Share

Penyamaran

Author: Siti Marfuah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Satu pukulan Kakek mengenai punggung, membelit kedua tangan dari belakang. Srikandi tak dapat bergerak. 

"Amarah masih menutup logikamu, anak manis." Tegas Kakek mengurai belitan tangannya pada kedua lengan sang cucu. Merasa tercambuk jiwa raga, Srikandi melepaskan diri, bergerak menjauh dengan kembali memasang kuda-kudanya. Bersiap menyerang Kakek. 

Serangan kedua pun gagal, kakek masih dengan mudahnya mematahkan pukulan dan tendangan dari sang gadis. Hingga Srikandi menyerah, melarikan diri dan duduk kesal di atas batu melebar. 

Suara terkekeh, membuatnya melepas nafas kasar. Biar bagaimanapun, ia masih belum bisa menandingi Kakek yang tingkat keilmuannya telah menggunung. Tak hanya itu, pengalaman lebih banyak mengajarkan segalanya. 

"Sampai kapanpun, penyerang tak akan pernah menang saat dibarengi dengan amarah. Amarah hanya akan menghilangkan konsentrasimu, nak." Kakek menyusul duduk di sebelah Srikandi. 

"Pikiran apa yang sedang mengganggu benakmu, cucuku?" Tanya Kakek menatap serius gadis tertunduk menetralkan desak nafas yang masih memburu. 

"Tidak ada, Kek. Mungkin karena sudah terlalu lelah," Jawabnya tak ingin diketahui pikiran telah terberat sebenarnya. 

"Minumlah." Sebuah tempat minum dari bambu  terangsur ke depan Srikandi, ia menerimanya meneguk air dingin itu hingga tak tersisa. Air dingin menyejukkan, yang dapat meredam gemuruh dalam hati dan dadanya sejak tadi. 

Gadis muda itu bersiap kembali, berdiri tegak untuk mengatur hati dan nafas. Tangan dan kakinya bergerak perlahan memasang kuda-kuda. Disambut angin bertiup sejenak, memainkan rambut panjang dan ujung pakaiannya. 

"Tingkatkan konsentrasi. Jangan terkecoh oleh apapun!" Kakek memberikan komando. 

Srikandi berputar, satu pukulan terlempar, menimbulkan kilatan cahaya. Kilatan-kilatan itu semakin sering, dan menerbangkan dedaunan kering yang ada di tanah dan di ujung dahan, seiring dengan pukulan tangan serta tendangan yang tersaji. 

Gadis itu kembali dari atas, berdiri sigap di depan Kakek yang tersenyum bangga. Keduanya mengangguk bersamaan, seperti telah sepakat untuk sesuatu. 

Srikandi rupanya ingin mencoba jurus yang pernah diberikan sang Kakek guru. Gadis muda itu berdiri tegak, memejamkan matanya sejenak untuk memusatkan pikiran. 

"Percayalah pada dirimu sendiri, Srikandi. Tenangkan pikiran, jangan mudah memanjakan amarah yang akan menjadi bumerang bagimu." Ucap Kakek menjadi penghantar baginya untuk mulai menggerakkan tangan. 

Gerakan kedua tangan sang gadis membentuk cahaya menyilaukan, saat telah siap, ia lepaskan ke segala penjuru. Menimbulkan ledakan-ledakan besar di sana. Efek kejutnya menerbangkan dedaunan kering, juga merontokkan sebagian besar daun dari atas pohon. Berjatuhan mengenai kepala kakek dan Srikandi yang mengakhiri jurusnya. 

Malam sepi itu menjadi bergemuruh beberapa saat, menyambut riuh jurus yang berhasil Srikandi lepaskan tadi. Ia sigap, spontan menangkis tangan Kakek yang tiba-tiba datang menyuguhkan pukulan. 

Srikandi yang mengira akan kembali mendapatkan serangan, terus mempertahankan posisinya. Namun Kakek tersenyum, mendekat dan menepuk pundaknya beberapa kali. 

