“Ah, sial! Sergio benar, badanku bau keringat!”
Meski sedikit tersinggung dengan kalimat Sergio barusan, Livy membenarkan ucapan sang suami usai ia mengendus aroma tubuhnya sendiri.Tidak sebau yang seperti dituduhkan sang suami, tetapi tetap tidak segar. Makanya, alih-alih mengejar terus suaminya untuk berkata jujur, Livy akhirnya memilih mandi.Tidak lupa, ia rapikan baju-baju kotor Sergio yang berserakan.“Padahal sudah ku siapkan keranjang untuk baju kotor!” Livy mendumal sembari memunguti pakaian sang suami. Saat merogoh saku celana, tangannya mendapati sesuatu yang membuat keningnya berkerut, “Apa ini?”Diambilnya kertas itu, dan dibacanya lamat-lamat. “Resep dokter?” Sesaat, ada rasa khawatir yang menyergap. “Dia sakit?”Mengesampingkan rasa khawatirnya lebih dulu, Livy bergegas mandi dengan cepat. Setelahnya, ia keluar dari kamar mandi dan menatap dalam pada sang suami yang tengah berbaring. Disembunyikannya resep tadi di genggaman. Ia akan meminta penjelasan pada salah satu temannya nanti.“Kenapa melihatku begitu?” “Tidak apa-apa, hanya sedikit berpikir,” ujar Livy tak melepas pandangan dari tubuh Sergio.“Kamu masih cemburu?” Sergio bertanya usai berdecak. “Sudahlah, telepon yang tadi tidak perlu dipikirkan! Selama uang bulananmu tidak berkurang, selama status kita masih menikah dan aku tetap pulang ke rumah … kamu tidak perlu curiga.”Setelahnya, tanpa menunggu sang istri selesai berpakaian, pria itu memeriksa ponsel dan bangkit.Setelah memastikan suaminya itu benar-benar turun dari lantai dua, Livy membuka kembali resep tadi dan memfotonya untuk dikirimkan pada teman.Beruntung, temannya tersebut segera membalas dan membuat mata Livy memelotot dengan sempurna.“Obat penghilang rasa sakit setelah operasi caesar?”Sejenak Livy berpikir, mengapa suaminya hendak membeli pereda nyeri ini? Dua wanita yang disebut Sergio tadi, tidak ada satu pun yang tengah hamil besar. Namun, ada satu sepupu suaminya yang memang tengah hamil besar.‘Apa mungkin Sergio membantu persalinannya?’ Meski masih dipenuhi tanda tanya, sementara ini Livy menenangkan dirinya dari rasa curiga.Ia bergegas melangkah ke ruang makan. Seperti biasa, Livy memulas senyum palsu.Sayang, aktingnya hari ini terganggu karena melihat Sonia yang tengah bergelayut manja di tangan El. Meski telah tahu keduanya pun tengah berakting, tetap saja Livy tidak nyaman melihat kemesraan keduanya.“Sekarang anggota keluarga kita sudah lengkap. Ayo duduk Livy! Ada yang ingin Ayah sampaikan kepada kalian.” Kalimat Tuan Sergio ini mengalihkan perhatian dua anak dan menantunya. “Ayah tidak sabar menggendong cucu. Sebaiknya kalian jangan menunda memiliki keturunan!”Seketika pandangan mata Livy dan Sergio bersiborok. Sergio yang telah bersiap menyantap makan malamnya kembali meletakkan sendok seraya berkata, “Aku sedang sibuk di kantor, Ayah. Kalau Livy hamil dalam waktu dekat, kasihan dia. Aku tidak bisa menemaninya di saat sulit.”Livy tersenyum getir mendengar penolakan halus dari Sergio. Bagaimana ia bisa hamil jika suaminya saja tidak pernah lagi menyentuhnya? Sekarang, pria itu malah menjadikannya alasan. Namun, tidak ada yang bisa Livy lakukan selain tersenyum getir seolah mendukung penolakan Sergio.“Lalu kalian bagaimana?” Kali ini, Tuan Sergio menatap anak dan menantu kesayangannya. El terlihat melepaskan belitan tangan Sonia. “Kurangi aktifitas modelmu agar kamu cepat hamil, Sonia. Sebelum meninggal, Ayah ingin ada cucu darimu.”Bak aktor kawakan, El kemudian tersenyum menanggapi keinginan Tuan Fabregas. “Doakan yang terbaik, Ayah. Aku dan Sonia selalu berusaha, Ayah tidak perlu khawatir.”Mendengar kalimat itu, membuat Livy tidak nyaman. Apalagi setelah memergoki keduanya bertengkar karena penolakan Sonia. Livy segera bangkit dari kursi dan beranjak menuju dapur.