Axel merasa takjub dengan apa yang dilihatnya. Dalam beberapa menit saja, Ele berhasil membuat para preman tersebut kalah. Seketika ia teringat perutnya yang dipukul oleh preman tersebut.
"Heh! Cewek galak! Lo kan jago berantem. Kenapa dari tadi nggak lo lawan aja?"
"Males!" ucap Ele sambil mengambil tasnya yang tergeletak di aspal. Ia kemudian berjalan menjauh dari Axel.
"Tanggung jawab woy! Lo udah buat perut gue dipukul."
Ele tak menoleh sama sekali, ia hanya melambaikan tangannya seolah mengucapkan selamat tinggal.
"Dasar cewek setan!"
****
Axel berjalan masuk ke kantornya dengan tertatih-tatih sambil memegang perutnya. Rasa nyeri dari pukulan preman tadi masih terasa hingga ke tulang-tulang Axel.
Sebelum memasuki ruangannya, di depan pintu ia berpapasan dengan Gavin.
"Kenapa lo?"
"Nggak usah banyak tanya." Axel membuka pintu ruangannya.
"Baru sekali ini gue tanya, belum banyak."
Axel langsung melengos saja masuk tak menghiraukan Gavin.
"Yeh, si Bambang!"
Gavin pun mengikuti Axel masuk ke ruangan. Ia kemudian membantu Axel untuk duduk di sofa.
"Gue bisa sendiri."
Axel menaruh kakinya lurus di atas sofa kemudian menyandarkan kepalanya ke bantal.
"Lo habis berantem ya?" tanya Gavin.
"Lebih tepatnya abis ditonjok," jawab Axel.
"Lah, bisanya? Lo kan udah sabuk item di karate." Gavin keheranan mendengarnya.
"Gara-gara cewek setan yang nggak bertanggung jawab."
Gavin semakin bingung dibuatnya.
"Bisa nggak? Kalo cerita itu yang detail? Gue bingung nih?"
"Intinya gara-gara cewek yang nyebrang sembarangan terus gara-gara dia juga gue ditonjok sama preman. Selesai."
"Cerita apaan? Pendek amat!"
"Udah deh, mending sekarang lo keluar dari ruangan gue. Tutup pintunya rapat-rapat. Nanti kalo ada yang minta tanda tangan ataupun ada keperluan sama gue. Lo handle dulu. Gue mau istirahat sebentar. Perut gue nyeri rasanya."
"Siap pak bos."
Gavin menuruti perintah Axel. Ia membiarkan Axel beristirahat. Ia keluar dari ruangan Axel dan kembali ke tempatnya.
Melihat Axel yang kesakitan seperti itu, Gavin merasa iba. Gavin dan Axel saling mengenal sejak mereka berada di sekolah dasar. Sejak saat itu, mereka berdua akrab dan menjalin persahabatan hingga sekarang. Banyak kenangan manis dan pahit yang dilalui bersama. Salah satunya ketika Axel dikhianati oleh mantan pacarnya.
Seketika Gavin teringat dengan sebuah foto yang diambil dari meja Axel tadi. Ia mengambil foto tersebut dari saku celananya.
"Lo adalah orang yang udah buat temen gue menderita. Bodohnya, temen gue masih berharap sama lo."
Setelah mengucapkan itu, Gavin menaruh foto tersebut di laci mejanya. Ia berharap Axel akan segera melupakan wanita tersebut.
****
Malam harinya di rumah Ele, Alvia datang tanpa diminta. Bukan hal aneh lagi bagi Ele. Alvia selalu menjadi ekor baginya.
"Selamat malam Dilan," sapa Alvia pada Dilan dengan senyum yang merekah.
"Selamat malam juga kak Via," balas Dilan dengan senyum yang sama merekahnya.
Dilan Freedy adalah adik dari Eleanor Freedy. Ia sekarang sedang menempuh pendidikan SMA kelas 3. Meskipun mereka lahir dari ayah dan ibu yang sama tetapi sifat mereka berbeda 180 derajat. Dilan dengan sikap ramah, manis dan agak humoris. Sedangkan Ele, ia memiliki sifat keras kepala, galak, dan tidak suka basa-basi.
"Selamat malam Ele," sapa Alvia.
"Ngapain lo kesini?" Bukannya menjawab sapaan Alvia, Ele malah bertanya alasan Alvia mengunjungi rumahnya.
"Mau main lah," jawab Alvia dengan girang.
"Main ke taman bermain. Bukan ke rumah gue!"
"Dih, pelit banget lo."
"Pulang!" Ele mengusir Alvia dengan nada tinggi. Bukan Alvia namanya jika ia menuruti perkataan Ele. Ia sama sekali tak memperdulikan itu. Alvia duduk di sebelah Dilan yang sedang bermain game di ponselnya.
