Ele dan Alvia duduk saling berhadapan di kantin perusahaan. Di saat Ele menikmati makanan yang ada di depan matanya, Alvia justru melamun sambil memuji seseorang. Ia menopangkan tangannya di dagu.
"Gila! Gue nggak nyangka. Bukan hanya bosnya aja yang ganteng, ternyata manajernya juga. KIra-kira bisa nggak ya? Kalo dia jadi pacar gue?"
Bukan Ele namanya jika menanggapi perkataan Alvia dengan antusias. Ele memberikan penilaian dari kacamatanya dengan berbeda.
"Terus aja muji orang. Emang ganteng bisa bikin perut kenyang. Tampang pas-pasan juga," cibir Ele sambil memasukan mie ke dalam mulutnya.
"Perlu periksa mata deh kayanya. Cuma lo doang yang bilang cowok idaman itu pas-pasan," ucap Alvia sambil menggeser mangkuk bakso mendekat padanya.
"Lebih baik lo diem deh. Bisa hilang nafsu makan gue, dengerin lo terus muji-muji cowok yang lo anggap ganteng itu."
Setelah mengatakan itu, Ele bangkit dari tempat duduknya meninggalkan Alvia yang masih belum menyantap baksonya sama sekali.
"El, kok gue ditinggalin sih!" teriak Alvia tak begitu keras.
Ele hanya berjalan tanpa menoleh ke belakang. Sementara Alvia, ia mengumpati Ele sambil memakan baksonya.
"Dasar kejam! Gue ralat kata-kata gue yang waktu itu muji lo!"
Rupanya Ele masih bisa mendengar apa yang diucapkan Alvia. Ele sudah menduga Alvia akan kesal padanya. Setelah itu, ia akan menambahkan sambal ke mangkuk baksonya. Hal seperti ini sudah sering terjadi di antara mereka.
Ele berjalan menuju ke ruang rapat terlebih dulu. Ia ingin mengetahui hal apalagi yang akan Axel lakukan padanya.
Semua petinggi perusahaan sudah berkumpul. Mereka membahas kerja sama yang akan dilakukan perusahaan DAND Group dengan perusahaan dari luar negeri. Tentunya, jika hal ini akan terjadi, Ele harus bersiap untuk perjalanan dinas. Satu jam sudah berlalu, rapat pun selesai. Ele melaporkan poin-poin penting yang ia tangkap di rapat tadi.
"Semua hasil rapat siang ini, sudah saya tulis di dalam laptop ini. Jika ada yang diperlukan lagi. Silakan panggil saya. Permisi."
Tidak semudah itu Ele, Axel tidak mungkin membiarkan Ele diam tanpa mengerjakan apapun. Axel menerima laptop tersebut, namun ia juga memberikan setumpuk dokumen lagi untuk dikerjakan Ele.
"Kerjakan semua ini. Jangan sampai ada yang salah sedikitpun. Berkas-berkas yang ada di dalamnya sangatlah penting." Axel mengambil setumpuk kertas lagi. "Satu lagi, tolong atur jadwal saya untuk sebulan ke depan. Kosongkan semua kegiatan di hari Kamis siang sampai sore. Kamu boleh pergi."
"Permisi Pak."
Ele keluar dari ruangan Axel sambil membawa tumpukan kertas ke mejanya. Ele mengumpati Axel yang seenaknya memberikan banyak pekerjaan padanya. Padahal ini adalah hari pertamanya magang.
"Dasar gila! Dia pikir gue robot. Seenaknya aja ngasih tugas dua kali lipat lebih banyak dari yang tadi. Ini sih namanya penyiksaan."
"Sabar-sabar, Axel memang begitu orangnya. Yang terpenting lakuin aja apa yang dia perintahkan." Gavin tiba-tiba muncul dan menanggapi keluhan Ele.
"Duh, Bapak buat saya kaget!" ucap Ele terkejut.
