tadi pecah. Berserakan di bawah meja. Belum sempat ia menutup gerakannya, Marta lebih dulu kaget. Nafas kacaunya makin kacau karena kedua tangan menutup mulut ternganga."Marta, apa yang terjadi?" Suara dari depan pintu kamar, membuat Marta tercengang seketika. Ia bingung, antara membuka pintu yang tergedor keras atau mengambil serpihan marmer di depan kakinya."Marta, apa yang terjadi? Buka pintunya!" Suara bibi kembali menggelegar di depan pintu, jika Marta tak segera membukanya, bisa dipastikan teman-teman sebelah kamar akan berhamburan keluar."Iya, Bibi. Sebentar," Ia ikut berteriak, mendekati pintu dan membukanya. Mendapati wajah Bibi yang menatap garang kepadanya, manik matanya bergerak-gerak penuh selidik."Ada apa, Bi?" Tanya Marta seolah tak terjadi apapun, ia menghalangi tengah pintu agar Bibi itu tak menerobos masuk ke kamarnya."Apa yang terjadi, saya tadi mendengar ada benda pecah dari kamarmu?" Tanya Bibi kian penasaran, Mar
"Duduklah." Ia pun lantas menurut titah sang Baginda. Menunggu beberapa saat karena bingung sendiri harus berkata apa. "Kau tau, sikapmu itu begitu menarik perhatianku?" Entah pernyataan atau pertanyaan, karena Baginda hanya terdengar menggumam lirih, dan itu membuat Marta tertegun heran. Melihat gadis itu nampak bingung, Baginda tersenyum hangat. Entah kenapa, tak hanya kecantikannya saja yang begitu menarik dari pelayan baru yang satu ini. Tapi sikapnya, keberaniannya itulah yang lebih menarik hati baginda. Karena baru kali ini menemukan gadis desa seberani dia. "Baru kali ini aku melihat ada pelayan perempuan yang berani sepertimu. Siapa kau sebenarnya?" Tanya Baginda dengan tatapan tak beralih dari wajah Marta, hingga gadis itu merasa risih dipandangi demikian. Sebab sejak kecil, ia hanya dekat dengan lelaki dari keluarganya sendiri. Juga kakek yang merawatnya hingga dewasa. "Kenapa kau tadi dengan berani berkata jujur, dan membantu kepala pelayan itu?" Tanya Baginda lagi, kar
"Ada yang salah, Bi?" Tanya Marta heran sendiri, kemudian bibi mengerjap sambil menggeleng pelan. "Kau hari ini terlihat lebih segar," Bibi memberikan komentar. "Tentu saja, bertugas di depan orang nomor satu, masa iya masih disamakan dengan bertugas di dapur, Bi? Benarkan?" Marta berlalu, meninggalkan Bibi yang masih bengong seorang diri. "Marta, tunggu! Kau mau kemana?" Teriak Bibi menyusul pegawai barunya. Ia khawatir gadis muda itu masuk begitu saja ke kamar sang raja tanpa ucapan yang jelas. Beruntung ia masih menemukan Marta cukup jauh dari kamar sang raja. Langkah gadis itu terhentak cepat, menandakan ia tak sabar lagi ingin segera bertemu dengan baginda dan permaisuri di kamarnya. "Marta, tunggu dulu!" Bibi menangkap lengan Marta yang lantas berbalik cepat. Reflek ingin menangkis tangan penyusul, dan membuat bibi tercengang. Tercipta rasa takut seketika. "Oh, Bibi? Maaf, saya kira tadi siapa," Ucap gadis itu menata nafasnya. Sementara ia khawatir melihat raut wajah Bi
"Dia tadi mengamati tempat ini, seperti tertarik dengan proses latihan para prajurit.""Memangnya kenapa kalau dia tertarik?""Memangnya kenapa? Siapa tau saja memang dia bukan pelayan biasa.""Maksudmu?" Sang teman bertanya heran, mungkin belum paham tentang maksud panglima yang hingga kini masih menatap sosok pelayan. "Semoga saja ini hanya pikiranku sendiri." Panglima menggeleng. Pria itu sebenarnya curiga, tetapi belum berani untuk menyimpulkan apapun. "Kau curiga padanya?""Yah, tapi aku belum mendapatkan kepastian. Biar aku nanti bicara langsung dengan baginda. Mengusulkan padanya agar pelayan pribadi ditambah.""Ah, kau ini ada-ada saja. Masa menaruh curiga dengan seorang pelayan perempuan. Kalau dia memang bukan pelayan biasa, apa maksudnya pula? Benar, kan?" Yang satu menimpali. Panglima mengangguk membenarkan. "Kau benar. Tetapi jangan salah, posisi seperti baginda dan permaisuri itu banyak yang menginginkan. Banyak pula orang-orang di luar sana yang iri dengan mereka.""