"Bagus. Kakek bangga padamu." Suara tegas bernada lembut itu menutup gerakan Srikandi, ia pun turut mengulas senyum. Menyatukan kedua tangan ke depan dada, membungkuk takzim. 

___________

Sudah sejak subuh tadi Srikandi terjaga, bahkan dirinya menyambut surya pagi yang masih malu-malu menampakkan kilaunya beberapa saat lalu. Kini, ia bisa rasakan hangatnya cahaya keemasan menerobos celah-celah dinding kayu di salah satu sisi kamar. 

Bungkusan kain telah siap di samping badan, juga pedang tersarung yang kata kakek sebagai teman setia seorang pengembara. Berdasarkan kesepakatan bersama kakek kemarin, pagi ini ia akan berangkat meniti perjalanan dunia luar. 

Derit pintu kayu membuatnya menoleh ke asal suara. Kakek muncul dengan wajah tak seperti biasanya. Pria tua itu duduk dengan wajah tertunduk lesu. 

"Kau akan berangkat pagi ini?" Suara serak terdengar membuat hati mendadak ragu, tetapi Srikandi telah bertekad. Maka ia menjawab, "iya, Kek."

"Kakek sejak awal telah menyiapkan semua ini, cucuku. Cepat atau lambat kita pasti akan berpisah, kau pasti akan pergi meninggalkan kakek. Karena Kakek harus menyambut masa tua ini, sementara kau telah ditunggu tugas di luar sana." Kakek menjeda kalimatnya, menunggu sang cucu menyahut. Namun, gadis muda itu hanya menunduk dengan anggukan samar. 

"Kau harus pergi, dan ingat selalu pesan Kakek."

"Iya, Kek."

Kemudian, seiring dengan merangkaknya bola berpijar di atas sana, Srikandi tiba di pinggir hutan. Di sini, ia kenakan topeng yang akan menutup semua identitasnya dari siapapun. 

Gadis itu berdiri di atas dataran lebih tinggi dari yang lain, memungkinkan wilayah istana di sana terlihat dengan jelas. Semilir angin mengibarkan rambut dan ujung pakaian panjang, usai menarik nafas dalam-dalam, ia pasang pedang di belakang. 

Dengan tekad membara, ia berlari mengiringi angin. Kencang dan semakin kencang, ia rasakan badan dan langkah kaki seringan kapas. Bahkan langkahnya kian panjang dan tinggi menyamai pucuk pohon, membuatnya bisa melompat dari satu pohon ke pohon lainnya. 

Ilmu meringankan tubuh yang kakek berikan kala itu, dapat ia praktikkan dengan baik. Langkah itu berhenti, lalu berjalan pelan saat tiba di ujung pasar. 

Pasar yang sejak dulu tak banyak berubah. Pasar luar istana yang menjadi pusat kegiatan masyarakat kota. Ia melipir ke belakang bangunan warung saat melihat iring-iringan kereta istana. 

Di atas kereta mewah itu, duduk seorang pria tinggi besar dengan kumis lebat di bawah hidung tinggi. Memamerkan betapa tinggi ambisinya sebagai seorang penguasa. 

Mahkota emas yang bertahta di atas kepala, menutup rambut keriting sebahu, juga tatapan tegas, menampakkan betapa berkuasa dirinya atas semua yang ada di negeri ini. Melihat sosok itu, rahang Srikandi mengeras. Karena titah raja sombong itu, seluruh keluarganya habis dibantai saat ia masih kecil. 

Maka tekad kuat kembali mencokol dalam hati, membuatnya berpikir keras untuk bisa masuk ke istana. Sepeninggal iring-iringan kereta istana tadi, Srikandi singgah di sebuah warung makan tengah pasar. Mengabaikan tatapan aneh dari semua orang di sana. 

Ia menyibukkan diri dengan makanan, agar tak menjadi pusat perhatian orang-orang karena dirinya yang mengenakan topeng. 

