Di sebuah kantor megah dan mewah duduklah seorang CEO yang bernama Axel Dandion. Tatapan matanya tertuju pada sebuah foto yang tergeletak di meja kerjanya. Tak sekalipun ia berpaling melihat ke arah lain. Hingga seseorang masuk ke dalam ruangannya.
"Inilah definisi laki-laki yang gagal move on dari mantannya."
Kalimat tersebut muncul dari sahabat sekaligus sekretaris dari Axel. Gavin Scarlett namanya.
"Berisik!" timpal Axel dengan tatapan tajam ke arah Gavin.
"Santai, nggak usah mendelik gitu matanya. Ngeri gue liatnya," ucap Gavin yang berjalan ke depan meja Axel dan duduk di hadapannya.
"Bisa nggak kalo masuk ke ruangan orang ketuk pintu dulu? Lo mau gue pecat?"
Mendengar ucapan Axel yang sedikit kesal, Gavin malah bereaksi biasa saja. Padahal ancaman tersebut bisa membuatnya kehilangan pekerjaan.
"Yakin mau pecat gue? Gue sih nggak yakin ya, hahaha." Gavin berbicara dengan diakhiri tawa renyahnya sambil mengambil foto yang dilihat oleh Axel.
"Masalahnya kalo lo pecat gue. Nggak ada yang mau jadi sekretaris dari bos yang super duper keras kepala, kejam, egois, dan masih banyak keburukan lainnya."
Gavin mengungkapkan keburukan dari Axel dengan senangnya.
"Bagus. Beraninya menghina bos sendiri. Kalo bukan temen, udah gue tendang juga lo ke laut."
"Hahahahha."
Gavin hanya membalas ucapan Axel dengan tawanya.
"Untung gue temen lo ya, hehe. Lagian apa yang lo liat dari Clarissa sih? Kecantikannya? Bulshit! Cantik doang nggak bikin bahagia."
"Diem nggak lo!" Axel melempar pulpen ke wajah Gavin.
"Sakit bego!" ucap Gavin sambil mengusap pelipis kepalanya yang terkena lemparan pulpen Axel.
"Bukan cuma cantiknya doang kali. Clarissa itu udah kaya malaikat." Axel memuji Clarissa dengan tangan kiri yang menopang dagunya sambil membayangkan wajah cantik Clarissa.
"Prettt! Malaikat kok selingkuh! Iblis tuh harusnya."
"Hah! Curhat sama orang yang nggak pernah jatuh cinta itu percuma."
"Lebih percuma lagi masih mencintai wanita yang udah mengkhianati lo."
"Diem bego! Lo pikir move on itu gampang?"
"Gampang lah. Tinggal cari cewe baru terus lo pacarin lah."
"Nggak semudah apa yang lo bilang! Emang jatuh cinta bisa semudah itu? Ya nggak lah."
"Ya ya ya, mending bahas yang lain aja. Bahasan cerita cinta lo nggak berfaedah."
"Vin, tangan gue gatel nih?" Axel menggulung lengan bajunya 3 lipatan.
"Ow, santai dong. Lo mah gitu aja emosi. Nanti nggak ada cewe yang mau deketin lo."
"Bodo amat. Gue juga maunya Clarissa doang."
"Terserah lah terserah. Emang kalo udah cinta buta itu bisa mengalahkan segalanya."
Gavin berdiri dari duduknya. Ia kemudian berjalan menuju ke arah pintu dan membuka pintu tersebut."Oh iya, sebenernya gue masuk ke ruangan lo itu mau nyampein sesuatu. Kalo sebentar lagi ada dua mahasiswa yang bakalan magang di perusahaan lo."
Setelah mengucapkan perkataan tersebut, Gavin menghilang dari pandangan Axel.
"Dasar pengganggu!" gerutu Axel.
****
Di sebuah perguruan tinggi, dua mahasiswa sedang berbincang-bincang di gazebo. Lebih tepatnya, salah satunya yang bicara dan yang satunya bersikap bodo amat.