"Hahaha, maaf untuk itu. Tidak usah terlalu formal Ele. Lagian usia kita hanya berbeda 5 tahun saja. Panggil nama juga boleh. Atau lo gue, itu lebih enak sih kayaknya."
"Mungkin di lain tempat, masalahnya ini di kantor. Nanti saya dikira tidak sopan sama atasan," ucap Ele dengan nada yang santun.
"Baiklah, saya masuk dulu kalau begitu."
Gavin memasuki ruangan Axel tanpa mengetuk pintu. Axel yang mendengar suara pintu terbuka pun sudah bisa menebak siapa yang masuk ke dalam ruangannya.
"Kalo lo datang untuk berisik. Mending balik lagi ke tempat lo yang baru," semprot Axel saat Gavin sudah terlihat oleh kedua matanya.
"Astaga, baru aja masuk, udah disuruh keluar lagi."
"Kantor gue ini, terserah gue dong," ucap Axel dengan bangganya.
"Heleh, saking terserahnya, lo sampai nyiksa mahasiswa magang buat ngerjain laporan yang segunung itu. Kejamnya!" sindir Gavin.
"Suka-suka. Lagian siapa suruh dia bikin gue kesel terus. Ya gue kerjain lah, haha." Axel tertawa. Sementara Gavin hanya menggelengkan kepalanya.
"Emang dia punya salah apa sama lo?" tanya Gavin yang penasaran.
"Cewek yang waktu itu gue ceritain, dialah orangnya."
"Wah, kayanya bakalan seru nih," seru Gavin sambil tersenyum penuh arti.
"Heh! Apa yang ada di pikiran lo?" Axel menatap Gavin curiga.
"Sesuatu yang bisa saja terjalin, mungkin? Hahaha." Gavin tertawa sambil membayangkan apa yang ia pikirkan.
"Seenak jidat ya lo ngomong. Dia mah jauh beda dari Clarissa." Hanya menyebut namanya saja, sudah bisa membuat Axel tersenyum.
"Ya ya ya, yang pasti lo jangan terlalu benci sama orang. Nanti jadinya malah terlalu cinta, wkwkwk. Gue cuma mengingatkan aja, awas jatuh cinta!"
Setelah mengatakan itu, Gavin keluar dari ruangan Axel. Entah apa maunya dia. Datang tak diundang. Pulang pun tak diantar. Sudah seperti jelangkung yang seenaknya sendiri.
"Ye, jatuh cinta katanya? Nggak mungkin lah."
****
Axel memasuki sebuah rumah megah di kawasan elit. Ya, rumah tersebut adalah rumah milik Axel atas hasil jeri payahnya melanjutkan bisnis ayahnya yang dulu hampir terambang kebangkrutan. Sayangnya, Axel hanya tinggal seorang diri. Hana, bunda dari Axel memilih untuk tetap tinggal di rumah lama mereka karena masih belum bisa melupakan kenangan dengan almarhum ayah Axel.
"Haaah ...."
Axel merebahkan dirinya di sofa ruang tamu. Jika sudah berada di rumah, Axel selalu kesepian. Berbeda dengan beberapa tahun yang lalu saat ia masih bersama dengan Clarissa. Di saat hendak menutup matanya, Axel mendengar suara panci yang terjatuh di dapur.
PRANGG!
"Suara apa tuh?"
Axel langsung berdiri dan menuju ke dapur. Ia berjalan mengendap-ngendap. Saat sudah di dapur, Axel hanya melihat kaki dari orang yang menyebabkan suara tersebut. Meski agak sedikit takut, Axel memberanikan dirinya untuk mendekat. Tidak pernah disangka sebelumnya, rupanya orang tersebut adalah orang yang paling ia sayangi.
"Loh, Bunda? bikin Axel kaget aja. Kapan datang?"
Rasa terkejut dicampur dengan rasa senang bagi Axel. Pasalnya karena kesibukannya di kantor, Axel jarang sekali mengunjungi rumah Hana.