"Lihat, lihat. Ada lowongan pekerjaan di istana, jadi pelayan keluarga baginda Raja. Ada yang mau apa tidak?" 

"Wah, yang benar? Memangnya butuh berapa orang? Aku mau ikut."

"Aku juga."

"Aku juga."

Percakapan beberapa gadis muda menarik perhatian Srikandi di tempatnya. Ia mendengarkan dengan seksama, tanpa memperlihatkannya pada siapapun. Mendadak,  gagasan bagus melintas dalam benak. 

Bukankah baru saja ia menginginkan agar bisa masuk istana. Maka dengan perekrutan pelayan itu, membuka peluang besar baginya. Tak menunggu gerombolan gadis yang sedang membahas caranya mendaftarkan diri itu, ia melangkah pergi. 

Menyendiri di pinggir hutan tak jauh dari kota raja. Yang ia lakukan saat ini adalah mengganti pakaian seperti gadis desa kebanyakan, dengan melepas atributnya sebagai seorang pendekar. Pedang yang masih tersarung itu, ia lebur membentuk cahaya kecil dan masuk ke dalam urat nadi. 

Penyamaran berhasil. Pendekar perempuan muda itu telah berubah menjadi gadis desa yang benar-benar ingin mencari pekerjaan di kota raja. Kini langkahnya tergesa menghadap penjaga pintu gerbang istana. 

Pintu gerbang yang tingginya tiga kali lipat dari tinggi gadis itu. Srikandi bahkan sempat memicingkan mata saat penasaran melihat ke atas pintu. 

Ia berhasil mendaftar sebagai pelayan keluarga raja. Serangkaian tes telah diikuti, saat ini ia duduk bersimpuh bersama belasan pendaftar lainnya, untuk menunggu hasil pengumuman tiba. 

Seorang wanita berbadan gempal datang, berdasarkan perkenalan tadi, ia adalah kepala pelayan di istana ini. 

"Baiklah, saya akan mengumumkan hasil tes tadi. Seperti yang dibutuhkan yaitu sebanyak lima orang." Kepala pelayan itu mulai mengumumkan. Satu persatu nama telah disebut, hingga genap empat orang. Tinggal seorang lagi, Srikandi mendongak penasaran. 

"Nama yang terakhir adalah, Tirta Amarta." Srikandi tersenyum sumringah. 

***

Related chapters

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Pembagian Tugas

    "Baiklah, saya akan mengumumkan hasil tes tadi. Seperti yang dibutuhkan yaitu sebanyak lima orang." Kepala pelayan itu mulai mengumumkan. Satu persatu nama telah disebut, hingga genap empat orang. Tinggal seorang lagi, Srikandi mendongak penasaran. "Nama yang terakhir adalah, Tirta Amarta." Srikandi tersenyum sumringah. Nama yang baru saja ia gunakan untuk mendaftar tadi, rupanya lolos juga. Maka, mulai saat ini dan seterusnya, namanya adalah Tirta Amarta. "Yang merasa namanya saya panggil tadi, silahkan ikut saya," Kepala pelayan itu menegaskan, membuat sebagian besar gerombolan gadis desa itu mendesah gelisah. Bubar dengan langkah lunglai. Rata-rata mereka adalah berasal dari kalangan petani, yang benar-benar sangat menginginkan pekerjaan ini. Menurut mereka, gajinya cukup besar. Sementara lima orang dengan nama terpanggil, menyusul wanita gempal memasuki lorong ruang panjang hingga tiba di ujungnya. Wanita tadi berhenti di depan pintu berjajar menyerupai deretan kamar. "Ini k