"Apa mungkin rombongan pemberontak itu mengirimkan mata-mata dan membunuh istri saya?" Gumam Baginda hanya dengan menatap nanar hidangan di atas meja. "Apa Baginda tidak menaruh curiga pada salah satu orang dalam istana ini?" Panglima angkat bicara, membuat semua yang duduk di depan meja itu mendongak heran. Pun dengan Marta yang duduk tak jauh dari mereka. "Curiga? Apa maksudmu, panglima?" Tanya Baginda tentu saja, lelah dengan tugas sebagai petinggi negara, pria berumur itu mungkin tak sempat menaruh rasa curiga pada siapapun dalam istana. Yang ada dalam benaknya selama ini adalah rumor tentang sisa rombongan pemberontak waktu itu, kini masih bertahan dan semakin menghimpun kekuatan. Negeri ini sedang dalam ancaman, itulah yang selama ini Baginda pikirkan. Tak hanya Baginda yang menaruh heran pada pertanyaan Panglima tadi, tetapi semua yang ada di tempat itu. Mereka menatap penuh tanya. Sementara Panglima menggeleng samar, dalam hati pun ikut meredam rasa curiga tanpa dasar i
Bahkan menunggui saat Marta meracik teh pesanan baginda. "Ada apa, Panglima? Apa anda memesan teh juga?" Tanya Marta berniat mencairkan suasana. Namun pria itu memberikan jawab menusuk. "Aku hanya sedang memastikan, kau tak memberikan sesuatu pada minuman itu.""Ah, panglima ini. Ada-ada saja," Ucap Marta mengerling genit yang dibuat-buat. Ia bahkan hendak menyentuh lengan berotot panglima yang tercetak dari balik baju panjang. Namun, saat belum tiba tangan itu, panglima telah menyingkir sambil mendengus kesal. "Kau ini licik, juga pandai merayu laki-laki!" Desis pria itu menatap jijik. Bukannya tak nyaman dengan kalimat ketus itu, Marta justru terkekeh tak habis pikir. Dalam hatinya mengatakan, pandai juga orang ini membaca gerak-gerik orang lain. "Benarkan, coba Anda pikirkan. Kalau aku yang bertindak atas semua ini, apa tujuanku, hm? Seorang gadis Desa yang tak punya apapun dan dukungan dari manapun di tempat ini.""Lagipula, kenapa anda curiga sekali padaku? Apa anda punya bukt
Setelah melayani sang Raja sejak sore tadi, kini saatnya Marta duduk seorang diri di teras belakang. Menikmati semilir angin malam, yang kadang mengharuskannya memeluk diri. "Kau sendirian saja di sini?" Seseorang bertanya, membuat Marta menoleh kaget. Apalagi saat menemukan sosok berdiri tegak di depan dengan jarak beberapa meter, seorang pria yang menolongnya pagi itu di pasar. "Kau, di sini?" Gumamnya seraya bangkit dari duduk, ia mengerjap saat pria yang katanya memiliki nama bagas itu mendekat. "Kenapa bisa di sini?" Belum mendapatkan jawaban, Marta mencecar pria itu karena rasa penasarannya. "Ceritanya panjang," Ucap bagas menyusul Marta duduk di sebelahnya. Pria berwajah tampan itu terlihat semakin rupawan saat berbicara sambil tersenyum. "Tapi yang jelas, saat ini aku juga mendapatkan pekerjaan di sini. Jadi, kita bisa bisa bertemu setiap hari." Bagas mengerling nakal, sementara Marta menyipit heran. Ia berdecak, tetapi rasa penasaran mendorongnya kembali bertanya. "Kau be