"Pokoknya kalo semisal bos di tempat magang kita nanti galak dan sering marahin gue. Lo harus bantuin gue, El. Lo kan orangnya nggak ada rasa takut. Pokoknya lo tuh cewe yang savage abis."
Eleanor hanya fokus pada apa yang jadi objek menarik baginya. Ia melihat ke arah danau yang tenang.
"El, lo dengerin gue nggak sih?"
"Lo masih mau berisik atau mau gue kirim ke neraka?"
Begitulah Ele, ia adalah orang yang tidak terlalu suka basa-basi. Perkataannya tajam dan menyayat hati. Bagi orang yang belum mengenalnya mungkin akan langsung membenci ataupun menganggap Ele adalah orang yang sombong dan bad girl. Tapi pada kenyataannya, Ele hanya terlihat seperti harimau dari luar dan terlihat seperti kucing dari dalam.
Alvia adalah satu-satunya teman yang dimiliki oleh Ele. Hanya Alvia yang mau jadi teman Ele karena yang lainnya tidak sanggup mendengar perkataan kasar Ele. Ele dan Alvia sudah berteman sejak mereka masuk SMA.
"El, bisa nggak sih lo bersikap baik sedikit?"
"Kalo lo gue baikin, nanti ngelunjak!"
"Gitu amat sama temen sendiri."
"Bodo amat!" Ele memutar matanya malas kemudian beranjak dari duduknya dan berjalan menjauh dari Alvia.
"Ele tungguin gue woy!" teriak Alvia.
Ele tak menghiraukan teriakan Alvia. Ia masih terus berjalan tanpa berhenti meskipun selangkah.
"Dasar cewek setan!" Alvia berteriak lagi untuk kedua kalinya. Ele yang mendengar teriakan tersebut sedikit menyunggingkan senyumnya. Ia sangat menyukai ekspresi Alvia ketika ia kesal dan marah padanya. Karena itu adalah kesenangan sendiri untuk Ele.
Ele berjalan keluar dari kampus. Ia memilih jalanan yang sepi karena ia tidak suka dengan keramaian. Malangnya, Ele bertemu dengan beberapa preman kompleks yang menyergapnya.
"Halo cantik, baru pulang sekolah ya?" ucap salah satu preman yang akan menyentuh dagu Ele.
"Berani sentuh gue, gue kirim kalian semua ke neraka!"
"Wow, boleh juga idenya. Lebih baik kita pergi ke neraka sama-sama."
"Najis!" Ele meludahi preman yang bicara dengannya dan kabur dari kepungan para preman tersebut.
"Sialan! Kejar cewek itu!"
Ele berlari dengan cepatnya. Sebenarnya Ele bisa saja melawan mereka semua. Hanya saja ia tidak mau melawan mereka dengan kondisi tubuh yang lelah dan letih.
"Emang sialan tuh preman! Nggak tau apa gue cape! Haaah ... Haaah ...."
Napas Ele mulai terengah-engah karena sudah sekitar 10 menit ia berlari tanpa henti. Para preman itu pun masih terus mengejarnya. Hingga akhirnya ia menyebrang ke jalanan tanpa melihat ke arah kanan dan kiri jalan. Kecelakaan pun hampir terjadi. Untungnya, si pengemudi segera memberhentikan mobilnya.
"Lo mau mati ya? Kalo mau mati jangan di hadapan gue dong!" Axel menumpahkan emosinya di depan Ele.
"Berisik!" Hanya jawaban inilah yang diberikan Ele.
"Njir! Lo tau nggak sih kalo lo salah? Kalo nyebrang itu lihat-lihat!"
Bukannya menjawab lagi, Ele malah masuk ke mobil Axel untuk bersembunyi.
"Keluar nggak lo!"
"Diem dulu deh! Lo bisa berantem nggak?"
