Ele berjalan ke taman depan rumahnya. Ia duduk di kursi panjang kemudian menatap ke arah langit. Banyak sekali bintang yang besinar terang disana.
"Ma, apa kabar? Ele rindu."
Ele berbicara seolah-olah mamanya sedang melihatnya dan mendengarkan kerinduannya. Ia bersikap tegar dari luar dan rapuh di dalam. Tak terasa air mata pun mengalir ke pelupuk pipinya.
"Lihat ma, Ele nangis bahagia. Semoga mama tenang disana. Kita semua disini baik-baik aja."
Ele teringat lagi bagaimana mamanya meninggal. Saat itu usia Ele masih terbilang kecil yaitu 10 tahun. Ele melihat mamanya ditembak secara brutal oleh orang yang tidak dikenalnya. Semenjak itu, Mr. Freedy papa dari Ele dan Dilan membawa mereka pergi jauh dari Jerman. Semata-mata untuk melindungi anaknya. Terlebih lagi untuk melindungi Ele yang wajahnya sudah pernah terlihat oleh musuh Mr. Freedy.
Kematian mamanya menjadi luka terberat bagi Ele. Bahkan Ele tak mampu mengeluarkan air mata ketika mamanya dinyatakan meninggal. Penyebabnya adalah karena Ele sudah banjir air mata terlebih dulu saat melihat darah yang keluar dari perut mamanya saat ditembak.
Setelah selesai menatap langit, Ele pun kembali masuk ke dalam rumahnya dan langsung menuju ke kamar tanpa menyapa Alvia yang berada di ruang tamunya.
"Lah, tuh anak kenapa ya? Kaya abis nangis gitu?" ucap Alvia bertanya-tanya.
Alvia mengesampingkan serial drama Korea kesukaannya. Ia berjalan menuju ke kamar Ele. Saat akan mengetuk pintu kamar Ele, Dilan keluar dari kamarnya.
"Ngapain disitu? Kenapa nggak masuk aja kak?"
"Kayanya kakak lo abis nangis deh."
"Mana mungkin. Dia mana pernah nangis. Dulu aja waktu mama meninggal dia nggak nangis sama sekali."
"Serius deh, tadi gue liat matanya berkaca-kaca."
"Salah liat kali. Atau nggak cuma kelilipan debu doang. Gue mau ke bawah ambil cemilan. Kak Via mau gue bawain sekalian nggak?"
"Ah, masa sih? Nggak usah gue udah kenyang."
Dilan pun turun dari kamar ke lantai satu. Sementara Alvia masih bertanya-tanya tentang apa yang terjadi dengan Ele. Ia menunggu di depan kamar Ele.
"Ketuk jangan?" Alvia ragu-ragu untuk mengetuk pintu kamar Ele. Namun ternyata pintu tersebut dibuka oleh Ele.
"Mau jadi patung pancoran? Cepat masuk! Sebelum gue berubah pikiran." Alvia pun masuk sebelum Ele berubah pikiran dan bersifat kejam seperti biasanya.
Saat sudah berada di kamar Ele, Alvia merebahkan dirinya di kasur milik Ele. Padahal yang memiliki kamar tersebut sedang duduk di depan komputer miliknya.
"Haaa, akhirnya bisa berbaring di kasur yang empuk ini lagi. Gue tanya sesuatu boleh nggak El?"
"Memangnya lo pernah minta izin bertanya ke gue? Lo kan selalu menanyakan apapun ke gue tanpa minta izin terlebih dulu," sindir Ele.
"Sabarkan hamba-Mu ini, predator seperti dia memanglah kejam dalam berucap," gumam Alvia.
"Apapun yang akan lo tanyakan sekarang, nggak akan gue jawab satu pun. Jadi jangan ganggu gue. Ini peringatan!"
Alvia menelan ludahnya sendiri. Jika Ele sudah berkata demikian, itu artinya suasana hatinya memang sedang tidak baik. Alvia pun menyerah dan menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya.