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Anak Baru

    "Yang ini, Permaisuri. Dia yang akan menggantikan pelayan lama, untuk menjadi pelayan pribadi permaisuri dan Baginda Raja." Hanya anggukan samar, lalu kembali pada posisi semula. Mungkin memang begitulah sikap seorang ningrat pada kasta rendah. Amarta meremang di tempatnya, tak sabar ingin menggantikan temannya itu untuk bisa bekerja di kamar luas ini. apalagi saat ia sempat beradu pandang dengan wanita yang memiliki derajat paling tinggi di negeri ini. Mendadak fokus untuk mendengarkan penjelasan Bibi menghilang, tergantikan oleh bayangan pembantaian pada penduduk satu wilayah saat itu. Mendadak pula, amarahnya kembali bergejolak. Teringat atas kejadian tak manusiawi, yang telah perintahkan oleh sang Raja. Raja ataupun permaisuri, mereka sama saja. Sama-sama pembunuh yang harus dibunuh. Mereka harus dibunuh! Mereka harus dibunuh! "Amarta, kau ini kenapa?" Deg! Ia tersadar, dan entah sejak kapan kedua tangannya itu mengepal di samping pahanya. Meremas pakaian yang ia kenakan. S

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Bertemu Baginda

    Marta menuangkan minuman dalam gelas sang Raja, dapat dilihat jelas bagaimana raut wajah itu. Apalagi sesaat tadi sang Raja pun sempat menatap ke arahnya. "Kau anak baru?" Suara bariton menggema, memenuhi gendang telinga. Mempercepat gerak jantung, jika tak diredam, bisa dipastikan meledak di tempat ini. Jika hal itu terjadi, ia menanggung malu. Dipecat, dan niat hanya tinggal niat belaka. Maka, sebelum menjawab, nafas berat ia tarik dalam-dalam. "Benar, Baginda." Dengan beberapa tanya berseliweran dalam benak. Kenapa hanya dirinya yang ditanya, padahal ada dua orang teman mondar-mandir di meja itu. Juga anak baru. Mereka tak ditanya, hanya Marta saja. Ia pikir, pertanyaan tadi hanya sekedar basa-basi sewajarnya saja. Namun, netra Baginda rupanya belum beralih dari wajah Marta, hingga gadis itu bingung hendak mengalihkan kemana. "Kau tinggal di mana? Apa aku pernah mengenalmu?" Tanya sang Raja membuat Marta mendongak seketika. "Maaf, Baginda. Mana mungkin baginda pernah melihat s

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Menghadap Baginda

    Gelas berbahan marmer yang ia bawa dari dapur tadi pecah. Berserakan di bawah meja. Belum sempat ia menutup gerakannya, Marta lebih dulu kaget. Nafas kacaunya makin kacau karena kedua tangan menutup mulut ternganga."Marta, apa yang terjadi?" Suara dari depan pintu kamar, membuat Marta tercengang seketika. Ia bingung, antara membuka pintu yang tergedor keras atau mengambil serpihan marmer di depan kakinya."Marta, apa yang terjadi? Buka pintunya!" Suara bibi kembali menggelegar di depan pintu, jika Marta tak segera membukanya, bisa dipastikan teman-teman sebelah kamar akan berhamburan keluar."Iya, Bibi. Sebentar," Ia ikut berteriak, mendekati pintu dan membukanya. Mendapati wajah Bibi yang menatap garang kepadanya, manik matanya bergerak-gerak penuh selidik."Ada apa, Bi?" Tanya Marta seolah tak terjadi apapun, ia menghalangi tengah pintu agar Bibi itu tak menerobos masuk ke kamarnya."Apa yang terjadi, saya tadi mendengar ada benda pecah dari kamarmu?" Tanya Bibi kian penasaran, Mar

