Hari demi hari pun berlalu. Hari ini adalah hari di mana Ele dan Alvia akan magang di perusahaan DAND Group sebagai sekretaris. Ele tengah bersiap di depan meja riasnya. Ia membenahi ikatan rambutnya yang melonggar dan memakai dasi di kerahnya dengan rapi. Tak lupa Ele juga memberikan polesan make-up ringan di wajahnya.
Ele turun dari kamarnya dan duduk di meja makan. Ia meminum segelas susu putih dan roti tawar dengan selai stawberry di dalamnya. Selesai makan ia langsung berangkat magang menggunakan mobilnya. Butuh waktu 15 menit untuk sampai di DAND Group.
Sesampainya di DAND Group, Ele menuju ke basement perusahaan untuk memberhentikan mobilnya. Sialnya, saat mobil Ele akan terparkir dengan sempurna, datang mobil lain yang tiba-tiba menyerobot tempat parkir mobil Ele. Ele pun keluar dari mobilnya dengan menutup pintu mobil dengan keras. Kemudian ia mengetuk kaca mobil yang membuatnya geram.
"Heh! Keluar nggak lo!" kesal Ele.
Pengemudi mobil tersebut pun keluar, keduanya terkejut.
"Wah, ada yang masuk kandang macan rupanya?" ucap Axel sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.
"LO!" teriak Ele.
"Iya, gue! Orang yang lo tinggalin setelah bantuin cewek yang nggak tau terima kasih," ucap Axel dengan sinisnya.
"Nggak salah? Bukannya gue yang bantuin lo? Lo kan kena pukul preman tersebut."
"Aih, baru ketemu dua kali aja lo udah nyebelin ya?"
"Bodo amat!" Ele pergi meninggalkan Axel dengan mobil yang masih menghalangi jalan.
"Bocah Sinting! Parkirin mobil lo yang bener!" teriak Axel.
Lagi dan lagi Ele sengaja pura-pura tidak mendengar teriakan dari Axel.
Axel keluar dari basement menuju ke ruangannya dengan wajah yang kesal. Ia membanting pintu ruangannya dengan keras hingga membuat Gavin terkejut.
"Kerasukan setan mana lagi ini anak?" gumam Gavin.
"Sial! Kenapa gue harus ketemu dia di kantor gue sih?" kesal Axel.
"Kenapa lo? Pagi-pagi udah kesel aja," tanya Gavin.
"Gue ketemu sama cewek yang waktu itu gue ceritain."
"Terus masalahnya dimana? Kan cuma ketemu?" tanya Gavin lagi.
"Masalahnya dia selalu buat gue kesel. Haishh! Udahlah." Axel pun meredam emosinya sendiri dengan meminum air putih yang berada di meja kerjanya.
"Gue mau kasih tau sesuatu sama lo. Dua sekretaris yang bakalan magang itu salah satunya bakalan gantiin gue. Gue akan ditugaskan untuk menggantikan manajer personalia yang mati mendadak kemarin. Gue harap lo bisa jaga emosi lo. Karena sekretaris itu cewek bukan cowok," jelas Gavin.
"Terserah lah. Yang penting dia nggak lelet dan kerjanya bagus. Gue mah oke-oke aja."
"Bentar, gue panggilin dulu orangnya."
Gavin keluar dari ruangan Axel untuk memanggil mahasiswa magang itu. Axel duduk di sofa sambil menunggu kehadiran Gavin dengan sekretaris barunya. Beberapa menit kemudian, pintu ruangan Axel terbuka. Suara sepatu pantofel terdengar di telinganya.
"Ini dia orangnya." Axel pun menoleh ke Gavin. Ia terkejut bukan main saat mengetahui bahwa yang akan menjadi sekretaris magangnya adalah cewek yang sudah membuatnya kesal dua kali.
"Ele, silahkan perkenalkan dirimu. Laki-laki muda di depanmu ini adalah CEO dari DAND Group namanya Axel Dandion."
Bukan hanya Axel saja yang terkejut, Ele juga demikian. Namun, Ele tetap bersikap profesional. Ia pun memperkenalkan dirinya.
"Perkenalkan nama saya Eleanor Freedy, saya mahasiswa magang yang akan menjadi sekretaris bapak. Mohon bimbingannya," ucap Ele sopan.
"Oh, jadi sekretaris magangnya ini. Baguslah," ucap Axel dengan senyum menyeringai. Gavin yang melihat ekspresi Axel yang seperti itu merasa kasian dengan Ele. Karena sudah banyak korban dari kekejaman Axel bagi para mahasiswa yang magang di perusahaannya.