"Lan, kakak lo galak amat ya? Betah lo punya kakak kaya dia?"
"Kalo ditanya gitu mah, gue sih jawabnya nggak." Dilan menjawab pertanyaan Alvia sambil fokus pada game-nya.
Ele merasa kesal karena perkataan sahabat dan juga adiknya. Ia pun pergi ke kamarnya yang berada di lantai dua. Selepas kepergian Ele, Alvia dan Dilan tertawa bersama.
"Hahahaa."
"Cuma kak Via deh kayanya yang berani temenan sama cewek setan kaya dia."
"Karena cuma kakak lo yang berteman tulus sama gue. Yang lainnya berteman karena ada maunya. Ada yang mau tenar lah, ada yang gosipin di belakang lah. Males gue sama orang yang begitu. Lebih baik sama kakak lo, dia apa adanya. Meskipun sifatnya kaya setan, haha."
"Ya, emang bener sih. Meskipun dari luar terlihat galak. Kak Ele aslinya perhatian banget. Tapi, dia suka nggak mau nunjukin aja."
"Nah, itu lo tau juga, Lan. Ngomong-ngomong papa lo kemana?"
"Papa pergi ke LA, katanya banyak urusan disana. Nggak tau deh pulangnya kapan. Dua tahun kemudian mungkin."
Dilan dan Ele sudah terbiasa ditinggal pergi jauh oleh papanya. Mereka selalu tinggal bertiga dengan satu pembantu di rumahnya. Lalu dimanakah mamanya? Mama mereka sudah meninggal sejak Ele berusia 10 tahun. Semenjak itulah papa mereka selalu pulang pergi ke luar kota ataupun ke luar negeri. Dilan dan Ele mengerti kesibukan papa nya. Mereka pun tak banyak menuntut apapun.
"Kalo gitu, gue nginep boleh dong?" tanya Alvia.
"Minta izin sama cewek setan dulu. Kalo gue sih boleh-boleh aja."
"Oke, gue nginep."
"Tar kalo dia ngamuk gue nggak tanggung jawab ya."
"Udah santai aja."
Alvia pun merebahkan dirinya di sofa rumah Ele. Ia menganggap rumah Ele seperti rumahnya sendiri. Kemudian ia menyalakan televisi dan menonton serial drama korea kesukaannya.
"Lan, ambilin cemilan dong!"
"Punya tangan, punya kaki, ya ambil sendiri dong!" jawab Dilan.
"Sumpah ya! Ini adek kakak kalo lagi begini baru kerasa mirip. Sama-sama nggak suka diganggu," gumam Alvia.
Alvia pun akhirnya mengambil cemilan di meja makan rumah Ele. Tak lupa ia pun mengambil segelas es jeruk dingin yang ada di dalam kulkas.
Beberapa menit kemudian, ia kembali menonton serial drama Korea tersebut. Tiba-tiba televisi tersebut mati. Bukan karena kehabisan pulsa listrik melainkan karena ulah dari Ele.
"Tamu nggak ada akhlak." Ele menyimpan remot televisi ke dalam saku celananya.
"Yee, lo lebih nggak ada akhlak lagi. Ada tamu bukannya dijamu malah diusir!"
"Soalnya lo tamu yang nggak tau diri."
"Haduh! Pusing kepala Dilan. Kalian berdua tuh ribut terus. Sanah dilanjut lagi, gue mau pergi ke kamar. Bye."
Dilan pun memilih untuk tidak berada di antara perdebatan Ele dan Alvia. Ia lebih memilih untuk menyendiri dan menikmati masa santainya.
"Pulang sana! Keburu malam, gue males anterin lo."
"Gue mau nginep."
"Via!" teriak Ele.
"Yes, El," balas Alvia dengan senyum tanpa dosa.
Ele mengalah dan mengizinkan Alvia menginap di rumahnya. Ia terlalu malas untuk beradu mulut dengan Alvia yang tidak ada tandingannya.
"Nah gitu dong, hehe." Alvia tersenyum senang atas kekalahan Ele. Ia tahu bahwa Ele pun sebenarnya tidak tega untuk menyuruhnya pulang malam-malam.
"Balikin remotnya dong. Gue udah ketinggalan jauh nih."
Ele menaruh kembali remot ke tempat semula. Kemudian ia pergi keluar dari rumahnya.
"Lah, cepet banget jalannya. Terbang kali ya? Atau digondol kuntilanak. Nggak mungkin juga sih. Yang ada kuntilanaknya bonyok sama dia, hahaha. Oke, fokus nonton lagi."