Axel tidak habis pikir dengan wanita yang berada di dekatnya. Pertanyaan dari mulut kecilnya sungguh tak bisa diduga.
"Ngapain lo tanya begitu?"
"Udah sih! Jawab aja!"
"Bisa. Emang kenapa?"
"Bagus!"
Ele tersenyum senang dan keluar dari mobil Axel ketika para preman yang mengejarnya sudah berada tidak jauh dari Ele.
"Kalian semua mau mati?" tanya Ele dengan tatapan tajamnya ke para preman.
Para preman tersebut langsung bergerak untuk memukul Ele. Namun dengan sengaja Ele malah menarik Axel yang berada di sampingnya. Alhasil satu pukulan melayang ke perut Axel."Dasar lemah! Katanya bisa berantem. Kaya gitu aja lo nggak bisa menghindar sama sekali."
Dengan terpaksa, Ele maju untuk melawan para preman tersebut. Satu persatu dari mereka tumbang. Ada yang terbentur aspal, ada yang masuk ke selokan dan ada yang kakinya pincang."Ayo cabut!" Salah satu dari preman tersebut mengajak temannya untuk pergi meninggalkan Ele dan Axel.
****
I* : @yositaa_02 @yoyotaa_
Axel merasa takjub dengan apa yang dilihatnya. Dalam beberapa menit saja, Ele berhasil membuat para preman tersebut kalah. Seketika ia teringat perutnya yang dipukul oleh preman tersebut. "Heh! Cewek galak! Lo kan jago berantem. Kenapa dari tadi nggak lo lawan aja?" "Males!" ucap Ele sambil mengambil tasnya yang tergeletak di aspal. Ia kemudian berjalan menjauh dari Axel. "Tanggung jawab woy! Lo udah buat perut gue dipukul." Ele tak menoleh sama sekali, ia hanya melambaikan tangannya seolah mengucapkan selamat tinggal. "Dasar cewek setan!" **** Axel berjalan masuk ke kantornya dengan tertatih-tatih sambil memegang perutnya. Rasa nyeri dari pukulan preman tadi masih terasa hingga ke tulang-tulang Axel. Sebelum memasuki ruangannya, di depan pintu ia berpapasan dengan Gavin. "Kenapa lo?" "Nggak usah banyak tanya." Axel membuka pintu ruangannya. "Baru sekali ini gue tanya, belu
Ele berjalan ke taman depan rumahnya. Ia duduk di kursi panjang kemudian menatap ke arah langit. Banyak sekali bintang yang besinar terang disana."Ma, apa kabar? Ele rindu."Ele berbicara seolah-olah mamanya sedang melihatnya dan mendengarkan kerinduannya. Ia bersikap tegar dari luar dan rapuh di dalam. Tak terasa air mata pun mengalir ke pelupuk pipinya."Lihat ma, Ele nangis bahagia. Semoga mama tenang disana. Kita semua disini baik-baik aja."Ele teringat lagi bagaimana mamanya meninggal. Saat itu usia Ele masih terbilang kecil yaitu 10 tahun. Ele melihat mamanya ditembak secara brutal oleh orang yang tidak dikenalnya. Semenjak itu, Mr. Freedy papa dari Ele dan Dilan membawa mereka pergi jauh dari Jerman. Semata-mata untuk melindungi anaknya. Terlebih lagi untuk melindungi Ele yang wajahnya sudah pernah terlihat oleh musuh Mr. Freedy.Kematian mamanya menjadi luka terberat bagi Ele. Bahkan Ele tak mampu mengeluarkan air mata ketika mamanya diny
Hari demi hari pun berlalu. Hari ini adalah hari di mana Ele dan Alvia akan magang di perusahaan DAND Group sebagai sekretaris. Ele tengah bersiap di depan meja riasnya. Ia membenahi ikatan rambutnya yang melonggar dan memakai dasi di kerahnya dengan rapi. Tak lupa Ele juga memberikan polesan make-up ringan di wajahnya.Ele turun dari kamarnya dan duduk di meja makan. Ia meminum segelas susu putih dan roti tawar dengan selai stawberry di dalamnya. Selesai makan ia langsung berangkat magang menggunakan mobilnya. Butuh waktu 15 menit untuk sampai di DAND Group.Sesampainya di DAND Group, Ele menuju ke basement perusahaan untuk memberhentikan mobilnya. Sialnya, saat mobil Ele akan terparkir dengan sempurna, datang mobil lain yang tiba-tiba menyerobot tempat parkir mobil Ele. Ele pun keluar dari mobilnya dengan menutup pintu mobil dengan keras. Kemudian ia mengetuk kaca mobil yang membuatnya geram."Heh! Keluar nggak lo!" kesal Ele.