Dari tatapan dan senyuman Axel tersebut. Ele sudah tau dan pasti bahwa ada sinyal kebencian yang tersirat di dalamnya. Tentang bagaimana sikap Axel nanti Ele tidak peduli. Yang ia pedulikan hanya magang dan sertifikat dari perusahaan Axel.
"Bisa tinggalkan kami berdua?" pinta Axel.
Sebelum pergi meninggalkan Axel dan Ele, Gavin membisikan sesuatu di telinga Axel.
"Anak gadis orang, jangan lo apa-apain."
"Iya, banyak omong deh lo!"
Gavin pun benar-benar pergi meninggalkan Axel dan Ele berdua di ruangan. Axel terus menatap Ele dari ujung rambut hingga kaki. Ia masih tidak percaya bahwa orang yang membuatnya kesal akan menjadi bawahannya.
"Coba ulangi, perkenalkan dirimu."
"Eleanor Freedy, itu nama saya, Pak."
"Oke, ternyata takdir mempertemukan kita lagi. Itu artinya kamu harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Mengerti?"
"Mengerti pak."
"Tugas kamu sekarang adalah merekap semua dokumen yang ada di meja kerja saya. Tapi sebelum itu, tolong buatkan saya kopi. Takarannya dua sendok kopi dan satu sendok gula. Jangan kebanyakan air. Saya tidak suka yang teralu panas dan dingin."
"Baik pak."
Saat Ele hendak berjalan keluar dan sudah sampai di pintu, tiba-tiba Axel memanggil Ele kembali.
"Satu lagi, nggak pake lama."
"Baik pak."
Ele akhirnya benar-benar keluar dari ruangan yang berhawa panas itu. Ia pergi ke pantri perusahaan dan membuat kopi sesuai dengan apa yang diminta Axel. Sepuluh menit kemudian, Ele kembali ke ruangan Axel. Ia pun memberikan kopi yang telah dibuatnya.
"Sekarang silahkan kamu kerjakan dokumen itu," ucap Axel sambil menunjuk tumpukkan dokumen yang tingginya hampir 20 cm.
"Siang ini harus sudah selesai. Mengerti?" Ele mengangguk.
"Silakan keluar. Tempatmu ada di depan ruangan ini. Jangan sampai salah. Jika salah ulangi sampai rekapan itu benar. Walaupun harus sampai lembur. Harus kamu kerjakan hari ini juga."
"Baik Pak Axel."
Ele pun keluar dari ruangan Axel dengan membawa tumpukkan dokumen. Ia menggerutu tentang sifat dan karakter Axel dalam hatinya. Sementara Axel ia tersenyum bahagia bisa mengerjai Ele sesuai keinginannya. Ada kesenangan tersendiri ketika ia bisa membuat Ele tunduk padanya.
Waktu terus berputar sesuai alurnya. Ele telah menyelesaikan rekapakan dokumen yang diminta Axel satu jam lebih awal dari yang diminta Axel.
Tok ... tok ... tok ...
Ele mengetuk pintu ruangan Axel untuk menyerangkan rekapan yang telah diselesaikannya.
"Masuk," jawabAxel dari dalam ruangan.
"Ada apa? Apa kamu kesulitan mengerjakannya?" tanya Axel pada Ele.
"Tidak, saya kemari mau memberikan rekapan dokumen yang sudah saya selesaikan."
Axel terkejut. Bagaimana mungkin Ele bisa menyelesaikan pekerjaan yang terbilang rumit dengan jagka waktu yang sebentar? Bahkan Gavin yang terlatih saja hanya mampu sampai jam makan siang.
"Jangan becanda kamu. Mana saya cek dulu."
Axel mengecek satu persatu rekapan dokumen tersebut. Ia tidak menyangka ternyata Ele memiliki kemampuan yang luar biasa, Hasil rekapannya lebih rapi dan mudah dimengerti. Jika seperti ini, ia akan susah untuk menjahili Ele.
"Bagaimana? Sudah benar kan, Pak?"
"Bagus. Pekerjaan kamu selanjutnya adalah menulis hasil rapat yang akan diadakan setelah makan siang. Jangan sampai ada yang terlewat sedikitpun."
"Baik Pak."
"Kamu boleh keluar."
Ele pun keluar ruangan dengan wajah berseri. Ia sangat puas melihat wajah Axel yang terkejut.
"Jangan coba main-main sama gue," ucap Ele.