"Satu jam yang lalu. Kejutan bunda gagal dong. Niatnya mau buatkan makan malam untuk kamu."
Axel memeluk Hana. Ia begitu merindukan bundanya. Hanya Hana lah yang ia punya. Beberapa menit kemudian, Axel melepas pelukan tersebut dan mencium pipi Hana.
"Bunda selalu berhasil buat kejutan. Axel pikir tadi ada maling di rumah. Rupanya Bunda. Axel minta maaf udah jarang ke rumah Bunda lagi. Jangan kutuk Axel jadi batu ya, Bunda!"
Hana tertawa. "Kamu ini, ada-ada aja deh. Mau bantu bunda masak?"
"Kalau urusan masak, Bunda kan jagonya. Lebih baik bunda sendiri aja, daripada nanti bakalan berantakan, hehe. Axel mandi dulu ya, Bunda."
"Iya, abis mandi turun ya. Kita makan sama-sama."
"Siap Bunda." Axel mengangkat tangan kanannya ke pelipis kepala, seolah-olah ia mendapatkan perintah dari komandan. Hana hanya menggeleng melihat tingkah anak laki-lakinya.
Di sebuah kantor megah dan mewah duduklah seorang CEO yang bernama Axel Dandion. Tatapan matanya tertuju pada sebuah foto yang tergeletak di meja kerjanya. Tak sekalipun ia berpaling melihat ke arah lain. Hingga seseorang masuk ke dalam ruangannya. "Inilah definisi laki-laki yang gagal move on dari mantannya." Kalimat tersebut muncul dari sahabat sekaligus sekretaris dari Axel. Gavin Scarlett namanya. "Berisik!" timpal Axel dengan tatapan tajam ke arah Gavin. "Santai, nggak usah mendelik gitu matanya. Ngeri gue liatnya," ucap Gavin yang berjalan ke depan meja Axel dan duduk di hadapannya. "Bisa nggak kalo masuk ke ruangan orang ketuk pintu dulu? Lo mau gue pecat?" Mendengar ucapan Axel yang sedikit kesal, Gavin malah bereaksi biasa saja. Padahal ancaman tersebut bisa membuatnya kehilangan pekerjaan. "Yakin mau pecat gue? Gue sih nggak yakin ya, hahaha." Gavin berbicara dengan diakhiri tawa renyahnya sambil mengambil foto yang dilihat oleh Axel. "Masalahnya kalo lo pecat gue. Ng
Axel merasa takjub dengan apa yang dilihatnya. Dalam beberapa menit saja, Ele berhasil membuat para preman tersebut kalah. Seketika ia teringat perutnya yang dipukul oleh preman tersebut. "Heh! Cewek galak! Lo kan jago berantem. Kenapa dari tadi nggak lo lawan aja?" "Males!" ucap Ele sambil mengambil tasnya yang tergeletak di aspal. Ia kemudian berjalan menjauh dari Axel. "Tanggung jawab woy! Lo udah buat perut gue dipukul." Ele tak menoleh sama sekali, ia hanya melambaikan tangannya seolah mengucapkan selamat tinggal. "Dasar cewek setan!" **** Axel berjalan masuk ke kantornya dengan tertatih-tatih sambil memegang perutnya. Rasa nyeri dari pukulan preman tadi masih terasa hingga ke tulang-tulang Axel. Sebelum memasuki ruangannya, di depan pintu ia berpapasan dengan Gavin. "Kenapa lo?" "Nggak usah banyak tanya." Axel membuka pintu ruangannya. "Baru sekali ini gue tanya, belu
Ele berjalan ke taman depan rumahnya. Ia duduk di kursi panjang kemudian menatap ke arah langit. Banyak sekali bintang yang besinar terang disana."Ma, apa kabar? Ele rindu."Ele berbicara seolah-olah mamanya sedang melihatnya dan mendengarkan kerinduannya. Ia bersikap tegar dari luar dan rapuh di dalam. Tak terasa air mata pun mengalir ke pelupuk pipinya."Lihat ma, Ele nangis bahagia. Semoga mama tenang disana. Kita semua disini baik-baik aja."Ele teringat lagi bagaimana mamanya meninggal. Saat itu usia Ele masih terbilang kecil yaitu 10 tahun. Ele melihat mamanya ditembak secara brutal oleh orang yang tidak dikenalnya. Semenjak itu, Mr. Freedy papa dari Ele dan Dilan membawa mereka pergi jauh dari Jerman. Semata-mata untuk melindungi anaknya. Terlebih lagi untuk melindungi Ele yang wajahnya sudah pernah terlihat oleh musuh Mr. Freedy.Kematian mamanya menjadi luka terberat bagi Ele. Bahkan Ele tak mampu mengeluarkan air mata ketika mamanya diny