Ele dan Alvia duduk saling berhadapan di kantin perusahaan. Di saat Ele menikmati makanan yang ada di depan matanya, Alvia justru melamun sambil memuji seseorang. Ia menopangkan tangannya di dagu."Gila! Gue nggak nyangka. Bukan hanya bosnya aja yang ganteng, ternyata manajernya juga. KIra-kira bisa nggak ya? Kalo dia jadi pacar gue?"Bukan Ele namanya jika menanggapi perkataan Alvia dengan antusias. Ele memberikan penilaian dari kacamatanya dengan berbeda."Terus aja muji orang. Emang ganteng bisa bikin perut kenyang. Tampang pas-pasan juga," cibir Ele sambil memasukan mie ke dalam mulutnya."Perlu periksa mata deh kayanya. Cuma lo doang yang bilang cowok idaman itu pas-pasan," ucap Alvia sambil menggeser mangkuk bakso mendekat padanya."Lebih baik lo diem deh. Bisa hilang nafsu makan gue, dengerin lo terus muji-muji cowok yang lo anggap ganteng itu."Setelah mengatakan itu, Ele bangkit dari tempat duduknya meninggalkan Alvia yang masih bel
Ele dan Alvia duduk saling berhadapan di kantin perusahaan. Di saat Ele menikmati makanan yang ada di depan matanya, Alvia justru melamun sambil memuji seseorang. Ia menopangkan tangannya di dagu."Gila! Gue nggak nyangka. Bukan hanya bosnya aja yang ganteng, ternyata manajernya juga. KIra-kira bisa nggak ya? Kalo dia jadi pacar gue?"Bukan Ele namanya jika menanggapi perkataan Alvia dengan antusias. Ele memberikan penilaian dari kacamatanya dengan berbeda."Terus aja muji orang. Emang ganteng bisa bikin perut kenyang. Tampang pas-pasan juga," cibir Ele sambil memasukan mie ke dalam mulutnya."Perlu periksa mata deh kayanya. Cuma lo doang yang bilang cowok idaman itu pas-pasan," ucap Alvia sambil menggeser mangkuk bakso mendekat padanya."Lebih baik lo diem deh. Bisa hilang nafsu makan gue, dengerin lo terus muji-muji cowok yang lo anggap ganteng itu."Setelah mengatakan itu, Ele bangkit dari tempat duduknya meninggalkan Alvia yang masih bel
Hari demi hari pun berlalu. Hari ini adalah hari di mana Ele dan Alvia akan magang di perusahaan DAND Group sebagai sekretaris. Ele tengah bersiap di depan meja riasnya. Ia membenahi ikatan rambutnya yang melonggar dan memakai dasi di kerahnya dengan rapi. Tak lupa Ele juga memberikan polesan make-up ringan di wajahnya.Ele turun dari kamarnya dan duduk di meja makan. Ia meminum segelas susu putih dan roti tawar dengan selai stawberry di dalamnya. Selesai makan ia langsung berangkat magang menggunakan mobilnya. Butuh waktu 15 menit untuk sampai di DAND Group.Sesampainya di DAND Group, Ele menuju ke basement perusahaan untuk memberhentikan mobilnya. Sialnya, saat mobil Ele akan terparkir dengan sempurna, datang mobil lain yang tiba-tiba menyerobot tempat parkir mobil Ele. Ele pun keluar dari mobilnya dengan menutup pintu mobil dengan keras. Kemudian ia mengetuk kaca mobil yang membuatnya geram."Heh! Keluar nggak lo!" kesal Ele.