“Permisi, aku mau mengambil hidangan penutup.”El menangkap raut wajah sendu Livy, dengan segera meraih dua gelas kosong di depannya sebagai dalih, “Aku akan isi jusnya lagi.”Sonia menatap curiga pada sang suami yang pergi tidak lama setelah adiknya pergi. Namun, lagi-lagi wanita itu berdiam, tidak ingin bertindak gegabah di hadapan sang ayah.Di dapur, El melihat Livy membuka lemari pendingin. Pria itu lantas mendekat dan menahan pergerakan Livy. Posisi keduanya sangat dekat, saling berhadapan, bahkan embusan napas hangat El bisa dirasakan oleh Livy.“Kenapa kamu memandangiku seperti tadi? Apa kamu bermaksud untuk—"“Bu-bukan, Kak. Aku sudah melupakannya. Kakak tenang saja. Kita hanya sebatas adik dan kakak ipar.”El terlihat kebingungan. Ia pun meluruskan kesalahpahaman yang mungkin Livy tangkap dari kalimatnya, “Maksudku, kamu seharusnya bersikap biasa saja. Ingat, rahasiaku dan Sonia yang kemarin tidak boleh sampai kedengaran ayah. Mengerti?”Livy melongo, tetapi ia mengangguk cepat. Rupanya ia telah salah sangka. Ia kira El akan membahas mengenai malam panas mereka.Kini, pipinya bersemu merah, merasa malu lantaran terlalu percaya diri. Ia tersentak saat jemari hangat El menyentuh tangannya.“Kak?” Livy menelan saliva.“Aku bantu, kamu ambil saja piring untuk pudding.”“Terima kasih.”Livy membalik badan tetapi sebelum itu ia sedikit memperhatikan punggung lebar kakak ipar.Sungguh hatinya berharap pria yang berdiri bersamanya adalah Sergio. Lagi-lagi, Livy bergantung pada kenyataan semu yang hanya melukai hati.Selesai memotong makanan penutup, El lebih dulu kembali ke ruang makan. Menjaga diri agar Sonia dan ayah mertua tidak mencurigai kedekatan diantara keduanya. Tak lama Livy datang, lantas meletakkan piring besar di tengah meja.“Sepertinya enak, kamu mau Sonia?” El selalu bersikap hangat, meninggalkan kesan bahwa rumah tangganya baik-baik saja. Tentu Sonia menjawab dengan mengangguk.“Hanya pudding biasa, rasanya juga tidak istimewa,” balas Sergio yang justru menjatuhkan hasil masakan sang istri.Setelahnya, Sergio menandaskan segelas air putih, kemudian pria itu menyeka noda pada bibirnya menggunakan sebuah saputangan.Kegiatan itu seharusnya menjadi kegiatan normal. Hanya saja, saputangan yang digunakan Sergio memancing perhatian Sonia untuk bertanya, “Sergio? Dari mana kamu mendapat saputangan itu?”“Di kamar, memangnya kenapa?” Pria itu menjawab dengan santai.“Kamu tahu tidak kalau saputangan itu edisi terbatas dan harganya mahal?”Sergio langsung memandangi selembar kain di tangan masih dengan raut kebingungannya.Berbeda dengan El dan Livy, keduanya mematung dan seketika berubah tegang. Terlebih, ketika Sonia kembali melanjutkan kalimatnya, “Aku ingat El memiliki saputangan yang sama persis.” Tatapan Sonia berubah tajam, mengarah kepada Livy. “Tidak mungkin ‘kan kalau El menjatuhkannya di kamar kalian? Untuk apa suamiku ke kamarmu?”“Bagaimana ini?” keluh Livy tanpa suara.Debar jantungnya tidak lagi aman, kini bukan hanya Sonia yang memperhatikannya. Tuan Fabregas pun menatap penuh intimidasi, pria paruh baya itu tidak ingin pernikahan putri kesayangan rusak karena Livy. Ditambah Sergio, bukannya membela sang istri malah ikut memojokkan.“El?” Sonia menjulurkan tangan ke depan suaminya. Namun, pandangan tajam bak menguliti tidak teralih dari Livy. “Mana saputanganmu?”“Kamu ini apa-apaan Sonia?! Itu hanya saputangan biasa.” Pria itu menatap tajam ke arah sang istri.Di balik ketenangannya, Presdir Torres Inc ini tengah berpikir keras, berusaha menemukan alasan tepat. El melirik Livy yang tidak mampu menjawab sepatah kata pun. Wanita cantik itu memandang tepat ke arah El, meminta pertolongan, bahasa tubuhnya memperlihatkan bahwa ia sedang ketakutan.Sejurus kemudian, Sonia kembali menatap murka ke arah sang adik, “Kenapa kamu diam? Jangan-jangan kamu memaksa suamiku ke kamarmu, jawab!”“I-itu a-aku –““Sonia jaga