Hari demi hari pun berlalu. Hari ini adalah hari di mana Ele dan Alvia akan magang di perusahaan DAND Group sebagai sekretaris. Ele tengah bersiap di depan meja riasnya. Ia membenahi ikatan rambutnya yang melonggar dan memakai dasi di kerahnya dengan rapi. Tak lupa Ele juga memberikan polesan make-up ringan di wajahnya.Ele turun dari kamarnya dan duduk di meja makan. Ia meminum segelas susu putih dan roti tawar dengan selai stawberry di dalamnya. Selesai makan ia langsung berangkat magang menggunakan mobilnya. Butuh waktu 15 menit untuk sampai di DAND Group.Sesampainya di DAND Group, Ele menuju ke basement perusahaan untuk memberhentikan mobilnya. Sialnya, saat mobil Ele akan terparkir dengan sempurna, datang mobil lain yang tiba-tiba menyerobot tempat parkir mobil Ele. Ele pun keluar dari mobilnya dengan menutup pintu mobil dengan keras. Kemudian ia mengetuk kaca mobil yang membuatnya geram."Heh! Keluar nggak lo!" kesal Ele.
Ele dan Alvia duduk saling berhadapan di kantin perusahaan. Di saat Ele menikmati makanan yang ada di depan matanya, Alvia justru melamun sambil memuji seseorang. Ia menopangkan tangannya di dagu."Gila! Gue nggak nyangka. Bukan hanya bosnya aja yang ganteng, ternyata manajernya juga. KIra-kira bisa nggak ya? Kalo dia jadi pacar gue?"Bukan Ele namanya jika menanggapi perkataan Alvia dengan antusias. Ele memberikan penilaian dari kacamatanya dengan berbeda."Terus aja muji orang. Emang ganteng bisa bikin perut kenyang. Tampang pas-pasan juga," cibir Ele sambil memasukan mie ke dalam mulutnya."Perlu periksa mata deh kayanya. Cuma lo doang yang bilang cowok idaman itu pas-pasan," ucap Alvia sambil menggeser mangkuk bakso mendekat padanya."Lebih baik lo diem deh. Bisa hilang nafsu makan gue, dengerin lo terus muji-muji cowok yang lo anggap ganteng itu."Setelah mengatakan itu, Ele bangkit dari tempat duduknya meninggalkan Alvia yang masih bel
Hari demi hari pun berlalu. Hari ini adalah hari di mana Ele dan Alvia akan magang di perusahaan DAND Group sebagai sekretaris. Ele tengah bersiap di depan meja riasnya. Ia membenahi ikatan rambutnya yang melonggar dan memakai dasi di kerahnya dengan rapi. Tak lupa Ele juga memberikan polesan make-up ringan di wajahnya.Ele turun dari kamarnya dan duduk di meja makan. Ia meminum segelas susu putih dan roti tawar dengan selai stawberry di dalamnya. Selesai makan ia langsung berangkat magang menggunakan mobilnya. Butuh waktu 15 menit untuk sampai di DAND Group.Sesampainya di DAND Group, Ele menuju ke basement perusahaan untuk memberhentikan mobilnya. Sialnya, saat mobil Ele akan terparkir dengan sempurna, datang mobil lain yang tiba-tiba menyerobot tempat parkir mobil Ele. Ele pun keluar dari mobilnya dengan menutup pintu mobil dengan keras. Kemudian ia mengetuk kaca mobil yang membuatnya geram."Heh! Keluar nggak lo!" kesal Ele.