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Tugas Baru

    "Duduklah." Ia pun lantas menurut titah sang Baginda. Menunggu beberapa saat karena bingung sendiri harus berkata apa. "Kau tau, sikapmu itu begitu menarik perhatianku?" Entah pernyataan atau pertanyaan, karena Baginda hanya terdengar menggumam lirih, dan itu membuat Marta tertegun heran. Melihat gadis itu nampak bingung, Baginda tersenyum hangat. Entah kenapa, tak hanya kecantikannya saja yang begitu menarik dari pelayan baru yang satu ini. Tapi sikapnya, keberaniannya itulah yang lebih menarik hati baginda. Karena baru kali ini menemukan gadis desa seberani dia. "Baru kali ini aku melihat ada pelayan perempuan yang berani sepertimu. Siapa kau sebenarnya?" Tanya Baginda dengan tatapan tak beralih dari wajah Marta, hingga gadis itu merasa risih dipandangi demikian. Sebab sejak kecil, ia hanya dekat dengan lelaki dari keluarganya sendiri. Juga kakek yang merawatnya hingga dewasa. "Kenapa kau tadi dengan berani berkata jujur, dan membantu kepala pelayan itu?" Tanya Baginda lagi, kar

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Menemani Permaisuri

    "Ada yang salah, Bi?" Tanya Marta heran sendiri, kemudian bibi mengerjap sambil menggeleng pelan. "Kau hari ini terlihat lebih segar," Bibi memberikan komentar. "Tentu saja, bertugas di depan orang nomor satu, masa iya masih disamakan dengan bertugas di dapur, Bi? Benarkan?" Marta berlalu, meninggalkan Bibi yang masih bengong seorang diri. "Marta, tunggu! Kau mau kemana?" Teriak Bibi menyusul pegawai barunya. Ia khawatir gadis muda itu masuk begitu saja ke kamar sang raja tanpa ucapan yang jelas. Beruntung ia masih menemukan Marta cukup jauh dari kamar sang raja. Langkah gadis itu terhentak cepat, menandakan ia tak sabar lagi ingin segera bertemu dengan baginda dan permaisuri di kamarnya. "Marta, tunggu dulu!" Bibi menangkap lengan Marta yang lantas berbalik cepat. Reflek ingin menangkis tangan penyusul, dan membuat bibi tercengang. Tercipta rasa takut seketika. "Oh, Bibi? Maaf, saya kira tadi siapa," Ucap gadis itu menata nafasnya. Sementara ia khawatir melihat raut wajah Bi

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Curiga

    "Dia tadi mengamati tempat ini, seperti tertarik dengan proses latihan para prajurit.""Memangnya kenapa kalau dia tertarik?""Memangnya kenapa? Siapa tau saja memang dia bukan pelayan biasa.""Maksudmu?" Sang teman bertanya heran, mungkin belum paham tentang maksud panglima yang hingga kini masih menatap sosok pelayan. "Semoga saja ini hanya pikiranku sendiri." Panglima menggeleng. Pria itu sebenarnya curiga, tetapi belum berani untuk menyimpulkan apapun. "Kau curiga padanya?""Yah, tapi aku belum mendapatkan kepastian. Biar aku nanti bicara langsung dengan baginda. Mengusulkan padanya agar pelayan pribadi ditambah.""Ah, kau ini ada-ada saja. Masa menaruh curiga dengan seorang pelayan perempuan. Kalau dia memang bukan pelayan biasa, apa maksudnya pula? Benar, kan?" Yang satu menimpali. Panglima mengangguk membenarkan. "Kau benar. Tetapi jangan salah, posisi seperti baginda dan permaisuri itu banyak yang menginginkan. Banyak pula orang-orang di luar sana yang iri dengan mereka.""

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Kesedihan Sang Raja

    "Apa mungkin rombongan pemberontak itu mengirimkan mata-mata dan membunuh istri saya?" Gumam Baginda hanya dengan menatap nanar hidangan di atas meja. "Apa Baginda tidak menaruh curiga pada salah satu orang dalam istana ini?" Panglima angkat bicara, membuat semua yang duduk di depan meja itu mendongak heran. Pun dengan Marta yang duduk tak jauh dari mereka. "Curiga? Apa maksudmu, panglima?" Tanya Baginda tentu saja, lelah dengan tugas sebagai petinggi negara, pria berumur itu mungkin tak sempat menaruh rasa curiga pada siapapun dalam istana. Yang ada dalam benaknya selama ini adalah rumor tentang sisa rombongan pemberontak waktu itu, kini masih bertahan dan semakin menghimpun kekuatan. Negeri ini sedang dalam ancaman, itulah yang selama ini Baginda pikirkan. Tak hanya Baginda yang menaruh heran pada pertanyaan Panglima tadi, tetapi semua yang ada di tempat itu. Mereka menatap penuh tanya. Sementara Panglima menggeleng samar, dalam hati pun ikut meredam rasa curiga tanpa dasar i