"Dasar cewek berhati dingin!" gerutu Alvia dengan suara yang sangat lirih.
Sementara Ele, ia berada di depan komputer untuk melihat beberapa foto terakhir bersama mamanya. Ia memandang foto tersebut begitu serius. Ele tidak pandai untuk mengungkapkan isi hatinya, yang ia bisa lakukan hanya termenung dan merasakan bagaimana hatinya terluka. Setelah puas memandang foto tersebut, Ele berjalan menuju ranjang. Ia membuka selimut yang menutup kepala Alvia. Kemudian ia berbaring disebelah Alvia.
"Ma, bisakah mama masuk ke dalam mimpi Ele? Satu menit saja. Ele benar-benar merindukan wajah mama."
Beberapa menit setelahnya, Ele pun tertidur dengan tanpa selimut yang menyelimuti tubuhnya.
****
"Kak Ele, Kak Via bangun!"
Suara keras dari Dilan membangunkan Ele dari tidur nyenyaknya. Ia pun keluar dari kamarnya dan menuruni tangga. Terlihat Dilan yang sudah rapih dengan seragam sekolahnya sedang duduk di meja makan.
"Kak Via mana?" tanya Dilan.
"Tidur."
"Ish, bangunin! Biar kita makan sama-sama."
"Nanti juga bangun sendiri. Pagi-pagi nggak usah ngajak ribut."
"Dasar nyebelin!" kesal Dilan.
"Bodo!" ucap Ele sambil mengambil sandwich yanng ada di piring Dilan. Sebelum diketahui oleh Dilan, Ele pergi terlebih dulu dari dapur. Beberapa menit kemudian, Dilan sadar dan mengumpati Ele.
"ELEANOR FREEDY!" teriak Dilan dengan penuh emosi.
Ele yang sudah berada di lantas kedua rumahnya hanya cekikikan mendengar kemarahan Dilan. Ia selalu membayangkan ekspresi Dilan ketika marah dan kesal. Itu sangat-sangat lucu dan menggemaskan untuk Ele.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara teriakan lagi dari Dilan.
"Kak, Dilan berangkat!" pamit Dilan yang akan bernagkat sekolah.
"Hm." jawab Ele. Padahal di dalam hatinya, Ele selalu mendoakan agar Dilan selalu dilindungi kemanapun, kapanpun dan dimanapun ia berada.
Sandwich yang Ele makan pun habis. Ia pergi ke kamarnya untuk mengambil segelas air minum di atas meja. Rupanya Alvia masih terjaga dalam tidurnya.
"Udah numpang, bangun siang, berasa kaya rumah sendiri aja," gerutu Ele.
"Kebakaran!" teriak Ele untuk membangunkan Alvia.
"Huwaaaaa mama kebakaran! Tolongin Via, Via masih jomblo," teriak Alvia sambil berlari terbirit-birit keluar dari kamar Ele. Ele yang melihat kejadian tersebut berusaha menahan tawanya. Ia tidak ingin menunjukkan tawanya di depan Alvia. Karena itu sangat bertentangan dengan citra yang telah dibuat Ele.
Hari demi hari pun berlalu. Hari ini adalah hari di mana Ele dan Alvia akan magang di perusahaan DAND Group sebagai sekretaris. Ele tengah bersiap di depan meja riasnya. Ia membenahi ikatan rambutnya yang melonggar dan memakai dasi di kerahnya dengan rapi. Tak lupa Ele juga memberikan polesan make-up ringan di wajahnya.Ele turun dari kamarnya dan duduk di meja makan. Ia meminum segelas susu putih dan roti tawar dengan selai stawberry di dalamnya. Selesai makan ia langsung berangkat magang menggunakan mobilnya. Butuh waktu 15 menit untuk sampai di DAND Group.Sesampainya di DAND Group, Ele menuju ke basement perusahaan untuk memberhentikan mobilnya. Sialnya, saat mobil Ele akan terparkir dengan sempurna, datang mobil lain yang tiba-tiba menyerobot tempat parkir mobil Ele. Ele pun keluar dari mobilnya dengan menutup pintu mobil dengan keras. Kemudian ia mengetuk kaca mobil yang membuatnya geram."Heh! Keluar nggak lo!" kesal Ele.