Ele berjalan ke taman depan rumahnya. Ia duduk di kursi panjang kemudian menatap ke arah langit. Banyak sekali bintang yang besinar terang disana."Ma, apa kabar? Ele rindu."Ele berbicara seolah-olah mamanya sedang melihatnya dan mendengarkan kerinduannya. Ia bersikap tegar dari luar dan rapuh di dalam. Tak terasa air mata pun mengalir ke pelupuk pipinya."Lihat ma, Ele nangis bahagia. Semoga mama tenang disana. Kita semua disini baik-baik aja."Ele teringat lagi bagaimana mamanya meninggal. Saat itu usia Ele masih terbilang kecil yaitu 10 tahun. Ele melihat mamanya ditembak secara brutal oleh orang yang tidak dikenalnya. Semenjak itu, Mr. Freedy papa dari Ele dan Dilan membawa mereka pergi jauh dari Jerman. Semata-mata untuk melindungi anaknya. Terlebih lagi untuk melindungi Ele yang wajahnya sudah pernah terlihat oleh musuh Mr. Freedy.Kematian mamanya menjadi luka terberat bagi Ele. Bahkan Ele tak mampu mengeluarkan air mata ketika mamanya diny
Axel merasa takjub dengan apa yang dilihatnya. Dalam beberapa menit saja, Ele berhasil membuat para preman tersebut kalah. Seketika ia teringat perutnya yang dipukul oleh preman tersebut. "Heh! Cewek galak! Lo kan jago berantem. Kenapa dari tadi nggak lo lawan aja?" "Males!" ucap Ele sambil mengambil tasnya yang tergeletak di aspal. Ia kemudian berjalan menjauh dari Axel. "Tanggung jawab woy! Lo udah buat perut gue dipukul." Ele tak menoleh sama sekali, ia hanya melambaikan tangannya seolah mengucapkan selamat tinggal. "Dasar cewek setan!" **** Axel berjalan masuk ke kantornya dengan tertatih-tatih sambil memegang perutnya. Rasa nyeri dari pukulan preman tadi masih terasa hingga ke tulang-tulang Axel. Sebelum memasuki ruangannya, di depan pintu ia berpapasan dengan Gavin. "Kenapa lo?" "Nggak usah banyak tanya." Axel membuka pintu ruangannya. "Baru sekali ini gue tanya, belu
Di sebuah kantor megah dan mewah duduklah seorang CEO yang bernama Axel Dandion. Tatapan matanya tertuju pada sebuah foto yang tergeletak di meja kerjanya. Tak sekalipun ia berpaling melihat ke arah lain. Hingga seseorang masuk ke dalam ruangannya. "Inilah definisi laki-laki yang gagal move on dari mantannya." Kalimat tersebut muncul dari sahabat sekaligus sekretaris dari Axel. Gavin Scarlett namanya. "Berisik!" timpal Axel dengan tatapan tajam ke arah Gavin. "Santai, nggak usah mendelik gitu matanya. Ngeri gue liatnya," ucap Gavin yang berjalan ke depan meja Axel dan duduk di hadapannya. "Bisa nggak kalo masuk ke ruangan orang ketuk pintu dulu? Lo mau gue pecat?" Mendengar ucapan Axel yang sedikit kesal, Gavin malah bereaksi biasa saja. Padahal ancaman tersebut bisa membuatnya kehilangan pekerjaan. "Yakin mau pecat gue? Gue sih nggak yakin ya, hahaha." Gavin berbicara dengan diakhiri tawa renyahnya sambil mengambil foto yang dilihat oleh Axel. "Masalahnya kalo lo pecat gue. Ng