Ele berjalan ke taman depan rumahnya. Ia duduk di kursi panjang kemudian menatap ke arah langit. Banyak sekali bintang yang besinar terang disana."Ma, apa kabar? Ele rindu."Ele berbicara seolah-olah mamanya sedang melihatnya dan mendengarkan kerinduannya. Ia bersikap tegar dari luar dan rapuh di dalam. Tak terasa air mata pun mengalir ke pelupuk pipinya."Lihat ma, Ele nangis bahagia. Semoga mama tenang disana. Kita semua disini baik-baik aja."Ele teringat lagi bagaimana mamanya meninggal. Saat itu usia Ele masih terbilang kecil yaitu 10 tahun. Ele melihat mamanya ditembak secara brutal oleh orang yang tidak dikenalnya. Semenjak itu, Mr. Freedy papa dari Ele dan Dilan membawa mereka pergi jauh dari Jerman. Semata-mata untuk melindungi anaknya. Terlebih lagi untuk melindungi Ele yang wajahnya sudah pernah terlihat oleh musuh Mr. Freedy.Kematian mamanya menjadi luka terberat bagi Ele. Bahkan Ele tak mampu mengeluarkan air mata ketika mamanya diny
Axel merasa takjub dengan apa yang dilihatnya. Dalam beberapa menit saja, Ele berhasil membuat para preman tersebut kalah. Seketika ia teringat perutnya yang dipukul oleh preman tersebut. "Heh! Cewek galak! Lo kan jago berantem. Kenapa dari tadi nggak lo lawan aja?" "Males!" ucap Ele sambil mengambil tasnya yang tergeletak di aspal. Ia kemudian berjalan menjauh dari Axel. "Tanggung jawab woy! Lo udah buat perut gue dipukul." Ele tak menoleh sama sekali, ia hanya melambaikan tangannya seolah mengucapkan selamat tinggal. "Dasar cewek setan!" **** Axel berjalan masuk ke kantornya dengan tertatih-tatih sambil memegang perutnya. Rasa nyeri dari pukulan preman tadi masih terasa hingga ke tulang-tulang Axel. Sebelum memasuki ruangannya, di depan pintu ia berpapasan dengan Gavin. "Kenapa lo?" "Nggak usah banyak tanya." Axel membuka pintu ruangannya. "Baru sekali ini gue tanya, belu
Di sebuah kantor megah dan mewah duduklah seorang CEO yang bernama Axel Dandion. Tatapan matanya tertuju pada sebuah foto yang tergeletak di meja kerjanya. Tak sekalipun ia berpaling melihat ke arah lain. Hingga seseorang masuk ke dalam ruangannya. "Inilah definisi laki-laki yang gagal move on dari mantannya." Kalimat tersebut muncul dari sahabat sekaligus sekretaris dari Axel. Gavin Scarlett namanya. "Berisik!" timpal Axel dengan tatapan tajam ke arah Gavin. "Santai, nggak usah mendelik gitu matanya. Ngeri gue liatnya," ucap Gavin yang berjalan ke depan meja Axel dan duduk di hadapannya. "Bisa nggak kalo masuk ke ruangan orang ketuk pintu dulu? Lo mau gue pecat?" Mendengar ucapan Axel yang sedikit kesal, Gavin malah bereaksi biasa saja. Padahal ancaman tersebut bisa membuatnya kehilangan pekerjaan. "Yakin mau pecat gue? Gue sih nggak yakin ya, hahaha." Gavin berbicara dengan diakhiri tawa renyahnya sambil mengambil foto yang dilihat oleh Axel. "Masalahnya kalo lo pecat gue. Ng