Ele berjalan ke taman depan rumahnya. Ia duduk di kursi panjang kemudian menatap ke arah langit. Banyak sekali bintang yang besinar terang disana."Ma, apa kabar? Ele rindu."Ele berbicara seolah-olah mamanya sedang melihatnya dan mendengarkan kerinduannya. Ia bersikap tegar dari luar dan rapuh di dalam. Tak terasa air mata pun mengalir ke pelupuk pipinya."Lihat ma, Ele nangis bahagia. Semoga mama tenang disana. Kita semua disini baik-baik aja."Ele teringat lagi bagaimana mamanya meninggal. Saat itu usia Ele masih terbilang kecil yaitu 10 tahun. Ele melihat mamanya ditembak secara brutal oleh orang yang tidak dikenalnya. Semenjak itu, Mr. Freedy papa dari Ele dan Dilan membawa mereka pergi jauh dari Jerman. Semata-mata untuk melindungi anaknya. Terlebih lagi untuk melindungi Ele yang wajahnya sudah pernah terlihat oleh musuh Mr. Freedy.Kematian mamanya menjadi luka terberat bagi Ele. Bahkan Ele tak mampu mengeluarkan air mata ketika mamanya diny
Hari demi hari pun berlalu. Hari ini adalah hari di mana Ele dan Alvia akan magang di perusahaan DAND Group sebagai sekretaris. Ele tengah bersiap di depan meja riasnya. Ia membenahi ikatan rambutnya yang melonggar dan memakai dasi di kerahnya dengan rapi. Tak lupa Ele juga memberikan polesan make-up ringan di wajahnya.Ele turun dari kamarnya dan duduk di meja makan. Ia meminum segelas susu putih dan roti tawar dengan selai stawberry di dalamnya. Selesai makan ia langsung berangkat magang menggunakan mobilnya. Butuh waktu 15 menit untuk sampai di DAND Group.Sesampainya di DAND Group, Ele menuju ke basement perusahaan untuk memberhentikan mobilnya. Sialnya, saat mobil Ele akan terparkir dengan sempurna, datang mobil lain yang tiba-tiba menyerobot tempat parkir mobil Ele. Ele pun keluar dari mobilnya dengan menutup pintu mobil dengan keras. Kemudian ia mengetuk kaca mobil yang membuatnya geram."Heh! Keluar nggak lo!" kesal Ele.
Ele dan Alvia duduk saling berhadapan di kantin perusahaan. Di saat Ele menikmati makanan yang ada di depan matanya, Alvia justru melamun sambil memuji seseorang. Ia menopangkan tangannya di dagu."Gila! Gue nggak nyangka. Bukan hanya bosnya aja yang ganteng, ternyata manajernya juga. KIra-kira bisa nggak ya? Kalo dia jadi pacar gue?"Bukan Ele namanya jika menanggapi perkataan Alvia dengan antusias. Ele memberikan penilaian dari kacamatanya dengan berbeda."Terus aja muji orang. Emang ganteng bisa bikin perut kenyang. Tampang pas-pasan juga," cibir Ele sambil memasukan mie ke dalam mulutnya."Perlu periksa mata deh kayanya. Cuma lo doang yang bilang cowok idaman itu pas-pasan," ucap Alvia sambil menggeser mangkuk bakso mendekat padanya."Lebih baik lo diem deh. Bisa hilang nafsu makan gue, dengerin lo terus muji-muji cowok yang lo anggap ganteng itu."Setelah mengatakan itu, Ele bangkit dari tempat duduknya meninggalkan Alvia yang masih bel
Di sebuah kantor megah dan mewah duduklah seorang CEO yang bernama Axel Dandion. Tatapan matanya tertuju pada sebuah foto yang tergeletak di meja kerjanya. Tak sekalipun ia berpaling melihat ke arah lain. Hingga seseorang masuk ke dalam ruangannya. "Inilah definisi laki-laki yang gagal move on dari mantannya." Kalimat tersebut muncul dari sahabat sekaligus sekretaris dari Axel. Gavin Scarlett namanya. "Berisik!" timpal Axel dengan tatapan tajam ke arah Gavin. "Santai, nggak usah mendelik gitu matanya. Ngeri gue liatnya," ucap Gavin yang berjalan ke depan meja Axel dan duduk di hadapannya. "Bisa nggak kalo masuk ke ruangan orang ketuk pintu dulu? Lo mau gue pecat?" Mendengar ucapan Axel yang sedikit kesal, Gavin malah bereaksi biasa saja. Padahal ancaman tersebut bisa membuatnya kehilangan pekerjaan. "Yakin mau pecat gue? Gue sih nggak yakin ya, hahaha." Gavin berbicara dengan diakhiri tawa renyahnya sambil mengambil foto yang dilihat oleh Axel. "Masalahnya kalo lo pecat gue. Ng