Latest chapter

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Akan Menikah

    Ia kini dihadapkan kembali dengan persiapan serangan yang lebih dari sebelumnya. Namun, sebelum itu, Tiba-tiba ada sosok lain yang datang membantu. Melemparkan satu tendangan dan membuat mereka bertiga langsung terjatuh bersamaan. Sosok itu beberapa detik masih berdiri membelakangi Marta, hingga ia tak bisa melihat siapa. Apalagi di malam gelap seperti ini. Ia hanya bisa melihat, bahwa tiga orang jahat tadi saling menarik satu sama lain.Mereka berlari tunggang-langgang, meninggalkan Marta tercengang seorang diri. Dalam kepalanya mulai disinggahi rasa khawatir akan sosok yang tak juga membalikkan badan. Ia perlahan mendekat, dan semakin diamati, postur badan itu seperti tidak asing. Namun Marta tak berani menyimpulkan terlalu cepat. "Terimakasih, tuan. Telah membantu saya," Ucapnya pada sosok pria yang masih menyembunyikan wajah. Marta bisa melihat sosok itu, dari ujung kaki hingga ujung kepala yang mengenakan topi bambu. Pria itu, perlahan membalikkan badan. Marta tercengang. Tak

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Malam Dingin

    "Memang, apa kau tidak ingin terbuka dengan orang lain? Jangan hanya menutup diri seperti kemarin." Gading tak segera menjawab, pria itu malah menatapnya lekat-lekat, dengan pandangan yang tak bisa dimengerti."Kalau aku membuka hati, apa kau mau menerimanya?" Marta tercengang, baru menyadari bahwa pertanyaan tadi telah menjebak dirinya sendiri.Tak tau harus menjawab apa, kini Marta hanya menahan nafas dengan mengalihkan pandangannya. "Jadi bagaimana, Marta?" Tanya gading lagi, sebab belum mendapatkan jawaban. Sementara sang gadis seperti tak paham bahwa yang diajak bicara sangat mengharapkan jawaban."Aku, aku tidak paham dengan arah pembicaraanmu, Gading. Sebenarnya bagaimana?" Untuk lebih jelasnya, ia memang membutuhkan itu."Apa kau tidak paham juga, Marta? Saat ini aku sangat membutuhkan seorang teman yang bisa membuat hatiku kembali hidup seperti dulu." Marta belum berani menyahut, sebab dari sinipun sebenarnya ia telah mengerti."Tolong berikan hatimu padaku, Marta." Tiba-tiba

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Meluluhkan Gading

    Keduanya berhenti akibat berpapasan dengan pohon besar, dengan posisi Marta berada di bawah badan Gading yang sama-sama membelalak kaget.Satu detik, dua detik. Marta bisa merasakan detak jantung Gading yang memacu cepat. Secepat pria itu membawanya berlari tadi. Setelah beberapa saat lamanya saling menatap, dan mengagumi dalam hati, Gading tersadar."Maaf." Pria itu spontan berdiri, tanpa menghiraukan Marta yang kepayahan menegakkan badan akibat tertindih olehnya.Dan sesaat setelah ia berhasil berdiri di depan Gading, Marta membelalak. Tak jauh di belakang pria itu, kucing besar tadi menyusul. Ia langsung menghunus anak panah di punggung gading, dan melemparkan tanpa perhitungan.Namun, ketika Gading menoleh, hewan itu telah menggelepar kesakitan. Tak lama, nafas terakhirnya pun menghembus panjang, kemudian badannya tak bergerak lagi."Dia ... Kau, membunuhnya?" Gading bergumam, wajahnya setengah tak percaya."Dia sangat berbahaya. Jadi biarkan saja mati," Jawab Marta berlalu dari h