"Aman, kan? Silahkan diminum." Marta berseru, tetapi pria tadi malah membalikkan badan dan pergi sambil menggerutu. Meninggalkan gadis pelayan yang kemudian mengedikkan bahu tak peduli, kejab kemudian Marta tersenyum geli. Baru menyadari kesalahan kecil yang ia lakukan pada Panglima tadi. Memang siapa yang tak langsung melarikan diri setelah diberikan minuman sisa? Ia mengikik sendiri, membawa gelas itu berjalan melewati pintu dapur. Langkahnya pelan, seperti sedang memberikan keseimbangan badan badan agar gelas yang ia bawa isinya tidak beriak. Saat melangkah keluar pintu, Marta dibuat kaget oleh sosok yang ternyata masih menungguinya di pinggiran pintu sebelah luar. Saking kagetnya, ia nyaris menjatuhkan gelas di tangan. Untungnya, sosok itu segera membantunya memegangi gelas. Marta tersenyum nyengir. "Panglima masih di sini?" Gumam gadis itu yang tak lantas dijawab oleh panglima, melainkan hanya dengusan kecil dengan wajah berpaling, dan tangan menjauh dari gelas Marta. Namun d
Ia kini dihadapkan kembali dengan persiapan serangan yang lebih dari sebelumnya. Namun, sebelum itu, Tiba-tiba ada sosok lain yang datang membantu. Melemparkan satu tendangan dan membuat mereka bertiga langsung terjatuh bersamaan. Sosok itu beberapa detik masih berdiri membelakangi Marta, hingga ia tak bisa melihat siapa. Apalagi di malam gelap seperti ini. Ia hanya bisa melihat, bahwa tiga orang jahat tadi saling menarik satu sama lain.Mereka berlari tunggang-langgang, meninggalkan Marta tercengang seorang diri. Dalam kepalanya mulai disinggahi rasa khawatir akan sosok yang tak juga membalikkan badan. Ia perlahan mendekat, dan semakin diamati, postur badan itu seperti tidak asing. Namun Marta tak berani menyimpulkan terlalu cepat. "Terimakasih, tuan. Telah membantu saya," Ucapnya pada sosok pria yang masih menyembunyikan wajah. Marta bisa melihat sosok itu, dari ujung kaki hingga ujung kepala yang mengenakan topi bambu. Pria itu, perlahan membalikkan badan. Marta tercengang. Tak
"Memang, apa kau tidak ingin terbuka dengan orang lain? Jangan hanya menutup diri seperti kemarin." Gading tak segera menjawab, pria itu malah menatapnya lekat-lekat, dengan pandangan yang tak bisa dimengerti."Kalau aku membuka hati, apa kau mau menerimanya?" Marta tercengang, baru menyadari bahwa pertanyaan tadi telah menjebak dirinya sendiri.Tak tau harus menjawab apa, kini Marta hanya menahan nafas dengan mengalihkan pandangannya. "Jadi bagaimana, Marta?" Tanya gading lagi, sebab belum mendapatkan jawaban. Sementara sang gadis seperti tak paham bahwa yang diajak bicara sangat mengharapkan jawaban."Aku, aku tidak paham dengan arah pembicaraanmu, Gading. Sebenarnya bagaimana?" Untuk lebih jelasnya, ia memang membutuhkan itu."Apa kau tidak paham juga, Marta? Saat ini aku sangat membutuhkan seorang teman yang bisa membuat hatiku kembali hidup seperti dulu." Marta belum berani menyahut, sebab dari sinipun sebenarnya ia telah mengerti."Tolong berikan hatimu padaku, Marta." Tiba-tiba
Keduanya berhenti akibat berpapasan dengan pohon besar, dengan posisi Marta berada di bawah badan Gading yang sama-sama membelalak kaget.Satu detik, dua detik. Marta bisa merasakan detak jantung Gading yang memacu cepat. Secepat pria itu membawanya berlari tadi. Setelah beberapa saat lamanya saling menatap, dan mengagumi dalam hati, Gading tersadar."Maaf." Pria itu spontan berdiri, tanpa menghiraukan Marta yang kepayahan menegakkan badan akibat tertindih olehnya.Dan sesaat setelah ia berhasil