Ele dan Alvia duduk saling berhadapan di kantin perusahaan. Di saat Ele menikmati makanan yang ada di depan matanya, Alvia justru melamun sambil memuji seseorang. Ia menopangkan tangannya di dagu."Gila! Gue nggak nyangka. Bukan hanya bosnya aja yang ganteng, ternyata manajernya juga. KIra-kira bisa nggak ya? Kalo dia jadi pacar gue?"Bukan Ele namanya jika menanggapi perkataan Alvia dengan antusias. Ele memberikan penilaian dari kacamatanya dengan berbeda."Terus aja muji orang. Emang ganteng bisa bikin perut kenyang. Tampang pas-pasan juga," cibir Ele sambil memasukan mie ke dalam mulutnya."Perlu periksa mata deh kayanya. Cuma lo doang yang bilang cowok idaman itu pas-pasan," ucap Alvia sambil menggeser mangkuk bakso mendekat padanya."Lebih baik lo diem deh. Bisa hilang nafsu makan gue, dengerin lo terus muji-muji cowok yang lo anggap ganteng itu."Setelah mengatakan itu, Ele bangkit dari tempat duduknya meninggalkan Alvia yang masih bel
Di sebuah kantor megah dan mewah duduklah seorang CEO yang bernama Axel Dandion. Tatapan matanya tertuju pada sebuah foto yang tergeletak di meja kerjanya. Tak sekalipun ia berpaling melihat ke arah lain. Hingga seseorang masuk ke dalam ruangannya. "Inilah definisi laki-laki yang gagal move on dari mantannya." Kalimat tersebut muncul dari sahabat sekaligus sekretaris dari Axel. Gavin Scarlett namanya. "Berisik!" timpal Axel dengan tatapan tajam ke arah Gavin. "Santai, nggak usah mendelik gitu matanya. Ngeri gue liatnya," ucap Gavin yang berjalan ke depan meja Axel dan duduk di hadapannya. "Bisa nggak kalo masuk ke ruangan orang ketuk pintu dulu? Lo mau gue pecat?" Mendengar ucapan Axel yang sedikit kesal, Gavin malah bereaksi biasa saja. Padahal ancaman tersebut bisa membuatnya kehilangan pekerjaan. "Yakin mau pecat gue? Gue sih nggak yakin ya, hahaha." Gavin berbicara dengan diakhiri tawa renyahnya sambil mengambil foto yang dilihat oleh Axel. "Masalahnya kalo lo pecat gue. Ng
Axel merasa takjub dengan apa yang dilihatnya. Dalam beberapa menit saja, Ele berhasil membuat para preman tersebut kalah. Seketika ia teringat perutnya yang dipukul oleh preman tersebut. "Heh! Cewek galak! Lo kan jago berantem. Kenapa dari tadi nggak lo lawan aja?" "Males!" ucap Ele sambil mengambil tasnya yang tergeletak di aspal. Ia kemudian berjalan menjauh dari Axel. "Tanggung jawab woy! Lo udah buat perut gue dipukul." Ele tak menoleh sama sekali, ia hanya melambaikan tangannya seolah mengucapkan selamat tinggal. "Dasar cewek setan!" **** Axel berjalan masuk ke kantornya dengan tertatih-tatih sambil memegang perutnya. Rasa nyeri dari pukulan preman tadi masih terasa hingga ke tulang-tulang Axel. Sebelum memasuki ruangannya, di depan pintu ia berpapasan dengan Gavin. "Kenapa lo?" "Nggak usah banyak tanya." Axel membuka pintu ruangannya. "Baru sekali ini gue tanya, belu