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Berburu Dengan Gading

    Hanya Marta sesekali melirik, memperhatikan tangan kekar itu. Yang ternyata begitu telaten membersihkan kelinci, hingga memotong-motongnya menjadi beberapa bagian kecil yang siap dimasak. "Ambilkan panci itu." Suara gading terdengar, dan Marta sengaja acuh. Tetap fokus dengan sayuran di kedua tangannya. Dalam hati ingin melihat, bagaimana reaksi pria itu jika diperlakukan demikian. "Kau dengar, tidak?""Aku?" Marta malah bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Sementara yang tadi bertanya itu, kini berdecak kesal. "Mau menantang, kau rupanya?" Entah apa yang akan dilakukan, tangan Gading mendekati kepala Marta, dan tanpa ia sadari tiba-tiba lengannya terhempas kasar. Pria itu mendongak kaget, tak menyangka Marta gadis ini memiliki kecepatan luar biasa. Bahkan di saat ia belum sempat mengedipkan mata. Penasaran, gading kembali menggerakkan tangan, dan tangkisan Marta lebih tegas dari sebelumnya. Ia kini membelalak, apalagi melihat gadis cantik itu berdiri. Menatapnya dengan senyu

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Teman Untuk Gading

    "Siapa suruh tidak makan," Celetuk Gading benar-benar membuat hati sakit. Andai saja kondisinya sehat, akan ia semprot dengan kalimat serupa. Dasar! Marta kini hanya bisa mengumpat dalam hati.Hanya ada sisa nasi beberapa butir, karena perut yang tak bisa lagi diajak bersabar, ia jumput nasi itu, dan makan. Aktifitas itu, sebenarnya tak luput dari pandangan aneh gading yang tak bisa dideskripsikan.Pria itu, sebenarnya sempat tertegun melihat sosok di depannya. Namun, tak ingin terlalu lama, Gading membuang wajah ke arah pintu.Sementara di sana, Marta tak menyadari. Setelah minum air dingin beberapa teguk, ia akan kembali ke kamar. Dengan langkah gontainya tadi, ia kadang jadi kehilangan keseimbangan, yang menyebabkan badannya oleng. Hampir ambruk, tetapi untung ia segera bisa membenahi posisi.Akan semakin kesal pria itu, jika ia harus merepotkan. Marta kembali ke kamar dan merebah lelah.Di luar kamar itu, gading mungkin penasaran tentang apa yang terjadi pada tamu perempuannya. Ia

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Demam

    Marta kesal, ia lemparkan daging tadi ke sebelah Gading yang kemudian mendongak kaget. "Dasar, manusia batu!" Umpat Marta berlari ke kamarnya. Sementara pria yang dikatakan manusia batu itu hanya melirik ke arah pintu yang masih bergerak akibat ditutup keras. Setelahnya, gading mengalihkan sorot mata pada beberapa tusuk daging, yang mungkin memang sengaja diperuntukkan baginya. Ia ambil tusukan mirip sate itu, menghirupnya sekilas dan menarik satu potong paling ujung menggunakan giginya. Gading menikmati, ia bergumam dalam hati, ternyata, gadis yang baginya cerewet itu pintar memasak. Gading membaringkan badan setelah menghabiskan semua sate tadi, dan membiarkan tusuknya tetap berserakan di samping badan. Bahkan hingga pagi, hingga Marta terbangun oleh hawa dingin tak biasa. Gadis itu mendekati tungku dan menyalakannya, di saat semua orang di rumah ini belum terdengar bangun. Marta memilih menghangatkan badannya di depan tungku. "Wah, wah. Kau rupanya sudah bangun, ya?" Suara Ibu