berdiri di depan Gading, Marta membelalak. Tak jauh di belakang pria itu, kucing besar tadi menyusul. Ia langsung menghunus anak panah di punggung gading, dan melemparkan tanpa perhitungan.Namun, ketika Gading menoleh, hewan itu telah menggelepar kesakitan. Tak lama, nafas terakhirnya pun menghembus panjang, kemudian badannya tak bergerak lagi."Dia ... Kau, membunuhnya?" Gading bergumam, wajahnya setengah tak percaya."Dia sangat berbahaya. Jadi biarkan saja mati," Jawab Marta berlalu dari h
Hanya Marta sesekali melirik, memperhatikan tangan kekar itu. Yang ternyata begitu telaten membersihkan kelinci, hingga memotong-motongnya menjadi beberapa bagian kecil yang siap dimasak. "Ambilkan panci itu." Suara gading terdengar, dan Marta sengaja acuh. Tetap fokus dengan sayuran di kedua tangannya. Dalam hati ingin melihat, bagaimana reaksi pria itu jika diperlakukan demikian. "Kau dengar, tidak?""Aku?" Marta malah bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Sementara yang tadi bertanya itu, kini berdecak kesal. "Mau menantang, kau rupanya?" Entah apa yang akan dilakukan, tangan Gading mendekati kepala Marta, dan tanpa ia sadari tiba-tiba lengannya terhempas kasar. Pria itu mendongak kaget, tak menyangka Marta gadis ini memiliki kecepatan luar biasa. Bahkan di saat ia belum sempat mengedipkan mata. Penasaran, gading kembali menggerakkan tangan, dan tangkisan Marta lebih tegas dari sebelumnya. Ia kini membelalak, apalagi melihat gadis cantik itu berdiri. Menatapnya dengan senyu
"Siapa suruh tidak makan," Celetuk Gading benar-benar membuat hati sakit. Andai saja kondisinya sehat, akan ia semprot dengan kalimat serupa. Dasar! Marta kini hanya bisa mengumpat dalam hati.Hanya ada sisa nasi beberapa butir, karena perut yang tak bisa lagi diajak bersabar, ia jumput nasi itu, dan makan. Aktifitas itu, sebenarnya tak luput dari pandangan aneh gading yang tak bisa dideskripsikan.Pria itu, sebenarnya sempat tertegun melihat sosok di depannya. Namun, tak ingin terlalu lama, Gading membuang wajah ke arah pintu.Sementara di sana, Marta tak menyadari. Setelah minum air dingin beberapa teguk, ia akan kembali ke kamar. Dengan langkah gontainya tadi, ia kadang jadi kehilangan keseimbangan, yang menyebabkan badannya oleng. Hampir ambruk, tetapi untung ia segera bisa membenahi posisi.Akan semakin kesal pria itu, jika ia harus merepotkan. Marta kembali ke kamar dan merebah lelah.Di luar kamar itu, gading mungkin penasaran tentang apa yang terjadi pada tamu perempuannya. Ia
Marta kesal, ia lemparkan daging tadi ke sebelah Gading yang kemudian mendongak kaget. "Dasar, manusia batu!" Umpat Marta berlari ke kamarnya. Sementara pria yang dikatakan manusia batu itu hanya melirik ke arah pintu yang masih bergerak akibat ditutup keras. Setelahnya, gading mengalihkan sorot mata pada beberapa tusuk daging, yang mungkin memang sengaja diperuntukkan baginya. Ia ambil tusukan mirip sate itu, menghirupnya sekilas dan menarik satu potong paling ujung menggunakan giginya. Gading menikmati, ia bergumam dalam hati, ternyata, gadis yang baginya cerewet itu pintar memasak. Gading membaringkan badan setelah menghabiskan semua sate tadi, dan membiarkan tusuknya tetap berserakan di samping badan. Bahkan hingga pagi, hingga Marta terbangun oleh hawa dingin tak biasa. Gadis itu mendekati tungku dan menyalakannya, di saat semua orang di rumah ini belum terdengar bangun. Marta memilih menghangatkan badannya di depan tungku. "Wah, wah. Kau rupanya sudah bangun, ya?" Suara Ibu