“Sergio, sebenarnya apa yang kamu sembunyikan?”Livy turun dari ranjang lalu mendekati suaminya. Ia menyelami kedua mata sang suami, menuntut jawaban.“Ah sudahlah.” Sergio mengibaskan tangan. “Kamu ‘kan tidak pernah kerja, jadi tidak tahu kalau kertas itu penting.” Pria itu meraih tas dan melenggang pergi.Livy terlonjak, karena Sergio keluar kamar dan membanting pintu dengan kasar. Ia geleng-geleng kepala, betapa berliku kehidupan rumah tangganya. Sembari mengusap dada, Livy bergegas melakukan aktfitasnya.Setelah selesai, ia bergegas ke toko roti. Hari ini ada pegawai baru, setidaknya kesibukan di toko membuat Livy bisa melupakan sejenak masalah di rumah. Livy membuka toko hingga hari berubah gelap, karenanya ia membeli makanan siap saji. Badannya terlalu lemah harus memasak. Rasanya ingin sekali mengambil hari libur, tetapi tidak bisa karena esok adalah hari pertama Livy berkerja sama dengan Torres Inc.Wanita itu menghela napas panjang, lalu menyemangati diri sendiri, ‘Kamu past
“Bu, kalau tidak enak badan biar kami saja yang mengantar roti,” ucap seorang pegawai toko.Bukan tanpa alasan karena sejak memanggang roti, Livy sering melamun dan menyandarkan tubuh pada dinding. Sekarang, hari mulai terlihat terang, wanita ini terlihat pucat dan lemas.“Bu? Bagaimana kalau ke dokter?” saran pegawai.Jujur, isi kepala Livy bercabang, masalah rumah tangga menjadi beban paling berat. Ditambah, hubungannya bersama Sonia, dan paling mencengangkan adalah cek pemberian kakak ipar.“Ah ya? Aku … sehat, ini karena kurang tidur.” Livy tersenyum lalu memeriksa kemasan roti di atas meja.Kemarin, sebelum ia meninggalkan ruang kerja Presdir Torres Inc, pria itu memberikan selembar cek bernominal fantastis. Livy tidak bisa menerima begitu saja, tetapi El memaksa dengan alasan pembayaran roti serta investasi di tokonya. Livy tak bisa beradu pendapat, apa lagi didesak oleh tatapan sinis Sonia. Membuatnya hanya bisa menerima dan menjalani hubungan kerja sama itu.Mulai sekarang ti
“Jadi benar kalian memiliki hubungan?” Sergio menatap nyalang kepada Livy yang masih tampak terpukul. “Istri macam apa kamu?”“Tentu saja aku dan Livy memiliki hubungan.” El merangkul pundak Livy, ia kembali bersuara, “Kamu bilang istri? Seorang suami harus menghargai dan memperlakukan istrinya dengan baik!” hardik El.Seketika kelopak mata Livy melebar, menatap pria di sampingnya. Keterkejutannya belum berakhir, kini ketakutannya bertambah. Ia menggeleng lemah sebagai penolakan, sungguh tidak siap jika El mengatakan kejadian malam itu.Kedua lelaki ini beradu pandang, rahang El mengeras dan kedua tangannya mengepal, siap memberi Sergio pelajaran berarti agar lebih menghargai wanita. “Luar biasa, wanita kampungan sepertimu tega merebut suami kakaknya sendiri. Apa jadinya kalau ayah tahu?” Sergio tersenyum miring, lalu kembali mencemooh sang istri, “Orang asing yang dibawa pulang ke rumah, merusak pernikahan Sonia.”“Cukup!” teriak Livy.Wanita ini menutup kedua telinga, enggan menden