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Manusia Batu

    "Makanan masih ada, Gading.""Pasti perempuan tak diundang ini, yang telah menghabiskannya!" Mendengar suara sengit, Marta mendongak kesal."Maaf, tuan gading. Makanan masih ada. Jika anda belum kenyang dengan nasi ini, nanti akan saya buatkan untuk Anda," Marta menyahut. Gading tak menjawab, hanya mendengus kesal sambil menarik kasar bakul nasi yang berada di depan Marta.Dalam bakul itu, memang hanya tinggal seporsi nasi, dan pas untuk satu orang saja. Mungkin, bagi Gading yang baru saja pulang dari berburu, porsi itu masih kurang.Orang tua gading tak ikut bersuara, sebab mereka sibuk menyiapkan entah. Hanya saja si ibu kemudian duduk di dekat anaknya, dan bertanya. "Gading. Nanti, kau tidur di sini, ya. Biar Marta yang tidur di kamarmu.""Apa? Enak saja. Sudah numpang, masih mengganggu kamarku? Tidak, bu. Aku tidak mau!" Gading menjawab sengit. Nampaknya, pemuda itu memang angkuh dan egois. Terlihat sekali bahwa sosok itu susah diajak bekerjasama."Bu, tidak apa-apa. Biar saya yan

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Bertemu Orang Baik

    Bagas berhenti, menyandarkan punggung di tembok sambil memegangi keningnya. "Tuan bagas. Anda baik-baik saja?" Suara Bibi mendekat. Ia mengangguk lemah, ini pasti akibar dari perutnya yang kosong sejak pagi."Tidak apa-apa, Bibi. Aku hanya lapar," Jawabnya."Ya ampun, tuan. Kenapa tidak makan dulu, mari saya antar ke tempat makan." Bagas menurut, mengikuti langkah wanita itu di belakangnya.Hingga tiba di tempat biasa bagas makan bersama baginda, Mahesa dan semua penduduk istana. Kini, Bagas duduk di depan meja yang di atasnya terdapat banyak sekali menu makanan lezat.Ia membiarkan beberapa pelayan mengisi piring dan gelasnya, lalu memintanya makan seperti biasa. Namun, ada yang tak biasa sore ini. Bagas enggan makan, meski rasa perut keroncongan sejak tadi.Suasana sunyi, terasa lebih mencekam, apalagi di hatinya kehilangan dua orang sekaligus. Bukan segera makan, ia hanya memainkan nasi dengan jemarinya.Marta, nama itu masih berputar cepat dalam ingatan. Meski rasa benci, memaksan

  • Srikandi Antara Dendam Dan Cinta   Semua Terungkap

    Kini, ia kembali ke istana. Dan menghembus berat saat melihat semua orang istana berkumpul di tempat yang sama. Hatinya menyimpulkan sesuatu yang buruk tentang Baginda. Ia berlari mendekati Mahesa yang berada di pinggir, pria yang tersedu-sedu, dengan sesekali menyeka air mata. "Pangeran?" Teriaknya, menyentuh bahu sang Kakak yang kemudian menatap tajam. "Kemana saja kau?" Tanya Mahesa kesal, "lihatlah, Wyah kita telah tiada."Tak menjawab, Bagas menoleh ke arah yang ditunjukkan Mahesa. Nafasnya kemudian memberat. "Siapa yang telah melakukan semua ini, Bagas?" Pertanyaan yang tak mungkin ia jawab. Bagas malah menjauhi, berjalan mendekati jenazah Baginda yang telah selesai dimandikan. "Hey!" Mahesa menyusul, menyentuh kasar pundak Bagas yang mengabaikan pertanyaaia nnya. Ia menoleh, menatap lembut wajah Lakak yang penuh duka. "Kakak, untuk saat ini, kita urus dulu jenazah Ayah, ya. Baru setelah itu, kita bahas kejadiannya. Menurut, Mahesa mengangguk lemah. Menyusul Bagas berjalan m

DMCA.com Protection Status