"Makanan masih ada, Gading.""Pasti perempuan tak diundang ini, yang telah menghabiskannya!" Mendengar suara sengit, Marta mendongak kesal."Maaf, tuan gading. Makanan masih ada. Jika anda belum kenyang dengan nasi ini, nanti akan saya buatkan untuk Anda," Marta menyahut. Gading tak menjawab, hanya mendengus kesal sambil menarik kasar bakul nasi yang berada di depan Marta.Dalam bakul itu, memang hanya tinggal seporsi nasi, dan pas untuk satu orang saja. Mungkin, bagi Gading yang baru saja pulang dari berburu, porsi itu masih kurang.Orang tua gading tak ikut bersuara, sebab mereka sibuk menyiapkan entah. Hanya saja si ibu kemudian duduk di dekat anaknya, dan bertanya. "Gading. Nanti, kau tidur di sini, ya. Biar Marta yang tidur di kamarmu.""Apa? Enak saja. Sudah numpang, masih mengganggu kamarku? Tidak, bu. Aku tidak mau!" Gading menjawab sengit. Nampaknya, pemuda itu memang angkuh dan egois. Terlihat sekali bahwa sosok itu susah diajak bekerjasama."Bu, tidak apa-apa. Biar saya yan
Bagas berhenti, menyandarkan punggung di tembok sambil memegangi keningnya. "Tuan bagas. Anda baik-baik saja?" Suara Bibi mendekat. Ia mengangguk lemah, ini pasti akibar dari perutnya yang kosong sejak pagi."Tidak apa-apa, Bibi. Aku hanya lapar," Jawabnya."Ya ampun, tuan. Kenapa tidak makan dulu, mari saya antar ke tempat makan." Bagas menurut, mengikuti langkah wanita itu di belakangnya.Hingga tiba di tempat biasa bagas makan bersama baginda, Mahesa dan semua penduduk istana. Kini, Bagas duduk di depan meja yang di atasnya terdapat banyak sekali menu makanan lezat.Ia membiarkan beberapa pelayan mengisi piring dan gelasnya, lalu memintanya makan seperti biasa. Namun, ada yang tak biasa sore ini. Bagas enggan makan, meski rasa perut keroncongan sejak tadi.Suasana sunyi, terasa lebih mencekam, apalagi di hatinya kehilangan dua orang sekaligus. Bukan segera makan, ia hanya memainkan nasi dengan jemarinya.Marta, nama itu masih berputar cepat dalam ingatan. Meski rasa benci, memaksan
Kini, ia kembali ke istana. Dan menghembus berat saat melihat semua orang istana berkumpul di tempat yang sama. Hatinya menyimpulkan sesuatu yang buruk tentang Baginda. Ia berlari mendekati Mahesa yang berada di pinggir, pria yang tersedu-sedu, dengan sesekali menyeka air mata. "Pangeran?" Teriaknya, menyentuh bahu sang Kakak yang kemudian menatap tajam. "Kemana saja kau?" Tanya Mahesa kesal, "lihatlah, Wyah kita telah tiada."Tak menjawab, Bagas menoleh ke arah yang ditunjukkan Mahesa. Nafasnya kemudian memberat. "Siapa yang telah melakukan semua ini, Bagas?" Pertanyaan yang tak mungkin ia jawab. Bagas malah menjauhi, berjalan mendekati jenazah Baginda yang telah selesai dimandikan. "Hey!" Mahesa menyusul, menyentuh kasar pundak Bagas yang mengabaikan pertanyaaia nnya. Ia menoleh, menatap lembut wajah Lakak yang penuh duka. "Kakak, untuk saat ini, kita urus dulu jenazah Ayah, ya. Baru setelah itu, kita bahas kejadiannya. Menurut, Mahesa mengangguk lemah. Menyusul Bagas berjalan m