“Hah, t-tapi … bagaimana kalau Kak Sonia tahu? Aku …”Livy segera menggelengkan kepala, langsung mengingat wajah Sonia. Kakak angkatnya itu bisa berbuat nekat, ia tidak mau menyakiti siapa pun. Terlebih, ia tahu bagaimana rasanya dikhianati, apalagi hubungan El dan Sonia jauh lebih baik dibanding dirinya.“Kenapa memangnya?” El mengerutkan kening, lalu kembali mengeluarkan suara, “Kamu bilang tidak mau pulang. Jangan pergi ke sembarang tempat!”Pertanyaan El tidak bisa dijawab, Livy meremas kesepuluh jarinya. Tidak mungkin ‘kan kalau ia mengatakan bahwa Sonia mengancamnya? Jika itu terjadi, bisa dibayangkan reaksi kakak serta ayah angkatnya.Akhirnya Livy hanya diam saja sembari menggelengkan kepala. Tiba-tiba ia tersentak karena El membelai kepala, membuatnya kembali fokus menatap wajah sempurna milik kakak ipar.“Sonia tidak akan tahu. Kamu ingat kemarin dia datang ke kantor?” tanya El yang diangguki oleh Livy. Pria ini menarik sebelah sudut bibir, lantas berkata, “Dia meminta izin
“Aku … pergi ke …” Livy tidak bisa menjawab, hatinya ketar-ketir. Ditambah ayahnya terus memperhatikan gerak-gerik mencurigakan. Livy benar-benar terpojok, haruskah ia jujur dan mengatakan El membawanya ke griya tawang atau lebih baik berbohong? Di saat Livy kebingungan, El masuk dan menyapa Tuan Fabregas. Pria itu benar-benar memberi efek tak terhingga, lihat saja ayah angkatnya langusung bersikap manis. Bukan hanya itu saja, El menyembunyikan tangan di balik punggung lalu menggerakkanya, memberi perintah agar Livy menjauh. Segera ia mengayunkan kaki menuju dapur, membersihkan dan merapikan kekacauan yang terjadi. Tidak lupa membuat minum, Livy juga teringat perbincangan bersama asisten rumah tangga. Ia membuka beberapa kabinet mencari sesuatu, hingga secangkir pelepas dahaga siap diantar ke ruang tamu. Perlahan Livy melangkah dan meletakkannya di atas meja, kemudian ia pamit undur diri. Tidak ingin mengganggu dialog antara kakak ipar dan ayah angkatnya. Dari balik dinding, sayu
“Di mana Livyata?” tanya El kepada seorang petugas.Tepat pukul delapan pagi, El terkejut karena bukan Livy yang mengantar roti, melainkan salah satu pegawai. Pria ini, setia menanti jawaban keluar dari bibir petugas dapur, namun hanya kalimat berbelit yang diterima. “T-tidak tahu Tuan, katanya Livy sibuk banyak pesanan lalu sakit dan tidak ada kabar lagi, jadi anak muda itu yang mengantar kemari,” tutur petugas dapur merasa aura tak mengenakan keluar dari Bos tampan rupawan.Sebenarnya El ingin berangkat sekarang juga, untuk mencari kebenaran terkait informasi itu. Namun, kesibukan menuntutnya untuk tetap menjalankan tanggung jawab. Akhirnya, ia hanya bisa memajukan jadwal rapat dan mempercepat durasi. Dibantu asisten pribadi yang telah puluhan tahun mengabdi pada Torres Inc, El dapat menyelesaikan semua pekerjaan. Perasaannya gelisah, entah mengapa ia selalu berpikiran buruk. Berulang kali menepis, tetapi otak dan hatinya tidak bisa tenang.Tepat jam istirahat kantor, El keluar da
“Livy … lupakan Sergio! Kamu pantas mendapat yang lebih baik,” ucap El.Bibir keduanya semakin dekat, tersisa jarak kurang dari lima senti. Bahkan Livy bisa merasakan, bagaimana jemari milik kakak iparnya menyentuh daging kenyal itu. Namun, Livy segera diberi kesadaran, sehingga mendorong dada bidang kakak iparnya. Ia langsung menjauhkan kepala, dan mengalihkan wajah ke arah lain. “Kak, t-terima kasih bu-buahnya.” Livy berusaha mencari topik pembicaraan lain, detak jantungnya tidak normal. Napasnya tersenggal seakan baru saja berhenti setelah berlari.El berdeham lalu duduk di kursi tepi ranjang. “Hu’um ya.”Aura canggung memenuhi kamar rawat ini, Livy selalu membuang muka. Ia merasa perlu menetralkan suasana apa lagi pipinya begitu panas. Ia yakin, sekarang kulit wajahnya berubah merah.Namun, berbeda dengan El, kakak iparnya ini duduk dengan tenang. Bahkan, Livy terkesiap, karena pria itu meraih kedua tangannya, menatap pilu pada lebam di sekitar pergelangan. Sentuhan antar kulit