Ele dan Alvia duduk saling berhadapan di kantin perusahaan. Di saat Ele menikmati makanan yang ada di depan matanya, Alvia justru melamun sambil memuji seseorang. Ia menopangkan tangannya di dagu."Gila! Gue nggak nyangka. Bukan hanya bosnya aja yang ganteng, ternyata manajernya juga. KIra-kira bisa nggak ya? Kalo dia jadi pacar gue?"Bukan Ele namanya jika menanggapi perkataan Alvia dengan antusias. Ele memberikan penilaian dari kacamatanya dengan berbeda."Terus aja muji orang. Emang ganteng bisa bikin perut kenyang. Tampang pas-pasan juga," cibir Ele sambil memasukan mie ke dalam mulutnya."Perlu periksa mata deh kayanya. Cuma lo doang yang bilang cowok idaman itu pas-pasan," ucap Alvia sambil menggeser mangkuk bakso mendekat padanya."Lebih baik lo diem deh. Bisa hilang nafsu makan gue, dengerin lo terus muji-muji cowok yang lo anggap ganteng itu."Setelah mengatakan itu, Ele bangkit dari tempat duduknya meninggalkan Alvia yang masih bel
Di sebuah kantor megah dan mewah duduklah seorang CEO yang bernama Axel Dandion. Tatapan matanya tertuju pada sebuah foto yang tergeletak di meja kerjanya. Tak sekalipun ia berpaling melihat ke arah lain. Hingga seseorang masuk ke dalam ruangannya. "Inilah definisi laki-laki yang gagal move on dari mantannya." Kalimat tersebut muncul dari sahabat sekaligus sekretaris dari Axel. Gavin Scarlett namanya. "Berisik!" timpal Axel dengan tatapan tajam ke arah Gavin. "Santai, nggak usah mendelik gitu matanya. Ngeri gue liatnya," ucap Gavin yang berjalan ke depan meja Axel dan duduk di hadapannya. "Bisa nggak kalo masuk ke ruangan orang ketuk pintu dulu? Lo mau gue pecat?" Mendengar ucapan Axel yang sedikit kesal, Gavin malah bereaksi biasa saja. Padahal ancaman tersebut bisa membuatnya kehilangan pekerjaan. "Yakin mau pecat gue? Gue sih nggak yakin ya, hahaha." Gavin berbicara dengan diakhiri tawa renyahnya sambil mengambil foto yang dilihat oleh Axel. "Masalahnya kalo lo pecat gue. Ng
Axel merasa takjub dengan apa yang dilihatnya. Dalam beberapa menit saja, Ele berhasil membuat para preman tersebut kalah. Seketika ia teringat perutnya yang dipukul oleh preman tersebut. "Heh! Cewek galak! Lo kan jago berantem. Kenapa dari tadi nggak lo lawan aja?" "Males!" ucap Ele sambil mengambil tasnya yang tergeletak di aspal. Ia kemudian berjalan menjauh dari Axel. "Tanggung jawab woy! Lo udah buat perut gue dipukul." Ele tak menoleh sama sekali, ia hanya melambaikan tangannya seolah mengucapkan selamat tinggal. "Dasar cewek setan!" **** Axel berjalan masuk ke kantornya dengan tertatih-tatih sambil memegang perutnya. Rasa nyeri dari pukulan preman tadi masih terasa hingga ke tulang-tulang Axel. Sebelum memasuki ruangannya, di depan pintu ia berpapasan dengan Gavin. "Kenapa lo?" "Nggak usah banyak tanya." Axel membuka pintu ruangannya. "Baru sekali ini gue tanya, belu
Ele berjalan ke taman depan rumahnya. Ia duduk di kursi panjang kemudian menatap ke arah langit. Banyak sekali bintang yang besinar terang disana."Ma, apa kabar? Ele rindu."Ele berbicara seolah-olah mamanya sedang melihatnya dan mendengarkan kerinduannya. Ia bersikap tegar dari luar dan rapuh di dalam. Tak terasa air mata pun mengalir ke pelupuk pipinya."Lihat ma, Ele nangis bahagia. Semoga mama tenang disana. Kita semua disini baik-baik aja."Ele teringat lagi bagaimana mamanya meninggal. Saat itu usia Ele masih terbilang kecil yaitu 10 tahun. Ele melihat mamanya ditembak secara brutal oleh orang yang tidak dikenalnya. Semenjak itu, Mr. Freedy papa dari Ele dan Dilan membawa mereka pergi jauh dari Jerman. Semata-mata untuk melindungi anaknya. Terlebih lagi untuk melindungi Ele yang wajahnya sudah pernah terlihat oleh musuh Mr. Freedy.Kematian mamanya menjadi luka terberat bagi Ele. Bahkan Ele tak mampu mengeluarkan air mata ketika mamanya diny